Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS PENGGUNAAN DEBT-TO-EQUITY RATIO

SEBAGAI ATURAN PEMBATASAN PEMBEBANAN BUNGA PINJAMAN


UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN DI INDONESIA
Bobby Indra Bachriansyah
Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
bobby.bachriansyah@gmail.com
Dewi Wulansari dan Abdul Halim
Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
dewi.w@ugm.ac.id

Abstrak
Studi ini bertujuan untuk menginvestigasi alasan Pemerintah Indonesia memilih rasio
utang terhadap modal sebagai pendekatan yang digunakan dalam ketentuan thin capitalization.
menginvestigasi alasan Pemerintah Indonesia memilih DER sebagai pendekatan yang
digunakan dalam ketentuan thin capitalization. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif melalui strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik
wawancara dan analisis dokumen. Pemenuhan aspek validitas dilakukan dengan triangulasi
sumber dan metode serta member checking.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat empat motif yang menjadi alasan dalam
pemilihan DER sebagai pendekatan yang digunakan dalam ketentuan thin capitalization.
Motif peraturan perundangan merupakan alasan dominan karena memiliki keterikatan dengan
sistem hukum domestik. Tiga motif selanjutnya, yakni motif perekonomian, motif penegakan
hukum, dan motif keadilan merupakan pertimbangan sampingan dalam pembuatan kebijakan.
Ketiga motif ini merupakan alasan tak dominan karena tidak ada keterikatan secara khusus
dengan keberadaan aturan pembatasan biaya bunga. Walaupun begitu, ketiga motif tersebut
tetap memiliki andil dalam penyusunan kebijakan karena terdapat kepentingan negara pada
masing-masing motif tersebut.
Kata kunci: Aturan pembatasan bunga pinjaman, BEPS 4, thin capitalization.

Abstract
This study aims to investigate the reasons why Indonesian Government chose debt-to-equity
ratio as an approach used in the provision of thin capitalization. It employed a qualitative
approach through a case study strategy. Data were collected using using interview technique
and document analysis. Validity aspect was fulfilled through source triangulation, method
triangulation and member checking. The results of the study concluded that there were four
motives of the reason for choosing DER as an approach in the provision of thin capitalization.
The dominant reason was laws and regulations because they were connected with domestic
law system. The remaining three motives, namely economy, law enforcement, and justice were
additional considerations in making policies of loan interest restriction. These three motives
were non-dominant reasons because there was no specific connection with the rule of interest
cost restriction. Nevertheless, the three motives still played a role for policy making because
the state had interests for each of these motives.
Keyword: Interest restriction rules, BEPS 4, thin capitalization.

ABSTRAKSI
PENDAHULUAN
Interaksi perekonomian nasional dengan Pada umumnya biaya bunga atas suatu
pasar internasional menimbulkan tantangan pinjaman merupakan unsur pengurang
perpajakan internasional berupa penggerusan penghasilan kena pajak, sedangkan dividen
basis pemajakan dan penggeseran profit dan bentuk pengembalian modal yang setara
(BEPS) (OECD 2015a, 4). BEPS lahir dari dividen bukan merupakan unsur pengurang
kelemahan aturan perpajakan domestik yang penghasilan kena pajak (OECD 2015b, 15).
berlaku saat ini pada saat menghadapi Perusahaan memandang kondisi tersebut
transaksi lintas negara (OECD 2015a, 5). sebagai sebuah insentif, sehingga lebih
Dalam menghadapi tantangan perpajakan memilih sumber pendanaan untuk
internasional tersebut, negara-negara membiayai operasinya dengan utang
anggota OECD dan G20 bekerja sama untuk dibandingkan dengan modal, terutama pada
mendesain respons yang sifatnya seragam negara dengan tarif pajak yang tinggi (Blouin
(OECD 2015a, 5). dkk 2014, 3). Merujuk kepada kondisi
Keseragaman respons ini diperlukan tersebut, keputusan perusahaan untuk
untuk mengurangi kesalahpahaman dan mengutamakan utang dari pada modal
sengketa antar negara (OECD 2015b, 4). sebagai sumber pendanaan operasinya
Kerja sama OECD dan G20 diwujudkan disebut dengan thin capitalization (Taylor
dalam bentuk Base Erosion and Profit dan Richardson 2013, 13).
Shifting (BEPS) Action Project yang dimulai Terkait dengan penggerusan basis
pada tahun 2013. Tujuan dibentuknya proyek pemajakan dan penggeseran profit (BEPS)
aksi BEPS adalah menyediakan langkah- yang menggunakan biaya bunga, setidaknya
langkah yang tegas bagi pembuat kebijakan terdapat tiga skema dasar yang dapat
untuk mengembalikan kepercayaan di dalam diidentifikasi (OECD 2015b, 11), yakni:
sistem ekonomi serta memastikan setiap 1. tingkat utang pihak ketiga yang lebih
keuntungan telah dikenakan pajak di lokasi tinggi di negara dengan tarif pajak
aktivitas ekonomi dan penciptaan nilai yang tinggi;
(OECD 2015a, 4). 2. penggunaan utang afiliasi untuk
Dalam waktu dua tahun, proyek aksi ini menghasilkan biaya bunga yang
menghasilkan lima belas laporan final BEPS lebih besar dibandingkan dengan
(OECD 2015b, 3). Dari 15 laporan final biaya bunga kepada pihak ketiga;
tersebut, terdapat satu laporan yang dan
membahas mengenai penggerusan basis 3. utang pihak ketiga atau afiliasi untuk
pemajakan dengan menggunakan biaya menciptakan biaya bunga sebagai
bunga dan pembayaran setara bunga yakni pengurangan pajak penghasilan.
BEPS Action 4. Laporan ini menyebutkan Untuk mengatasi skenario BEPS
bahwa dalam perencanaan perpajakan tersebut, OECD/G20 BEPS Project Action 4
internasional, penggunaan pinjaman, baik memberikan rekomendasi penggunaan fixed
dari pihak ketiga maupun dari pihak berelasi, ratio rule sebagai pendekatan berdasarkan
mungkin adalah teknik penggeseran praktik terbaik (OECD 2015b, 11). Fixed
keuntungan yang paling sederhana (OECD ratio yang direkomendasikan BEPS Action 4
2015b, 15). adalah hasil pembagian net interest expense
(NIE) dengan pendapatan sebelum bunga,
pajak penghasilan, depresiasi dan amortisasi 2015, 1). Ketentuan ini diatur di dalam
(EBITDA). Besarnya rasio NIE-to-EBITDA Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-
ini ditentukan dalam rentang persentase 10% 169/PMK.010/2015 tanggal 9 September
sampai dengan 30%. Tujuan penggunaan 2015 tentang Penentuan Besarnya
fixed ratio rule adalah membatasi Perbandingan antara Utang dan Modal
pengurangan pajak menggunakan biaya Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan
bunga menjadi sebesar persentase tertentu Pajak Penghasilan.
terhadap laba suatu entitas (OECD 2015b, PMK-169/PMK.010/2015 mengatur
11). mengenai penggunaan DER untuk
Dengan adanya pembatasan tersebut, menentukan besar biaya pinjaman yang
pembebanan bunga secara berlebihan dapat diperbolehkan sebagai unsur pengurang
dicegah. Pembebanan bunga secara dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
berlebihan/eksesif pada umumnya dapat DER didapat dari hasil pembagian saldo rata-
diamati dari anak usaha Multi National rata utang dengan saldo rata-rata modal pada
Enterprises (MNEs) yang memiliki porsi satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
utang yang sangat tinggi sebagai sumber DER paling tinggi yang diperbolehkan dalam
pendanaan operasinya. Anak usaha ini ketentuan ini adalah sebesar 4:1.
menggunakan pembebanan bunga atas Konsekuensi dari aturan DER 4:1 adalah
pinjaman intragrup/afiliasi secara eksesif porsi biaya pinjaman yang dapat
untuk melindungi keuntungan anak usaha diperhitungkan dalam penghitungan
dari pengenaan pajak domestik (OECD penghasilan kena pajak hanya sebesar biaya
2015b, 15). Praktik seperti ini meng- pinjaman sesuai dengan DER 4:1. Dengan
akibatkan penurunan penerimaan pajak bagi kata lain, apabila DER perusahaan melebihi
Pemerintah (OECD 2015b, 15-16). 4:1, maka kelebihan porsi biaya pinjaman
Selain fixed ratio rule, OECD/G20 dari penghitungan DER 4:1 tidak dapat
BEPS Project Action 4 juga memberikan menjadi pengurang dalam penghitungan
lima ketentuan selanjutnya untuk mengatasi penghasilan kena pajak. Selain mengatur
pembebanan bunga secara eksesif. Lima mengenai penggunaan DER sebesar 4:1,
ketentuan tersebut terdiri dari: ketentuan de PMK tersebut juga mengatur perlakuan
minimis untuk mengecualikan entitas khusus terhadap sektor perbankan, lembaga
berisiko rendah, group ratio rule, ketentuan pembiayaan, asuransi dan reasuransi, sektor
carry forward dan carry back terhadap biaya pertambangan, Wajib Pajak (WP) yang
bunga yang tidak diperbolehkan; targeted seluruh penghasilannya dikenai Pajak
rules untuk mendukung ketentuan umum Penghasilan (PPh) yang bersifat Final, dan
pembatasan biaya bunga dan mengatasi sektor infrastruktur.
risiko yang spesifik; serta specific rules untuk Perbedaan ini pada dasarnya adalah
mengatasi permasalahan terkait sektor suatu kelaziman karena pada saat ini thin
perbankan dan asuransi (OECD 2015b, 12). capitalization rules yang digunakan oleh
Enam ketentuan yang dibuat oleh berbagai negara tidaklah seragam (Blouin
OECD/G20 tersebut berbeda dengan dkk 2014, 7). Deloitte Touche Tohmatsu
ketentuan yang berlaku di Indonesia. Limited (2017) menyatakan dari 43 negara
Pemerintah Indonesia menggunakan yang menjadi fokus penerapan BEPS Action
pendekatan debt-to-equity ratio (DER) 4, baru lima negara yang sudah menerapkan
sebagai thin capitalization rules yang berlaku NIE-to-EBITDA sebagai fixed ratio rule,
efektif mulai tahun 2016 (Deloitte Indonesia sedangkan 38 negara lainnya masih
menggunakan ketentuan pembatasan biaya yang mendorong untuk implementasi
bunga yang beraneka ragam. rekomendasi BEPS Action 4 sepenuhnya di
Perbedaan antara pendekatan yang Indonesia, penelitian ini akan meng-
digunakan Indonesia dalam thin investigasi pemilihan pendekatan DER
capitalization rules dengan pendekatan yang sebagai pendekatan yang digunakan dalam
direkomendasikan oleh OECD/G20 BEPS thin capitalization rules di Indonesia.
menjadi topik yang menarik untuk diteliti.
Hasil penelitian Rulman (2017) menyebut- KAJIAN PUSTAKA
kan bahwa sangat direkomendasikan bagi Teori Struktur Modal Korporasi
Indonesia untuk menerapkan fixed ratio rule Teori utama yang digunakan dalam
dengan pendekatan NIE-to-EBITDA dan penelitian ini adalah teori struktur modal
ketentuan lain di dalam rekomendasi korporasi. Teori struktur modal korporasi
OECD/G20 BEPS Project Action 4. terdiri dari teori Modigliani dan Miller 1
Selanjutnya, hasil penelitian ini juga (MM1), MM2, teori trade-off dan teori
menyebutkan bahwa interest-to-EBITDA pecking order. Keempat teori tersebut
ratio dapat disimpulkan lebih unggul menjelaskan perilaku korporasi dalam
dibandingkan dengan debt-to-equity ratio. membuat keputusan struktur permodalan
Pendekatan NIE-to-EBITDA yang terkait komposisi utang dan ekuitas.
menggunakan nilai pendapatan entitas Teori MM1 dan MM2 menjelaskan
sebagai tolok ukur dinilai lebih kuat dalam perkembangan awal penggunaan unsur
mencegah praktik perencanaan pajak yang manfaat pajak yang didapat dari biaya bunga
agresif. Hal ini berdasarkan karakteristik sebagai pengurang dalam penghitungan
pendapatan yang bisa menggambarkan penghasilan kena pajak. Selanjutnya teori
kemampuan entitas untuk melunasi utangnya trade-off melengkapi teori MM1 dan MM2
sehingga dapat juga menentukan tingkat dengan menambahkan biaya-biaya yang akan
maksimum utangnya (Rulman 2017, 49). timbul seiring dengan keputusan porsi utang
Senada dengan penelitian Rulman yang lebih besar dalam struktur modal
(2017), penelitian Jayasupana (2017) korporasi. Teori yang terakhir yakni teori
menyimpulkan bahwa PMK-169/PMK.010/ pecking order melengkapi teori yang sudah
2015 akan tidak kompatibel dengan BEPS ada dengan menambahkan adanya perilaku
Action 4. Aspek pertama yang berbeda korporasi yang lebih hati-hati dalam
adalah mengenai definisi subyek yang diatur memutuskan penggunaan utang dalam
oleh PMK-169/PMK.010/2015 hanya struktur modalnya dengan menerapkan
mencakup Wajib Pajak Badan. Oleh karena hierarki antara penggunaan laba ditahan,
itu, Bentuk Usaha Tetap (BUT) tidak terikat utang dan ekuitas dalam pendanaan
oleh ketentuan ini. Aspek kedua adalah usahanya. Keputusan komposisi utang dan
perbedaan rasio benchmark. DER tidak dapat ekuitas dalam struktur modal korporasi inilah
digunakan pada WP Badan yang modalnya yang paling mewakili dalam menjelaskan
tidak terbagi atas saham. Oleh karena itu, bagaimana fenomena thin capitalization
PMK-169 disimpulkan sebagai ketentuan dapat terjadi.
yang sifatnya ringan. Perencanaan Pajak yang Agresif
Berdasarkan kondisi yang berbeda Menggunakan Beban Bunga
antara pendekatan thin capitalization rules Sebagaimana telah diungkapkan di
Indonesia dengan yang direkomendasikan bagian awal penelitian ini, penggunaan
BEPS Action 4, serta penelitian terdahulu pinjaman, baik dari pihak ketiga maupun dari
pihak berelasi, mungkin adalah teknik ditipiskan menjadi sebagai berikut: “A
penggeseran keuntungan paling sederhana company is said to be "thinly capitalised"
yang tersedia di dunia perencanaan pajak when its equity capital is small in comparison
internasional. Karakteristik uang yang to its debt capital” (OECD 2018). Jadi dapat
mudah untuk dicairkan dan dipertukarkan disimpulkan ciri utama perusahaan yang
(fluidity and fungibility of money) modalnya ditipiskan adalah lebih kecilnya
memberikan keleluasaan korporasi untuk tingkat ekuitas dibandingkan utang dalam
mengatur tingkat utang dan ekuitas di dalam struktur permodalan usahanya.
struktur modal entitas (OECD 2015b, 15). Dalam penelitian lain, thin capitalization
Kemudahan mengatur kombinasi utang dinyatakan terkait erat dengan grup
dengan ekuitas dalam struktur modal tersebut multinasional dan penggunaan tax haven
erat kaitannya dengan sifat biaya bunga yang (Taylor dan Richardson 2013, 12). Penelitian
timbul atas pinjaman. Secara umum, biaya lain menyebutkan bahwa perusahaan-
bunga atas suatu pinjaman merupakan perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing
komponen pengurang dalam menghitung lebih cenderung menggunakan pinjaman
penghasilan kena pajak bagi pembayar bunga dibandingkan dengan perusahaan domestik
serta merupakan objek penghasilan yang (Egger dkk. 2010, 96). Dari dua penelitian
dikenakan tarif pajak yang umum bagi tersebut dapat kita tarik kesimpulan adanya
penerima pembayaran bunga. kecenderungan yang kuat bagi perusahaan
Di sisi lain, deviden dan pengembalian multinasional untuk melakukan thin
modal yang sejenisnya kurang diminati oleh capitalization. Hal ini sejalan dengan
pelaku usaha. Hal ini terjadi karena secara pernyataan OECD bahwa penggunaan beban
umum deviden tidak boleh menjadi bunga untuk menggeser keuntungan
pengurang dalam penghitungan penghasilan merupakan opsi perencanaan pajak yang
pajak bagi pembayar bunga serta merupakan sangat populer karena kemudahan
jenis penghasilan yang dikenakan tarif pajak penerapannya.
khusus bagi penerima penghasilan. Ini Perencanaan pajak agresif memiliki
merupakan kelaziman yang berlaku dalam karakter tipikal sebagai skema pajak yang
aturan perpajakan (OECDb 2015, 15). digunakan untuk mengurangi tarif pajak
Perbedaan perlakuan perpajakan antara efektif atas suatu penghasilan tertentu,
bunga dengan dividen ini mengakibatkan sehingga pajak yang dikenakan menjadi di
peningkatan preferensi pajak atas utang bawah yang seharusnya terutang (Alm 2014,
dibanding ekuitas (the general tax preference 31). Lebih lanjut, Alm menyebutkan
for debt over equity) (OECDb 2015, 20). beberapa contoh untuk membedakan antara
Dengan merujuk kepada karakteristik tax avoidance dengan tax evasion.
perpajakan yang melekat pada bunga dan Some are legal ‘‘tax avoidance’’
deviden tersebut, maka secara natural terjadi activities, such as income splitting,
fenomena pengecilan komponen ekuitas postponement of taxes, and tax
dalam komponen struktur modal, atau yang arbitrage across income that faces
populer dikenal sebagai fenomena thin different tax treatment. Others are
capitalization. illegal ‘‘tax evasion’’ actions (e.g.,
OECD tidak mendefinisikan secara underreporting incomes, sales, or
eksplisit apa yang dimaksud dengan thin wealth; overstating deductions,
capitalization. Namun, OECD menyebutkan exemptions, or credits; failing to
ciri utama perusahaan yang modalnya
file appropriate tax returns; by batasan bagi entitas untuk menjadikan biaya
engaging in barter) (Alm 2014, 31). bunga sebagai pengurang basis pemajakan
Dengan merujuk contoh tersebut, maka menjadi hanya sebesar persentase tertentu
penggeseran profit dengan menggunakan terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak,
beban bunga dapat termasuk ke dalam depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Aturan
kategori tax avoidance atau tax evasion. ini setidaknya berlaku terhadap entitas yang
Beban bunga menjadi instrumen tax bernaung dalam grup perusahaan
avoidance pada saat digunakan untuk multinasional.
menggeser profit/penghasilan. Di sisi lain, Di samping fixed ratio rule, OECD juga
beban bunga juga dapat menjadi instrumen merekomendasikan group ratio rule sebagai
tax evasion pada saat dilaporkan dengan nilai aturan umum pembatasan bunga. Group ratio
lebih tinggi dari yang seharusnya dilaporkan. rule digunakan untuk memfasilitasi grup
BEPS Action 4 perusahaan multinasional yang lebih tinggi
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sumber modalnya dari utang (highly
adalah strategi penghindaran pajak yang leveraged) pihak ketiga yang tidak berkaitan
memanfaatkan celah dan ketidakcocokan dengan tujuan perpajakan (OECD 2015b,
dalam peraturan pajak untuk memindahkan 11).
keuntungan secara artifisial ke lokasi yang Tetapi tidak semua negara sudah
pajaknya rendah atau bahkan tidak ada pajak menerapkan aturan umum pembatasan bunga
sama sekali (tax haven). Dalam BEPS Action tersebut. Masih terdapat banyak negara yang
4, OECD membuat rerangka aturan belum memberlakukan aturan umum
berdasarkan praktik terbaik untuk membatasi pembatasan bunga dan masih sangat
pengikisan basis pemajakan yang melibatkan bergantung hanya pada penggunaan targeted
pembebanan bunga dan pembayaran rule. Targeted rule mencakup aturan khusus
finansial lainnya (Gambar 2.1). Dalam dan spesifik yang berlaku untuk membatasi
rerangka tersebut, terdapat dua jenis aturan pemotongan bunga atas pembayaran yang
yang dikategorikan sebagai aturan umum dilakukan berdasarkan transaksi atau
pembatasan bunga (general interest pengaturan tertentu.
limitation rules) yakni fixed ratio rule dan Jenis Thin Capitalization Rule
group ratio rule. Aturan umum pembatasan Secara umum aturan yang diterapkan terbagi
bunga tersebut berfungsi sebagai pembatasan menjadi empat jenis, yakni tidak ada aturan
atas keseluruhan nilai dari biaya bunga spesifik, rasio utang terhadap ekuitas,
sebagai pengurang basis pemajakan (OECD pendekatan distribusi profit terselubung dan
2015b, 71). the interest stripping rule (Kareser, 2008).
Aturan umum ini direkomendasikan oleh Negara yang menggunakan jenis aturan
OECD untuk diberlakukan terlebih dulu agar yang pertama tidak memiliki aturan yang
mencakup seluruh karakteristik transaksi spesifik. Namun, secara umum prinsip arm’s
penggunaan biaya bunga dan pembayaran length diterapkan untuk mengatasi thin
finansial lainnya sebagai pengurang basis capitalization. Aturan semacam ini
pemajakan. Setelah aturan umum tersebut diklasifikasikan oleh Kareser (Ðukić 2011,
diberlakukan, maka aturan yang lain dapat 89) sebagai pendekatan subjektif.
diterapkan lebih lanjut sesuai kebutuhan Pendekatan subjektif memiliki ciri adanya
masing-masing negara. evaluasi apakah suatu utang merupakan
Fixed ratio rule yang direkomendasikan bentuk ekuitas yang disamarkan atau tidak.
OECD adalah aturan yang berfungsi sebagai
Kemudian negara yang menggunakan opsi yang mungkin digunakan dalam
jenis aturan kedua memiliki aturan yang pendekatan fixed ratio rule ini (OECD
spesifik. Aturan ini membatasi biaya bunga 2015b, 44).
sebagai pengurang penghitungan peng- Penggunaan rasio antara EBITDA
hasilan kena pajak debitur, namun tidak dengan pembayaran bunga oleh entitas
lantas membatasi porsi pendapatan bunga di merupakan rasio yang tidak hanya
sisi kreditur. Kreditur tetap menambahkan menggambarkan solvabilitas, namun juga
seluruh pendapatan bunga ke dalam profitabilitas entitas tersebut. Rasio ini
penghitungan penghasilan yang terutang mengindikasikan apakah entitas akan
pajak penghasilan. Aturan semacam ini memiliki masalah atau tidak dalam
diklasifikasikan sebagai pendekatan rasio memenuhi kewajibannya. Dengan kata lain,
tetap (Kareser, 2008). rasio ini dapat menggambarkan jika
Selanjutnya pendekatan yang ketiga profitabilitas suatu entitas tinggi dan stabil,
memperlakukan kelebihan pembayaran risiko solvabilitasnya rendah, begitu pula
bunga sebagai pembayaran dividen, sehingga sebaliknya (Subramanyam 2014, 38).
dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Sejalan dengan pendekatan DER,
Kelebihan pembayaran bunga tersebut keunggulan utama pendekatan ini adalah
didapat dari hasil menerapkan prinsip arm’s kemudahan untuk diterapkan oleh entitas dan
length. kemudahan administrasi bagi otoritas pajak
Pendekatan yang terakhir adalah (OECD 2015b, 47). Keunggulan ini juga
pendekatan yang disebut sebagai the berlaku bagi setiap aturan yang termasuk
earning-stripping rule (Kareser, 2008). dalam kategori fixed ratio rule..
Pendekatan ini tidak hanya membatasi Di sisi lain, penggunaan pendapatan
pembayaran bunga kepada pihak berelasi, sebagai tolok ukur aktivitas ekonomi suatu
melainkan juga memberlakukan aturan entitas memiliki kelemahan. Kelemahan
pembatasan tersebut kepada pihak yang tidak utamanya adalah pendapatan suatu entitas
berelasi. Pendekatan ini menggunakan titik mungkin saja relatif tidak stabil/volatil dan
kritis ambang batas tertentu untuk membatasi mungkin saja hal ini terjadi karena terdapat
penggunaan biaya bunga sebagai unsur pengaturan dari grup usahanya (OECD
pengurang dalam penghitungan penghasilan 2015b, 43). Dampak bagi entitas yang
kena pajak. bersangkutan adalah setiap tahun entitas
Thin Capitalization Rule dengan tersebut sulit untuk memperkirakan biaya
Pendekatan NIE-EBITDA bunga yang diperbolehkan sebagai unsur
Aturan pembatasan bunga ini merupakan pengurang dalam penghitungan penghasilan
pendekatan fixed ratio rule yang kena pajak. Kondisi ini juga mengakibatkan
direkomendasikan oleh OECD dalam BEPS sulitnya entitas untuk membuat perhitungan
4. Sebagai aturan pembatasan bunga yang berapa biaya bunga yang dapat menjadi
mengatur secara umum, OECD juga pengurang penghasilan kena pajak dalam
memberikan rekomendasi untuk menerapkan rangka memperkirakan keuntungan atau
tarif di kisaran 10% sampai dengan 30% kerugian atas suatu proyek jangka panjang.
tergantung dengan kondisi di masing-masing Selanjutnya, kekurangan pendekatan ini
negara (OECD 2015b, 11). Pada umumnya, adalah entitas yang memiliki nilai
jenis pendapatan yang digunakan dalam pendapatan yang negatif (rugi usaha)
aturan ini adalah EBITDA. Namun, OECD menjadi tidak dapat menjadikan biaya bunga
juga menyebutkan EBIT juga merupakan sebagai unsur pengurang dalam menghitung
penghasilan kena pajak (OECD 2015b, 44). Selain itu, pendekatan DER juga
Kondisi ini menimbulkan situasi yang kurang memberikan tingkat kepastian yang masuk
menguntungkan bagi entitas berupa adanya akal bagi grup usaha untuk merencanakan
kemungkinan entitas untuk terutang pajak pendanaan usahanya (OECD 2015b, 21).
atas biaya bunga yang tidak diperbolehkan Di lain sisi, pendekatan DER juga
menjadi pengurang penghasilan kena pajak memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan
tersebut. utama dari pendekatan DER adalah
Thin Capitalization Rule dengan pembatasan rasio utang terhadap modal
Pendekatan DER masih memberikan ruang gerak yang
Rasio dalam analisis laporan keuangan fleksibel bagi entitas untuk menentukan
merupakan gambaran dari hubungan tingkat suku bunga. Selain itu, dalam
matematis antara akun-akun dalam laporan pendekatan DER yang menguji tingkat
keuangan yang memiliki makna sebagai ekuitas dalam struktur modal entitas menjadi
konsekuensi adanya hubungan ekonomi yang tidak berpengaruh bagi entitas yang memiliki
sifatnya penting antar akun tersebut nilai ekuitas yang sangat besar (OECD
(Subramanyam 2014, 34). Interpretasi rasio- 2015b, 21). Dengan nilai ekuitas yang sangat
rasio harus dilakukan secara hati-hati besar, grup usaha masih leluasa untuk
mengingat adanya kemungkinan korelasi mengatur besarnya utang pada entitas
antara penyebut dengan pembilang rasio. Hal tertentu untuk memanfaatkan manfaat pajak
ini terjadi karena faktor-faktor yang yang sebesar-besarnya dari biaya bunga pada
memengaruhi penyebut juga dapat entitas khusus tersebut.
