Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No.

1 Agustus Tahun 2021

ANALISIS SIMBOLIK STRUKTURAL BURUNG ENGGANG PADA


MASYARAKAT DAYAK

Manarul Hidayat
Universitas Diponegoro, Semarang
Email: mangnawul@gmail.com

Abstract
Hornbills or Buceros sp. often used in various Dayak society activities, both
of body parts and body illustrations. It shows that hornbills means very important for
Dayak society. The importance and sacredness of hornbills can be seen through the
structural symbolic concept of Levi-Strauss, which sees myth as starting from its
structure before developing into a set of objects and phenomena in application.
Hornbills are believed to play an important role in various aspects of life, through
this found concept development that include objects and phenomena such as
buildings, clothing, weapons, leadership and brotherhood, performances, and
ceremonies.

Keywords: Symbol, Levi-Strauss, hornbills, Dayak society.

I. Pendahuluan Dayak terkadang berbeda satu sama


Burung enggang sangat erat lain.
kaitannya dengan masyarakat Dayak. Kajian mengenai burung
Hal tersebut terlihat dari sering enggang menjadi penting mengingat
dijumpainya penyematan bagian tubuh kajian-kajian yang telah ada, pada
burung enggang dalam perangkat umumnya tidak mengarahkan fokus
hidup masyarakat Dayak. Selain itu, pada burung enggang sebagai simbol.
sering pula terdengar soal kesakralan Beberapa yang benar-benar
burung enggang bagi masyarakat mengarahkan fokus pada burung
Dayak. Tetapi konsep-konsep yang enggang cenderung mengkaji populasi
merepresentasikan burung enggang dan perburuan liar. Untuk itu, tulisan
pada tiap-tiap kelompok masyarakat ini akan menelusuri mengapa burung
engang begitu penting bagi masyarakat

52
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

Dayak, serta menganalisis pola-pola jumlah jelas mendorong beragamnya


yang menyertai konsep-konsep fauna di Borneo, termasuk berbagai
mengenai burung enggang. satwa endemik Borneo.
Dayak merupakan suku yang
II. Masyarakat Dayak dan secara umum dipahami sebagai
Sakralitas penghuni hutan tropis Borneo, atau
Pulau Kalimantan yang secara setidaknya sebagai suku yang
luas juga dikenal dengan nama mendominasi Borneo. Lebih jauh lagi,
Borneo, sebagian besar atau lebih Dayak memiliki tujuh kelompok besar
tepatnya 73% wilayahnya termasuk subsuku, yakni Punan, Iban,
dalam wilayah administrasi Indonesia. Apokayan, Ot’ Danum, Ngaju,
Borneo memiliki pengaruh yang besar Klemantan, dan Murut, yang kembali
terhadap ketersediaan oksigen dunia, terbagi menjadi 60 subsuku, hingga
mengingat disamping luasnya yang terbagi lagi menjadi 405 subsuku kecil
diperkirakan mencapai 74.000.000 yang penamaannya secara umum
hektar, Borneo juga memiliki tingkat disesuaikan dengan nama anak sungai
ketertutupan pohon yang tinggi. atau cabang sungai di wilayah mereka
Dengan wilayah yang begitu luas ini, tinggal (Riwut, 2007: 266).
Borneo menjadi pusat Kelestarian hutan Borneo yang
keanekaragaman tumbuhan dunia. kaya akan flora dan fauna pada
Setidaknya 10.000 jenis tumbuhan hakikatnya tak terlepas dari prinsip
berbunga atau 5% dari jenis tumbuhan yang dipegang erat oleh masyarakat
berbunga yang ada di dunia, dan Dayak mengenai hutan yang merawat,
hampir separuh diantaranya memelihara, dan juga membesarkan
merupakan jenis endemik Borneo mereka. Itu mereka ungkapkan dengan
(Soepadmo & Wong dalam istilah “Lunag Telang Otah Ine” yang
Noorhidayah, dkk. 2006: 96). Flora berarti hutan adalah air susu ibu
yang begitu kaya dalam jenis dan (Alfonsius, 2016: 233-234). Selain itu,

