Ayu Aulia Rahayu - 2008957 - PJKR D20 - Tugas13
Ayu Aulia Rahayu - 2008957 - PJKR D20 - Tugas13
NIM: 2008957
RESUME
Kelompok 19
1. Pengetahuan
2. Kerja sama
3. Penalaran
4. Emosional
5. Sikap Sportif
6. Menghargai Perbedaan
7. Saling Menolong
8. Keterampilan
9. Kebugaran Jasmani
10. Inteligensia
Apabila dikaitkan dengan pembinaan sumber daya manusia pada masa yang akan
datang penjas di sekolah merupakan investasi jangka panjang. Oleh karenanya
setiap guru atau insan olahraga yang terlibat di dalam proses pembelajaran penjas
harus profesional dan memiliki sifat kesabaran, keuletan, penuh kasih sayang, dan
rela berkorban waktu dan energi. Pandangan keliru dari kepala sekolah dan guru
lainnya bahwa guru olahraga bertanggung jawab terhadap setiap keributan atau
permasalahan siswa, yang memberi kesan merendahkan figur guru. Pemahaman
siswa tentang pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga dalam upaya
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masih rendah dikarenakan masih
merasa terpaksa oleh tuntutan kurikulum. Pelaksanaan pada siang hari di bawah
sinar terik matahari dapat membuat kulit siswa menjadi hitam.
Berkaitan dengan hal itu, seyogianya guru pendidikan jasmani menekankan betapa
pentingnya keikutsertaan siswa dalam berolahraga untuk membina kebiasaan hidup
aktif selama hidupnya dan untuk tujuan kesehatan yang lebih sempurna
(Karteroliotis, 2008; Lonsdale, Hodge, dan Rose, 2008). Dalam kenyataannya
ditemukan kesulitan untuk meningkatkan motivasi siswa agar tetap hidup sehat. Hal
ini diperparah lagi oleh sikap guru olahraga yang sering dijuluki guru “galak” yang
membuat siswa tegang dan stress pada saat melakukan pendidikan jasmani dan
olahraga.
Para siswa cacat hendaknya diberikan berbagai macam olahraga dan permainan
dengan berbagai metode sehingga tidak membosankan, pemberian layanan dan
kesempatan untuk melakukan olahraga seluas-luasnya merupakan pengakuan
bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan siswa normal,
(Tarigan, 2000). Kualitas guru pendidikan jasmani adaptif merupakan kunci
terhadap keberhasilan peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah.
Kualitas dan profesionalitas guru pendidikan jasmani pada Sekolah Luar Biasa
ternyata jauh lebih parah, bila dibandingkan dengan sekolah reguler. Hasil
penelitian pada tahun 2000 oleh (Tarigan, 2000) menunjukkan bahwa 95% guru
pendidikan jasmani adaptif yang mengajar di sekolah luar biasa bukan lulusan dari
jurusan olahraga atau pendidikan jasmani.
Beberapa SLB yang terdapat di Kota Bandung dan sekitarnya menunjukkan bahwa
secara umum lahan sekolah yang sempit, serta sarana dan prasarana olahraga yang
minim, sehingga tidak memungkinkan terlaksananya proses belajar mengajar
pendidikan jasmani dan olahraga dengan baik. Selain itu ada juga yang
menggunakan halaman rumah yang dijadikan sekolah sebagai tempat melakukan
pendidikan jasmani dan olahraga. Halaman tersebut tidak ditumbuhi rumput
sehingga berdebu dan hal ini tentunya tidak layak dijadikan tempat berolahraga
karena debu tersebut akan mengganggu kesehatan anak-anak cacat. Pada sisi lain,
para siswa terlihat cenderung tidak dapat melakukan aktivitas secara leluasa atau
tidak dapat bergerak bebas, karena ruang geraknya memang cenderung dibatasi
untuk memudahkan pengawasan sehingga lebih banyak siswa terlihat pasif dan
berdiam diri. Kenyataannya pengadaan guru yang terkesan “asal ada” tersebut,
tidak mampu mengelola proses pembelajaran apalagi membina dan meningkatkan
kesehatan serta kebugaran jasmani siswa sesuai dengan tujuan penjas di sekolah
luar biasa (Taringan, 2003).
Diketahui keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki SLB serta kondisi
lingkungan yang tidak kondusif menyebabkan keterbatasan gerak bagi mereka.
Selain itu komponen fisik lain juga terpengaruh akibat keterbatasan gerak tersebut
antara lain:
1. Kekuatan otot
2. Kelentukan
3. Daya tahan otot
4. Waktu reaksi
5. Keseimbangan juga rendah
• Abstrak
• Pendahuluan
Wang dan rekan-rekannya serta yang lainnya telah menunjuk ALEM sebagai
contoh bagaimana pendidikan umum dapat berhasil memimpin dalam mendidik
anak-anak cacat tanpa mengeluarkan mereka dari ruang kelas pendidikan umum
untuk layanan pendidikan khusus (Biklen & Zollers, 1986; Reynolds et al ., 1987;
Wang & Birch, 1984a, 1984b; Wang, Peverly, & Randolph, 1984; Wang &
Walberg, 1983).
Ada beberapa alasan mengapa tidak tepat untuk menggunakan literatur kemanjuran
sebagai dasar untuk menganjurkan penempatan layanan umum daripada layanan
khusus untuk siswa cacat ringan. Masalah dengan studi kemanjuran jatuh ke dalam
dua kategori.
1. Pertama: ada banyak alasan untuk mempertanyakan validitas
penelitian.
2. Kedua: bahkan jika hasilnya diterima pada nilai nominal, mereka
jauh dari mendukung model layanan yang kurang intensif daripada
model layanan yang lebih intensif.
"Untuk sebagian besar siswa dengan cacat akademik ringan, penempatan terbaik
adalah di kelas reguler menggunakan instruksi individual atau di kelas reguler yang
dilengkapi dengan dukungan sumber daya yang dirancang dengan baik" Madden
dan Slavin (1983).
Terdapat perbedaan yang signifikan pada semua variabel proses kelas antara ruang
kelas ALEM pagi yang berisi siswa pendidikan umum dan khusus dan kelas
pendidikan umum non-ALEM pagi yang hanya berisi siswa pendidikan umum
(karena siswa pendidikan khusus berada di ruang sumber). Pengamatan perilaku
tambahan (waktu mengerjakan kegiatan yang diarahkan guru, waktu bekerja secara
mandiri, dan waktu mengerjakan tugas) menunjukkan peningkatan yang signifikan
selama tahun ajaran untuk siswa pendidikan luar biasa ALEM di lebih banyak kasus
di pagi dan sore hari daripada di sekolah.