Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CRUSIS

MOHAMAD RAINKURNIA
N21020022

PRODI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN AJARAN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR CRURIS

A. Pengertian
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi
jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
(Brunner & Suddart, 2000)
Fraktur cruris adalah suatu keadaan dikontinuitas jaringan struktural
pada tulang tibia dan fibula (Silvia Anderson Price, 1995)

B. Klasifikasi
Ada 2 tipe dari fraktur ceruris yaitu:
1. Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan
captula
a. Melalui kapital fraktur
b. Hanya dibawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2. Fraktur ekstra kapsuler
a. Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih
besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter
b. Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokanter terkecil.
Selain 2 tipe di atas ada lebih dari 150 klasifikasi fraktur diantaranya 5
yang utama adalah:
1. Incomplete
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang
tulang satu sisi patah yang lain biasanya hanya bengkok (green stick)
2. Complete
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan frgmen tulang biasanya berupa tempat
3. Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas melewati kulit
4. Terbuka (complete)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit dimana
potensial untuk terjadi infeksi
5. Patologis
Fraktur terjadi pada penyakit tulang (seperti kanker,
osteoforosis) dengan tak ada trauma hanya minimal.

C. Etiologi
1. Trauma langsung menyebabkan fraktur pada titik terjadinya trauma itu,
misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil maka tulang akan patah,
tepat ditempat benturan.
2. Trauma tidak langsung menyebabkan fraktur di tempat yang jatuh dari
tempat terjadinya trauma.
3. Truma akibat tarikan otot, jarang terjadi.
4. Adanya metastase kanker tulang dapat melunakkan struktur tulang dan
menyebabkan fraktur
5. Adanya penyakit primer seperti osteoporosis ( E. Oerswari, 1989 : 147 )
D. Pathway

1. Trauma
langsung kecelakaan
2. Trauma tidak
langsung jatuh

Kerusakan Fraktur/Patah Tulang Resti trauma


Integritas kulit
( actual/resti )

Resti Infeksi Kerusakan Kerusakan


jaringan Pembuluh darah

Pergeseran Spasme otot Kerusakan


fragmen tulang Pembuluh darah

Deformitas
Spasme otak Perdarahan

Gangguan
Fungsi Kerusakan
Nyeri Itematum Nyeri
Pembuluh seluruh medula
darah
Gangguan
Mobilitas
Fisik
Inflamasi Nekrosis

Proses penyembuhan tulang


E. Fase penyembuhan Tulang
1. Fase hematum
a. Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar
fraktur
b. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
a. Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
b. Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
c. Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh
darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
a. Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
b. Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
a. Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
b. Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan
garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
a. Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk
dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas

F. Tanda Dan Gejala


1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
1) Rotasi pemendekan tulang
2) Penekanan tulang
2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi

G. Komplikasi
1. Malunion: tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
2. Delayed union: proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Non union: tulang yang tidak menyambung kembali

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama
proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 :
dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan
vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin
meningkat (hemokonsentrasi) atau menrurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
5. Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres
normal setelah trauma
6. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Marlyn E.
Doenges, 2001
I. Penatalaksanaan Medis
1. Faktor Reduction
a. Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah
penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang
terhadap posisi otonomi sebelumnya.
b. Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran
insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap
fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan
paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi:
1) Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka
pendek
2) Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk
periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
a) Pembalutan (gips)
b) Eksternal Fiksasi
c) Internal Fiksasi
d) Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
a) Pembedahan debridement dan irigrasi
b) Imunisasi tetanus
c) Terapi antibiotic prophylactic
d) Immobilisasi

