Anda di halaman 1dari 18

ANALISA VARIABILITAS IKLIM DAN MUSIM INDONESIA

Variabilitas dan Perubahan Iklim

Beberapa Fenomena Cuaca/Iklim Sebagai Pemicu


Curah Hujan di Wilayah Indonesia

Pertemuan ke-6
Oleh :
Dr.Yosafat Donni Haryanto,SP,M.Si
FAKTOR PENGENDALI VARIABILITAS HUJAN
DI INDONESIA

“Proses terjadinya cuaca dan iklim” merupakan kombinasi dari


variabel-variabel atmosfer yang sama yang disebut unsur-unsur
iklim (radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan,
presiitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin).

Unsur-unsur ini “berbeda” dari waktu ke waktu dan dari tempat ke


tempat yang disebabkan oleh adanya “Pengendali Iklim”.

Pengendali iklim atau faktor yang dominan menentukan perbedaan


iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain menurut
“Lakitan (2002)” adalah :

(1) Posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang),


(2) Keberadaan lautan atau permukaan airnya,
(3) Pola arah angin,
(4) Rupa permukaan daratan bumi, dan
(5) Kerapatan dan jenis vegetasi.
Factors of Global, Regional, and local ‘has closed
reletionships’ with the Climate in Indonesia

1. Equator
 Monsun
2. Asia & Australia Continents
 ENSO
3. Pasifik & Hindia Oceans
 Indian Ocean
4. Large and Small Islands, Dipole Mode
among the sea
5. Position of Islands  Land- & sea-
breeze
6. Bays, straits
 Regional
7. Topografi, land cover, siklus circulation
hidrologi
 Lokal circulation
Berbagai Referensi Variabilitas Iklim dan Musim
 “Indonesia” merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa
serta dikelilingi oleh dua samudera dan dua benua. Posisi ini menjadikan
Indonesia sebagai daerah pertemuan ”sirkulasi meridional” (Utara-
Selatan) dikenal sebagai ”Sirkulasi Hadley” dan “sirkulasi zonal”
(Timur-Barat) dikenal sebagai ”Sirkulasi Walker”, dua sirkulasi yang
sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia.
 Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o LU ke 23.5o LS
sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya “aktivitas monsun” yang
juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim.
 Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan,
karena Indonesia merupakan “negara kepulauan dengan bentuk
topografi sangat beragam” menyebabkan sistem golakan lokal cukup
dominan. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap
keragaman iklim di Indonesia ialah “gangguan siklon tropis”.
 Semua aktivitas dan sistem ini “berlangsung secara bersamaan”
sepanjang tahun, akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing
aktivitas atau sistem tersebut “tidak sama dan dapat berubah dari
tahun ke tahun” (Boer, 2003).
 Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan salah satu “penyimpangan
iklim”, menyebabkan penurunan dan peningkatan curah hujan untuk
beberapa daerah di Indonesia. Menurut Boer (2003) sejak tahun 1844
Indonesia mengalami kejadian kekeringan (curah hujan di bawah normal)
tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kali kejadian tersebut hanya 6 kali
kejadiannya “tidak bersamaan” dengan kejadian fenomena El-Nino. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman hujan di Indonesia “sangat dipengaruhi
oleh fenomena ini”.
 Menurut penelitian yang diungkapkan oleh Irianto (2003) bahwa dampak
dari fenomena El-Nino menyebabkan “penurunan curah hujan musim
kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan
lebih lambat”. Pada saat fenomena El-Nino terjadi, curah hujan untuk
wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami “penurunan jumlah
hujan mencapai 60% dari rata-ratanya”.
 Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina berlangsung
menurut Irianto, dkk (2000) di Pulau Jawa curah hujan meningkat sampai
140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya
mencapai 120%. Boer (2003) mengatakan bahwa La-Nina berpengaruh
nyata terhadap “peningkatan jumlah curah hujan pada musim kemarau
dari pada jumlah hujan pada saat musim hujan”.
 Liong, dkk (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat
untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SST pada
Niño 3.4, periode 1961 - 2001 wilayah “Maritime Continent bagian
timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 sedangkan wilayah
NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon) hanya sekitar –0,3”.
 Wilayah Maritime Continent bagian barat dan SEAM (South East Asia
Monsoon) masih “belum ada kesimpulan yang jelas” karena ada yang
berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 97/98 tetapi
berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 82/83 demikian juga untuk Medan
berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun
82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat
lemah.
 Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatera
Selatan “pengaruh IOD diperhitungkan”. Pada umumnya ketika terjadi
El Niño, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya “saling
memperkuat”. Namun, ada kasus ketika “bukan tahun El Niño”
Indonesia kering, ternyata ketika itu “DMI positif”, jadi tahun Indonesia
kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari “pengaruh IOD”.
 Menurut Hendon dalam Aldrian dan Susanto (2003) variabilitas SST
di Niño 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh
Indonesia, sedangkan variabilitas SST di Samudera Hindia hanya
mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.
 Pengaruh fenomena El-Nino terhadap hujan di Indonesia sangat
beragam. Pengaruh sangat kuat pada daerah yang berpola hujan
moonson, lemah pada daerah berpola hujan equatorial dan tidak jelas pada
daerah dengan pola hujan lokal (Tjasyono, 1997 dalam Irianto, dkk.,
2000), sedangkan IOD hanya berpengaruh jelas pada daerah berpola
hujan monson (Nugroho and Yatini, 2007).
 Selain akibat pengaruh fluktuasi suhu permukaan laut di samudera
pasifik dan Samudera Hindia (ENSO dan IOD), fenomena fase aktif osilasi
intra-musiman yg dikenal sebagai MJO (Madden-Julian Oscillation) juga
mempengaruhi variabilitas hujan di Indonesia.
 MJO adalah osilasi/gelombang tekanan (pola tekanan tinggi-tekanan
rendah) dengan periode lebih kurang 48 hari yang menjalar dari barat ke
timur. Biasanya berawal di pantai timur Afrika kemudian menjalar ke timur
dan menghilang di bagian tengah Pasifik.
 Menurut Geerts and Wheeler (1998) MJO akan menyebabkan
terjadinya “variasi” pada pola angin, suhu permukaan laut (SPL), awan
dan hujan. Fase aktif MJO bila bersamaan waktunya dengan dengan
“musim hujan” (Desember, Januari dan Februari) atau “angin monsun
barat” dapat menyebabkan terjadinya “peningkatan curah hujan
sekitar 200%”.
Climate Driving Force di Indonesia
Asia Monsoon
1

