Anda di halaman 1dari 3

Percepatan Penurunan Masalah AKI, AKB dan Gizi

Buruk di Bantul, Dinkes Undang berbagai


StakeHolder di Bantul
 Selasa Pon, 25 September 2018 08:14 WIB 2206

salah satu kelompok saat melakukan Forum Group Discussion (FGD) usai Workshop Terpadu
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Balita Gizi Buruk.

Bantul, Dinkes-Kematian Ibu dan Anak serta Gizi buruk menjadi perhatian
Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul. Pemerintah Daerah dalam termasuk Dinas
Kesehatan (Dinkes) yang menjadi garda terbesar penanganan kesehatan di
Kabupaten Bantul terus berupaya menurunkan angka kematian ibu (AKI), angka
kematian bayi (AKB) dan jumlah gizi buruk. 

“Dimana ketiga elemen tersebut menjadi Indikator Kinerja Utama Dinkes Kabupaten
Bantul,” ungkap drg Maya Sintowati Pandji MM Kepala Dinkes Kabupaten Bantul
saat membuka Workshop Terpadu Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Balita Gizi Buruk pada Rabu (19/9).

Dalam penanganan AKI, AKB maupun Gizi Buruk di Bantul, Dinkes beserta
Puskesmas telah melakukan berbagai upaya kesehatan masyarakat dan perorangan
yang tak hanya berfokus pada penerima manfaat/langsung pada orang yang
bermasalah namun juga hulunya.

“Kami juga tak hanya menyasar Ibu Hamil, Ibu Menyusui namun juga Remaja dan
Pengasuh Bayi/Balita,” jelas drg Maya.

Namun dalam pelaksanaanya elemen Dinkes maupun Puskesmas perlu dukungan


serta peran aktif stakeholder yang lain agar proses percepatan pencegahan AKI,
AKB serta intervensi gizi dapat dilakukan.

“Masalah AKI, AKB serta gizi buruk bukan hanya tanggung jawab sector kesehatan
saja. Beberapa upaya sensitif (70%) merupakan sumbangsih dari lintas sektor
terkait,” ujar drg Maya.

Olehkarena itu Dinkes Kabupaten Bantul dalam hal ini Seksi Kesehatan Keluarga
dan Gizi (Kesgaa&Gizi) menyelenggarakan Workshop yang mengundang berbagai
stakeholder baik Dinas Lingkungan & Hidup, Dinas Pertanian & Perikanan,
Pendamping Desa Kemendes PDTT, Kemenag, Pemda Bagian Hukum, Dikpora,
Dinas Sosial, RS Panembahan Senopati, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Bidan
Indonesia, Perguruan Tinggi yang ada di Bantul, Kepala Desa,  Komunitas Peduli
ASI di Bantul, Kepala Puskesmas, serta Nutrisionis.
dr Anugrah Wiendyasari, M.Sc. Kepala Seksi Kesga & Gizi mengungkapkan tujuan
dari kegiatan ini adalah adanya keselarasan program pembangunan kesehatan
perorangan maupun lingkungan di wilayah Kabupaten Bantul dalam rangka
penurunan AKI, AKB dan Gizi Buruk.

“Maka dari itu dalam workshop ini kami meminta peserta untuk melakukan diskusi
yang dipandu oleh Dinkes tentang upaya yang telah dilakukan dan kegiatan untuk
membuat Rencana Tindak Lanjut yang akan dilakukan sehingga diharapkan
program yang di buat dapat bersinergi satu sama lain,” ungkap dr Anugrah.

Sebagai pemantik diskusi Rencana Tindak Lanjut (RTL) Seksi Kesga & Gizi
menghadirkan narasumber Dr. Diah Ayu Puspandari Apt. M.Kes, MBA dari Pusat
Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran
UGM. Pada paparanya, ia menjelasakan bahwa potensi kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh Anak Gizi Buruk sebesar Rp 62,02 triliun pertahunnya atau sebesar
0,711% PDM Indonesia.