memengaruhi pembilang (Subramanyam Penelitian Terdahulu
2014, 35). DER merupakan rasio yang Hasil penelitian Rulman (2017)
digunakan untuk mendapatkan gambaran menyebutkan bahwa sangat direkomen-
struktur modal dan solvabilitas entitas. Yang dasikan bagi Indonesia untuk menerapkan
dimaksud dengan struktur modal adalah fixed ratio rule dengan pendekatan NIE-to-
perbandingan antara utang dengan ekuitas EBITDA dan ketentuan lain di dalam
dalam rangka pendanaan operasi perusahaan, rekomendasi OECD/G20 BEPS Project
sedangkan solvabilitas adalah kemampuan Action 4. Selanjutnya, hasil penelitian ini
entitas untuk memenuhi kewajiban jangka juga menyebutkan bahwa interest-to-
panjangnya (Subramanyam 2014, 32). EBITDA ratio dapat disimpulkan lebih
BEPS 4 menyebutkan secara eksplisit unggul dibandingkan dengan debt-to-equity
mengenai penggunaan rasio utang terhadap ratio. Keunggulan pendekatan NIE-to-
modal sebagai salah satu bentuk fixed ratio EBITDA yang menggunakan nilai
rule yang kurang efektif untuk mengatasi pendapatan entitas sebagai tolok ukur dinilai
BEPS (OECD 2015b, 21). Selain itu, lebih kuat dalam mencegah praktik
pendekatan DER telah disetujui oleh negara- perencanaan pajak yang agresif. Hal ini
negara yang terlibat dalam penyusunan berdasarkan karakteristik pendapatan yang
BEPS 4 untuk tidak disertakan dalam jenis bisa menggambarkan kemampuan entitas
pendekatan fixed ratio rule berdasarkan untuk melunasi utangnya sehingga dapat juga
praktik terbaik (OECD 2015b, 21). menentukan tingkat maksimum utangnya
Keunggulan utama pendekatan DER (Rulman 2017, 49).
adalah administrasi pajak yang relatif mudah Senada dengan penelitian Rulman
dalam mengumpulkan informasi terkait (2017), penelitian Jayasupana (2017)
tingkat utang dan ekuitas pada suat entitas. menyimpulkan bahwa PMK-169/PMK.010/
2015 akan tidak kompatibel dengan BEPS peneliti dan oleh apa yang peneliti baca
Action 4. Aspek pertama yang berbeda dalam literatur (Creswell 2018. 64).
adalah mengenai definisi subyek yang diatur Setelah menentukan metode penelitian,
oleh PMK-169/PMK.010/2015 hanya selanjutnya peneliti menentukan strategi
mencakup Wajib Pajak Badan. Oleh karena penelitian kualitatif yang akan digunakan.
itu, Bentuk Usaha Tetap (BUT) tidak terikat Strategi studi kasus akan digunakan dalam
oleh ketentuan ini. Aspek kedua adalah penelitian ini mengingat penelitian ini
perbedaan rasio benchmark. DER tidak dapat memenuhi karakteristik studi kasus (Yin
digunakan pada WP Badan yang modalnya 2015, 1) yakni: pertanyaan penelitian
tidak terbagi atas saham. Oleh karena itu, berkenaan dengan how atau why, peneliti
PMK-169 disimpulkan sebagai ketentuan memiliki sedikit peluang untuk mengontrol
yang sifatnya ringan (Jayasupana 2017, 46). peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan
Sejalan dengan penelitian Jayasupana fokus penelitian terletak pada fenomena
(2017), penelitian Zaina (2017) juga kontemporer (masa kini) di dalam konteks
memperkuat lemahnya aturan thin kehidupan nyata.
capitalization yang berlaku saat ini di Sumber Data
Indonesia. Hasil regresi penelitian ini Berdasarkan sumbernya, jenis data yang akan
menunjukkan bahwa implementasi aturan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
thin capitalization (PMK-169) hanya data primer dan data sekunder. Data primer
berpengaruh terhadap perusahaan- yang digunakan adalah hasil wawancara
perusahaan dengan DER yang tinggi dalam dengan partisipan dalam bentuk transkrip.
pembuatan keputusan Pendanaan melalui Kemudian, data sekunder yang digunakan
utang, sedangkan pembuatan keputusan dalam penelitian ini adalah dokumen terkait
berutang pada perusahaan dengan DER penyusunan kebijakan yang terdiri dari
rendah tidak terpengaruh. Penelitian ini juga peraturan perundang-undangan di bidang
menemukan bahwa penerapan aturan thin perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan,
capitalization (PMK-169) tidak memiliki dan dokumen lain yang relevan berdasarkan
dampak terhadap tarif pajak efektif informasi yang didapat dari partisipan
perusahaan-perusahaan dengan DER tinggi wawancara.
(Zaina 2017, 7). Teknik Pengumpulan Data
Pendekatan pengumpulan data utama yang
METODE PENELITIAN digunakan dalam penelitian ini adalah
Desain Penelitian wawancara dan dokumen. Wawancara semi
Penelitian ini akan menggunakan metode terstruktur dan terbuka akan dilakukan
penelitian kualitatif. Alasan utamanya adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
penelitian ini digunakan pada saat terdapat yang bersifat umum dengan tujuan untuk
kebutuhan untuk mendapatkan pemahaman memahami fenomena sentral dalam
yang detail dan lengkap tentang penelitian (Creswell 2018, 228). Partisipan
permasalahan penelitian (Creswell 2018. 64). awal dipilih berdasarkan penyampelan
Lebih lanjut, Creswell juga menjelaskan bertujuan (purposeful sampling) yang
bahwa detail tersebut hanya dapat diperoleh merupakan hasil disposisi/penunjukan
dengan berbicara secara langsung dengan internal baik dari pihak DJP maupun BKF.
partisipan (baik mendatangi ke rumah Terdapat dua kriteria penyampelan
maupun ke kantor partisipan) tanpa diganggu bertujuan yang akan digunakan di dalam
atau dihalangi oleh dugaan atau pengharapan penelitian ini. Kriteria pertama adalah
partisipan wawancara harus memiliki Instrumen Penelitian
informasi yang tinggi terkait fenomena yang Instrumen penelitian dalam bentuk protokol
dibahas dalam penelitian ini. Tujuan utama wawancara berisi daftar pertanyaan yang
kriteria pertama ini adalah untuk memastikan disusun secara mandiri oleh peneliti tanpa
informasi yang diperoleh dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian terdahulu.
diberikan oleh orang yang memiliki Protokol wawancara diawali dengan bagian
kompetensi yang sesuai dengan bahasan pendahuluan dan dilanjutkan dengan
penelitian. Kriteria pertama ini juga dibuat pertanyaan wawancara. Pertanyaan wawan-
untuk memfasilitasi partisipan baru yang cara dibagi ke dalam 3 bagian, yakni
didapat dari penggunaan teknik bola salju pertanyaan pembuka, pertanyaan inti dan
namun yang bersangkutan tidak lagi pertanyaan penutup (Hennink dkk, 2012).
menjabat di posisi yang relevan dalam Teknik Analisis Data
penyusunan kebijakan PMK-169/2015. Penelitian ini menggunakan teknik analisis
Kriteria penyampelan bertujuan yang tematik. Analisis tematik merupakan metode
kedua adalah partisipan duduk dalam jabatan analisis yang digunakan untuk mencari tema-
yang terlibat dalam penyusunan kebijakan tema atau pola dari data penelitian kualitatif
PMK-169/2015. Tujuan utama kriteria kedua (Braun dan Clarke 2006, 2). Proses analisis
adalah untuk memastikan partisipan akan menggunakan enam tahap analisis
wawancara merupakan pihak yang ditunjuk tematik yang terdiri dari membiasakan diri
sebagai competent authority menurut aturan dengan data, menghasilkan kode awal,
yang berlaku, sehingga informasi yang mencari tema, mengulas tema,
didapat dalam penelitian ini dapat diyakini mendefinisikan dan menamai tema, dan
kredibilitasnya. menghasilkan laporan (Braun dan Clarke,
Partisipan wawancara diharapkan terdiri 2006).
dari jabatan setingkat eselon IV ke atas dan Data berupa transkrip hasil wawancara
jabatan setingkat pelaksana. Partisipan dan penelitian dokumen akan diproses
dengan jabatan setingkat eselon IV ke atas menggunakan perangkat lunak Microsoft
diperlukan untuk mendapatkan informasi Office dan NVIVO. Reduksi data akan
yang bersifat lebih strategis, sedangkan dilakukan untuk memastikan data masukan
partisipan dengan jabatan setingkat yang akan diolah tidak keluar konteks
pelaksana dibutuhkan untuk mendapatkan penelitian. Kemudian pembuatan kode akan
informasi yang bersifat lebih operasional dilakukan dengan memilih kata kunci yang
dalam penyusunan kebijakan. bersinggungan dengan pertanyaan penelitian.
Selanjutnya, pendekatan pengumpulan Selanjutnya, penyajian tampilan data berupa
data berupa dokumen dapat berupa catatan visualisasi keluaran perangkat lunak akan
selama studi riset dan analisis dokumen digunakan sebagai dasar simpulan untuk
publik (misalnya: memo, notulen, rekaman, menjawab pertanyaan penelitian.
dan arsip resmi) (Creswell 2018, 222). Validasi dan Reliabilitas Data
Dokumen yang disasar dalam penelitian ini Strategi validasi yang akan digunakan dalam
terdiri dari naskah akademik, paparan rapat, penelitian ini terdiri dari triangulasi sumber,
notula rapat, dan dokumen lain yang relevan triangulasi metode pengambilan data, dan
berdasarkan informasi yang didapat dari pemeriksaan anggota (member checking).
partisipan wawancara. Triangulasi sumber data akan dilakukan
terhadap transkrip hasil wawancara yang
didapat dalam proses penelitian. Selanjutnya
triangulasi metode pengambilan data akan sekunder yang terungkap berdasarkan hasil
dilakukan terhadap transkrip hasil wawancara. Dokumen sekunder yang
wawancara dan dokumen relevan yang pertama adalah data pinjaman luar negeri
didapat dalam proses penelitian. Proses swasta per sektor mulai tahun 2009 s.d. 2014
triangulasi data akan melibatkan bukti yang didapat dari publikasi resmi Bank
penguat dari berbagai sumber yang berbeda Indonesia. Rentang waktu tersebut dipilih
untuk menerangkan tema atau perspektif dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
(Creswell 2018, 349). Kemudian pemerik- bias data pinjaman luar negeri oleh pihak
saan anggota akan dilakukan dengan cara swasta setelah terbitnya PMK-169 pada
mengembalikan transkrip wawancara kepada tahun 2015. Data pinjaman luar negeri swasta
partisipan untuk meminta persetujuan atas ini akan digunakan pada saat melakukan
transkrip tersebut. triangulasi metode dengan transkrip wawan-
Selanjutnya untuk memenuhi aspek cara terkait latar belakang kebijakan moneter.
reliabilitas dalam penelitian kualitatif, Dokumen sekunder yang kedua adalah
peneliti membuat catatan lapangan yang data negara-negara anggota Uni Eropa yang
terperinci. Lebih lanjut, aspek reliabilitas sudah menerapkan thin capitalization rule
dapat ditingkatkan dengan menggunakan alat sampai dengan tahun 2008. Data tersebut
perekaman yang berkualitas baik dan mem- akan digunakan untuk mendukung atau
buat transkrip rekaman tersebut (Creswell menyanggah pernyataan narasumber. Selain
2018, 352). itu, data ini juga digunakan pada saat
triangulasi metode terhadap transkrip
HASIL PENELITIAN DAN wawancara terkait dengan sudah banyaknya
PEMBAHASAN negara yang menerapkan thin capitalization
Bagian ini akan memuat hasil penelitian rule sebelum kebijakan PMK-169/2015
dan pembahasan yang terdiri dari: (1) ditetapkan.
deskripsi data, (2) penyajian tampilan data, Dokumen sekunder yang ketiga adalah
dan (3) pembahasan. dokumen publik berupa Undang-Undang
Deskripsi Data PPh, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan
Jenis data yang didapat Otoritas Jasa Keuangan, Keputusan Menteri
Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan
data yang akan digunakan di dalam penelitian Republik Indonesia. Dokumen tersebut akan
ini terdiri dari data hasil wawancara dan digunakan untuk memperkuat pernyataan
analisis dokumen. Namun kenyataannya data partisipan dan menguji validitas data
yang didapat dari hasil penelitian di lapangan wawancara melalui triangulasi metode
hanya berupa data hasil wawancara. Baik pengambilan data.
pihak BKF maupun DJP tidak memberikan Deskripsi data wawancara
izin kepada peneliti untuk mengakses Wawancara dengan pihak DJP dilakukan
dokumen-dokumen internal yang terkait terlebih dahulu yakni pada tanggal 12 Juli
dalam proses penyusunan kebijakan PMK- 2018, sedangkan wawancara dengan pihak
169/2015, padahal dokumen tersebut adalah BKF dilakukan pada tanggal 23 Juli 2018.
