Anda di halaman 1dari 8

Nama: Ayu Aulia Rahayu

NIM: 2008957

Kelas: PJKR D 2020

Mata Kuliah: Penjas Adaptif

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Beltasar Tarigan, MS., AIFO.

Alit Rahmat, M.Pd.

RESUME

Kelompok 19

Modul: Kondisi Pelaksanaan Pendidikan Jasmani dan Olahraga Pada Siswa


Reguler dan Adaptif di Indonesia

Guru Pendidikan Jasmani pada umumnya berupaya meningkatkan kecerdasan dan


kreativitas siswa. Pertumbuhan & Perkembangan dilihat dari aspek:

1. Pengetahuan
2. Kerja sama
3. Penalaran
4. Emosional
5. Sikap Sportif
6. Menghargai Perbedaan
7. Saling Menolong
8. Keterampilan
9. Kebugaran Jasmani
10. Inteligensia

Apabila dikaitkan dengan pembinaan sumber daya manusia pada masa yang akan
datang penjas di sekolah merupakan investasi jangka panjang. Oleh karenanya
setiap guru atau insan olahraga yang terlibat di dalam proses pembelajaran penjas
harus profesional dan memiliki sifat kesabaran, keuletan, penuh kasih sayang, dan
rela berkorban waktu dan energi. Pandangan keliru dari kepala sekolah dan guru
lainnya bahwa guru olahraga bertanggung jawab terhadap setiap keributan atau
permasalahan siswa, yang memberi kesan merendahkan figur guru. Pemahaman
siswa tentang pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga dalam upaya
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masih rendah dikarenakan masih
merasa terpaksa oleh tuntutan kurikulum. Pelaksanaan pada siang hari di bawah
sinar terik matahari dapat membuat kulit siswa menjadi hitam.

Berkaitan dengan hal itu, seyogianya guru pendidikan jasmani menekankan betapa
pentingnya keikutsertaan siswa dalam berolahraga untuk membina kebiasaan hidup
aktif selama hidupnya dan untuk tujuan kesehatan yang lebih sempurna
(Karteroliotis, 2008; Lonsdale, Hodge, dan Rose, 2008). Dalam kenyataannya
ditemukan kesulitan untuk meningkatkan motivasi siswa agar tetap hidup sehat. Hal
ini diperparah lagi oleh sikap guru olahraga yang sering dijuluki guru “galak” yang
membuat siswa tegang dan stress pada saat melakukan pendidikan jasmani dan
olahraga.

Kondisi pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga yang


menyebabkan siswa mengalami stress, akan memberikan dampak negatif. Siswa
tidak menyenangi mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Berpengaruh
buruk terhadap fungsi otak yang berkaitan dengan kecerdasan dan kreativitas siswa.
Pembelajaran yang stress akan menyebabkan menurunnya jumlah neurotransmitter,
pertumbuhan dendrit dan akson serta terganggunya pembentukan reseptor di otak
sehingga menyebabkan kecerdasan kreativitas siswa menurun. (Bekinschtein,
2008).

Neurotransmiter yang terdapat di otak maupun saraf berfungsi untuk membawa


informasi yang didapat dari lingkungan luar ke otak kiri dan otak kanan. Informasi
ini tersimpan dan merupakan proses terbentuknya Long Term Memory pada siswa.
Kemampuan Long Term Memory sangat diperlukan agar siswa dapat berprestasi.
Bekinschentein, 2008: Olahraga dapat meningkatkan kecerdasan oleh karena
terjadinya peningkatan kecerdasan oleh karena terjadinya peningkatan
neurotransmiter (Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) adalah protein
khusus yang akan menstimulasi pertumbuhan dendrit dan akson. Kedua komponen
tersebut merupakan jembatan penghantar informasi dari satu sel otak ke sel otak
lainnya (Edmunds, Intoumanis dan Duda, 2007; Bekinschtein, 2008).

Olahraga juga dapat meningkatkan reseptor di otak yang berperan menangkap


informasi yang dibawa dari satu sel otak ke sel otak lain. Jika proses pembelajaran
dalam suasana stress yang mengakibatkan produksi adrenalin meningkat akan
menyebabkan gangguan pembentukan neurotransmiter, denrit dan akson serta
reseptor. Teori itulah yang dapat menjelaskan anak yang relatif jarang berolahraga
tingkat kecerdasan dan kreativitasnya lebih rendah dari siswa yang berolahraga
teratur.

Berkaitan dengan kondisi pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga yang


belum optimal di Indonesia akan menimbulkan kekhawatiran generasi penerus
bangsa tidak memiliki kecerdasan dan kreativitas yang optimal Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang biomolekuler telah
dapat menjelaskan betapa pentingnya aktivitas fisik misalnya: Pendidikan Jasmani
dan olahraga untuk tumbuh-kembang anak sehingga memiliki tingkat kecerdasan
dan dari hasil pengamatan sementara kreativitas tinggi kondisi pelaksanaan
pendidikan jasmani dan olahraga di berbagai sekolah di Indonesia belum optimal
menerapkan faal olahraga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan
olahraga.

• Kondisi Pelaksanaan Pendidikan Jasmani dan Olahraga pada Siswa Adaptif


di Indonesia

Faktor yang mempengaruhi kondisi pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga


pada siswa adaptif di Indonesia

1. Kualitas dan profesionalitas guru penjas adaptif.


2. Kondisi lingkungan di sekolah luar biasa dan kualitas kebugaran siswa
sekolah luar biasa.
3. Kualitas kebugaran siswa sekolah luar biasa.
• Kualitas dan Profesionalitas Guru Penjas Adaptif

Para siswa cacat hendaknya diberikan berbagai macam olahraga dan permainan
dengan berbagai metode sehingga tidak membosankan, pemberian layanan dan
kesempatan untuk melakukan olahraga seluas-luasnya merupakan pengakuan
bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan siswa normal,
(Tarigan, 2000). Kualitas guru pendidikan jasmani adaptif merupakan kunci
terhadap keberhasilan peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah.
Kualitas dan profesionalitas guru pendidikan jasmani pada Sekolah Luar Biasa
ternyata jauh lebih parah, bila dibandingkan dengan sekolah reguler. Hasil
penelitian pada tahun 2000 oleh (Tarigan, 2000) menunjukkan bahwa 95% guru
pendidikan jasmani adaptif yang mengajar di sekolah luar biasa bukan lulusan dari
jurusan olahraga atau pendidikan jasmani.

Hasil penelitian lain mengenai kemampuan dan profesionalitas ternyata masih


banyak kelemahan dan kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran antara
lain:

1. Kesulitan dalam memahami materi pelajaran.


2. Kurangnya memahami kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga.
3. Tidak memiliki keterampilan dalam bidang olahraga.
4. Kurang terampil dalam menggunakan metode pembelajaran.
5. Kurang paham dalam melakukan evaluasi.
6. Tidak memiliki sumber dan buku ajar yang representatif.

Sebagai dampak lemahnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru


profesional, ada kecenderungan bahwa pembelajaran pendidikan jasmani tidak
pernah memenuhi kebutuhan siswa cacat akan gerak, sehingga untuk meningkatkan
kesehatan dan kebugaran tentu sangat sulit (Tarigan, 2003).

• Kondisi Lingkungan di Sekolah Luar Biasa

Beberapa SLB yang terdapat di Kota Bandung dan sekitarnya menunjukkan bahwa
secara umum lahan sekolah yang sempit, serta sarana dan prasarana olahraga yang
minim, sehingga tidak memungkinkan terlaksananya proses belajar mengajar
pendidikan jasmani dan olahraga dengan baik. Selain itu ada juga yang
menggunakan halaman rumah yang dijadikan sekolah sebagai tempat melakukan
pendidikan jasmani dan olahraga. Halaman tersebut tidak ditumbuhi rumput
sehingga berdebu dan hal ini tentunya tidak layak dijadikan tempat berolahraga
karena debu tersebut akan mengganggu kesehatan anak-anak cacat. Pada sisi lain,
para siswa terlihat cenderung tidak dapat melakukan aktivitas secara leluasa atau
tidak dapat bergerak bebas, karena ruang geraknya memang cenderung dibatasi
untuk memudahkan pengawasan sehingga lebih banyak siswa terlihat pasif dan
berdiam diri. Kenyataannya pengadaan guru yang terkesan “asal ada” tersebut,
tidak mampu mengelola proses pembelajaran apalagi membina dan meningkatkan
kesehatan serta kebugaran jasmani siswa sesuai dengan tujuan penjas di sekolah
luar biasa (Taringan, 2003).

• Kualitas Kebugaran Siswa Sekolah Luar Biasa

Diketahui keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki SLB serta kondisi
lingkungan yang tidak kondusif menyebabkan keterbatasan gerak bagi mereka.
Selain itu komponen fisik lain juga terpengaruh akibat keterbatasan gerak tersebut
antara lain:

1. Kekuatan otot
2. Kelentukan
3. Daya tahan otot
4. Waktu reaksi
5. Keseimbangan juga rendah

Winnick (1990) mengemukakan bahwa kebugaran jasmani para penyandang tuna


netra biasanya di bawah orang normal, yang disebabkan berkurangnya kesempatan
dan kemauan untuk bergerak. (Winnick, 1990) dan (Powers & Howley, 2001)
menyatakan bahwa kurangnya aktivitas fisik menyebabkan tingkat kebugaran
jasmani yang rendah.

• Penyebab kurangnya aktivitas gerak pada siswa penyandang cacat

Sikap over protektif dari keluarga, termasuk:

1. Sering merasa kasihan


2. Tidak acuh
3. Lingkungan yang kurang mendukung
4. Membatasi ruang lingkup gerak fisik
Untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani para siswa (Tarigan, 2003)
Kualitas proses pembelajaran Pendidikan jasmani adaptif di sekolah luar biasa perlu
ditingkatkan melalui peningkatan kualifikasi, kualitas dan kompetensi guru penjas
adaptif, serta perlu ditunjang peningkatan sarana dan peralatan olahraga yang
memadai, sehingga tujuan pendidikan jasmani yang antara lain meningkatkan.
Kesehatan dan kebugaran jasmani para siswa dapat tercapai secara optimal.

Jurnal/Artikel: Meneliti Basis Penelitian dari Inisiatif Pendidikan Reguler:


Studi Kemanjuran dan Model Lingkungan Belajar Adaptif

• Abstrak

Dua badan penelitian yang digunakan untuk mendukung Inisiatif Pendidikan


Reguler adalah:

(a) Literatur tentang kemanjuran pendidikan khusus, dan

(b) Studi yang menguji Model Lingkungan Pembelajaran

Adaptif (ALEM), sebuah program untuk mendidik anak-anak cacat di kelas


pendidikan reguler yang sering dikutip sebagai contoh praktik yang efektif.

• Pendahuluan

Wang dan rekan-rekannya serta yang lainnya telah menunjuk ALEM sebagai
contoh bagaimana pendidikan umum dapat berhasil memimpin dalam mendidik
anak-anak cacat tanpa mengeluarkan mereka dari ruang kelas pendidikan umum
untuk layanan pendidikan khusus (Biklen & Zollers, 1986; Reynolds et al ., 1987;
Wang & Birch, 1984a, 1984b; Wang, Peverly, & Randolph, 1984; Wang &
Walberg, 1983).

• Masalah dengan studi efikasi

Ada beberapa alasan mengapa tidak tepat untuk menggunakan literatur kemanjuran
sebagai dasar untuk menganjurkan penempatan layanan umum daripada layanan
khusus untuk siswa cacat ringan. Masalah dengan studi kemanjuran jatuh ke dalam
dua kategori.
1. Pertama: ada banyak alasan untuk mempertanyakan validitas
penelitian.
2. Kedua: bahkan jika hasilnya diterima pada nilai nominal, mereka
jauh dari mendukung model layanan yang kurang intensif daripada
model layanan yang lebih intensif.

"Untuk sebagian besar siswa dengan cacat akademik ringan, penempatan terbaik
adalah di kelas reguler menggunakan instruksi individual atau di kelas reguler yang
dilengkapi dengan dukungan sumber daya yang dirancang dengan baik" Madden
dan Slavin (1983).

• Masalah Umum dalam Pelaporan Penelitian ALEM

Artikel ALEM memberikan informasi terbatas tentang karakteristik program dan


karakteristik mata pelajaran. Misalnya, kita tahu dari membaca studi ini bahwa
ALEM terutama terdiri dari:

1. Instruksi dalam pengaturan pendidikan umum secara penuh waktu.


2. Dukungan dan layanan dari spesialis yang diberikan dalam lingkungan
pendidikan umum.
3. Komponen program utama yang terdiri dari pembelajaran preskriptif
yang sangat terstruktur.
4. Komponen pembelajaran utama lainnya yang "lebih terbuka,
eksploratif"
5. Rencana pendidikan yang dikembangkan secara individual untuk
mengakomodasi kekuatan dan kebutuhan siswa.
6. Fleksibilitas dalam mengatur aspek-aspek; lingkungan belajar, seperti
kelompok instruksional dan sumber daya kurikuler dan staf. Siswa
pendidikan luar biasa didistribusikan di antara ruang kelas ALEM, baik
dari segi jumlah maupun kategori.
• Masalah Terkait Studi ALEM Khusus

Terdapat perbedaan yang signifikan pada semua variabel proses kelas antara ruang
kelas ALEM pagi yang berisi siswa pendidikan umum dan khusus dan kelas
pendidikan umum non-ALEM pagi yang hanya berisi siswa pendidikan umum
(karena siswa pendidikan khusus berada di ruang sumber). Pengamatan perilaku
tambahan (waktu mengerjakan kegiatan yang diarahkan guru, waktu bekerja secara
mandiri, dan waktu mengerjakan tugas) menunjukkan peningkatan yang signifikan
selama tahun ajaran untuk siswa pendidikan luar biasa ALEM di lebih banyak kasus
di pagi dan sore hari daripada di sekolah.

• Kesimpulan Tentang Studi ALEM

Pertama, ALEM disebut-sebut sebagai model prototipikal tentang bagaimana siswa


yang cacat ringan (dan beberapa bahkan termasuk cacat sedang) harus dididik.
Ketika kebijakan yang berpotensi mempengaruhi sejumlah besar anak
dipertaruhkan, kami yakin bukti yang mendukung kebijakan tersebut harus diteliti
dengan sangat hati-hati. Kedua, dalam mengevaluasi penelitian berbasis lapangan,
seseorang dapat memaafkan beberapa ancaman terhadap validitas, terutama jika
ada banyak penelitian dalam korpus yang dinilai.

Anda mungkin juga menyukai