53
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

masyarakat Dayak juga membuat dan peristiwa besar, dengan disertai


beberapa pantangan dan pengkudusan sanksi atau hukuman terhadap
beberapa hal yang berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan.
hutan dan segala isinya. Tanpa Pengecualian akan larangan
disadari, hal tersebut turut berperan penggunaan tana’ ulen menurut
dalam menjaga kelestarian hutan Samsoedin dkk. (2010: 157) terjadi
Borneo. Baik pantangan maupun dalam kondisi dan keperluan tertentu,
pengkudusan sama-sama berada pada mengingat salah satu tujuan dari
lingkaran mitos, yang oleh Peursen adanya konsep tana’ ulen tersebut
(1988: 37) dijelaskan sebagai sebuah memang untuk menjaga cadangan
cerita yang memberikan pedoman dan keperluan masyarakat, serta untuk
arah tertentu kepada sekelompok kepentingan kelestarian hasil produksi
orang. Lebih lanjut, mitos memberikan tertentu.
arah kepada kelakuan manusiawi dan Sementara itu, salah satu yang
merupakan pedoman untuk berkaitan dengan pengkudusan
kebijaksanaan manusia. melekat pada burung enggang. Burung
Salah satu pantangan yang enggang oleh masyarakat Dayak
berkaitan dengan flora dan fauna yang Kenyah diyakini sebagai wujud nenek
ada dalam kehidupan masyarakat moyang mereka ketika turun dari
Dayak dapat dilihat dari adanya langit ke bumi. Bahasan mengenai
konsep hutan terlarang atau dalam burung enggang ini akan dibahas lebih
bahasa lokal disebut tana’ ulen, yang jauh dalam bagian selanjutnya.
dapat dijumpai pada masyarakat
Dayak Kenyah di Kalimantan Timur III. Burung Enggang
(Samsoedin, dkk., 2010: 157). Burung enggang yang juga
Penggunaan tana’ ulen memiliki disebut dengan burung rangkong
ketentuan khusus, mengingat karena memiliki nama latin Buceros sp. atau
terdapat nilai sejarah seperti kematian Rhinoplax vigil (Darajati, dkk., 2016:

54
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

152). Burung ini menurut Hernowo terdengar sampai sejauh 3 km.


(1989: 22) termasuk dalam anggota Kemungkinan, hal tersebut dilakukan
suku Bucerotidae yang terkenal ketika untuk menarik perhatian individu lain
bersarang dalam lubang pohon dan juga menunjukkan kemampuan
menyegel lubang dengan campuran fisiknya (Haimoff dalam Adji, dkk.,
tanah dan air liurnya. 2018: 7).
Apa yang khas dari burung ini Persebaran burung enggang
dapat tampak dari ciri fisiknya, yang mencakup Myanmar bagian selatan,
pada bagian kepalanya memiliki paruh Semenanjung Malaysia, pulau
kokoh dengan ukuran yang cukup Sumatera, dan pulau Kalimantan yang
besar. Beberapa cabang dari jenis memiliki curah hujan tahunan kurang
burung ini selain ada yang memiliki dari 3000 mm. Lebih spesifik, burung
cula, ada pula yang memiliki gading. enggang diketahui hidup di hutan
Cula dan gading tersebut disebut primer yang hijau sepanjang tahun,
dengan casques atau balung yang pada khususnya di kaki pegunungan dengan
umumnya hanya berupa rongga topografi bergelombang, meskipun
kosong, kecuali untuk burung enggang dapat pula ditemui di ketinggian 50
gading yang bagian depan balungnya sampai 1500 mdpl dalam hutan bekas
padat, karena terbentuk dari keratin tebang pilih yang cenderung masih
dan tidak memiliki pembuluh darah alami. Itu dikarenakan kebutuhan akan
sehingga menjadi keras dan padat pangan berupa buah-buahan serta
(Gamble dalam Adji, dkk., 2018: 6-7). kecenderungannya untuk hidup jauh
Selain kepala yang khas, dari manusia (Adji, dkk., 2018: 7-8).
burung enggang, terutama enggang Berdasarkan tutupan hutan tahun 2014,
gading, memiliki suara yang khas Adji, dkk. (2018: 8) memperkirakan
Menyerupai suara tertawa gila atau ada 27,4 juta hektar lahan kering dan
maniacal laugh dengan frekuensi sekunder yang tersisa memberpotensi
antara 500-1500 Hz, sehingga dapat

