Anda di halaman 1dari 4

PRO DAN KONTRA STRATEGI POLITIK PRANCIS DALAM INTEGRASI EROPA

Negara-negara yang tergabung di dalam Eropa, memiliki ciri khas masing-masing yang
mana salah satunya negara Prancis sebagai salah satu negara terkuat dalam kawasan Eropa.
Karena wilayahnya yang luas dan strategis, membuat Prancis menjadi salah atu negara terkuat di
kawasan Eropa. Tidak hanya itu, Prancis telah melakukan pola-pola diplomasi yang aktif dan
berperan serta dalam proses integrasi Eropa sejak tahun 1945. Proses ini dilakukan oleh negara
Prancis dengan tiga tujuan utama, yakni ingin berusaha untuk mengakhiri konflik yang ada
selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II, keinginan untuk menciptakan dan meningkatkan
ekonomi Eropi yang diikuti dengan integrasi sosial politik yang dapat berujung pada perdamaian,
serta meningkatkan stabilitas keamanan saat situasi Perang Dingin. Prancis semakin kuat
memberikan pengaruh selama proses integrasi Eropa karena dalam pelaksanaan politiknya
Prancis mengutamakan sikap solidarisme yang terus ditingkatkan. Hal ini menjadi suatu gerakan
yang mendominasi karena ambisi kuat yang dimiliki oleh pemerintah dan elit politik Prancis
yang berkeinginan untuk memajukan integrasi Eropa. Jean Monnet, merupakan sosok yang
menggaskan wacana integrasi, dan bersamaan dengan itu peran sentral Prancis bergerak dan
berperan aktif didalam wacana tersebut. Menghasilkan dorongan untuk membawa kerja sama
antara negara Eropa menjadi satu kesatuan. Peran aktif Prancis dalam integrasi Eropa ini, dengan
semangat solidaritas pada realitanya tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Prancis itu sendiri.
Pada proses integrasi ini, dukungan rakyat Prancis semakin melemah. Hal ini karena pemerintah
dan elit politik Prancis menunjukan kosmopolitanisme, terlihat dalam sikapnya yang sangat pro-
European, dimana sangat solidaritas dan mendukung penuh segala kesepakatan dan perjanjian
yang dibuat dan ingin dicapai didalam kerangka Uni Eropa itu sendiri. Ketika kecenderungan ini
meningkat, rakyat Prancis lebih condong kepada sikap nasionalis. Sehingga, pada masa ini
terdapat dua elemen yang sangat berlawanan antara kosmopolitanisme dan nasionalisme
(Susanto, 2009). Kosmopolitanisme yang condong kepada dorongan serta dukungan untuk
menciptakan solidaritas negara-negara kawasan Eropa, sedangkan nasionalisme sendiri lebih
mendorong pada melemahkan proses integrasi Eropa. Dengan kedua elemen yang berseberangan
ini tumbuh beriringan, maka akan memiliki pengaruh pada proses integrasi Eropa yang ingin
dicapai. Hal ini membuat analisis atas pembahasan fenomena ini menarik dan layak untuk
dibahas lebih dalam.

Semangat kosmopolitan pertama yang ditunjukkan Prancis, adalah keinginan Prancis


untuk memperbaiki hubungan dengan Jerman. Hal ini menjadi pintu masuk dibukanya proyek
integrasi Eropa. Melalui peristiwa ini, memberikan tingkat solidaritas yang semakin menguat dan
berdampak positif pada proses integrasi, karena kedua negara ini baik Prancis maupun Jerman
merupakan negara-negara utama yang terus berperan aktif dalam proses integrasi Eropa
(Gueldry, 2001). Setelah upaya ini diraih, Prancis banyak melakukan upaya-upaya dalam prose
integrai Eropa seperti ke dalam bidang industri untuk meningkatkan ekonomi dan masih banyak
lagi. Banyak upaya-upaya yang berusaha untuk diraih, hingga sampai dititik penguatan integrasi
yang ditandai oleh perluasan yuridiksi intitusi Eropa, yang berawal hanya dalam sektor
perdagangan batu bara dan baja saja, akhirnya merambah meliputi seluruh sektor ekonomi dan
energi nuklir. Seluruh kemajuan ini dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat, hanya dalam
enam tahun sejak proses integrasi Eropa dimulai (Arter, 1993). Disisi lain, nasionalisme rakyat
Prancis juga berkembang selama integrasi Eropa yang juga mulai bermula saat proses integrasi
Eropa dimulai. Apabila kosmopolitanisme dilakukan oleh pemerintah eksekutif dan elit-elit
politik yang pro-European, maka nasionalisme ini ditunjukan oleh politisi yang berada di
parlemen bersamaan dengan dukungan rakyat Prancis. Sikap nasionalisme ini memunculkan
sentimen-sentimen eurosceptics yang mampu melemahkan proses integrasi Eropa. Hal ini karena
sentimen ini berhasil mencegah negara-negara utama di proses integrasi Eropa untuk
mengarahkan loyalitasnya ke dalam institusi Eropa dan berganti pada loyalitas terhadap negara-
negara sebagai pemegang kedaulatan. Terjadi penurunan dukungan warga negara Prancis dalam
keanggotaan negara untuk Uni Eropa.