Indian Ocean
Dipole 2

3
El Nino

Australia Monsoon

1988 La Nina
2
1998
3 2010
2016
Pengaruh ENSO pada pusat pertumbuhan awan
Non El-Nino

Africa Indian Ocean South America


Indonesia Pacific Ocean
El-Nino Southern Oscillation

South
Africa Indian Ocean Indonesia Pacific Ocean America
Gambar menunjukkan pergerakan pola hujan serta anomalinya
pada daerah-daerah yang dilewati oleh MJO
Variasi dalam Musim (MJO)
Approximate 1 month sequence Tropopause

SLP
Monsoon “break”

TC formation

Trade Wind surge

Monsoon westerlies

ACTIVE “BURST” OF INDONESIAN-AUSTRALIAN MONSOON

Westerly Wind Burst


Dampak MJO pada CH (mm/day) Periode MJJ
Kondisi MJO (Mei-Juni 2016)

Tgl akses: 20160611 Tgl akses: 20160620

• MJO di akhir Bulan Mei 2016 berada di S. Pasifik dan sedang Tgl akses: 20160620
mengalami fase disipasi (5,6,7).
• Awal Juni MJO mulai terbentuk di Perairan Timur Afrika (S. Hindia
Barat/Fase 8 dan 1).
• Kondisi 11 - 19 Juni 2016, MJO berada di fase 2 dan menuju fase 3
dengan intensitas kuat.
• Kondisi saat ini (20 Juni 2016), MJO sudah berada fase 4 (BMI).
• Menarik untuk dikaji, bagaimana MJO pada kondisi La Nina dan IOD
negatif pada saat Monsun Australia? (apakah MJO akan lebih kuat dari
biasanya?)
Tugas
Analisis dan prediksilah dasarian ke dasarian
berikutnya yang berbeda tahun dan bulannya, di
wilayah Indonesia:
a. Angin monsun (lapisan 850 mb)
b. OLR
c. SST
d. Angin lapisan 925 mb
e.Tekanan udara
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai