Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tekhnis Lokasi Penelitian

1. Pengertian rumah sakit

Menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2. Tugas dan fungsi

Menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas

memberikan Pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.

Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan

Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2009, Rumah sakit umum mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan

kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna.

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian

pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

3. Tujuan

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan

b. Memberikan perlindungan terhadap Patient safety, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan

rumah sakit

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat,

sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

4. Organisasi

Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala

Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis,

unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan

pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan.

B. Tinjauan Umum Perawat

1. Pengertian perawat

Secara sederhana, perawat adalah orang yang mengasuh dan

merawat orang lain yang mengalami masalah kesehatan. Namun

11
pada perkembangannya, defenisi perawat semakin meluas. Kini,

pengertian perawat merujuk pada posisinya sebagai bagian dari

tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada mayarakat

secara profesional. Perawat merupakan tenaga profesional

mempunyai kemampuan, tanggung jawab, dan kewenangan dalam

melaksanakan dan/atau memberikan perawatan kepada pasien yang

mengalami masalah kesehatan (Rifiani dan Sulihandari, 2013).

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang

merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang

didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan

biopsikososial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada

individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang

mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hidayat, 2004).

Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan

individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat

mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang

optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati (Bagolz, 2010).

2. Falsafah keperawatan

Falsafah keperawatan adalah keperawatan yang mengkaji

penyebab dan hukum-hukum yang mendasari realitas, serta

keingintahuan tentang gambaran sesuatu yang lebih berdasarkan

pada alasan logis daripada metoda empiris. Falsafah keperawatan

12
memiliki tujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang dilakukan

oleh perawat (Rifiani dan Sulihandari, 2013).

3. Standar dan kriteria dalam keperawatan

Menurut Kamus Collins yang dikutip oleh Johani (2003)

mendefinisikan standart sebagai suatu tingkat kesempurnaan atau

kualitas dan sebuah contoh yang diterima atau yang disetujui tentang

sesuatu yang menjadi dasar penilaian atau pengukuran. Standart

adalah suatu tingkat kinerja yang secara umum dikenal sebagai

sesuatu yang dapat diterima adekuat, atau memuaskan dan

digunakan sebagai tolak ukur dan titik acuan yang dapat digunakan

sebagai pembanding. Mendefenisikan standar sebagai suatu

pengukur yang lebih akurat merupakan alternatif lainnya. Standar,

seringkali berupa numeric, merupakan pengukuran kuantitatif yang

spesifik sedangkan kriterianya hanya merupakan bagian atau atribut

dari kualitas mutu pelayanan. Standar dan kriteria dalam mutu

pelayanan dibentuk dengan mengidentifikasi dan menyepakati

elemen-elemen dari praktik yang baik. (Johani, 2003)

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan di

rumah sakit dapat diukur melalui standar pelayanan di rumah sakit

yang berfungsi untuk mengetahui, memantau dan menyimpulkan

apakah pelayanan/asuhan keperawatan yang diselenggarakan di

rumah sakit sudah mengikuti dan memenuhi persyaratan-

persyaratan yang ditetapkan dalam standar tersebut. (Johani, 2003)

13
4. Fungsi perawat

Fungsi utama perawat adalah membantu pasien/klien baik

dalam kondisi sakit maupun sehat, untuk meningkatkan derajat

kesehatan melalui layanan keperawatan. Dalam menjalankan

perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi yaitu: fungsi

independen, fungsi dependen, dan fungsi interdependen. (Rifiani dan

Sulihandari, 2013)

a. Fungsi independen.

Fungsi independen merupakan fungsi mandiri dan tidak

tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam menjalankan

tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri

dalam melakukan tindakan dalam memenuhi kebutuhan dasar

manusia. (Rifiani dan Sulihandari, 2013)

b. Fungsi dependen.

Fungsi dependen merupakan fungsi perawat dalam

melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat

lain. (Rifiani dan Sulihandari, 2013)

c. Fungsi interdependen.

Fungsi Interdependen merupakan fungsi yang dilakukan

dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara

tim satu dengan lain (Rifiani dan Sulihandari, 2013).

14
5. Peran perawat

Peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan

kependudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi oleh

keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi

keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).

Menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah

laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai

kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh

keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.

Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang

pada situasi sosial tertentu (Lailia, 2009).

Peran perawat menurut konsorsium ilmu ilmu kesehatan tahun

1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari:

a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat

dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan

dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan

sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat

direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai

dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat

dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan

15
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan

kompleks. (Hidayat, 2007)

b. Peran sebagai advokat.

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan

keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari

pemberian pelayanan atau informasi lain khususnya dalam

pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang

diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan

dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan

sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya. Hak atas

privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk

menerima ganti rugi akibat kelalaian (Hidayat, 2007)

c. Peran edukator.

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam

meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit

bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan

perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.

(Hidayat, 2007)

d. Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan,

merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan

sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta

sesuai dengan kebutuhan klien (Hidayat, 2007)

16
e. Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja

melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi

dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan

keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar

pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

(Hidayat, 2007)

f. Peran konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap

masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.

Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informais

tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. (Hidayat,

2007)

g. Peran pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan

mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang

sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan. (Hidayat, 2007)

C. Tinjauan Umum Tentang Patient safety

1. Pengertian Patient safety

Keselamtan pasien (Patient safety) adalah suatu sistem

dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah

terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

17
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko

pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari

insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan

resiko (Depkes RI, 2008).

