Anda di halaman 1dari 4

Vigoda (2002: 7) adalah ilmu politik, sosiologi dan budaya, dan manajemen dan organisasi bisnis.

E Isu

tentang Arah Perkembangan Administrasi Publik Salah satu isu penting yang sering diungkapkan para

ahli administrasi publik adalah ke arah mana administrasi publik berkembang? Stillman II (1991)

mengungkapkan bahwa arah teori administrasi publik sangat tergantung dari apa persepsi tentang Who

should rule? What is the meaning of the good life? What are the methods for realizing the good life?

What are the appropriate criteria for action? What are the best organizational formats? What is the

vision of the ideal state? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan variasi

jawaban dan mengakibatkan perdebatan yang serius. Perdebatan tersebut akhimya mengacu pada

empat model administrasi publik yang dinamis dimana salah satu cendrung dianut oleh suatu negara

pada masa tertentu. Keempat model tersebut adalah model no state, bold state, pre-state dan pro-state

(Stillman, 1991: 214). Masing-masing model tersebut memiliki karakteristik yang sangat spesifik, sesuai

dengan perkembangan suatu negara. Berikut ini dijelaskan masing-masing model tersebut secara

singkat.

1. No-State Model

No-State Model Model ini tumbuh dari filsafat "anti campur tangan" pemerintah dalam masyarakat,
dengan mempromosikan suatu kebijakan publik yang memberi peluang lebih besar kepada kegiatan
industri dan bisnis untuk bertumbuh dan berkembang. Semboyan utama adalah to let people do as they
please. Pendukung model ini adalah para monetarist dan public choice economists,seperti Milton
Friedman, George Stigler, Gary Becker, dan para tergolong dalam Chicago School yang pada prinsipnya
senang dengan tradisi anti-state. Menurut William Sumner, biarkanlah yang menjadi pahlawan adalah
the free market. Hanya uanglah yang merupakan integrator sejati dan menjadi suatu kekuatan efektif
untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Para individu ahli yang merupakan aktor-aktor ekonomi
secara mandiri. Ide semacam ini memberikan kesempatan kepada para individu untuk melakukan
kompetisi alamiah dan bebas dari pengendalian negara. Negara hanya menjaga kestabilan kebijakan
moneter, mempromosi pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan menjaga pasar terbuka. Dengan kata
lain, negara berusaha membiarkan pasar bekerja tanpa campur tangan apa-apa, sehingga masing-
masing wiraswastawan dapat bekerja mencapai tujuan mereka masing-masing. Ide ini sangat dijiwai
oleh kaum monetarist dan Chicago school. Dan ide yang berasal dari pandangan public choice ini melihat
bahwa pemerintah hendaknya menjadi alokator sumberdaya yang telah langka dalam masyarakat,
dengan menerapkan standard dan mekanisme pengambilan keputusan yang tepat sehingga hasilnya
dapat menjadi lebih effisien dan dinikmati masyarakat.

Model ini dapat dilihat pada tindakan-tindakan pemerintah sekitar tahun 1980an dimana pemerintah
mulai memikirkan untuk melakukan deregulasi dan privatisasi. Sebagai akibatnya, peranan administrasi
publik menjadi rendah. Para administrator hanyalah sebagai aparat-aparat yang diangkat secara politis
saja, tidak harus diangkat berdasarkan karier atau spesialisasi. Karena pemerintah cenderung menjamin
kebebasan individu, maka usaha untuk memperkuat pertahanan dan keamanan nasional cendrung
diutamakan.

2. Bold State Model Model ini lebih melihat negara sebagai suatu yang positif dalam mempromosikan
dan menjaga kehidupan publik. Para pendukung model ini tidak takut akan campur tangan pemerintah
dalam kehidupan publik sehingga usaha mereka diarahkan untuk mewujudkan organisasi pemerintah
yang kuat dan efektif. Ide ini muncul dari doktrin-doktrin administrasi publik yang pernah diperjuangkan
oleh Leonard White, Louis Brownlow, dan Luther Gullick, bahkan sampai sekarang masih mendominasi
literatur administrasi publik. Model ini menuntut adanya perluasan peranan lembaga pemerintah yang
dapat mampu menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari masyarakat dan individu-individu;
menuntut agar pemerintah harus mengambil prakarsa untuk melakukan tugas-tugas manajerial dalam
berbagai kehidupan kenegaraan, daerah, dan sektor privat; menekankan peningkatan kemampuan
kelembagaan dalam melaksanakan kebijakan publik lewat instansi-instansi pemerintah; memberi
perhatian khusus untuk perbaikan dalam efektivitas organisasi; peningkatan kemampuan para eksekutif
untuk dapat melakukan tugasnya bagi kepentingan masyarakat; membatasi pengaruh politik kedalam
manajemen publik sehingga para manajer publik dapat lebih profesional atau setidak-tidaknya adanya
kerja sama antara unsur politik dan administrasi; menekankan tanggung jawab dari bawah ketimbang
pengarahan dari atas sehingga lebih tanggap terhadap masyarakat, kelompok-kelompok kepentingan
tertentu, dan menekankan nilai-nilai efektivitas manajemen yang lebih luas dan elastis yang dapat
menjadi basis untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam model seperti ini,
para administrator diangkat berdasarkan atas karier dan spesialisasinya. Disamping itu, keyakinan atas
kekuatan pasar, sebagaimana dianut pada model terdahulu, sangat rendah.

3. Pre-state Model Model ini merupakan suatu model yang berada tengah-tengah antara model no state
dan bold state. Ide dari model tersebut datang dari reaksi terhadap kelemahan-kelemahan kedua
pendekatan sebelumnya. Para pemikirnya seperti John Rohr, Don K.Price, Harland Cleveland, dsb.,
nampaknya mengelak istilah-istilah mekanistik yang seringkali mengandung kelemahan senerti effisiensi,
efektivitas dan ekonomi, yang digunakan sebagai kriteria desar bagi administrasi. Mereka lebih
mementingkan peranan administrator nublik yang kreatif, spontan, dan manusiawi. Administrator yang
mereka dambakan adalah yang disebut fixer, negotiator, atau bargainer, atau yang lebih bersifat
pragmatist. Dalam model ini, kepercayaan terhadap kekuatan pasar sangat tergantung dari situasi;
peranan pemerintah pusat juga sangat tergantung dari kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi;
kebijakan yang disarankan biasanya dipengaruhi oleh semua pihak baik dari pemerintah itu sendiri
maupun dari masyarakat. Nampaknya para penganut model tersebut adalah para kritikus yang hebat,
yang cendrung melihat, menilai atau menganalisis suatu dari kedua belah pihak, lalu membuat bobot
dan memilih yang menguntungkan. Mereka menuntut adanya intuisi, kreatvitas, kebjaksanaan
(wisdom), dan perhatian terhadap konteks dari situasi dimana administrasi publik hendak diterapkan.
Mereka lebih suka melakukan perubahan yang tidak fundamentat; mereka lebh senang dengan
perubahan inremental. Mereka adalah kaum evotusionist dan seringkali mereka dikenal sebagai pakar
yang menyukai pemecahan masalah dengan kriteria satisficing atau nonoptimizing. Bagi mereka, apa
yang dapat berjalan adalah kriteria terpenting dalam administrasi publik. Model ini kurang
memperhatikan standard metode dan teknik yang memadai untuk diterapkan dalam praktek, tetapi
lebih mementingkan sejarah, pengalaman, dan kenyataan politik. Karena itu, model tersebut kurang
didukung oleh kebanyakan pakar administrasi publik.

4. Pro-state Model be Model ini merupakan output dari sistim kenegaraan setelah Perang Dunia II,
dimana globalisme, profesionalisme, dan teknokrasi menjadi pusat perhatian. Pendidikan tinggi,
pengetahuan, profesionalisme, dan kemajuan teknologi menjadi sumber utama kekuatan model
tersebut (Stllman, 1991). Model ini sangat nampak dari tulisan James LPerry (1989). Model ini melihat
bahwa batas-batas antar negara, dan antara swasta dan pemerintah semakin suram. pe da me Model
yang mementingkan pandangan global ini melihat bahwa identitas nasional nampak mulai redup. Hal ini
tentunya membawa akibat pada perubahan kriteria administrator. Para administrator yang terlatih, para
ahli, dan spesialist dipandang sebagai penuntun, pengambil keputusan, dan pengarah bagi sistim
administrasi secara keseluruhan. Model tersebut juga melihat bahwa berbagai jenis teknologi
merupakan driving forces dari dunia administrasi publik. Dan tanggung jawab dalam memanfaatkan
teknologi tersebut merupakan masalah etika yang harus diperhatikan dalam dunia administrasi publik.
Model tersebut percaya akan aplikasi teknologi dan penemuan ilmiah untuk dimanfaatkan dalam dunia
admimistrasi publik. Karena itu, semua intuisi, kebijakan (wisdom), dan berbagai bentuk pertimbangan
yang tidak rasional, kurang dimanfaatkan oleh model tersebut. Semua pengetahuan yang bersumber
dari sejarah, politik, sastra, puisi, dan filsafat, diabaikan. Dengan kata lain, "expertise", techniques", dan
"technologies" merupakan pusat perhatian model tersebut.

Sejarah dan Perkembangan Meskipun demikian, Stillman II (1991) mengeritik bahwa, pertama,
pandangan atau model tersebut terlalu melihat administrasi publik dalam konteks yang mekanistik dan
positivist yaitu sebagai suatu rangkaian alat analisis dimana para ahli seharusnya pegang sebagai
penuntun dalam pekerjaan mereka. Padahal, pandangan yang sangat teknis ini tidak dapat dipisahkan
dari sistim politik suatu negara. Kedua, pandangan tersebut menjadi "buta" terhadap dimensi-dimensi
intuitif dan kreatif dalam memecahkan masalah-masalah politik, kelembagaan, dan masyarakat. Bahkan
pandangan tersebut cendrung menurunkan derajad pemerintah (dehumanisasi) karena terlalu
mementingkan aspek teknis. Ketiga, pandangan bahwa para ahli atau spesialist merupakan orang yang
harus ditiru atau dipanuti, seperti yang dituntut dalam model ini, mempunyai akibat yang kurang baik
bagi kedudukan para generalist atau yang tidak ahli. Akhirnya, pandangan ini sangat berorientasi
instrumentalist sehingga sangat mungkin memberi peluang untuk pemakaian atau penerapan analisis
kebijakan teknis, implementasi, statistik, dan riset evaluasi, tanpa melihat kemampuan instrumen
tersebut dalam memecahkan masalah publik.***

Anda mungkin juga menyukai