55
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

menjadi habitat enggang gading di struktur atau hubungan yang terjalin


Sumatera dan Kalimantan. dapat sama dengan struktur yang ada
Ciri fisik burung enggang yang di kebudayaan lain.
pada bagian kepalanya memiliki Bagi Levi-Strauss, tak ada
semacam tanduk dan paruh besar simbol yang arkaik. Jika simbol yang
membuatnya sangat berkharisma. sama muncul pada beberapa
Kehadirannya ditandai dengan kebudayaan, maka hal itu
kepakan sayapnya yang keras. kemungkinan besar terjadi melalui
Kehadirannya juga dapat menjadi difusi, atau karena unsur intrinsik dari
indikator bagus atau tidaknya kondisi objek-objek simbolik menunjukkan
suatu ekosistem hutan (Hanum dan asosiasi yang sama dengan tradisi
Dahlan, 2018: 35). sejarah lain (Saifuddin, 2005: 203).
Keberadaan mitos coba dibandingkan
IV. Teori Simbolik Struktural dengan keberadaan seni yang menurut
Berkaitan dengan kebudayaan Levi-Strauss (1966: 25-26) intinya
dan simbol, Levi-Strauss (dalam sama-sama suatu tindakan penciptaan
Saifuddin, 2006: 202) berpendapat nan kreatif, tetapi dalam karya seni
bahwa kebudayaan berskala kecil memiliki titik awal yang berupa
membangun keteraturan dunianya sekumpulan objek dari fenomena yang
secara arbitrer atau manasuka, melalui kreasi estetiknya disatukan dengan
simbol yang merepresentasi gagasan, mengungkap satu struktur yang sama,
nilai, dan suasana psikologi berbeda dengan mitos yang
masyarakat. Keterkaitan antara menggunakan struktur untuk
keteraturan dengan simbol tersebut menghasilkan objek dari sekumpulan
salah satu contohnya adalah aktivitas fenomena. Dengan demikian, secara
hewan yang dijadikan tanda suatu singkat dapat dikatakan bahwa seni
fenomena. Hewan dan fenomena yang berangkat dari himpunan objek dan
diasosiasikan dapat berbeda, tetapi fenomena (object + event) menuju

56
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

penemuan (discovery) strukturnya, dunia atas yang meliputi kehidupan,


sedangkan mitos dimulai dari suatu kesuburan, dan harmoni (Sellato,
struktur atau konsep utama yang 1990: 37). Misalnya dalam masyarakat
kemudian mengonstruksi (constructs) Dayak Aoheng, terdapat upacara
himpunan objek dan fenomena (object pentas pertarungan antara kubu naga
+ event). melawan kubu burung enggang, yang
Dari uraian tersebut dapat oleh Sellato (2002: 185) dikatakan
diketahui bahwa suatu mitos yang bahwa kubu naga mewakili roh-roh
memuat simbol memiliki struktur yang telah tiada, sedangkan kubu
pembentuk, baru dari situ mulai burung enggang mewakili orang-orang
muncul pengembangan dalam hal yang masih hidup. Tentu ini hanya
penerapan simbol dari mitos tersebut. satu dari banyak simbolisasi burung
Itu semua tidak menutup kemungkinan enggang dalam masyarakat Dayak.
untuk dapat diterapkan pada burung Kisah batang garing beredar di
enggang yang dianggap suci atau tengah masyarakat Dayak secara
dikuduskan oleh masyarakat Dayak. umum. Itu mengisahkan porak-
porandanya pohon yang bernama
V. Pembahasan: Simbolisasi batang garing karena benturan
Burung Enggang perkelahian antara dua ekor burung
Burung enggang atau rangkong enggang. Satu merupakan burung
bersama dengan naga menjadi simbol enggang jantan yang mengalami
atau ornamen yang umum digunakan perputaran dan bergerak dari atas
oleh masyarakat Dayak. Tidak pohon ke bawah, sedangkan satu
mengherankan, mengingat dalam lainnya merupakan burung enggang
kosmologi tradisional yang ditemukan betina yang mengalami perputaran dan
di seluruh Kalimantan, naga dianggap bergerak dari bawah pohon ke atas.
sebagai simbol dunia bawah, dan Keduanya merupakan jelmaan dari
rangkong dianggap sebagai simbol keris emas bertahtakan permata milik