Menurut Nursalam (2011), Patient safety adalah

penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak

diharapkan atau mengatasi cedera–cedera dari proses pelayanan

kesehatan. Program Patient safety adalah suatu usaha untuk

menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang sering

terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat

merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah sakit (Cecep,

2013).

Menurut IOM, keselamatan pasien (Patient safety)

didefinisikan sebagai Freed om from accidental injury. Accidental

injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu

perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai

tujuan. Cooper et al (2000) telah mendefenisikan bahwa “Patient

safety as the avoidance, prevention, and amelioration of adverse

outcomes or injuries stemming from the processes of healthcare.

”Pengertian ini maksudnya bahwa Patient safety merupakan

penghindaran, pencegahan, dan perbaikan dari kejadian yang tidak

diharapkan atau mengatasi cedera–cedera dari proses pelayanan

kesehatan (Depkes RI, 2008).

18
2. Tujuan Patient safety

Tujuan Patient safety rumah sakit adalah:

a. Terciptanya budaya Patient safety di rumah sakit

b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan

masyarakat

c. Menurunnya angka Kejadian Tidak Diharapkan di rumah sakit

d. Terlaksananya program–program pencegahan sehingga tidak

terjadi penanggulangan Kejadian Tidak Diharapkan (Depkes RI,

2006)

. Sedangkan tujuan Patient safety secara internasional adalah:

a. Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)

b. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang

efektif)

c. Improve the safety of high–alert medications (meningkatkan

keamanan dari pengobatan resiko tinggi)

d. Eliminate wrong–site, wrong–patient, wrong procedure surgery

(mengeliminasi kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan

pasien, kesalahan prosedur operasi)

e. Reduce the risk of health care–associated infections (mengurangi

risiko infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan)

f. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko

pasien terluka karena jatuh) (Cecep, 2013).

19
3. Langkah–langkah Patient safety

Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2008),

langkah menuju keselamatan pasien bagi staf rumah sakit dilakukan

dengan tujuh cara meliputi :

a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien,

menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dengan

adil.

b. Memimpin dan mendukung staf, membangun komitmen dan fokus

yang kuat & jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit.

c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko, mengembangkan

sistem dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi

dan asesmen hal yang potensial bermasalah.

d. Mengembangkan sistem pelaporan, memastikan staf agar dengan

mudah dapat melaporkan kejadian/insiden, serta rumah sakit

mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (KKPRS).

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien, mengembangkan

cara–cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.

f. Melakukan kegiatan belajar dan berbagi pengalaman tentang

keselamatan pasien, mendorong staf anda untuk melakukan

analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa

kejadian itu timbul.

20
g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan

pasien, menggunakan informasi yang ada tentang

kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem

pelayanan. (KKPRS, 2008)

4. Standar Patient safety

Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan

Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient safety) edisi

kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari 7 standar, yakni: (1) Hak

pasien, (2) Mendididik pasien dan keluarga, (3) Patient safety dan

kesinambungan pelayanan, (4) Penggunaan metode–metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program

peningkatan Patient safety. (5) Peran kepemimpinan dalam

meningkatkan Patient safety, (6) Mendidik staf tentang Patient

safety, (7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

Patient safety. Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai

berikut:

a. Hak pasien.

Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk

mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan

termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan

(KTD).

Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan,

dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana

21
pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib

memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien

dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan,

pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan

terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan. (Depkes RI, 2008)

b. Mendidik pasien dan keluarga.

Standar: rumah sakit harus mendidik pasien dan

keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam

asuhan pasien.

Kriteria: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat

ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner

dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada

sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga

dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur,

mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga,

mengajukan pertanyaan - pertanyaan untuk hal yang tidak

dimengerti, memahami dan menerima konsekuensi pelayanan,

mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit,

memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan

memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. (Depkes RI, 2008)

22
c. Patient safety dan kesinambungan pelayanan.

Standar: Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan

dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria: Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh

mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis,

perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat

pasien keluar dari rumah sakit, terdapat koordinasi pelayanan

yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan

sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh

tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik

dan lancar. (Depkes RI, 2008)

d. Penggunaan metode–metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan Patient safety.

Standar: rumah sakit harus mendesain proses baru atau

memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi

kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif

Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), dan melakukan perubahan

untuk meningkatkan kinerja serta Patient safety.

Kriteria: Setiap rumah sakit harus melakukan proses

perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan

tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan

kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan

faktor–faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai

23
dengan "Tujuh Langkah Menuju Patient safety rumah sakit", setiap

rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang

antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi,

manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap

rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan

semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan

evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap rumah sakit harus

menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk

menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan

Patient safety terjamin. (Depkes RI, 2008)

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan patient safety.

Standar: Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi

program Patient safety secara terintegrasi dalam organsasi

melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Patient safety Rumah

sakit”, pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko Patient safety dan program menekan atau

mengurangi kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan

menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu

berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang Patient safety,

pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta

meningkatkan Patient safety dan pimpinan mengukur dan

24
mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja

rumah sakit dan Patient safety.

Kriteria: Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola

program Patient safety, tersedia program proaktif untuk identifikasi

risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang

mencakup jenis–jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai

dari “kejadian nyaris cedera (KNC) near miss sampai dengan

“Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)” adverse event, tersedia

mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari

rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program Patient

safety, tersedia prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden,

termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah,

membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi

yang benar dan jelas untuk keperluan analisis. (Depkes RI, 2008)

f. Mencakup keterkaitan jabatan dengan patient safety secara

jelas.

Standar: rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan

pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara

kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam

pelayanan pasien.

Kriteria: Setiap rumah sakit harus memiliki program

pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat

topik Patient safety sesuai dengan tugasnya masing - masing.

Setiap rumah sakit harus mengintregasikan topik Patient safety

25
dalam setiap kegiatan in–servicetraining dan memberi pedoman

yang jelas tentang pelaporan insiden dan setiap rumah sakit harus

menyelenggarkan pelatihan tentang kerjasama kelompok (team

work) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif

dalam rangka melayani pasien. (Depkes RI, 2008)

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

patient safety.

Standar: Rumah sakit merencanakan dan mendesain

proses manajemen informasi Patient safety untuk memenuhi

kebutuhan informasi internal dan eksternal, transmisi data dan

informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan

dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan

informasi tentang hal–hal terkait dengan Patient safety, tersedia

mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk

merevisi manajemen informasi yang ada. Keamanan yang ada

dalam lingkungan ini akan mengurangi insiden terjadinya penyakit

dan cedera, memperpendek lama tindakan dan/atau hospitalisasi,

meningkatkan atau mempertahankan status fungsi klien, dan

meningkatkan kesejahteraan klien. Lingkungan yang aman juga

akan memberikan perlindungan kepada stafnya, dan

memungkinkan mereka untuk berfungsi pada tingkat yang optimal.

(Depkes RI, 2008)

26
5. Sasaran Patient safety

Menurut Permenkes No. 1691 tahun 2011, pelayanan

kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran

secara umum difokuskan pada solusisolusi yang menyeluruh. Ada

enam sasaran Patient safety adalah tercapainya hal–hal sebagai

berikut :

a. Sasaran I (Ketepatan identifikasi pasien).

Standar SKP I

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk

memperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. Adapun

elemen penilaian sasaran I yaitu :

1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak

boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.

2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau

produk darah.

3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen

lain untuk pemeriksaan klinis.

4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan/prosedur.

5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi

yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. (Kemenkes,

2011)

27
b. Sasaran II (Peningkatan komunikasi yang efektif).

Standar SKP II

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk

meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan.

Adapun elemen penilaian sasaran II yaitu:

1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau

hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima

perintah.

2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan

dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.

3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi

perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.

4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi

keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara

konsisten. (Kemenkes, 2011)

c. Sasaran III (Peningkatan keamanan obat yang perlu

diwaspadai).

Standar SKP III

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

memperbaiki keamanan obat–obat yang perlu diwaspadai (high–

alert). Adapun elemen penilaian sasaran III yaitu :

1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat

proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan

penyimpanan elektrolit konsentrat.

2) Implementasi kebijakan dan prosedur.

28
3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien

kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk

mencegah pemberian yang kurang hati–hati di area tersebut

sesuai kebijakan.

4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien

harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang

dibatasi ketat (restricted). (Kemenkes, 2011)

d. Sasaran IV (Kepastian tepat–lokasi, tepat–prosedur, tepat

pasien operasi).

Standar SKP IV

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk

memastikan tepat lokasi, tepat–prosedur, dan tepat pasien.

Adapun elemen sasaran IV yaitu :

1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan

dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan

pasien di dalam proses penandaan.

2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain

untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat

prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta

peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.

3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur

“sebelum insisi/time–out” tepat sebelum dimulainya suatu

prosedur/tindakan pembedahan.

29
4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung

proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat

prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan

dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. (Kemenkes,

2011)

e. Sasaran V (Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan).

Standar SKP V

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

Adapun elemen sasaran V yaitu :

1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Hand

Hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara

umum (al. dari WHO Patient Safety).

2) Rumah sakit menerapkan program Hand Hygiene yang efektif.

3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk

mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari

infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. (Kemenkes, 2011)

f. Sasaran VI (Pengurangan resiko pasien jatuh).

Standar SKP VI

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Adapun

elemen sasaran VI yaitu :

30
1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien

terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila

diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan

lain–lain.

2) Langkah–langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh

bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.

3) Langkah–langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan

pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian

tidak diharapkan.

4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk

mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera

akibat jatuh di rumah sakit. (Kemenkes, 2011)

6. Penatalaksanaan Patient safety

WHO Collaborating Centre for Patient safety pada tanggal 2

Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient safety

Solutions” (“Sembilan Solusi Life–Saving Patient safety Rumah

Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar

Patient safety dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan

mempelajari berbagai masalah Patient safety. (WHO, 2007)

Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud

menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini

setiap hari ada pasien yang mengalami Kejadian Tidak Diharapkan,

baik yang tidak dapat dicegah (non error) mau pun yang dapat

31
dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.

(Depkes RI, 2008)

Solusi Patient safety adalah sistem atau intervensi yang dibuat

mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari

proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan

panduan yang sangat bermanfaat membantu Rumah sakit,

memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera

maupun kematian yang dapat dicegah (Depkes RI, 2008).

Komite Patient safety Rumah Sakit (KKPRS) mendorong

Rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life–

Saving. Patient safety Rumah Sakit atau 9 Solusi, langsung atau

bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi Rumah sakit

masing–masing. (KKPRS, 2008)

a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (Look–Alike,

Sound–Alike Medication Names).

Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang

membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang

paling sering dalam kesalahan obat (Medication error) dan ini

merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan

ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan

potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek

atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada

penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan

terbacanya resep, lebel, atau penggunaan perintah yang dicetak

32
lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektrolit. (KKPRS,

2008)

b. Pastikan identifikasi pasien.

Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk

mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada

kesalahan pengobatan, tranfusi maupun pemeriksaan,

pelaksanaan prosedur yang keliru orang, penyerahan bayi kepada

yang bukan keluarganya, dan sebagainya. Rekomendasi

ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas

pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini,

standarisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit

dalam suatu sistem layanan kesehatan dan partisipasi pasien

dalam konfirmasi ini serta penggunaan protokol untuk

membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.

(KKPRS, 2008)

c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan

pasien.

Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/

pengoperan pasien antara unit–unit pelayanan dan didalam serta

antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya

kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan

potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien

rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima

pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan

33
informasi yang bersifat kritis memberikan kesempatan bagi para

praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan–

pertanyaan pada saat serah terima. (KKPRS, 2008)

d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.

Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat

dicegah. Kasus–kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru

atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah

akibat komunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya

tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap

kesalahan–kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya

proses pra–bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah

untuk mencegah jenis–jenis kekeliruan yang tergantung pada

pelaksanaan proses verifikasi pra–pembedahan, pemberian tanda

pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan

melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam

prosedur, sesaat sebelum memulai prosedur untuk

mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan

dibedah. (KKPRS, 2008)

e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (Concentrated).

Sementara semua obat–obatan, biologis, vaksin dan media

kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang

digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.

34
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit

ukuran dan istilah dan pencegahan atas campur aduk/bingung

tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik. (KKPRS, 2008)

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.

Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat

transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan)

medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah

salah obat (medications error) pada titik–titik transisi pasien.

Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling

lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima

pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai

perbandingan dengan daftar saat administrasi, penyerahan atau

perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi dan

komunikasikan daftar tersebut kepada petugas layanan yang

berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan. (KKPRS,

2008)

g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (Tube).

Slang, kateter dan spuit (Syringe) yang digunakan harus

didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya

Kejadian Tidak Diharapkan yang bisa menyebabkan cedera atas

pasien melalui penyambungan slang dan spuit yang salah, serta

memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.

Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas

35
medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian

medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar dan

bila mana menyambung alat–alat kepada pasien, misalnya

menggunakan sambungan dan slang yang benar). (KKPRS, 2008)

h. Gunakan alat injeksi sekali pakai.

Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran

HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuce)

dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah perlunya melarang

pakai ulang jarum difasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik

para petugas di lembaga–lembaga layanan kesehatan khususnya

tentang prinsip–prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap

pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui

darah dan praktek jarum suntik sekali pakai yang aman. (KKPRS,

2008)

i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk

pencegahan infeksi nosokomial.

Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta

orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah–

rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah ukuran

preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini.

Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan

cairan, seperti alkohol, hand–rubs, dsb. Yang disediakan pada

titik–titik pelayanan tersedianya sumber air pada semua kran,

36
pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang benar

mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja dan

pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui

pemantauan atau observasi dan tehnik yang lain (Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2008).

D. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi

setelah orang melakukan penngindraan suatu objek tertentu baik

melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Tetapi

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior) (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil tahu dan ini terjadi

setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek

tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu

penglihatan, indera pendengaran, indera penciuman, indera perasa

dan indera peraba. Pengetahuan merupakan pedoman dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Berdasarkan

pengalaman dan penelitian diperoleh bahwa perilaku yang didasari

37
oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

didasari pengetahuan (Maulana, 2013).

2. Tingkat pengetahuan

Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2012) pengetahuan yang

mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:

tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi.

a. Tahu/Know.

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat

ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik

dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur

bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain:

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan

(Notoatmodjo, 2012).

b. Memahami/Comprehension.

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan

dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang

yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan

terhadap objek yang dipelajari (Notoatmodjo, 2012).

38
c. Aplikasi/Aplication.

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil

(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan hukum-

hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

atau situasi lain. Kata kerja yang dapat dipakai untuk aplikasi

adalah memperhitungkan, mendemonstrasikan, mengubah

struktur, menggunakan, menemukan, menyiapkan, memproduksi,

mengembangkan, menerapkan, menghubungkan, meramalkan

dan menangani (Notoatmodjo, 2012).

d. Analisis/Analysis.

Analisis adalah sebagai kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi

masih di dalam suatu struktur organisasi. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja seperti

menggambarkan, membedakan, memisahkan dan

mengelompokkan (Notoatmodjo, 2012).

e. Sintesis/Syntesis.

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis yaitu suatu kemampuan

untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

Kemampuan sintesis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja

seperti mengkategorikan, mengkombinasikan, mengarang,

39
menyusun, menciptakan, mendesain, menjelaskan, mengubah,

mengorganisasikan, merencanakan, menyusun kembali,

menghubungkan, merevisi, menuliskan dan mengatur

(Notoatmodjo, 2012).

f. Evaluasi/Evaluation.

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau

objek. Penilaian berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria yang ada. Orang yang mempunyai

kemampuan menilai dapat dilihat dari penggunaan kata kerja

seperti menyimpulkan, mengkritik, mendukung, menerangkan,

mengiktiarkan, membandingkan, mempertentangkan,

membenarkan dan meringankan (Notoatmodjo, 2012).

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :

a. Pendidikan.