Pro dan kontra atas sikap yang dipilih oleh elit-elit politik dan rakyat Prancis ini terjadi
pada proses ratifikasi Perjanjian Maastricht, pengadopsian Euro, penerapan persetujuan
Schengen, dan proses ratifikasi draf pembentukan konstitusi Eropa. Pada poin ratifikasi eksekutif
Prancis, nasionalisme lebih dominan karena mendapat suara terbanyak sebagai hasil setelah
dilakukaknnya voting sehingga pembentukan EDC gagal untuk dibentuk. Kemudian dalam
ratifikasi Perjanjian Maastricht, proses integrasi berhasil dan Perjanjian Maastricht tetap
dilaksanakan. Hal ini karena Presiden Francoise Mitterand mewujudkan dengan upayanya
mengadakan referendum untuk meratifikasi perjanjian karena Matterand melihat kecenderungan
nasionalisme karena adanya parlemen didalamnya dimana partai didominasi nasionalisme yang
enggan untuk mendukung. Perjanjian Maastricht ini merupakan tonggak penting dalam integrasi
Eropa karena proses integrasi ekonomi melalui single market dapat terpenuhi. Pengadopsian
Euro, nasionalisme terlihat lebih dominan dengan mayoritas partai politik di Prancis yang
menolak adanya pengadopsian Euro yang akan tetapi hal ini tetap dikalahkan oleh keputusan
para elit, yang akhirnya Euro menjadi mata uang bersama sejak 1 Januari 1999. Begitu pula
dalam persetujuan Schengen ke dalam Perjanjian Amsterdam, kosmopolitan mengambil alih
kembali sehingga integrasi Eropa semakin maju didepan. Dan terakhir, pro dan kontra dengan
dua sikap yang berbeda ini juga terjadi dalam proses ratifikasi draf konstitusi Eropa melalui
referendum pada tahun 2005. Kosmopolitanisme yang tergabung atas elit-elit politik menggagas
dan merancang draf konstitusi Eropa yang kemudian perjanjian konstitusi Eropa ditanda tangani
oleh pemerintah eksekutif Prancis pada tahun 2004. Melihat hal ini, rakyat memperlihatkan
penolakannya melalui referendum di bulan mei pada tahun 2005 yang hal ini juga diikuti oleh
parlemen. Dengan kuatnya penolakan, nasionalisme berhasil sehingga menghambat langkah
integrasi Eropa.

Atas pro dan kontra tersebut, kedua belah pihak berusaha dengan keras untuk memajukan
sekaligus menghambat integrasi Eropa. Kosmopolitanisme yang ditunjukkan oleh pemerintah
Prancis dikerahkan hingga mempengaruhi kebijakan luar negeri Prancis yang mana hal ini
dijalankan oleh pemerintah eksekutif. Kosmopolitanisme berhasil dalam memperkuat integrasi
bidang ekonomi, teknologi, lingkungan, dan energi dan selain itu terhambat karena gerakan
nasionalisme Prancis. Gerakan ini semakin berkembang dalam kalangan parlemen dan
masyarakat yang telah mampu memberikan pengaruh dalam proses integrasi, terutama dalam
bidang integrasi politik dan pertahanan keamanan. Hal ini karena dalam prose integrasi politik
tetap membutuhkan legitimasi yang berasal dari suara dan dukungan parlemen serta masyarakat
Prancis. Sikap ini juga menimbulkan kesenjangan antara negara-negara anggota lainnya yang
semakin condong pada kelememahan integrasi Eropa untuk maju. Baik kosmopolitanisme
maupun nasionalisme berhasil menjadi penguat dan menang pada bidang-bidang tertentu yang
berdampak kuat mempengaruhi proses integrasi Eropa. Karena hal ini, integrasi Eropa sampai
saat ini belum dapat dicapai hasil yang maksimal. Tentu saja hal ini karena masih adanya elemen
kuat, yakni nasionalisme yang semakin berkembang dan menghambat proses integrasi Eropa.
Sehingga, selama semangat nasionalisme masih tumbuh dan berkembang, maka integrasi Eropa,
khususnya dalam bidang politik akan masih terhambat dan sulit untuk dicapai dengan maksimal.

Daftar Pustaka

Buku:

Arter, David, 1993. The Politics of European Integration in the Twentieth Century. Vermont:
Dartmouth Publishing Company Limited.

Susanto, Joko, 2009. Putting Nationalism between Cosmopolitanism and Fundamentalism: A


Theoretical Framework. Dalam Handout Topics Kosmopolitanisme, Nasionalisme, dan
Fundamentalisme. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga.

Artikel:

Ari, Turker, 2003. The European Defence Community in the U.S. Foreign Policy Context.

Drake, Helen ed., 2005. French Relations with the European Union. London and New York:
Routledge Taylor and Francis Group. 2005.

Gueldry, Michel R., 2001. France and European Integration: Toward a Transnational Polity.
Londong: Praeger Wetport Connecticut.

Anda mungkin juga menyukai