57
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

Ranying Hatala, penguasa dunia atas dengan nama king baba, berasal dari
yang bayang-bayangnya menguasai kata king atau pakaian, dan baba atau
dunia bawah. Bagian bawah pohon laki-laki, yang juga diidentikkan
batang garing ditandai dengan adanya dengan pakaian perang. King baba
guci air suci, sedangkan bagian memiliki penutup kepala yang terbuat
puncaknya ditandai dengan matahari dari serat kulit kayu, pada bagian
dan burung enggang itu sendiri. itulah bulu burung enggang diselipkan
Berkaitan dengan benturan burung (Darmadi, 2017: 103). Dahulu penutup
enggang, bagian-bagian dari batang kepala tersebut hanya digunakan
garing yang berserakan karena ketika perang, tetapi sekarang menjadi
benturan, kemudian memunculkan bagian tak terpisahkan dari
berbagai kehidupan, termasuk manusia pertunjukan tari (Lenjau, dkk., 2012:
laki-laki dan manusia perempuan 220). Begitu pula dengan pakaian adat
(Santosa dan Djamari, 2015: 253-255). Dayak untuk perempuan, hanya saja
Secara singkat, burung enggang terdapat beberapa penambahan lain
menjadi sosok kunci kelahiran yang membuatnya terlihat lebih
manusia di alam dunia sebelum tertutup. Apabila ditelusuri lebih lanjut
akhirnya diturunkan ke bumi. mengenai seperangkat pakaian adat
Keberadaan burung enggang dan Dayak yang identik dengan pakaian
matahari tepat di puncak batang perang, maka akan ditemukan pula
garing menurut Kresandini (2016: seperangkat alat perang yang berupa
132) menjadi lambang atau simbol dari perisai dan pedang. Secara berurutan
sumber segala kehidupan. keduanya disebut dengan talawang
Masih berkaitan dengan simbol dan mandau. Dalam alat perang
burung enggang yang berada di sisi tersebut dapat dijumpai simbol
atas, terdapat pakaian adat Dayak kehidupan berupa bentuk kepala
untuk laki-laki yang menyematkan burung enggang pada gagang mandau
bulu burung enggang. Itu dikenal yang terbuat dari tanduk rusa, serta

58
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

pada sarung mandau yang terkadang atau pohon beringin. Lebih lanjut, apa
juga menjadikan bulu burung enggang yang berkaitan dengan burung
sebagai hiasan. Pada gagang mandau enggang seperti gambar, patung, dan
simbol kepala burung enggang ukiran, dapat dijumpai di bagian atas
terkadang diganti dengan simbol belawing atau tugu wilayah komunitas,
kepala naga (Darmadi, 2017: 104). bagian atas berlubung umaq atau
Senjata yang merupakan harapan puncak atap rumah, bagian tengah
untuk dapat bertahan hidup, terutama ukiran awang ntiang atau dinding
ketika perang, bersama dengan simbol serambi lamin (Kusumaningrum,
kehidupan dalam bentuk bagian tubuh 2018: 31). Burung enggang dianggap
burung enggang, menjadi kesatuan asli Kalimantan, itu kemudian diyakini
yang mewakili harapan masyarakat sebagai hewan leluhur, suci, pemersatu
Dayak seusai perang, yakni kehidupan. antarsuku Dayak di Kalimantan. Bagi
Bangunan rumah masyarakat mereka, bentuknya besar dan berparuh
Dayak yang disebut lamin, juga kuat, tetapi burung enggang memiliki
memiliki dekorasi, baik dalam bentuk karakter rendah hati, setia, dan berani.
seni ukir, motif, dan lukisan. Itu secara Melalui simbol burung enggang pada
singkat disebut dengan istilah kalung, sudut-sudut lamin, diharapkan
yang tak luput dari pengaruh simbol- masyarakat Dayak dapat bersikap
simbol yang berkaitan dengan burung seperti burung enggang yang rendah
enggang. Burung enggang termasuk hati, setia, dan berani
dalam tujuh sumber figur kalung, yang (Kusumaningrum, 2018: 32).
menurut Kusumaningrum (2018: 28) Sedikit keluar dari rumah lamin
meliputi tebengaang atau burung atau rumah betang, pada masyarakat
enggang, udo atau wajah manusia, Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah
kelunan atau manusia utuh, lenjau atau terdapat tiang pantar berjumlah 12
harimau, legunan atau naga, aso atau buah yang terletak di seberang lamin.
anjing, tanjau atau guci, serta munik Itu dibuat dari kayu ulin dengan