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses

belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang

tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi

maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi,

40
baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak

informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang

didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya

dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang

berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah

pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di

pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada

pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu

obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan

negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap

seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif

dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif

terhadap obyek tersebut (Notoatmodjo, 2012).

b. Mass media/informasi.

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal

maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek

(immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau

peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia

bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi

pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana

komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio,

41
surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam

penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa

membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai

sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

pengetahuan terhadap hal tersebut. Persepsi adalah pengalaman

yang dihasilkan melalui indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, dan sebagainya, setiap orang mempunyai persepsi

yang berbeda, meskipun objeknya sama (Notoatmodjo, 2012).

c. Sosial budaya dan ekonomi.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.

Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya

walaupun tidak melakukan sesuatu. Status ekonomi seseorang

juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2012).

d. Lingkungan.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya

pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan

42
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik

ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh

setiap individu (Notoatmodjo, 2012).

e. Pengalaman.

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu

cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara

mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam

memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman

belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan

pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman

belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari

keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari

masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2012).

f. Usia.

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang

pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik. Pada usia muda, individu akan

lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta

lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya

menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia muda

akan lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca.

43
Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan

verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini

(Notoatmodjo, 2012).

Ada dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan

selama hidup yaitu semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak

informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan

sehingga menambah pengetahuannya.

Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang

yang sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun

mental. Dapat diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan

bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang

lain seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa

teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat

sejalan dengan bertambahnya usia (Notoatdmojo, 2012).

4. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur

dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan

yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan

tingkatan domain di atas. Pengukuran pengetahuan dimaksud untuk

mengetahui status pengetahuan seseorang dan disajikan dalam

persentase kemudian ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat

44
kualitatif, yaitu baik (76-100%), cukup (60%-75%), kurang (<60%)

(Notoatmodjo, 2012).

E. Tinjauan Umum Tentang Sikap

1. Pengertian sikap

Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan

sehat dan siap melakukan aksi/tindakan atau dapat dianalogikan

dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap

menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan. Secara

harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati

(Sarwono, 2009). Berikut adalah beberapa definisi sikap dari para

ahli:

a. Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu

proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan

pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan

menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi

(Sarwono, 2009).

b. Sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai

terhadap sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan,

perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang (Zanna &

Rempel dalam Sarwono, 2009)

c. Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan

dengan mengevaluasi entitas tertentu dengan beberapa derajat

45
kesukaan atau ketidaksukaan (Eagly & Chaiken, 1993, dalam

Sarwono, 2009)

d. Sikap merupakan evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan

sosial Baron & Byrne, 2006 (dalam Sarwono, 2009)

e. Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu

objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)

maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

(unfavorable) pada objek tersebut (Azwar, 2012).

f. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,

tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk

menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,

sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah

terkondisikan (Azwar, 2012).

g. Secord & Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai

keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran

(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap

suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2012).

Dari definisi-definisi mengenai sikap diatas dapat disimpulkan

bahwa sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang

terhadap suatu hal yang bersifat mendekati (positif) atau menjauhi

(negatif) ditinjau dari aspek afektif & kognitif dan mengarahkan pada

pola perilaku tertentu.

46
Unsur yang terdapat dalam sikap ini merupakan hal yang

mempengaruhi sikap itu sendiri. Karna unsur merupakan hal

terpenting dalam pembentuk sikap, baik itu sikap positif atau negatif.

2. Struktur sikap

Menurut Sarlito W. Sarwono (2009) Sikap dinyatakan dalam

tiga domain ABC, yaitu:

a. Affect adalah perasaan yang timbul (senang atau tidak senang)

b. Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan (mendekat

atau menghindar)

c. Cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus atau tidak

bagus)

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Saifuddin Azwar (2012)

struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang

yaitu:

a. Komponen kognitif.

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang

mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek

sikap. (Azwar, 2012)

b. Komponen afektif.

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif

seseorang terhadap suatu objek sikap. (Azwar, 2012)

47
c. Komponen prilaku/konatif.

Komponen prilaku atau konatif dalam struktur sikap

menunjukkan bagaimana prilaku atau kecenderungan berprilaku

yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang

dihadapinya. (Azwar, 2012)

Sikap yang dimiliki seseorang adalah suatu jalinan atau suatu

kesatuan dari berbagai komponen yang bersifat evaluasi. Langkah

pertama adalah keyakinan, pengetahuan, dan pengamatan. Kedua,

perasaan atau feeling. Ketiga, kecenderungan individu untuk

melakukan atau bertindak. Ketiga komponen tersebut saling

berkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Ketiganya merupakan suatu sistem yang menetap pada diri

individu yang dapat menjelmakan suatu penilaian positif atau negatif.

Penilaian tersebut disertai dengan perasaan tertentu yang mengarah

pada kecenderungan yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra).

(Azwar, 2012)

Ketiga komponen sikap ini saling terkait erat. Dengan

mengetahui kognisi atau perasaan seseorang terhadap suatu objek

sikap tertentu, maka akan dapat diketahui pula kecenderungan

perilakunya. Namun, dalam kenyataannya tidak selalu suatu sikap

tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai dengan sikap. Dan

ketiga komponen dari sikap menyangkut kecenderungan berperilaku.

Pada mulanya secara sederhana diasumsikan bahwa sikap

seseorang menentukan perilakunya. Tetapi, lambat laun disadari

48
banyak kejadian dimana perilaku tidak didasarkan pada sikap.

(Azwar, 2012)

3. Bentuk sikap

Sikap dapat dibedakan atas bentuknya dalam sikap positif,

negatif, dan netral. Sarlito W. Sarwono (2009) berpendapat bahwa

sikap positif adalah ketika suatu objek sikap menimbulkan perasaan

senang. Sikap negatif adalah ketika suatu objek sikap menimbulkan

perasaan tidak menyenangkan. Sedangkan sikap yang nertral yaitu

ketika suatu objek sikap tidak menimbukan rasa senang ataupun

sebalikanya.

Sikap jika dilihat dari jumlah penganutnya dibedakan dalam

dua bentuk yaitu sikap sosial dan sikap individu. Sikap sosial adalah

sikap yang ada pada kelompok orang yang ditujukan pada suatu

objek sikap yang menjadi perhatian dari semua anggota kelompok

tersebut. Sementara itu, sikap individu adalah sikap yang khusus

terhadap satu–satu orang terhadap objek–objek yang menjadi

perhatian orang–orang yang bersangkutan saja (Sarlito W. Sarwono,

2009).

4. Ciri–ciri sikap

W.A. Gerungan mengemukakan bahwa: untuk dapat

membedakan antara attitude, motif kebiasaan dan lain-lain, faktor

49
psychis yang turut menyusun pribadi orang, maka telah dirumuskan

lima buah sifat khas dari pada attitude. (W. A. Gerungan, 2009)

Adapun ciri-ciri sikap itu adalah:

a. Attitude ini bukan dibawa orang sejak ia lahir melainkan dibentuk

atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam

hubungan dengan objeknya. (W. A. Gerungan, 2009)

b. Attitude itu dapat berubah-ubah. (W. A. Gerungan, 2009)

c. Attitude itu tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung

relasi tertentu terhadap objek. (W. A. Gerungan, 2009)

d. Objek attitude kumpulan dari hal-hal tertentu. (W. A. Gerungan,

2009)

e. Attitude tidak mempunyai segi-segi motivasi dan segi perasaan,

sifat inilah yang membedakan attitude dari pada kecakapan-

kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

(W. A. Gerungan, 2009)

5. Fungsi sikap

Menurut Walgito (2010) terdapat empat fungsi sikap, antara

lain:

a. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa

sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu

yang mudah menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik

bersama. (Walgito, 2010)

b. Sikap berfungsi sebagai pengatur tingkah laku. (Walgito, 2010)

50
c. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur pengalaman-pengalaman.

Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam

menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak

pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya pengalaman yang

berasal dari dunia luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia,

tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang

tidak perlu dilayani. (Walgito, 2010)

d. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering

mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak

pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. (Walgito, 2010)

Menurut Katz dalam Zaim Elmubarok (2008) ada empat fungsi

sikap yaitu:

a. Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat.

b. Fungsi pertahanan ego.

c. Fungsi pernyataan nilai.

d. Fungsi pengetahuan.

6. Perubahan sikap

Menurut Davidoff dalam Zaim Elmubarok (2008) Sikap dapat

berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar, proses

sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya

pengalaman-pengalaman baru yang dialami oleh individu.

Sedangkan menurut Sarlito W. Sarwono (2009), sikap dapat

terbentuk atau berubah melalui empat cara yaitu :

51
a. Adopsi.

Adopsi yaitu kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang

terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara

bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi

terbentuknya suatu sikap. (Sarwono, 2009)

b. Diferensiasi.

Dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya

pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-

hal yang sebelumnya dianggap sejenis, sekarang dipandang

tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap objek tersebut dapat

terbentuk sikap tersendiri pula. (Sarwono, 2009)

c. Integrasi.

Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai

dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu

hal tertentu sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal

tersebut. (Sarwono, 2009)

d. Trauma.

Trauma adalah pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba

dan menegangkan yang meninggalkan kesan mendalam pada

jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman yang

traumatis juga menyebabkan perubahan sikap. (Sarwono, 2009)

Menurut Kelman dalam Azwar S (2012) ada tiga proses yang

berperan dalam proses perubahan sikap yaitu :

52
a. Kesediaan (Compliance)

b. Identifikasi (Identification)

c. Internalisasi (Internalization)

7. Jenis–jenis skala sikap

Menurut beberapa ahli, sikap dapat diukur menggunakan

suatu alat yang dinamakan skala sikap. Dari sekian banyak skala

sikap, ada dua skala sikap yang cukup banyak digunakan yaitu Skala

Likert dan Skala Thurstone.

a. Skala Likert.

Skala ini disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan

diujikan dahulu pada sejumlah rasponden yang ciri–cirinya mirip

dengan sampel yang akan diselidiki. Pernyataan–pernyataan

tersebut diikuti oleh lima respons yang menunjukkan tingkatan.

Misalnya seperti yang telah dikutip, yaitu: (Sarwono, 2009)

SS = Sangat setuju

S = Setuju

TB = Tidak berpendapat

TS = Tidak setuju

STS = Sangat tidak setuju

b. Skala Thurstone.

Skala Thurstone merupakan skala mirip skala Likert karena

merupakan suatu instrumen yang jawabannya menunjukkan

53
tingkatan dan diujikan dahulu pada sejumlah pakar yang

mengetahui betul mengenai masalah yang akan diselidiki.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A B C D E F G H I J
Very favourable Neutral Very unfavourable
Pernyataan yang diajukan kepada responden disarankan

oleh Thurstone kira-kira 10 butir, tetapi tidak kurang dari 5 butir.