“AGB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan remaja berupa


gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi
serta penurunan kemampuan. Dan ini menyebabkan kerugian ekonomi dari masalah
kualitas SDM Indonesia yang kurang, “ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa AGB jika tidak diperhatikan, ketika mereka akan
masuk kedalam fase hamil maka kehamilanya akan berisiko dan ini akan menjadi
lingkaran setan yang terus berguling jika tidak diperhatikan. Seperti hasil penelitian
yang mengungkapkan bahwa Ibu hamil yang menderi-ta AGB berisiko melahirkan
bayi dalam kondisi prematur atau memiliki berat badan yang rendah (Balarajan et al.
2011). Selain itu Alderman juga menemukan bahwa kerugian ekonomi akibat berat
badan lahir rendah (BBLR) (kurang dari 2,5 kg) sebesar US$580 per anak. Bayi
yang lahir prematur atau BBLR atau dari ibu yang men-derita AGB berisiko pula
untuk menderita AGB. Kekurangan zat besi sejak dalam kandungan memiliki efek
langsung pada indikator pematangan otak pada bayi. Bayi yang lahir dalam kondisi
kekurangan zat besi berisiko terhadap pematangan otak yang belum sempurna.
Anak-anak yang menderita AGB memiliki skor lebih rendah pada tes pemahaman
bahasa, pendengaran, dan kemampuan untuk mengikuti petunjuk (Amin et al. 2010).
INI ATURAN KEMENKES SOAL PERSALINAN
DIPUBLIKASIKAN PADA : MINGGU, 23 JULI 2017 00:00:00, DIBACA : 93.403 KALI Jakarta, 23 Juli 2017

Permenkes No. 97 Tahun 2014 Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
(Fasyankes) tidak berarti adanya larangan bidan untuk melakukan persalinan di luar Fasyankes.

Bidan justru dapat melakukan persalinan di luar Fasyankes jika Fasyankes tersebut sulit dijangkau oleh warga. Hal itu jelas
dikatakan dalam PP No. 61 Tahun 2014 pasal 16 angka 4.

''Ketentuan ini muncul dengan dilatarbelakangi adanya disparitas geografis di negara kita baik dari sisi alam maupun
transportasi yang tidak memungkinkan. Pelayanan kesehatan harus sama dilakukan di setiap daerah di Indonesia,'' jelas
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kesehatan, Sundoyo, SH., MKM, M.Hum, Minggu (23/7) dalam
klarifikasi tertulis atas pemberitaan yang dimuat disalah satu portal berita pada Rabu (19/7).

Pada media tersebut diberitakan bahwa bidan tidak mau datang ke rumah pasien karena dilarang Permenkes No. 97 Tahun
2014 dan akan mendapatkan sanksi denda. Padahal, penafsiran atas Permenkes tersebut tidak seperti itu.

Ketentuan persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan kebijakan Pemerintah dalam menjaga
kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu. Di samping adanya pengecualian pada kondisi tertentu dapat dilakukan
di luar Fasyankes.

Selain itu, pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan adanya 5 aspek dasar dalam persalinan yang merupakan bagian
dari standar Asuhan Persalinan Normal (APN), yakni, membuat keputusan klinik, asuhan sayang ibu dan sayang bayi,
pencegahan infeksi, pencatatan (rekam medis) asuhan persalinan, dan rujukan pada kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir.
Semua aspek tersebut hanya dapat dilakukan di Fasyankes.

''Ketentuan persalinan harus dilakukan di Fasyankes tidak melarang tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan dalam melakukan persalinan untuk menolong persalinan di luar Fasyankes, sehingga sejalan dengan ketentuan
Pasal 16 ayat (4) PP No. 61 Tahun 2014,'' kata Sundoyo.

Selanjutnya, tambah Sundoyo, Permenkes No. 97 Tahun 2014 tidak memiliki ketentuan sanksi apalagi sanksi pidana yang
ketentuannya hanya ada di Undang-undang dan Peraturan Daerah. Tidak dicantumkannya sanksi dalam Permenkes ini
dilatarbelakangi bahwa substansi pengaturan hanya berisi program-program kebijakan pemerintah. Tujuannya untuk
menjaga kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu.

Artinya, substansi dalam Permenkes merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah pada pelayanan
kesehatan ibu.

Dengan demikian apabila ditemukan ada Peraturan Daerah yang memberikan sanksi denda kepada tenaga kesehatan dalam
melakukan pertolongan persalinan diluar Fasyankes adalah berlebihan dan tidak sesuai dengan NSPK (Norma, Standar,
Prosedur, dan Kriteria) yang disusun oleh pemerintah, yakni PP No. 61 Tahun 2014, dan Permenkes No. 97 Tahun 2014,
jelasnya.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih
lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002,
52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.

Anda mungkin juga menyukai