dokumen primer yang disasar di dalam Durasi wawancara dengan pihak DJP adalah
penelitian ini. selama 36 menit dan 58 detik, sedangkan
Walaupun peneliti tidak bisa mendapat- dengan pihak BKF adalah selama 58 menit
kan akses ke dokumen primer, tetapi peneliti dan 49 detik. Hasil rekaman wawancara
berhasil mendapatkan beberapa dokumen tersebut dituangkan ke dalam transkripsi
verbatim dan menghasilkan total 5.009 kata Wawancara berlangsung dengan
pada sesi wawancara BKF, sedangkan sesi pendekatan diskusi sebagaimana telah
wawancara DJP menghasilkan 3.397 kata disetujui oleh dosen yang melakukan
(lihat tabel 1). supervisi terhadap penelitian ini. Pendekatan
Seluruh sesi wawancara direkam diskusi dipilih karena partisipan wawancara
menggunakan aplikasi perekam suara pada diharapkan lebih banyak memberikan
perangkat ponsel pintar Xiaomi Redmi 3s informasi yang bersifat strategis mengingat
yang dilengkapi dengan fitur noise cancel- jabatan yang diduduki oleh partisipan adalah
lation microphone. Fitur noise cancellation setingkat Eselon IV. Protokol wawancara
sangat penting untuk memastikan tidak ikut dipersiapkan dalam bentuk semi terstruktur
terekamnya suara bising yang bisa namun terbuka dengan kemungkinan adanya
menyebabkan rendahnya kualitas hasil pertanyaan-pertanyaan menyelidik (probing
perekaman. Dengan menggunakan perangkat questions) sebagai bagian dari strategi
perekaman berkualitas dalam pengambilan wawancara mendalam.
data wawancara, maka penelitian ini telah Tabel 2 Rekapitulasi Jumlah Kata dalam
memenuhi aspek penjaminan reliabilitas data Transkripsi Wawancara
(Creswell 2018, 352). Keterangan DJP BKF Total
Tabel 1 Partisipan Wawancara Kata
No. Kode Institusi Jabatan Penanya 1.017 1.034 2.051
Nama Partisipan 2.380 3.975 6.355
1. P1 DJP Kepala Seksi Total Kata 3.397 5.009 8.406
Pencegahan dan Sumber: Transkrip Wawancara.
Penanganan Contoh pengaplikasian probing
Sengketa questions antara lain pengembangan
Perpajakan pertanyaan kepada pihak BKF ketika terjadi
Internasional II, kebuntuan terhadap jawaban mengenai
Subdirektorat alasan pemilihan DER sebagai pendekatan
Pencegahan dan yang digunakan dalam aturan pembatasan
Penanganan biaya pinjaman. Pertanyaan dikembangkan
Sengketa ke arah mengapa karakteristik DER yang
Perpajakan dipilih terdiri dari penggunaan saldo rata-rata
Internasional, utang dan modal, mengapa ada pengecualian
Direktorat terhadap sektor-sektor usaha tertentu dan
Perpajakan bagaimana interaksi dengan pihak-pihak
Internasional terkait baik dari internal Kementerian
2. P2 BKF Kepala Keuangan (DJP dan OJK), pembuat
Subbidang PPh kebijakan moneter (Bank Indonesia) maupun
Umum, Bidang dengan pihak lain (KADIN dan APINDO).
Kebijakan Pajak Deskripsi data dokumen
dan PBP II, Dokumen yang pertama adalah data
Pusat Kebijakan pinjaman luar negeri pihak swasta. Data ini
Pendapatan didapat dari publikasi bersama Bank
Negara Indonesia dan Kementerian Keuangan yakni
Sumber: Transkrip Wawancara Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang
tersedia dan dapat diakses secara bebas Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
melalui situs web resmi Bank Indonesia. Reasuransi. Dokumen ini akan digunakan
Data yang digunakan adalah data tahunan untuk menjelaskan pernyataan narasumber
mulai dari tahun 2009 sampai dengan 2014. dan triangulasi data wawancara terkait
Rentang data tersebut dipilih untuk kebijakan pengecualian aturan terhadap
menghindari bias yang mungkin terjadi sektor usaha tertentu.
setelah PMK-169 terbit pada tahun 2016. Penyajian Tampilan Data
Data posisi pinjaman luar negeri Penyajian data wawancara
Indonesia ini akan digunakan pada saat Hasil rekaman sesi wawancara yang telah
melakukan validasi data transkrip wawancara dijadikan transkripsi kemudian diolah
mengenai latar belakang kebijakan menggunakan perangkat lunak Microsoft
pembatasan biaya pinjaman dari sudut Excel. Pengolahan data yang dilakukan
pandang moneter. Sudut pandang moneter terdiri dari penghitungan jumlah kata dan
tersebut merupakan hasil permintaan baris pada masing-masing transkripsi
tanggapan dari BKF kepada Bank Indonesia partisipan wawancara.
berkaitan dengan adanya konsekuensi biaya Penghitungan dilakukan sebanyak dua
pinjaman atas utang luar negeri di mana kali, yakni pada saat sebelum dan sesudah
pengawasan atas tingkat utang luar negeri dilakukan reduksi data. Reduksi data
swasta berada di bawah kewenangan Bank dilakukan dalam proses analisis dengan
Indonesia. tujuan memastikan analisis hanya
Dokumen yang kedua adalah data menggunakan data yang benar-benar relevan
penerapan thin capitalization rule pada 27 dengan penelitian. Hasil penghitungan
negara anggota Uni Eropa yang didapat dari disajikan pada tabel berikut.
publikasi the International Bureau of Fiscal Tabel 3 Hasil Pengolahan Data Wawancara
Documentation (IBFD) Tax Research Kode Jumlah Kata
Platform yang dimuat di dalam Ðukić Transkrip Sebelum Sesudah Reduksi
(2011). Data yang digunakan adalah data per P1 3.389 2.995 394
tahun 2011. Data ini akan digunakan pada P2 5.009 4.984 25
saat melakukan triangulasi terhadap transkrip Total 8.398 7.979 419
wawancara terkait dengan adanya tren Sumber: Transkripsi Wawancara
penerapan aturan pembatasan biaya bunga di Penyajian data dokumen
berbagai negara. Data tren tingkat utang luar negeri sektor
Dokumen yang ketiga adalah peraturan swasta di Indonesia dibuat berdasarkan data
perundang-undangan yang terdiri dari UU Posisi Utang Luar Negeri Berdasarkan
PPh, Peraturan Menteri Keuangan tentang Kelompok Peminjam. Data utang luar negeri
Penentuan Besarnya Perbandingan antara berdasarkan kelompok peminjam swasta
Utang dan Modal Perusahaan untuk dipisahkan dari keseluruhan data yang juga
Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, mencakup data dari kelompok peminjam
Peraturan Gubernur Bank Indonesia tentang Pemerintah dan Bank Sentral. Setelah
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam dipisahkan, data dari kelompok peminjam
Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi swasta kemudian disajikan ke dalam bentuk
Nonbank, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan grafik yang menggambarkan tren
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan peningkatan maupun penurunan.
Pembiayaan, dan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Kesehatan Keuangan
1 Tidak ada aturan spesifik 7
2 DER 15
3 Distribusi profit terselubung 3
4 The earning-stripping rule 2
Total negara anggota EU 27
Sumber: IBFD Tax Research Platform, 2011
dan Europian Union, 2018
Kemudian jenis aturan yang ketiga
Grafik 1 Tren Utang Luar Negeri Swasta di adalah yang digunakan oleh tiga negara
Indonesia (Bank Indonesia, 2016) anggota Uni Eropa adalah pendekatan
Berdasarkan Grafik 1, dapat dilihat distribusi profit terselubung (Kareser, 2008).
bahwa tingkat utang luar negeri sektor swasta Selanjutnya jenis aturan yang keempat
bukan bank jauh lebih tinggi dibandingkan adalah pendekatan yang digunakan oleh
dengan bank swasta. Pada tahun 2010 utang Jerman dan Italia di dalam aturan pembatasan
luar negeri sektor swasta bukan bank masih biaya bunga yaitu pendekatan yang disebut
sebesar 483% dari bank swasta. Kondisi ini sebagai the earning-stripping rule (Kareser,
terus meningkat hingga pada tahun 2013 2008).
sebesar 484% dan kemudian mengalami Analisis Tematik
penurunan pada tahun 2014 menjadi sebesar Berdasarkan Braun dan Clarke (2006),
417%. Namun apabila dihitung secara analisis tematik dimulai dengan membiasa-
keseluruhan, utang luar negeri sektor swasta kan diri dengan data, menghasilkan kode
pada tahun 2014 telah meningkat menjadi awal, mencari tema, mengulas tema,
sebesar 196% dibandingkan dengan tahun mendefinisikan dan menamai tema, dan
2010. menghasilkan laporan. Tahap pertama
Selanjutnya data penerapan thin capitali- sampai dengan kelima dalam analisis tematik
zation rule pada 27 negara anggota Uni akan dibahas secara rinci pada subbab ini,
Eropa dirangkum dan disajikan terklasifikasi sedangkan tahap menghasilkan laporan akan
secara urut berdasarkan jenis aturan yang dibahas di dalam subbab pembahasan.
diterapkan. Berdasarkan tabel 4, terdapat Tahap I. Membiasakan diri dengan data
tujuh negara yang tidak memiliki aturan yang Tahap pertama analisis tematik ini terdiri dari
spesifik. Namun, secara umum prinsip arm’s tiga langkah, yakni: pengetikan transkripsi
length diterapkan untuk mengatasi thin wawancara, pemberian kode referensi
capitalization. Selanjutnya jenis aturan yang transkripsi, dan membaca ulang kembali
kedua adalah DER. Terdapat 15 negara yang transkrip dengan saksama. Transkripsi
menerapkan DER dengan berbagai variasi wawancara diketik dengan menggunakan
rasio. Penggunaan besaran DER paling kuat perangkat lunak Microsoft Word. Kemudian
diterapkan di negara Belgia dengan rasio hasil pengetikan tersebut dipindahkan ke
sebesar 1:1, sedangkan negara Slovenia dalam bentuk tabel menggunakan perangkat
menerapkan rasio yang paling ringan yaitu lunak Microsoft Excel.
sebesar 5:1. Langkah berikutnya adalah pemberian
Tabel 4 Thin Capitalization Rule di Negara kode referensi transkripsi pada setiap baris
Anggota Uni Eropa transkripsi. Kode referensi diawali dengan
Jumlah kombinasi alfanumerik dan karakter titik.
No. Thin Capitalization Rule Bentuk awalan kode referensi pada setiap
Negara
baris adalah “P1.” yang mewakili partisipan Langkah terakhir pada tahap ini adalah
pertama dan “P2.” yang mewakili partisipan membaca kembali transkripsi dengan
kedua. Setiap baris transkripsi kemudian saksama. Reduksi data dilakukan pada
diberi kode referensi berupa angka yang langkah ini. Data yang dikeluarkan dari
mewakili urutan baris transkripsi. Contoh transkrip awal adalah data yang tidak relevan
transkripsi yang sudah diberi kode disajikan dengan topik penelitian, khususnya dengan
dalam tabel 5. pertanyaan yang disusun dalam pedoman
Tabel 5 Contoh Data yang Dikeluarkan wawancara. Contoh hasil reduksi data
dalam Proses Reduksi Data disajikan dalam tabel 5.
KODE PEMBICARA TRANSKRIP Tahap membaca kembali transkrip juga
REF menghasilkan beberapa gagasan mengenai
P1.67 Peneliti Wah, ST nya subtema awal dari keseluruhan transkrip.
sudah mau Gagasan ini merupakan hal-hal menarik yang
selesai, Pak terungkap di dalam sesi wawancara. Contoh
(tertawa)
gagasan subtema awal disajikan di dalam
P1.68 Narasumber 1 Oh iya? (tertawa)
Tabel 6.
Sumber: Transkripsi Wawancara
Tahap II. Menghasilkan kode awal
Kombinasi awalan kode dan urutan baris
Tahap yang kedua adalah mengklasifikasikan
tersebut diberikan pada setiap pertanyaan
transkrip wawancara ke dalam beberapa
dari peneliti dan jawaban dari narasumber.
subtema/kode. Berdasarkan gagasan awal
Hal ini dilakukan karena sesi wawancara
subtema yang didapat pada tahap pertama
menggunakan pendekatan diskusi, sehingga
analisis tematik, peneliti melakukan seleksi
ada kalanya peneliti melakukan konfirmasi
gagasan mana saja yang relevan untuk
ulang terhadap jawaban narasumber. Dari
dijadikan kode awal. Seleksi gagasan
konfirmasi ulang jawaban tersebut
dilakukan dengan menggunakan perangkat
diharapkan memperjelas poin yang dimaksud
lunak Microsoft Excel.
dari narasumber.
Tahap pengklasifikasian ini meng-
Tabel 6 Contoh Gagasan Subtema
hasilkan sembilan kode awal sebagai berikut:
KODE PEMBI- TRANSKRIP GAGASAN
REF CARA SUBTEMA penyebutan DER secara eksplisit di dalam
UU PPh, tidak ada aturan lain yang setara
P1.9 Narasum- Ya tadi kalau
ber 1 ditanya dengan Pasal 18 ayat (1), tingginya tingkat
kenapa, ya utang luar negeri, adanya kesadaran untuk
tadi alasan- mengatasi penghindaran pajak, proses
nya, gak ada perumusan besaran rasio DER, latar belakang
ruang-nya.
Tidak bisa pengecualian pengenaan aturan DER, latar
P1.10 Peneliti Karena ada
mengguna- belakang penggunaan metode saldo rata-rata
constrain di
kan metode utang dan modal, hubungan PMK-169
Undang-
lain untuk
Undang PPh
membatasi
dengan BEPS 4, dan rencana penggantian
ya, Pak? DER.
biaya bunga
P1.11 Narasum- Gak ada
Selain sembilan kode awal tersebut,
ber 1 ruangnya
untuk pakai terdapat tiga kode tambahan yang ditemukan
metode lain setelah dilakukan pembacaan kembali
atau rasio transkrip yang sudah direduksi. Tiga kode
lain. tambahan tersebut adalah motif untuk
Sumber: Transkrip Wawancara meningkatkan investasi di dalam negeri,
motif untuk mengamankan penerimaan Selanjutnya setelah pemberian atribusi
perpajakan, dan adanya peningkatan tren kode selesai dilakukan, peneliti memutuskan
penerapan thin capitalization rule di dunia. untuk membuat daftar bagian transkrip yang
Oleh karena itu, total kode yang dihasilkan telah diberikan atribusi kode. Daftar tersebut
dari tahap kedua adalah sebanyak 12 kode. dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
Tahap III. Mencari tema Microsoft Excel. Dengan jumlah data yang
Tahap yang ketiga adalah menentukan tema tidak terlalu banyak, pembuatan daftar ini
dari 12 kode awal yang didapat pada tahap diharapkan dapat mempercepat proses
kedua. Pencarian tema dilakukan dengan pemetaan tema.
menggunakan perangkat lunak NVIVO versi Setelah daftar tersebut dibuat, langkah
10, Microsoft Word dan Microsoft Excel. selanjutnya adalah memetakan subtema
Langkah pertama adalah dengan melakukan menjadi tema potensial. Proses pemetaan
impor dokumen transkrip wawancara ke tersebut menggunakan perangkat lunak
dalam aplikasi NVIVO. NVIVO hanya Microsoft Powerpoint. Untuk memudahkan
mendukung impor dokumen yang memiliki pemetaan, peneliti membedakan unsur
ekstensi .docx, .doc, .rtf dan .txt, sedangkan pemetaan tiga macam bentuk. Bentuk persegi
transkrip yang sudah direduksi menggunakan panjang mewakili subtema, bentuk persegi
ekstensi .xlsx. Oleh karena itu, perlu panjang dengan sudut membulat mewakili
dilakukan konversi ke dalam format .docx tema, dan bentuk oval mewakili pertanyaan
terlebih dahulu sebelum dilakukan impor penelitian. Hasil pemetaan disajikan pada
transkrip ke dalam NVIVO. gambar 1.
Setelah proses impor data transkrip
berhasil dilakukan, langkah yang kedua
adalah memasukkan 12 kode awal pada
aplikasi NVIVO. Aplikasi NVIVO
menggunakan istilah “node” untuk setiap
kode yang telah kita masukkan. Setelah
semua kode telah selesai dimasukkan,
langkah selanjutnya adalah memberikan
atribut kode pada setiap bagian data Gambar 1 Pemetaan Tema
transkripsi. Aktivitasnya mirip dengan Hasil pemetaan tema didapat dengan
memberi garis bawah dan memberi label cara menarik hubungan antar subtema yang
kode jika dilakukan tanpa alat bantu memiliki kandungan gagasan yang sejenis.
perangkat lunak atau melakukan pekerjaan Misalnya, subtema tingginya tingkat utang
manual. Hasil pemberian kode disajikan luar negeri, peningkatan investasi dan
lengkap pada lampiran penelitian ini. penerimaan perpajakan sama-sama memiliki
Setelah selesai memberi atribut kode, kandungan gagasan terkait perekonomian.
langkah berikutnya adalah membuat Oleh karena itu, ketiga subtema tersebut
pemetaan tema-tema awal (initial themes dikategorikan ke dalam tema motif
mapping). Seluruh subtema disajikan dalam perekonomian.
bentuk pemetaan sederhana untuk Tidak ada aturan baku mengenai
mendapatkan gambaran awal tema potensial pemberian nama tema (Braun dan Clarke,
apa saja yang relevan dengan 12 subtema 2006), sehingga pemberian nama tema
tersebut. merupakan hasil keputusan peneliti. Namun,
pemberian nama tema hendaknya singkat,
menggunakan istilah yang kuat dan mudah pembuat kebijakan untuk memenuhi aspek
dimengerti pembaca (Braun dan Clarke 2006, keadilan bagi Wajib Pajak di dalam aturan
23). Penggunaan istilah “motif” dalam tema yang dibuat.
yang digunakan memiliki tujuan untuk Pembahasan
memenuhi aspek relevansi dengan Motif peraturan perundangan
pertanyaan penelitian yang membutuhkan Terdapat dua aspek motif peraturan
temuan penelitian berupa alasan yang perundangan yang menjadi dasar pemilihan
menjadi dasar pembuatan kebijakan DER sebagai aturan pembatasan bunga di
pembatasan biaya bunga. Indonesia. Aspek tersebut terdiri dari
Tahap IV. Mengulas tema penggunaan perbandingan utang terhadap
Hasil pemetaan tema menunjukkan terdapat modal yang diatur secara eksplisit di dalam
5 tema yang berhasil diidentifikasi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU
berdasarkan 12 subtema, yakni: motif PPh) dan tidak adanya aturan yang setara
peraturan perundangan, motif perekonomian, atau lebih tinggi dengan Pasal 18 ayat (1) UU
motif penegakan hukum, motif keadilan dan PPh yang mengatur mengenai penggunaan
rencana ke depan. Dapat dilihat dari rasio lain untuk penghitungan pajak
pemetaan yang disajikan pada Gambar 4.3 penghasilan.
bahwa terdapat 1 tema yang tidak relevan Alasan yang pertama adalah karena UU
untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu PPh mengatur secara eksplisit penggunaan
tema rencana ke depan. Oleh karena itu, tema DER. Sebagaimana dinyatakan oleh
rencana ke depan tidak digunakan di dalam narasumber pertama sebagai berikut:
pembahasan selanjutnya. “...karena Undang-Undang PPh
Tahap V. Mendefinisikan dan menamai Pasal 18 ayat (1) mengatur secara
tema eksplisit penggunaan rasio utang
Setelah dilakukan ulasan terhadap tema yang terhadap modal, sehingga aturan
telah diidentifikasi, terdapat empat tema yang turunannya pun mengatur
dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan demikian” (P1.2).
penelitian. Tema yang pertama adalah motif Pernyataan narasumber di atas didukung
peraturan perundangan. Tema ini dengan Pasal 18 ayat (1) UU PPh yang secara
didefinisikan sebagai alasan pembuat eksplisit menyebutkan penggunaan rasio
kebijakan terkait adanya aturan di dalam utang terhadap modal sebagai berikut:
sistem hukum domestik yang memiliki “Menteri Keuangan berwenang
hierarki tertentu dan kepatuhan terhadap asas mengeluarkan keputusan mengenai
hukum yang berlaku. Tema yang kedua besarnya perbandingan antara
adalah motif perekonomian. Tema ini utang dan modal perusahaan untuk
didefinisikan sebagai alasan pembuat keperluan penghitungan pajak
kebijakan terkait kepentingan perekonomian berdasarkan Undang-Undang ini.”
di dalam negeri. Pencantuman frase “perbandingan antara
Tema yang ketiga adalah motif utang dan modal” di dalam Pasal 18 ayat (1)
penegakan hukum. Tema ini didefinisikan UU PPh inilah yang menjadi acuan
sebagai alasan pembuat kebijakan terkait penggunaan pendekatan rasio utang terhadap
langkah-langkah yang diperlukan untuk modal untuk keperluan penghitungan pajak
menegakkan hukum domestik yang berlaku. penghasilan pada umumnya, serta sebagai
Tema yang keempat adalah motif keadilan. aturan pembatasan pembebanan bunga dalam
Tema ini didefinisikan sebagai alasan level yang lebih spesifik. Menteri Keuangan
tidak memiliki wewenang untuk meng- harus ada dasar hukum atau legal
eluarkan keputusan yang menggunakan rasio basis atau cantolan hukum
selain perbandingan utang dan modal. pembentukan PMK tersebut.
Selain menyebutkan secara eksplisit Cantolannya apa? (pasal) 18 ayat
mengenai perbandingan utang terhadap (1). 18 ayat (1) itu adalah ketentuan
modal di dalam bunyi pasalnya, Pasal 18 ayat mengenai pembatasan biaya bunga
(1) juga menyebutkan DER secara eksplisit tapi melalui pendekatan
di dalam penjelasan Pasal 18 sebagai berikut: perbandingan debt to equity, begitu
“Undang-Undang ini memberi kan” (P2.14).
wewenang kepada Menteri
Keuangan untuk memberi “Masalah metodenya tetap harus
keputusan tentang besarnya DER karena secara legal basis-nya
perbandingan antara utang dan 18 ayat (1) yang ada di Undang-
modal perusahaan yang dapat Undang, selain itu tidak ada”
dibenarkan untuk keperluan (P2.16).
penghitungan pajak. Dalam dunia Dengan kondisi absennya aturan lain, maka
usaha terdapat tingkat tidak ada opsi untuk menggunakan
perbandingan tertentu yang wajar pendekatan selain DER untuk keperluan
mengenai besarnya perbandingan penghitungan pajak penghasilan pada
antara utang dan modal (debt to umumnya dan untuk membatasi pembebanan
equity ratio)”. biaya bunga pada khususnya. Konsekuensi
Pencantuman istilah debt to equity ratio dari kondisi tersebut adalah terbatasnya
secara eksplisit inilah yang membuat aturan fleksibilitas Menteri Keuangan sebagai pihak
pembatasan pembebanan bunga menjadi yang diamanatkan UU PPh dalam
tidak fleksibel pada saat diwujudkan dalam menentukan pendekatan yang digunakan
bentuk aturan pelaksanaan di bawah UU PPh. dalam aturan pembatasan bunga.
Hal ini juga didukung dengan hasil Berdasarkan hasil pengolahan data
pengolahan data wawancara berikut: “karena wawancara, terdapat indikasi langkah-
ada constrain di perundang-undangan kita langkah antisipasi yang akan diambil oleh
yang tidak fleksibel terhadap penggunaan Pemerintah untuk mengatasi hambatan
rasio lain” (P1.3). Kemudian juga diperkuat terkait motif peraturan perundangan tersebut.
dengan pernyataan narasumber kedua Pasal 18 ayat (1) UU PPh merupakan salah
sebagai berikut: “Tidak ada opsi buat kita satu pasal yang diubah dalam rancangan UU
untuk membuat pembatasan biaya bunga PPh yang saat ini masih dalam tahap
dengan metode selain DER dengan hukum pembahasan. Sebagaimana dinyatakan oleh
pajak yang sekarang berlaku” (P2.16).” narasumber berikut:
Selanjutnya alasan yang kedua adalah “Tapi kalau ditanya apakah ada
tidak adanya aturan yang setara atau lebih rencana untuk mengganti DER, ya
tinggi dengan Pasal 18 ayat (1) UU PPh yang melalui revisi Undang-Undang PPh
mengatur mengenai penggunaan rasio lain yang di dalamnya tidak lagi
untuk penghitungan pajak penghasilan. menyebut spesifik DER ya, tentu
Sebagaimana dinyatakan oleh narasumber implicitly ada kemungkinan
kedua sebagai berikut: peluang untuk mengganti DER
“Terkait dengan PMK-169, ketika pakai rasio yang lain” (P1.60).
berbicara menyusun peraturan itu
“Bocoran sedikit, di rencana “Perubahan-perubahan juga yang
perubahan Undang-Undang nanti di diharapkan ke depan perilaku
aturan mengenai pembatasan biaya bisnis, kalau berbisnis di sini ya
bunga kita akan fleksibelkan di bayar pajak lah di sini” (P1.59).
situ” (P2.45). Berdasarkan pernyataan tersebut, terdapat
Motif peraturan perundangan ini indikasi keinginan pembuat kebijakan untuk
merupakan alasan yang paling kuat karena memastikan pelaku bisnis yang menjalankan
adanya keterikatan untuk mematuhi sistem usahanya di wilayah Indonesia turut
hukum domestik yang memiliki hierarki membayar pajak sesuai ketentuan yang
yang diatur secara jelas. Keterikatan tersebut berlaku. Pelaku bisnis diharapkan tidak
disebabkan karena diatur secara eksplisit menggeser seluruh keuntungannya ke
pada tataran Undang-Undang dan tidak ada perusahaan afiliasi maupun pihak ketiga,
aturan lain yang memiliki kedudukan lebih sehingga masih ada pembayaran pajak yang
tinggi yang mengatur mengenai pembatasan masuk ke kas negara.
biaya bunga. Oleh karena itu, dapat Alasan yang kedua memiliki keterkaitan
disimpulkan bahwa motif peraturan dengan preferensi pelaku bisnis untuk
perundangan yang menjadi alasan utama melakukan pinjaman sebagai sumber
mengapa Pemerintah Indonesia memilih pendanaan usaha, yakni meningkatnya tren
DER sebagai aturan pembatasan bunga untuk utang luar negeri oleh sektor swasta. Grafik
mengatasi penghindaran pajak dengan skema 4.1 menunjukkan bahwa utang luar negeri
thin capitalization. swasta baik nonbank maupun bank terus
Motif perekonomian bergerak naik sejak tahun 2010 sampai
Motif perekonomian merupakan alasan yang dengan tahun 2014. Hal ini diperkuat dengan
digunakan oleh pembuat kebijakan untuk pernyataan narasumber sebagai berikut:
memenuhi kepentingan perekonomian secara “Jadi pada tahun 2015 itu posisi
umum. Kepentingan perekonomian bukan utang luar negeri swasta kita itu
hanya semata-mata mengejar pendapatan semakin besar. Persentasenya bisa
negara dari penerimaan perpajakan saja, melebihi dari utang luar negeri
melainkan juga mengendalikan tingkat utang Pemerintah, itu suatu indikasi yang
luar negeri dan meningkatkan investasi di bukan indikasi buruknya ekonomi,
dalam negeri. tapi ada risiko di belakang itu”
Alasan yang pertama adalah terkait dengan (P2.24).
fungsi budgeter pajak, yakni penerimaan
perpajakan sebagai sumber utama “Seperti tahun 98 dulu ada risiko
pendapatan negara. Sebagaimana disebutkan currency mismatch, ada risiko
oleh narasumber pertama sebagai berikut: utang jangka pendek disarukan ke
“Untungnya sudah tidak ada, bayar utang jangka panjang. Berbagai
bunga deductible, sehingga profit macam risiko tersebut muncul
pada akhirnya lari semua” (P1.59). ketika swasta banyak melakukan
pinjaman ke luar negeri” (P2.24).
“Bagiannya Pemerintah Indonesia Berdasarkan pernyataan tersebut,
apa dari bisnis yang dijalankan di pemberlakuan aturan pembatasan bunga
Indonesia jadinya kalau kaya merupakan suatu langkah yang diambil
begitu?” (P1.59). pemerintah dalam rangka mitigasi risiko
yang menyertai tingginya utang luar negeri
dari sektor swasta. Salah satu risikonya usahawan mengenai perlunya
adalah risiko currency mismatch. kehati-hatian pinjaman luar negeri”
Terkait dengan kemungkinan terjadinya (P2.24).
risiko, pernyataan narasumber tersebut
diperkuat dengan salah satu poin Jadi yang dipikirkan waktu itu ya
pertimbangan pada Peraturan Bank Indonesia paling soft, tidak bersifat
Nomor 16/21/PBI/2014 bagian Menimbang membatasi, tapi memberikan
huruf c sebagai berikut: warning itu di situ. Kemudian
“bahwa untuk mencapai tujuan ditambah kebijakan moneternya
tersebut, utang luar negeri, diatur di PP berapa lupa mengenai
khususnya yang dilakukan oleh kewajiban bagi swasta yang
korporasi nonbank, perlu dikelola melakukan pinjaman luar negeri
dengan memperhatikan prinsip dan melakukan hedging.
kehati-hatian untuk memitigasi Kombinasi antar dua itu diharapkan
berbagai risiko yang dapat timbul, bisa mengurangi risiko utang luar
termasuk risiko nilai tukar, risiko negeri” (P2.24).
likuiditas, dan risiko utang yang Pernyataan narasumber tersebut didukung
terlalu tinggi atau berlebihan dengan Pasal 5 PMK-169 bahwa terdapat
(overleverage)”. kewajiban untuk menyampaikan laporan
Mitigasi risiko tersebut tidak bisa besarnya utang swasta luar negeri sebagai
diwujudkan dalam bentuk aturan yang syarat untuk membebankan biaya pinjaman
melarang sektor swasta untuk melakukan di dalam penghitungan pajak penghasilan.
pinjaman luar negeri. Hal ini karena Pada dasarnya PMK-169 tidak ditujukan
Indonesia tidak menganut kebijakan secara khusus untuk memberikan pesan
pelarangan utang luar negeri sebagai salah kepada pelaku bisnis untuk mengurangi porsi
satu sumber pembiayaan perekonomian di utang luar negerinya. Namun, secara tidak
dalam negeri. Namun, mitigasi risiko bisa langsung ketentuan yang dimuat pada Pasal 5
dilakukan melalui pemberian peringatan PMK-169 memberikan peringatan kepada
kepada sektor swasta dalam bentuk pihak swasta yang melakukan pinjaman luar
kewajiban pelaporan utang luar negeri negeri bahwa utang luar negeri mereka di
sebagai syarat biaya pinjaman yang bawah pengawasan negara melalui otoritas
diperbolehkan sebagai pengurang dalam perpajakan. Dengan kondisi tersebut, sektor
penghitungan penghasilan kena pajak. swasta diharapkan menerapkan prinsip
Sebagaimana disebutkan oleh narasumber kehati-hatian dalam melakukan pinjaman
berikut: luar negeri.
“Makanya diatur di situ, di PMK- Prinsip kehati-hatian dalam melakukan
169 pasal berapa itu di belakang, utang luar negeri telah diatur di dalam
kita memang sedikit agak tidak Peraturan Bank Indonesia Nomor
secara to the point kita wajibkan 16/21/PBI/2014. Dengan adanya regulasi
mereka yang melakukan pinjaman yang lebih spesifik di bidang moneter
luar negeri wajib melaporkan detail tersebut, PMK-169 diharapkan akan
kepada DJP, kalau tidak, biaya berfungsi lebih efektif dalam mengendalikan
bunganya dikoreksi. Nah itu peningkatan utang luar negeri dari sektor
sebagai salah satu cara bagi kita swasta.
untuk memberikan sign kepada
Alasan yang ketiga adalah terkait dengan “Kalau ke pajaknya ya namanya
meningkatkan investasi di dalam negeri. pinjaman, bunganya itu deductible.
Kebijakan pembatasan pembebanan bunga Tapi kalau ekuitas kan dividennya
diharapkan berdampak kepada preferensi non-deductible, sehingga jangan
pelaku bisnis untuk mengurangi porsi sampai perusahaan sudah rugi,
pinjaman dan meningkatkan porsi investasi. bayar bunga deductible” (P1.59).
Sebagaimana dikemukakan oleh narasumber
pertama sebagai berikut: “Jangan malah melakukan skema
“Logika bisnis yang sehat kan siapa penghindaran pajak melalui thin
yang mau kasih pinjaman kepada cap. Ya itu sasaran ke depannya
orang yang tidak mampu? Karena mestinya. Mendorong pelaku bisnis
kalau business oriented ya pasti cari berinvestasi yang riil” (P1.59).
keuntungan lah, sehingga pada
akhirnya didorong ya orang jangan “Kalau pertanyaan seperti itu saya
kasih pinjaman saja” (P1.58). jawab ada dua latar belakangnya.
Pertama adalah yang kamu bilang
“Kalau pinjaman kan dia tidak tadi, sebagai instrumen thin cap
berisiko terhadap bisnis. Mau rugi, rule. Kenapa perlu thin cap rule,
mau untung kan dia dapat bunga karena ada indikasi penggunaan
begitu kan. Dia tidak turut serta biaya bunga untuk menghindari
dalam concern terhadap bisnis itu” pajak di dalam negeri” (P2.23).
(P1.58). Sesuai dengan karakteristik bunga pinjaman
yang dapat menjadi pengurang di dalam
“Ya didorong seperti itulah, kalau penghitungan penghasilan kena pajak, maka
kamu memang mau investasi, penghindaran pajak menggunakan instrumen
investasilah dalam bentuk ekuitas bunga pinjaman merupakan modus yang
perusahaan. Jangan dalam bentuk paling umum terjadi. Oleh karena itu, tidak
pinjaman saja” (P1.58). heran hal tersebut menjadi salah satu
Dengan adanya kecenderungan pelaku bisnis pertimbangan pembuat kebijakan untuk
untuk melakukan investasi diharapkan memberlakukan aturan pembatasan
pelaku bisnis memiliki perhatian yang lebih pembebanan bunga pinjaman.
terhadap keberlangsungan usahanya, bukan Alasan yang kedua adalah semakin
hanya mengharapkan pengembalian berupa banyaknya negara di dunia yang
bunga dari pinjaman. memberlakukan aturan pembatasan biaya
Motif penegakan hukum pinjaman, sehingga penerapan aturan
Motif penegakan hukum terdiri dari tersebut merupakan suatu kelaziman bagi
pencegahan penghindaran pajak, banyaknya suatu negara. Sebagaimana dinyatakan oleh
negara yang menerapkan aturan pembatasan narasumber kedua sebagai berikut:
bunga, dan penggunaan saldo rata-rata untuk “jadi kita cuma melihat di global, di
mengatasi celah perpajakan. Alasan yang seluruh negara ini berapa sih negara
pertama dari segi pencegahan penghindaran yang sudah menerapkan thin cap
pajak berupa penggeseran profit rule, itu saja. Dari situ kita lihat, oh
menggunakan pembebanan bunga, ternyata semakin banyak” (P2.57).
sebagaimana dinyatakan oleh kedua
narasumber sebagai berikut:
“Dari situ kita lihat, oh ternyata untuk menghitung DER. Sebagaimana diatur
semakin banyak. Berarti itu suatu di dalam Pasal 1 PMK-169, saldo rata-rata
indikasi bahwa ketika kita utang/modal dihitung berdasarkan rata-rata
menerapkan suatu kebijakan thin saldo utang/modal tiap akhir bulan pada
cap rule, metodenya apa pun juga, tahun pajak atau bagian tahun pajak yang
itu adalah merupakan suatu bentuk bersangkutan.
yang lazim di dunia” (P2.57). Alasan penggunaan saldo rata-rata
Pernyataan tersebut telah sesuai dengan data tersebut yang dapat diidentifikasi dari hasil
IBFD pada tabel 3 yang menyatakan sampai wawancara penelitian ini adalah untuk
dengan tahun 2011 seluruh negara anggota memitigasi tax planning dengan menutup
Uni Eropa telah menerapkan aturan celah peraturan (loophole). Sebagaimana
pembatasan bunga baik menggunakan dinyatakan oleh kedua narasumber sebagai
prinsip arm’s length secara umum maupun berikut:
menggunakan aturan spesifik seperti DER. “Untuk memitigasi tax planning,
DER sendiri digunakan oleh lebih dari misalnya salah satunya ya.
separuh negara anggota Uni Eropa, yakni Misalnya ini, dari Januari sampai
sebanyak 15 negara. Dengan merujuk pada Desember DER nya 100:1,
kondisi tersebut, tidak heran pemerintah kemudian di Desember di-switch
memutuskan untuk menerapkan aturan saja dulu menjadi 3:1. Nanti Januari
kebijakan pembatasan bunga. aktif lagi 100:1. Jadi ya kalau
Selanjutnya mengenai keputusan untuk melihat satu titik saja ya gampang
menerapkan atau tidak menerapkan aturan sekali loophole-nya diambil”
pembatasan bunga juga merupakan hal (P1.56).
penting yang menjadi perhatian dalam
keseluruhan proses pembuatan kebijakan ini. “Nah itu, sehingga ya rata-rata per
Sebagaimana dinyatakan oleh narasumber bulan. tidak bisa juga rata-rata itu
kedua sebagai berikut: “Pertanyaannya adalah awal dan akhir, misalnya. Ini
adalah kita mau membatasi biaya bunga atau juga loophole” (P1.56).
tidak?” (P2.16).
Setelah diatur di dalam Pasal 18 ayat (1) “Saldo utang itu bisa kita pilih
UU PPh, sejak tahun 1983 Indonesia tidak saldo akhir atau saldo rata-rata, atau
benar-benar memiliki aturan pembatasan saldo tengah, apa pun begitu kan.
biaya bunga. Oleh karena itu, masalah Ini sebenarnya pilihan” (P2.18).
utamanya adalah memberlakukan aturan atau
tidak melalui wewenang yang dimiliki oleh “Kalau kemudian kita gunakan
Menteri keuangan. Masalah metode saldo akhir atau saldo awal, tidak
pembatasan bunga yang digunakan bukanlah meng-capture ini. Tidak meng-
sesuatu yang harus dipertimbangkan karena capture bahwa biaya bunga itu
memang sudah diatur secara eksplisit di hanya bagian dari tahun itu,
dalam UU PPh. Oktober sampai Desember doang.”
Alasan yang ketiga adalah penggunaan (P2.18).
saldo rata-rata untuk mengatasi celah Celah peraturan dapat terjadi jika DER
perpajakan. Ciri khas dari PMK-169 sebagai didapat dari saldo akhir yang dicantumkan
aturan pembatasan bunga di Indonesia adalah dalam neraca pada akhir tahun buku. Dalam
penggunaan rata-rata saldo utang dan bunga sepanjang tahun Wajib Pajak dapat dengan
leluasa melakukan pinjaman dan menjadikan besaran rasionya maupun adanya variasi
biaya bunga sebagai pengurang dalam perlakuan pada pihak berelasi.
penghitungan penghasilan kena pajak. Karena adanya kesulitan pada tahap
Selanjutnya Wajib Pajak dapat mengubah pertama dan kedua di atas, maka proses
posisi utang pada akhir tahun sedemikian penentuan besaran rasio dilanjutkan ke tahap
rupa hingga memiliki nilai DER tidak ketiga. Tahap yang ketiga adalah
melebihi 4:1. Hal ini dilakukan untuk menggunakan data perusahaan di Indonesia
memastikan biaya bunga tidak terkena untuk menghitung rata-rata perbandingan
koreksi fiskal. utang terhadap modalnya. Kesulitan pada
Motif keadilan tahap ini adalah apabila menggunakan
Motif keadilan meliputi aspek perumusan seluruh jenis perusahaan, maka tidak akan
besaran rasio DER dan pengecualian dari menggambarkan perusahaan yang secara
pengenaan aturan. Proses perumusan besaran alami menerapkan prinsip kehati-hatian
rasio ini adalah merupakan hal terberat di dalam berutang. Untuk mengatasi kesulitan
dalam rangkaian pembuatan kebijakan aturan tersebut maka diputuskan untuk
pembatasan biaya bunga, seperti yang dikutip menggunakan data perusahaan yang terdaftar
dari pernyataan narasumber berikut: di Bursa Efek Indonesia (go public).