(Sarwono, 2009)

F. Tinjauan Umum Tentang Motivasi Kerja

1. Pengertian motivasi

Menurut Nawawi (2008) kata motivasi (motivation) kata

dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau

alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi

berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang

melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, yang berlangsung secara

sadar.

Sedangkan menurut Siagian (Husein, 2011) mengartikan

bahwa motivasi adalah keseluruhan proses pemberian dorongan

bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau

bekerja dengan ikhlas demi tercapainya organisasi dengan efisien

dan ekonomis.

Menurut Anoraga (2007) motivasi merupakan hal atau sesuatu

yang mendorong seseorang berbuat sesuatu. Suatu motivasi individu

dapat timbul dari dalam diri individu (Motivasi Instrinsik), dan dapat

54
timbul dari luar individu (Motivasi Ekstrinsik). Dan keduanya

mempunyai pengaruh terhadap perilaku dan prestasi kerja.

Motivasi diartikan sebagai dorongan individu untuk melakukan

tindakkan karena mereka ingin melakukannya, apabila individu

termotivasi, mereka akan membuat pilihan yang positif untuk

melakukan sesuatu, karena dapat memuaskan keinginan mereka

(Rivai, 2009)

2. Teori tentang motivasi

Begitu pentingnya teori motivasi diterapkan secara tepat

sehingga makin banyak ilmuan yang menekuni kegiatan

pengembangan teori tersebut, maka terdapat beberapa teori tentang

motivasi menurut Nawawi (2008), yaitu :

a. Teori Abraham H. Maslow.

Hasil-hasil pemikirannya tertuang dalam bukunya yang

berjudul “Motivation and Personality“ teori motivasi yang

dikembangkannya pada tahun 40-an itu pada intinya berkisar

pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau

haerarki kebutuhan, yaitu :

1) Kebutuhan fisiologikal, seperti sandang, pangan, papan.

2) Kebutuhan keamanan, tidak hanya dalam arti fisik, akan tetapi

juga mental, psikologikal, dan intelektual.

3) Kebutuhan sosial

55
4) Kebutuhan prestise yang pada umumnya tercermin dalam

berbagai symbolsimbol status

5) Aktualisasi diri dalam arti tersedianya kesempatan bagi

seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam

dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. (Nawawi,

2008)

b. Teori Herzberg.

Menurut teori ini yang dimaksud dengan factor

multivasional adalah hal-hal pendorong berprestasi yang sifatnya

intrinsic, yang berarti bersumber dari dalam diri seseorang,

sedangkan yang dimaksud dengan factor Higiene atau

pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang

berarti bersumber dari luar diri seseorang, misalnya organisasi,

tetapi turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan

kekaryaannya. (Nawawi, 2008)

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan

teori Herzberg adalah memperhitungkan dengan tepat factor

mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan kekaryaan

seseorang, apakah yang bersifat instrinsik ataukah yang bersifat

ekstrinsik. (Nawawi, 2008)

c. Teori Keadilan.

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia

terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang

56
dibuat bagi kepentingan organisasi dan imbalan yang diterima.

Artinya apabila seseorang karyawan mempunyai persepsi bahwa

imbalan yang diterimanya tidak memadai. Dalam menumbuhkan

persepsi tertentu, seorang karyawan biasanya menggunakan

empat hal sebagai pembanding, yaitu :

1) Harapanya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak

diterima berdasarkan kualivikasi diri pribadi seperti pendidikan,

keterampilan, sifat pekerjaan, dan pengalamannya.

2) Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang

kualifikasi dan sifat pekerjaannya relatife sama dengan yang

bersangkutan sendiri.

3) Imbalan yang diterima oleh karyawan lain diorganisasi lain

dikawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis.

4) Peraturan perundang-undangan yang berlak mengenai jumlah

dan jenis imbalan yang merupakan hak para karyawan.

(Nawawi, 2008)

d. Teori Harapan.

Menurut Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “

Work and Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebut

sebagai teori harapan. Menurut teori ini, motivasi merupakan

akibat dari suatu hasil yang ingin dicapai oleh seseorang dan

perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya itu. Artinya,

apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan

57
nampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan

akan berupaya mendapatkannya. (Nawawi, 2008)

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori

harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan

harapan untuk memperoleh sesuatu itu besar, yang bersangkutan

akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya

itu. Sebaliknya jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya

itu tipis, motivasinya pun untuk berupaya akan menjadi rendah.

(Nawawi, 2008).

3. Tujuan motivasi

Motivasi dan kemampuan pegawai merupakan salah satu

aspek atau faktor yang dapat meningkatkan sinergik. Maka

pembinanaan terhadap sumber daya manusia tidak pada

penyelenggaraan latihan saja, tetapi juga didukung dengan

pengembangan atau pembinaan selanjutnya. Menurut Syadam

(2005) tujuan pemberian motivasi adalah :

a. Mengubah perilaku karyawan sesuai dengan keinginan

perusahaan

b. Meningkatkan gairah dan semangat kerja

c. Meningkatkan disiplin kerja

d. Meningkatkan prestasi kerja

e. Mempertinggi moral kerja pegawai

f. Meningkatkan rasa tanggung jawab

58
g. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi

h. Menumbuhkan loyalitas pegawai pada perusahaan. (Syadam,

2005)

Sedangkan tujuan motivasi dalam Malayu S. P. Hasibuan

(2006) mengungkapkan bahwa:

a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.

b. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

c. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.

d. Meningkatkan kedisiplinan absensi karyawan.

e. Mengefektifkan pengadaan karyawan.

f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.

g. Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.

h. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan.

i. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap

tugastugasnya.

j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.

Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakan

atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya

untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau

mencapai tujuan tertentu (Ngalim Purwanto, 2006).

Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya

jelas dan disadari oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan

kebutuhan orang yang dimotivasi. Oleh karena itu, setiap orang yang

59
akan memberikan motivasi harus mengenal dan memahami

benarbenar latar belakang kehidupan, kebutuhan, dan kepribadian

orang yang akan dimotivasi. (Ngalim Purwanto, 2006).

4. Fungsi motivasi

Adapun fungsi dari motivasi menurut Sudirman (2005) adalah:

a. Mendorong manusia untuk berbuat, sebagai penggerak atau

motor yang melepaskan energi motivasi dalam hal ini mendorong

motor penggerak dari setiap kegiatan yang dilaksanakan.

b. Menentukan arah yang perbuatan yaitu kearah tujuan yang

hendak dicapai. Dengan demikian motivasi akan memberikan

arah, bagi kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan

tujuan.

c. Menyelesaikan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan

yang sesuai guna mencapai tujuan, dengan menyisikan tujuan-

tujuan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah

segala sesuatu yang dapat memberikan dorongan kepada

seseorang untuk dapat meningkatkan hasil kerjanya dalam mencapai

tujuan organisasi. (Sudirman, 2005)

5. Jenis–jenis motivasi

Menurut Nawawi (2008) mengemukakan ada dua jenis

motivasi yaitu :

60
a. Motivasi instrinsik.

Motivasi ini merupakan suatu dorongan atau inisiatif yang

timbul dari diri sendiri dalam melakukan segala yang berhubungan

dengan kegiatan. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari

individu sendiri tanpa ada paksaan, rangsangan dan dorongan

orang lain, tetapi atas kemauan sendiri. Dalam motivasi instrinsik

setiap tingkah laku yang dilakukan individu terjadi tanpa

dipengaruhi oleh lingkungan. (Nawawi, 2008)

b. Motivasi ekstrinsik.

Motivasi ini merupakan suatu dorongan dari pihak lain yang

bertujuan untuk memberikan dorongan kepada para pegawai

dalam melakukan kegiatan, misalnya instruksi pimpinan, adanya

fasilitas perkantoran ataupun hubungan antara sesama pegawai.

Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari pengaruh luar

individu, motivasi ekstrinsik ini dapat berupa penghargaan,

lingkungan belajar yang kondusif dan kegiatan menarik. (Nawawi,

2008)

Jenis-jenis motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis

menurut Malayu S. P Hasibuan (2006), yaitu:

a. Motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan

dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi

baik. Dengan motivasi positif ini semangat kerja bawahan akan

meningkat, karena manusia pada umumnya senang menerima

yang baik-baik saja.

61
b. Motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahan

dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjannya

kurang baik (prestasi rendah). Dengan memotivasi negatif ini

semangat kerja bawahan dalam waktu pendek akan meningkat,

karena takut dihukum.

Pengunaan kedua motivasi tersebut haruslah diterapkan

kepada siapa dan kapan agar dapat berjalan efektif merangsang

gairah bawahan dalam bekerja.

6. Faktor–faktor yang mempengaruhi motivasi

Menurut Sondang P. Siagan (2006) motivasi dipengaruhi oleh

beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Yang

termasuk faktor internal adalah:

a. Persepsi seseorang mengenai diri sendiri

b. Harga diri

c. Harapan pribadi

d. Kebutuhan

e. Keinginan

f. Kepuasan kerja

g. Prestasi kerja yang dihasilkan

Sedangkan fakor eksternal yang mempemgaruhi motivasi

seseorang antara lain:

a. Jenis dan sifat pekerjaan

b. Kelompok kerja dimana seseorang bergabung

62
c. Organisasi tempat orang bekerja

d. Situasi lingkungan kerja

e. Gaji

Pendapat lain di ungkapkan oleh Tawale (2012) yang

menyatakan bahwa Faktor faktor yang mempengaruhi motivasi kerja

adalah sebagai berikut :

a. Faktor motivator.

Faktor motivator ini mencangkup isi dari pekerjaan dan

merupakan faktor instrinstik dari pekrjaan itu sendiri (Tawale,

2012).

1) Tanggung jawab (Responsibility) Besar kecilnya tanggung

jawab yang dirasakan dan di berikan kepada seorang tenaga

kerja.

2) Kemajuan (Advecement) Besar kecilnya kemungkinan tenaga

kerja dapat maju dalam pekerjaannya.

3) Pekerjaan itu sendiri Besar kecilnya tantangan yang dirasakan

tenaga kerja dari pekerjaanya.

4) Capaian atau prestasi (Achievment) Besar kecilnya

kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi.

5) Pengakuan (Recognition) Besar kecilnya pengakuan yang

diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.

63
b. Faktor higiene.

Merupakan faktor ekstrintik yang berkaitan dengan konteks

dari pekerjaan meliputi :

1) Adminidtrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian

yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan peraturan

yang berlaku dalam perusahaan.

2) Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan

dalam pekerjaannya.

3) Hubungan antar pribadi derajat kesesuaian yang dirasakan

dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.

4) Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses

pelaksanaan tugas dan pekerjaannya.

64

Anda mungkin juga menyukai