59
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

ketinggian 10-12 meter dan pada ujung 1997: 41) simbol-simbol burung
masing-masing tiang terdapat simbol enggang berupa ukiran dengan
burung enggang raja atau liak piau kerumitan tinggi diletakkan di tengah
berupa ukiran. Menurut Widjaja dan ketika upacara terhadap yang telah
Wardani (2016: 93) liak piau di meninggal, dihadapkan ke hilir atau
puncak tiang pantar merupakan simbol arah menuju laut serta menjadi
penguasa alam langit. Lebih lanjut, penanda kuburan para bangsawan.
tiang pantar tersebut juga dianggap Sedangkan untuk upacara terhadap
sebagai jalan menuju surga dan simbol yang masih hidup, ukiran burung
kepemimpinan dari leluhur di surga enggang dihadapkan ke hulu sebagai
serta bukti leluhur tersebut telah di- simbol menuju sumber kehidupan.
tiwah. Tiwah sendiri merupakan Simbol burung enggang berupa ukiran
upacara penyimpanan tulang leluhur juga menjadi pusat salah satu upacara
dalam sandung, semacam peti beratap masyarakat Dayak Iban, yakni gawai
yang disangga empat tiang kenyalang atau festival enggang yang
dibawahnya. Burung enggang di dilakukan setiap 10 tahun sekali dan
bagian puncak sandung menjadi hanya diperbolehkan diselenggarakan
simbol kelengkapan kehidupan arwah setelah seseorang mendapat isyarat
orang yang telah meninggal, estetis melalui mimpi (Bennett, dkk., 1997:
dan prestisnya sandung merupakan 41). Dalam upacara ini, ukuran patung
penghormatan terakhir dari orang yang burung enggang yang dibuat berukuran
masih hidup untuk keluarga yang telah cukup besar dan memiliki warna yang
meninggal. cerah, tetapi tidak terlampau kontras
Artefak dengan ukiran burung dan mencolok. Sedangkan mengenai
enggang seringkali menjadi pusat motif ukiran, patung ini mengikuti apa
pelaksanaan upacara berbagai yang tergambar dalam mimpi, itu
kelompok masyarakat di Kalimantan. semua dipersiapkan cukup lama dan
Menurut Langub (dalam Bennett, dkk., bahkan dapat memakan waktu hingga

60
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

satu tahun. Patung besar yang diukir menghadirkan kesan kokoh dan
dengan rupa penuh akan nuansa menjulang tinggi pada sepasang
burung enggang menjadi simbol patung burung enggang tersebut.
kekuatan atau spirit kehidupan, atas Masih berkaitan dengan
dasar itu maka selama proses kepemimpinan, burung enggang
persiapan upacara gawai kenyalang, dimaknai sebagai sebuah nilai
masyarakat Dayak Iban memberikan kebaikan yang dipercayai masyarakat
persembahan berupa anggur, makanan, Dayak Kenyah mewakili kekuatan
rokok, hingga uang, untuk patung untuk melindungi atau menjaga
enggang yang masih dalam proses kehidupan, itu menjadi sesuatu yang
pembuatan tersebut. Sedangkan ketika harus dimiliki oleh pemimpin mereka
tiba waktunya untuk upacara maka (Hanum dan Dahlan, 2018: 38. Burung
persembahan untuk spirit kehidupan enggang yang dianggap memiliki
itu digantikan dengan babi dan ayam kemampuan untuk menjaga dan
dengan jumlah yang banyak. mengendalikan kehidupan dengan baik
Dalam bidang pemerintahan, menjadi simbol sifat kepemimpinan
burung enggang cula menjadi burung ideal yang harus dijadikan teladan oleh
kenegaraan bagi negara bagian seorang pemimpin.
Serawak, sementara itu di Kalimantan
Barat burung enggang ditampilkan VI. Orientasi
dalam simbol atau lambang Uraian pelibatan burung
pemerintah provinsi (Bennett, dkk., enggang dalam kehidupan masyarakat
1997: 41). Secara fisik, seperti kata Dayak menunjukkan bahwa burung
Hanum dan Dahlan (2018: 37), burung enggang bagi masyarakat Dayak telah
enggang juga terdapat di halaman menjadi suatu simbol dan memiliki
kantor Gubernur Kalimantan Timur makna tertentu. Gagasan mengenai
dalam wujud patung. Pembuatannya nenek moyang yang turun dari dunia
yang menggunakan kayu secara penuh atas sebagai burung enggang

61
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

merupakan mitos yang menjadi modus kemudian dikembangkan dalam


bagi masyarakat Dayak untuk berbagai bentuk, baik ciptaan,
menunjukkan jati diri bahwa mereka gagasan, maupun tindakan.
adalah manusia yang unggul, mereka Pentas pertarungan dengan
adalah manusia dengan sebaik-baik kubu burung enggang yang mewakili
manusia dengan beragam kebijakan orang-orang yang masih hidup, kisah
dan kebaikan (Hanum dan Dahlan, batang garing yang bertutur bahwa
2018: 39). kehidupan manusia disebabkan oleh
Mitos yang berlaku dan dua ekor burung enggang, bulu dan
dipercaya, bahkan kemudian ukiran enggang dalam pakaian dan
dikembangan dalam berbagai objek senjata perang yang menyimpan
dan fenomena oleh masyarakat Dayak, harapan untuk dapat hidup setelah
menunjukkan orientasi berpikir perang, motif burung enggang dalam
mereka yang masih terpengaruh rumah lamin yang menjadi simbol
dengan alam pikiran mistis, yang oleh harmoni kehidupan, patung dan ukiran
Peursen (1988: 34) dikatakan masih burung enggang dalam ritual sebagai
membangun hubungan langsung simbol kekuatan atau spirit kehidupan,
dengan daya-daya alam yang serba serta sifat saling menjaga dan
rahasia. melindungi burung enggang tehadap
burung lain yang menjadi simbol sifat
VII. Struktur Mitos kepemimpinan ideal, merupakan
Berbagai hal yang memuat bentuk-bentuk berbeda yang
simbol burung enggang bersama dikembangkan oleh masing-masing
dengan makna-makna yang menyertai kelompok masyarakat Dayak dari
atau diwakili tersebut pada dasarnya suatu struktur mitos.
memiliki banyak kesamaan makna Sedangkan struktur pembentuk
yang menyertai. Atau dapat dikatakan yang menarik satu garis kesamaan itu
memiliki satu gagasan utama yang adalah gagasan bahwa burung enggang

62
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

merupakan sosok suci kunci yang meliputi bangunan, pakaian,


kehidupan. Burung enggang menjadi senjata, kepemimpinan dan
sosok dari dunia atas yang memiliki persaudaraan, pementasan, hingga
peran besar terhadap keberlangsungan upacara.
hidup umat manusia.
Daftar Pustaka
Adji, B.D., dkk. (2018). Strategi dan
VIII. Simpulan Rencana Aksi Konservasi
Beragam mitos yang begitu Rangkong Gading (Rhinoplax
vigil) Indonesia 2018-2028.
suci dan agung, serta simbolisasi yang KLHK Republik Indonesia.
begitu kuat dan baik mengenai burung
Alfonsius. (2016). “Masyarakat Adat
enggang, disamping memberi batasan Punan Dulau: Ditipu,
bagi masyarakat Dayak, juga menjadi Dimiskinkan, dan Diadu
Domba” dalam Konflik Agraria
pedoman bagi masyarakat Dayak Masyarakat Hukum Adat Atas
untuk menjalani hidup. Wilayahnya di Kawasan Hutan,
hlm. 231-243. Komnas HAM
Simbolik struktural pada Republik Indonesia.
hakikatnya memandang bahwa suatu
Bennett, E.L., dkk. (1997). “Hornbills
mitos yang memuat simbol memiliki Buceros Spp. and Culture in
struktur pembentuk, yang kemudian Northern Borneo: Can They
Continue to Co-Exist?” dalam
dengan struktur pembentuk tersebut Biological Conservation Vol. 82
dibangunlah suatu himpunan objek dan No. 1 hlm. 41-46. Wildlife
Conservation Society.
fenomena. Berkaitan dengan hal
Darajati, W., dkk. (2016). Indonesian
tersebut, dapat diketahui bahwa
Biodiversity Strategy and Action
pentingnya burung enggang bagi Plan 2015-2020. Kementerian
Perencanaan Pembangunan
masyarakat Dayak berasal dari mitos
Nasional.
mengenai burung enggang yang
Darmadi, H. (2017). “Dayak and Their
memegang peran penting dalam Daily Life” dalam Journal of
kehidupan. Dari situ dikembangkan Education, Teaching, and
Learning, Vol. 2 No. 1 hlm.
dalam berbagai objek atau fenomena 101-105. Institut Keguruan dan

63
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

Ilmu Pengetahuan PGRI Noorhidayah, dkk. (2006). “Potensi


Pontianak. dan Keanekaragaman
Tumbuhan Obat di Hutan
Hanum, I.R. dan D. Dahlan. (2018). Kalimantan dan Upaya
“Makna Mitos Cerita Burung Konservasinya” dalam Jurnal
Enggang di Kalimantan Timur” Analisis Kebijakan Kehutanan,
dalam CaLLs, Vol. 4 No. 1. Vol. 3 No. 2 hlm. 95-107.
Fakultas Ilmu Budaya Fakultas Kehutanan Universitas
Universitas Mulawarman Mulawarman Samarinda.
Samarinda.
Peursen, C.A. van. (1988). Strategi
Hernowo, J.B. (1989). “Suatu Tinjauan Kebudayaan. Yogyakarta:
terhadap Keanekaragaman Jenis Kanisius.
Burung dan Peranannya di
Hutan Lindung Bukit Soeharto Riwut, T. (2007). Kalimantan
Kalimantan Timur” dalam Membangun. Yogyakarta: NR
Media Konservasi, Vol. 2 No. 2 Publishing.
hlm. 19-32. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Saifuddin, A.F. (2005). Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar
Kresandini, A. (2016). Estetika Batang Kritis mengenai Paradigma.
Garing dalam Karya Perhiasan Jakarta: Kencana.
(Skripsi). Fakultas Seni Rupa
Institut Seni Indonesia Samsoedin, I., dkk. (2010). “Konsep
Yogyakarta. Tata Ruang dan Pengelolaan
Lahan pada Masyarakat Dayak
Kusumaningrum, T.A. (2018). Jelajah Kenyah di Kalimantan Timur”
Arsitektur Lamin Suku Dayak dalam Jurnal Analisis
Kenyah. Jakarta: Badan Kebijakan Kehutanan, Vol. 7
Pengembangan dan Pembinaan No. 2 hlm. 145-168.
Bahasa.
Santosa, P. dan Djamari. (2016).
Lenjau, M., dkk. (2012). “Rattan and “Kajian Historis Komparatif
Bamboo: Handicraft of the Cerita Batang Garing” dalam
Kenyah” dalam Plaited Arts KANDAI, Vol. 11 No. 2 hlm.
from the Borneo Rainforest. 248-265. Badan Pengembangan
Jakarta: The Lontar Foundation. dan Pembinaan Bahasa.

Levi-Strauss, C. (1966). The Savage Sellato, B. (1990). “Hornbills,


Mind. Hertfordshire: The Dragons, and Aoheng Dayak:
Garden City Press Limited. Get Ready for 21st Century”
dalam Voice of Nature, Vol. 20
hlm. 36-39.

64
Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 18, No. 1 Agustus Tahun 2021

Sellato, B. (2002). Innermost Borneo: Rumah Betang Toyoi Suku


Studies in Dayak Cultures. Dayak Ngaju di Kalimantan
Singapore: Singapore Tengah” dalam Dimensi
University Press. Interior, Vol. 14 No. 2 hlm. 90-
99. Program Studi Desain
Widjaja, M.U. dan L.K. Wardani. Interior Universitas Kristen
(2016). “Makna Simbolik pada Petra Surabaya.

65

Anda mungkin juga menyukai