“Yang kita pikirkan adalah dengan Sebagaimana pernyataan narasumber sebagai
DER tersebut bagaimana caranya berikut:
kita bisa mengefektifkan mengenai “Pikiran kita adalah oke kalau kita
besaran rasionya, mengenai Wajib ambil saja perusahaan go public.
Pajak yang dituju” (P2.16). Kenapa go public? Karena
perusahaan go public secara
“Hal terberat, tersulit berbicara nature-nya seharusnya dia akan
mengenai DER itu adalah masalah menjadi menjaga tingkat utangnya.
rasionya berapa. Karena secara Karena ketika dia utangnya tinggi
teoretis sendiri tidak ada yang akan mempunyai risiko leverage
bilang bahwa suatu perusahaan, ratio-nya besar dia akan terdampak
sebenarnya kita ingin lihat kepada nilai sahamnya bisa jatuh”
perusahaan itu sehat apabila tingkat (P2.137).
leverage-nya seperti apa sih”
(P2.137). “Secara nature-nya harusnya
Tahap pertama adalah mencari literatur perusahaan-perusahaan go public
mengenai penghitungan tingkat kesehatan itu akan menjaga leverage-nya
suatu perusahaan. Kesulitan pada tahap ini pada tingkat yang aman, maka kita
adalah tidak adanya literatur untuk ambillah data perusahaan go public
menghitung tingkat kesehatan suatu dari tahun 2005 sampai dengan
perusahaan berdasarkan tingkat leverage- 2013, 2014 waktu itu belum ada
nya. Oleh karena itu metode ini tidak dapat datanya” (P2.137).
digunakan untuk menentukan besaran rasio. Selanjutnya data perusahaan tersebut
Tahap yang kedua adalah menggunakan diklasifikasikan berdasarkan sektor
benchmark besaran rasio yang sudah usahanya. Setelah terklasifikasi maka
diterapkan di negara lain. Kesulitan yang dilakukan penghitungan rata-rata besaran
timbul pada tahap ini adalah sangat rasio utang terhadap modal yakni sebesar 3:1.
beragamnya rasio yang digunakan, baik Rata-rata tersebut sudah mengeluarkan data
perusahaan yang bersifat outliers dan data 6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha
perusahaan yang secara alami memiliki nilai di bidang infrastruktur.
DER yang besar, antara lain dari sektor Keenam poin pengecualian tersebut
perbankan, keuangan, konstruksi dan real merupakan hasil dari permintaan pandangan
estate. dari BKF kepada pihak-pihak yang terlibat
Setelah didapat besaran rasio 3:1, tahap dalam proses penyusunan kebijakan. Pihak
yang terakhir adalah melakukan dengar yang terlibat terdiri dari Ditjen Pajak, Bank
pendapat publik (public hearing) dengan Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) (OJK), APINDO dan KADIN.
dan Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Pengecualian pertama diberikan kepada
Tahap ini perlu dilakukan untuk Wajib Pajak bank. Alasan Wajib Pajak bank
mendapatkan masukan dari pihak-pihak yang dikecualikan dari ketentuan ini adalah karena
akan terdampak dengan terbitnya aturan sudah terdapat aturan khusus yang mengatur
pembatasan bunga. Hasil dari dengar komposisi utang dan modal pada sektor
pendapat publik tersebut adalah Pemerintah perbankan. Selain itu, bila PMK-169
menyetujui untuk memberi kelonggaran diterapkan pada sektor perbankan maka akan
besaran DER menjadi 4:1. Besaran 4:1 inilah kontraproduktif dengan kebijakan untuk
yang selanjutnya digunakan di dalam PMK- meningkatkan tabungan di perbankan.
169. Sebagaimana dinyatakan oleh narasumber
Aspek selanjutnya adalah pengecualian sebagai berikut:
pengenaan aturan pembatasan biaya bunga. “Karena bank itu kontraproduktif
Pasal 2 ayat (2) PMK-169 mengatur ketika kita mengatur mengenai
mengenai beberapa sektor usaha yang rasio debt-to-equity. Ketika kita
dikecualikan dari ketentuan DER maksimal berbicara debt, di bank itu kan
sebesar 4:1, yakni terdiri dari: termasuk tabungan kita dicatat
1. Wajib Pajak bank; sama bank sebagai liability kan. Itu
2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan; seperti kontraproduktif dengan
3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi; kebijakan untuk meningkatkan
4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha tingkat tabungan di perbankan,
di bidang pertambangan minyak dan maka bank kita coret” (P2.99).
gas bumi, pertambangan umum, dan
pertambangan lainnya yang terikat “Toh pun sudah ada ketentuan
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau mengenai debt-to-equity ratio yang
perjanjian kerja sama pengusahaan tidak bisa bank, intinya bank terlalu
pertambangan, dan dalam kontrak atau sempit geraknya untuk melakukan
perjanjian dimaksud mengatur atau tax planning lah, karena adanya
mencantumkan ketentuan mengenai aturan di moneter” (P2.99).
batasan perbandingan antara utang dan Pengecualian yang kedua diberikan
modal; dan kepada Wajib Pajak lembaga pembiayaan.
5. Wajib Pajak yang atas seluruh Alasan pengecualian terhadap Wajib Pajak
penghasilannya dikenai Pajak lembaga pembiayaan adalah karena sudah
Penghasilan yang bersifat final ada aturan mengenai gearing ratio.
berdasarkan peraturan perundang- Sebagaimana dinyatakan narasumber sebagai
undangan tersendiri; dan berikut:
“Terus lembaga pembiayaan juga direkomendasikan untuk mendapat peng-
seperti itu, kalau lembaga ecualian dari aturan pembatasan biaya bunga.
pembiayaan kita drop karena sudah Pengecualian yang keempat diberikan
ada aturan mengenai gearing ratio. kepada Wajib Pajak usaha pertambangan/
Gearing ratio-nya memang lebih kontrak karya/ kerja sama. Pengecualian ini
gede sih, 10:1 kalau gak salah. Tapi berlaku karena sudah terdapat klausul
intinya bahwa nature mereka itu mengenai perbandingan utang terhadap
ketika kita terapkan pembatasan modal yang telah dicantumkan secara
biaya bunga melalui debt-to-equity, eksplisit di dalam kontrak/ perjanjian. Oleh
perbandingan antara biaya bunga karena itu PMK-169 tidak berlaku bagi
jadinya gak tepat, maka kita perusahaan tersebut. Sebagaimana
keluarkan” (P2.99). dinyatakan narasumber sebagai berikut:
Pasal 46 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan “Kontrak karya? Karena itu sudah
Nomor 29/POJK.05/2014 mendefinisikan diatur di dalam kontrak. Kontrak itu
gearing ratio sebagai perbandingan antara sesuai pasal berapa, 33 ya? Lupa
jumlah pinjaman dengan selisih penjumlahan saya. 33a ya? Di Undang-Undang
ekuitas dan pinjaman subordinasi dengan itu bilang kan perusahaan PKP2B
penyertaan. Besaran gearing ratio yang (Perjanjian Karya Pengusahaan
diwajibkan kepada perusahaan pembiayaan Pertambangan Batubara), Kontrak
adalah paling tinggi 10 kali. Karya, Migas itu pajaknya
Pengecualian yang ketiga diberikan mengikuti kontrak sampai selesai.
kepada Wajib Pajak asuransi dan reasuransi. Kalau kita kemudian atur di PMK
Berdasarkan keterangan yang didapat dari ini tanpa memperhatikan apa yang
narasumber kedua, hasil permintaan sudah diatur di kontrak, itu berarti
pendapat kepada OJK adalah perusahaan aturan PMK kita menyalip Pasal
asuransi dan reasuransi dikecualikan dari 33a (UU PPh), maka kita atur di
aturan DER karena terkait dengan masalah situ. Kalau di dalam PKP2B, KK,
kebangkrutan. Sebagaimana dinyatakan segala macam kontraknya sudah
narasumber sebagai berikut: mengatur mengenai aturan setara
“Asuransi juga gitu, asuransi itu DER, aturan ini gak berlaku
tidak memungkinkan untuk (P2.103).
melakukan pinjaman karena terkait Pernyataan ini sesuai dengan yang diatur
dengan masalah kebangkrutan lah dalam Pasal 33A UU PPh sebagai berikut:
kalau misalnya asuransi itu” “Wajib Pajak yang menjalankan
(P2.99). usaha di bidang pertambangan
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan minyak dan gas bumi, pertam-
Menteri Keuangan Nomor: 424/KMK.06/ bangan umum, dan pertambangan
2003, perusahaan asuransi dan reasuransi lainnya berdasarkan kontrak bagi
wajib untuk memenuhi tingkat solvabilitas hasil, kontrak karya, atau perjanjian
paling sedikit sebesar 120% dari risiko kerjasama pengusahaan pertam-
kerugian yang timbul sebagai akibat dari bangan yang masih berlaku pada
deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan saat berlakunya Undang-Undang
kewajiban. Dengan adanya aturan tersebut, ini, pajaknya dihitung berdasarkan
perusahaan asuransi dan reasuransi ketentuan dalam kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertam- b. Pajak Penghasilan yang
bangan tersebut sampai dengan ditanggung oleh pemberi
berakhirnya kontrak atau perjanjian penghasilan.”
kerjasama dimaksud”. Pengecualian yang terakhir diberikan
Selanjutnya pengecualian yang kelima kepada Wajib Pajak yang menjalankan usaha
diberikan kepada Wajib Pajak yang atas di bidang infrastruktur. Pengecualian ini
seluruh penghasilannya dikenai Pajak merupakan hasil public hearing dengan
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan APINDO dan KADIN yang menyimpulkan
peraturan perundang-undangan tersendiri. bahwa penerapan aturan kepada pengusaha
Wajib Pajak yang masuk ke dalam kategori yang masuk ke dalam kategori ini akan
ini memang tidak diperbolehkan untuk kontraproduktif dengan kebijakan
menghitung ulang penghasilannya pada SPT infrastruktur nasional. Sebagaimana
Tahunan PPh. Hal ini disebabkan oleh dinyatakan narasumber sebagai berikut:
penghasilannya yang bersifat final, maka atas “Kemudian dari hasil public
biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, hearing itu muncul pandangan
menagih dan memelihara penghasilan final kalau pembatasan DER ini
tersebut tidak boleh dikurangkan untuk walaupun tidak membatasi
menentukan penghasilan kena pajak. perusahaan untuk melakukan utang
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 secara komersial, tapi kan ada
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 dampaknya ketika dia excessive
sebagai berikut: untuk melakukan utang yang besar,
“Pengeluaran dan biaya yang tidak terkait besarnya pajak yang
boleh dikurangkan dalam dibayar. Terkait dengan hal
menentukan besarnya Penghasilan tersebut, sementara pada tahun itu
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam sampai dengan tahun sekarang
negeri dan bentuk usaha tetap, Pemerintah lagi gencar untuk
termasuk: mengembangkan infrastruktur.
a. biaya untuk mendapatkan, Kalau infrastruktur dibiayai oleh
menagih, dan memelihara swasta, modal yang bisa mereka
penghasilan yang: dapatkan ya dari utang. Jadi ketika
1) bukan merupakan objek kita mengatur mengenai aturan
pajak; DER ini, bisa dianggap
2) pengenaan pajaknya bersifat kontraproduktif dengan kebijakan
final; Pemerintah mendorong swasta
3) dan/atau dikenakan pajak untuk berperan dalam
berdasarkan Norma pembangunan infrastruktur, maka
Penghitungan Penghasilan itu pun juga dikeluarkan” (P2.101).
Neto sebagaimana dimaksud Konklusi analisis tematik
dalam Pasal 14 Undang- Tahap analisis tematik dimulai dengan
Undang Pajak Penghasilan membiasakan diri dengan data,
dan Norma Penghitungan menghasilkan kode awal, mencari tema,
Khusus sebagaimana mengulas tema, mendefinisikan dan
dimaksud dalam Pasal 15 menamai tema, dan menghasilkan laporan.
Undang-Undang Pajak Analisis tematik menghasilkan empat tema
Penghasilan. yang relevan untuk menjawab pertanyaan
penelitian, yakni motif peraturan ketiga motif tersebut tetap memiliki andil
perundangan, motif perekonomian, motif dalam penyusunan kebijakan karena terdapat
penegakan hukum dan motif keadilan. kepentingan negara pada masing-masing
Motif peraturan perundangan me- motif tersebut.
rupakan motif yang paling dominan. Hal ini
didasari oleh adanya keterikatan pembuat KETERBATASAN DAN SARAN
kebijakan dengan sistem hukum domestik Keterbatasan yang dapat diidentifikasi dari
yang berlaku. Wujud keterikatan tersebut penelitian ini adalah:
adalah Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang 1. Penelitian hanya menggunakan data
Pajak Penghasilan yang secara tegas primer berupa hasil wawancara kepada
mengamanatkan kewenangan kepada BKF dan DJP selaku otoritas berkompeten
Menteri Keuangan untuk membuat di bidang perpajakan, sehingga tidak
keputusan mengenai perbandingan utang dan menangkap pandangan dari pihak lain
modal. yang ikut terlibat dalam proses
Adapun tiga motif lainnya merupakan penyusunan kebijakan.
pertimbangan tambahan bagi pembuat 2. Adanya keterbatasan akses dokumen
kebijakan. Hal ini didasari dengan tidak internal BKF dan DJP terkait penyusunan
adanya keterikatan seperti yang ada pada kebijakan pembatasan biaya bunga,
motif peraturan perundangan. Namun, sehingga penelitian ini hanya meng-
dengan adanya aturan pembatasan biaya andalkan keterangan yang didapat dari
bunga diharapkan dapat memenuhi narasumber yang berasal dari BKF dan
kepentingan negara dalam lingkup DJP.
perekonomian, penegakan hukum dan 3. Jumlah partisipan wawancara yang
peningkatan keadilan bagi Wajib Pajak. terbatas. Faktor utama yang menyebabkan
terbatasnya partisipan adalah karena tidak
KESIMPULAN banyak personil yang dilibatkan dalam
Penelitian ini menemukan alasan yang setiap penyusunan kebijakan. Faktor
digunakan Pemerintah Indonesia untuk berikutnya adalah prosedur penentuan
memilih DER sebagai pendekatan yang narasumber yang berlaku di BKF dan DJP
digunakan dalam ketentuan thin adalah berdasarkan disposisi/penunjukan
capitalization. Motif peraturan perundangan dari pejabat yang berwenang. Selain itu,
merupakan alasan yang paling dominan padatnya jadwal partisipan yang didapat
karena memiliki keterikatan dengan sistem dari hasil penyampelan bola salju juga
hukum domestik. Oleh karena itu, motif menjadi penyebab terbatasnya partisipan.
peraturan perundangan merupakan Hasil penelitian ini memberikan
pertimbangan utama dalam pembuatan masukan kepada pembuat kebijakan untuk
aturan pembatasan biaya bunga di Indonesia. konsisten dalam mengajukan pengubahan
Tiga motif selanjutnya, yakni motif Pasal 18 ayat (1) UU PPh. Revisi yang
perekonomian, motif penegakan hukum, dan dimaksud mencakup perluasan kewenangan
motif keadilan merupakan pertimbangan Menteri Keuangan untuk menentukan
sampingan dalam pembuatan kebijakan. pendekatan yang dapat digunakan dalam
Ketiga motif ini merupakan alasan tak aturan pembatasan biaya pinjaman.
dominan karena tidak ada keterikatan secara Dengan tidak adanya penyebutan rasio
khusus dengan keberadaan aturan pem- tertentu secara eksplisit seperti aturan yang
batasan biaya bunga. Walaupun begitu, ada saat ini, otoritas pajak dapat lebih leluasa
dalam menggunakan pendekatan aturan Chen, Li-Ju. 2014. How the Pecking-Order
pembatasan biaya. Fleksibilitas tersebut Theory Explain Capital Structure. Diakses
dibutuhkan untuk mengantisipasi semakin pada 25 Oktober 2017.
http://www.jimsjournal.org/10%20Li-
berkembangnya skema penghindaran pajak
Ju%20Chenpdf.pdf.
yang melibatkan biaya bunga.
Creswell, John W. 2018. Penelitian Kualitatif
Hasil penelitian ini juga memberikan & Desain Riset: Memilih di antara Lima
peluang bagi kalangan akademisi untuk Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
melakukan penelitian lanjutan terkait Deloitte Indonesia. 2015. “Indonesia’s new
efektivitas PMK-169 terhadap ketiga motif armour – Thin Capitalization Rules”. Tax
tak dominan dalam penyusunan kebijakan Alert September 2015. Jakarta: Deloitte
tersebut, yakni motif perekonomian, Tax Solutions. Diakses pada 10 Maret
penegakan hukum dan keadilan. Dengan 2018.
https://www2.deloitte.com/content/dam/
adanya penelitian lanjutan tersebut,
Deloitte/id/ Documents/tax/id-tax-alert-
diharapkan menjadi masukan bagi pembuat en-sep2015-noexp.pdf.
kebijakan dalam menentukan pendekatan Deloitte Touche Tohmatsu Limited. 2017.
mana yang paling optimal untuk mengatasi BEPS Actions implementation by
penghindaran pajak yang melibatkan biaya country: Action 4 - Interest deductions.
bunga. Diakses pada 17 Februari 2018.
https://www2.deloitte.com/content/dam/
DAFTAR PUSTAKA Deloitte/global/Documents/Tax/dttl-tax-
Alm, James. 2014. “Does an uncertain tax beps-action-4-interest-deductions-
system encourage ‘‘aggressive tax implementation-matrix.pdf.
planning’’?” Economic Analysis and Ðukić, Tatjana. 2011. Thin Capitalization
Policy 44 (2014): 30-38. Diakses pada 23 Rules in EU Member States. Uprava,
Mei 2018. letnik IX, 2/2011. Diakses pada 13
https://doi.org/10.1016/j.eap.2014.01.004 Agustus 2018. http://uprava.fu.uni-
. lj.si/index.php/CEPAR/article/download/
Bank Indonesia. 2016. Statistik Utang Luar 177/172/.
Negeri Indonesia. Februari. Diakses pada Eckbo, B. Espen, ed. 2008. Handbook of
13 Agustus 2018. Corporate Finance: Empirical Corporate
https://www.bi.go.id/en/iru/economic- Finance Volume 2. Amsterdam: North-
data/external- Holland. Diakses pada 24 Oktober 2017.
debt/Documents/SULNI%20FEBRUAR https://edisciplinas.usp.
Y%202016.pdf. br/mod/resource/view.php?id=1503357.
Blouin, Jennifer, Harry Huizinga, Luc Egger, Peter., dkk. 2010. “Corporate
Laeven, and Gaëtan Nicodème. 2014. taxation, debt financing and foreign-plant
Thin Capitalization Rules and ownership”. European Economic Review
Multinational Firm Capital Structure. 54 (2010): 96-107. Diakses pada 23 Mei
IMF Research Department Working 2018.
Paper. Diakses pada 6 Maret 2018. https://doi.org/10.1016/j.euroecorev.2009
https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/ .06.007
2014/wp1412.pdf. Given, Lisa M. 2008. The Sage Encyclopedia
Braun, V. dan Clarke, V. 2006. “Using of Qualitative Research Methods.
thematic analysis in psychology”. California: SAGE Publications, Inc.
Qualitative Research in Psychology Jayasupana, Putra. 2017. “Indonesia’s Thin
Volume 3 - Issue 2 (2006): 77-101. Capitalization Rules, BEPS Project
Diakses pada 12 September 2018. Objectives, and Firm’s Capital Structure”.
http://eprints.uwe.ac.uk/11735. Tesis Gelar Master. Tilburg University.
Diakses pada 26 Februari 2018. Modigliani, Franco dan Merton H. Miller.
http://arno.uvt.nl/show.cgi?fid= 143971. 1963. "Corporate Income Taxes and the
Johansson, Åsa, Øystein Bieltvedt Skeie, dan Cost of Capital: A Correction". American
Stéphane Sorbe. 2016. “ANTI- Economic Review. Juni, 53:3, pp. 443-53.
AVOIDANCE RULES AGAINST Myers, Stewart C. 1984. “The Capital
INTERNATIONAL TAX PLANNING: Structure Puzzle”. The Journal of Finance,
A CLASSIFICATION”. OECD Vol. 39, No. 3 (July): 575-592. Diakses
Economics Departments Working Papers pada 24 Oktober 2017.
No. 1356. Diakses pada 17 Februari 2018. http://links.jstor.org/sici?sici=0022-
https://www.oecd.org/eco/Anti- 1082%28198407%2939%3A3%3C575
avoidance-rules-against-international-tax- %3ATCSP%3E2.0.CO%3B2-%23.
planning-A-classification.pdf. Myers, Stewart C, dan Nicholas S. Majluf.
Johnson, R. Burke, dan Larry Christensen. 1984. “Corporate Financing and
2017. Educational Research: Quantitative, Investment Decisions When Firms Have
Qualitative, and Mixed Approaches. Information That Investors Do Not Have”.
California: SAGE Publications, Inc. Journal of Financial Economics 13
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: (1984): 187-221. Diakses pada 24
424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Oktober 2017.
Keuangan Perusahaan Asuransi dan http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/down
Perusahaan Reasuransi. 30 September. load?doi=10.1.
Kaserer, C. (2008). Restricting Interest 1.334.7154&rep=rep1&type=pdf.
Deductions in Corporate Tax Systems: its OECD. 2015a. “OECD/G20 Base Erosion
Impact on Investment Decisions and and Profit Shifting Project: Explanatory
Capital Markets. Munich: CEFS. Dikutip Statement”. Paris: OECD Publishing.
dalam Ðukić, Tatjana. 2011. Thin Diakses pada 9 Maret 2018.
Capitalization Rules in EU Member http://www.oecd.org/ctp/beps-
States. Uprava, letnik IX, 2/2011. Diakses explanatory-statement-2015.pdf.
pada 13 Agustus 2018. OECD. 2015b. “Limiting Base Erosion
http://uprava.fu.uni- Involving Interest Deductions and Other
lj.si/index.php/CEPAR/article/download/ Financial Payments, Action 4 - 2015 Final
177/172/. Report, OECD/G20 Base Erosion and
Kemsley, Deen dan Doron Nissim. Profit Shifting Project”. Paris: OECD
“Valuation of the debt Tax Shield”. 2002. Publishing. Diakses pada 17 Februari
The Journal of Finance. Okt, 57:5, pp. 2018.
2045-2073. http://dx.doi.org/10.1787/978926424117
Kraus, Alan dan Robert H. Litzenberger. 6-en.
1973. “A State-Preference Model of OECD. 2017. Tinjauan Kebijakan
Optimal Financial Leverage”. American Pertumbuhan Hijau Indonesia 2017-2019.
Finance Association. Sep, 28:4, pp. 911- OECD. Diakses pada 13 Maret 2018.
922. https://www.oecd.org/environment/ count
Miles, Matthew B., dan A. Michael ry-reviews/Green_Growth_Policy_Revie
Huberman. 1994. Qualitative Data w_Indonesia_BAHASA.pdf
Analysis: an Expanded Sourcebook. OECD. 2018. Glossary of Tax Terms.
California: SAGE Publication, Inc. Organisation for Economic Co-operation
Modigliani, Franco dan Merton H. Miller. and Development. Diakses pada 13 Maret
1958. "The Cost of Capital, Corporate 2018. http://www.oecd.org/ctp/ glossary
Finance, and the Theory of Investment". oftaxterms.htm#T.
American Economic Review. Juni 48:4, Peraturan Bank Indonesia Nomor
pp. 261-97. 16/21/PBI/2014 Tentang Penerapan
Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan
Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Diakses pada 10 Maret 2018.
29 Desember. https://doi.org/10.1016/
Peraturan Menteri Keuangan Republik j.intaccaudtax.2013.02.005.
Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 Yin, Robert K. 2015. Studi Kasus: Desain
Tentang Penentuan Besarnya dan Metode. Depok: PT Rajagrafindo
Perbandingan antara Utang dan Modal Persada.
Perusahaan untuk Keperluan Zaina. 2017. “Thin Capitalization Rules,
Penghitungan Pajak Penghasilan. Menteri Firm's Financing Decision, and Corporate
Keuangan Republik Indonesia. 9 Tax Avoidance in Developing Country:
September. Evidence From Indonesia”. Tesis Gelar
Peraturan Menteri Keuangan Republik Master. Erasmus School of Economics,
Indonesia Nomor 234/PMK.01/2015 Erasmus Universiteit Rotterdam. Diakses
Tentang Organisasi dan Tata Kerja pada 6 Maret 2018.
Kementerian Keuangan. 22 Desember. https://thesis.eur.nl/pub/41051/
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Zaina_445330.pdf
29/POJK.05/2014 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan. 19 Nopember.
Rita, Mutamimah. 2009. “Keputusan
Pendanaan: Pendekatan Trade-Off Theory
dan Pecking Order Theory”. Ekobis. Jan,
10:1, pp. 241-249. Diakses pada 25 Mei
2018.
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/eko
bis/article/download /485/395
Rulman, Andrie. 2017. “Thin Capitalisation
in Indonesia: Should Indonesia Follow
OECD BEPS Project Recommendation on
Thin Capitalisation?” Tesis Gelar Master.
Tilburg University. Diakses pada 17
Februari 2018.
http://arno.uvt.nl/show.cgi?fid=143356.
Shahar, Wan Shahdila Shah, dkk. 2015. A
Review of Capital Structure Theories:
Trade-Off Theory, Pecking Order Theory
and Market Timing Theory. Proceeding of
the 2nd International Conference on
Management and Muamalah: November.
Diakses pada 25 Mei 2018.
http://www.kuis.edu.my/icomm/2nd/dow
nload/IC%20019.pdf
Subramanyam, K.R. 2014. Financial
Statement Analysis, Eleventh Edition.
New York: McGraw-Hill Education.
Taylor, Grantley, dan Grant Richardson.
2013. “The determinants of thinly
capitalized tax avoidance structures:
Evidence from Australian firms”. Journal
of International Accounting, Auditing and
Taxation 22, Issue 1 (2013): 12– 25.

Anda mungkin juga menyukai