J. Kemungkinan diagnosa yang terjadi Post Op Fraktur Cruris


1. Nyeri berhubungan dengan spasma otot dan kerusakan sekunder terhadap
fraktur
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan gips
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit barhubungan dengan
perubahan sirkulasi sekunder terhadap fraktur dengan post op sindrom
emboli atau infeksi
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya
pertahanan primer kerusakan kulit, trauma jaringan
K. Intervensi Keperawatan/ Penetalaksanaan Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan spasma otot dan kerusakan sekunder terhadap
fraktur
a. Tujuan
Bebas nyeri, ekspresi wajah rileks, tidak merintih.
b. Intervensi
1) Pertahankan tirah baring sampai fraktur berkurang
R/ Nyeri dan spasma otot dikontrol oleh imobilisasi
2) Pertahankan fraksi yang diprogramkan
R/ Mengobilisasikan fraktur dan mengurangi nyeri
3) Pantau TD, nadi, respirasi, intensitas nyeri, tingkat kesadaran tiap 4
jam
R/ Untuk mengenal indikasi kemajuan atau penyimpangan dari
hasil yang diharapkan
4) Berikan obat analgesik dan evaluasi keefektifannya
R/ Anal gesik mengurangi imbang nyeri
5) Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman
R/ Posisi yang nyaman berfungsi untuk relaksasi

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan gips


a. Tujuan
Mendemontrasikan tidak adanya komplikasi otot dengan
kakauan sendi, BAB konsistensi lunak.
b. Intervensi
1) Pantau keadaan umum tiap 8 jam
R/ mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan
2) Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cedera atau
pengobatan dan perhatian persepsi klien terhadap imobilisasi
instruksikan
R/ klien dibatasi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual
memerlukan informasi atau intervensi untuk meningkatkan
kesehatan
3) Klien dalam rentan gerak, klien aktif dalam ekstermitas
yang tidak sakit
R/ meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk
meningkatan tonus otot, mempertahankan gerak sendi mencegah
kontraktur dan resorobsi kalsium yang tidak digunakan
4) Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan
batuk atau nafas dalam
R/ mencegah onsiden komplikasi kulit atau pernafasan
5) Bantu perawatan diri
R/ meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan diri
langsung
6) Awasi TD saat melakukan aktivitas perhatikan keluhan
pusing.
R/ hipotensi postural merupakan masalah yang umum mengenai
tirah baring yang lama.

3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit barhubungan dengan


perubahan sirkulasi sekunder terhadap fraktur dengan post op sindrom
emboli atau infeksi
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka benda asing, perdarahan, perubahan
warna
R/ memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang
disebabkan oleh fraksi
b. Masase kulit penonjolan tulang
R/ menurunkan tekanan pada area yang sama dan menurunkan resiko
kerusakan kulit
c. Ubah posisi tipa 2 jam
R/ meminimalkan kerusakan kulit
d. Observasi area yang terkena
R/ tekanan dapat mengakibatkan ulserasi nekrosis dan kelumpuhan
syaraf

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya


pertahanan primer kerusakan kulit, trauma jaringan
a. Tujuan
Mencapai penyembuhan sesuai dengan waktu bebas drainase,
porulen, uritema dan demam
b. Intervensi
1) Infeksi kulit adanya iritasi robekan kontinuitas
R/ deteksi tanda mulianya peradangan
2) Berikan perawatan kulit
R/ mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi
3) Kaji tonus otot reflek tendon dan kemampuan untuk bicara
R/ kekuatan otot sepasme tonik otot rahang, difagia menunjukkan
osteomelitis
4) Selidiki nyeri tiba – tiba keterbatasan gerak odema lokal
dan eritema extrimitas yang cedera.
R/ Mengindikasikan terjadinya osteomilitas
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M.1993 Medical Surgical Nursing W.B Sainders Company.


Philadelpia

Doenges, Marilyn E 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 Made Kariasa,


Nimade Sumarwati Editor Monicaester, Yasmin Asih, EGC: Jakarta

E. Oerswari .1989. Bedah dan Perawatannya. PT Gramedia: Jakarta

Brunner dan Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. EGC: Jakarta

Kwalak, Welsh, dan Mayer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Price, Silvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis proses-proses


pengkajian. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai