Adapun Tugas Hukum Pajak secara Khusus adalah hukum pajak sebagai suatu alat kebijakan dalam
menentukan politik perekonomian maupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.
Fungsi ( Kegunaan) Hukum Pajak
Fungsi atau Kegunaan dari Hukum Pajak berhubungan dengan fungsi dari suatu negara. Adapun beberapa
fungsi dari suatu negara antara lain seperti :
•Berusaha Memakmurkan dan mensejahterakan rakyat - Negara yang berhasil adalah negara yang dapat
membuat rakyat atau masyaraktnya merasa bahagia secara umum baik dari sudut pandang ekonomi ataupun
sosial kemasyarakatan.
•Melaksanakan ketertiban - dalam menciptakan suatu kondisi lingkungan yang bersuasana kondusif serta damai
dibutuhkan pemeliharaan atas ketertiban umum yang mendapat dukungan secara penuh oleh rakyat.
•Pertahanan dan keamanan - Sebuah negara harus dapat memberikan rasa aman dan menjaga dari berbagai
macam gangguan ataupun ancaman yang berasal dari luar ataupun dari dalam negeri sendiri.
•Menegakkan keadilan - Negara menyusun lembaga peradilan yang digunakan sebagai wadah bagi warga negara
untuk meminta keadilan diseluruh aspek/ bidang.
Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan
Hukum Nasional
• Sistem Hukum perpajakan di Indonesia menganut sistem Hukum Eropacontinental,
yaitu Hukum Privat dan Hukum Publik
• Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama individu
dalam kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum kewarisan,
hukum keluarga, dan hukum perkawinan.
• Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga
negara atau dengan kata lain, hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum
publik ini berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah
kenegaraan serta negara bagaimana melaksanakan tugasnya.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Hukum Pajak mempunyai kedudukan
diantara hukum-hukum sebagai berikut :
•Hukum Perdata yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu individu dengan
individu lainnya.
•Hukum Publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum publik ini terdiri dari : Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha
(Hukum Administrasi), Hukum Pajak dan Hukum Pidana.
Hukum pajak adalah bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap
peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang
dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas
administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku
penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah
selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.
Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor
berikut:
• Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi;
• Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah
ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara);
• Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah pejabat tata
usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa;
• Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan
penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara;
• Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum acara yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha
negara.
Asas di dalam penyusunan Hukum Pajak
1. Syarat Yuridis
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini membeirkan jaminan
hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
2. Syarat Ekonomis
Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan,
sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
3. Syarat Financiil
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah
dari hasil pemungutannya.
Pengertian penafsiran hukum pajak
1.Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada sejarah dibuatnya
suatu undang-undang.
1.Penafsiran Sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang
disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.
1.Penafsiran sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang
lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya dengan pasal-pasal undang-undang yang
lain.
1.Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan melihat
pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
5. Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara
keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama lain,
dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang.
6. Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman
hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau
penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan
pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang.
7. Penafsiran A Contrario
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang
yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang
diatur dalam pasal undang.
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum
Perdata
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan
antara pemerintah (fiskus) sebagai pemungut pajak dengan masyarakatnya yaitu
para Wajib Pajak. Hukum pajak menganut prinsip pemajakan terjadi kalau
terpenuhi 2 syarat yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Baik syarat objektif
maupun syarat subjektif berkaitan erat dengan ketentuan hukum perdata.
• Berikut pembahasan hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dalam kaitan
syarat objektif dan syarat subjektif.
• Syarat Subjektif
Persyaratan subjektif sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUP 1984 dan
perubahannya adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Dalam ketentuan UU PPh 1984
dan perubahannya yang dimaksud subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap. Dalam
KUH Perdata diatur bahwa subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki
hak dan kewajiban. Dan yang menjadi subjek hukum adalah manusia/orang pribadi (natuurlijke
persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Namun ada kekhususan yaitu dalam penetapan Bentuk
Usaha Tetap sebagai subjek pajak tersendirikarena Bentuk usaha tetap dapat berbentuk orang
pribadi (natuurlijke persoon) atau Badan hukum (rechts persoon) walaupun dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban perpajakan diperlakukan sebagai Wajib Pajak badan.
Syarat subjektif orang pribadi
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat 3 UU PPh 1984 beserta perubahannya diatur subjek pajak
dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Jadi syarat subjektif orang pribadi adalah
dia bertempat tinggal atau berada. Dalam UU PPh 1984 tidak menguraikan definisi tempat
tinggal secara khusus, oleh karena itu perlu merujuk pengertian tempat tinggal sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 KUH Perdata adalah setiap orang diangggap mempunyai tempat
tinggalnya, dimana ia menempatkan pusat kediamannnya. Dalam hal tidak adanya tempat tinggal
yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap tempat tinggal.
Syarat subjektif badan
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 3 UU PPh 1984 beserta perubahannya disebutkannya pengertian badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Dari unsur yang meliputi pengertian badan, penulis
mecermati pengertian persekutuan dan perkumpulan yang tidak diatur lebih lanjut dalam penjelasan UU PPh 1984.
Dalam Pasal 1618 KUH Perdata disebutkan bahwa persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang
atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan
yang terjadi karenanya. Lebih lanjut Pasal 1619 KUH Perdata disebutkan segala persekuituan harus mengenai suatu
usaha yang halal, dan harus dibuat untuk manfaat bersama. Oleh karena itu khusus persekutuan yang termasuk wajib
pajak badan adalah persekutuan yang dibentuk untuk tujuan yang halal bila merujuk pada ketentuan KUH Perdata.
Pasal 1653 KUH Perdata menyebutkan bahwa perkumpulan dimaksudkan selainnya perseroan yang sejati oleh
undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulanitu diadakan atau
diakuisebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkeumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan
atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.
Dalam hal ini khusus untuk perkumpulan yang didirikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
atau kesusilaan.
Syarat subjektif warisan yang belum dibagi
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU PPh 1984 beserta perubahannya mengatur
bahwa warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Menurut Pasal 833 KUH Perdata disebutkan bahwa para ahli waris, dengan
sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atassemua barang, semua hak dan
semua piutang orang yang meninggal. Konsekuensi menurut KUH Perdata
diberlakukan dalam hukum pajak yaitu Ps. 2 ayat (1) UU PPh 1984 beserta
perubahannya bahwa yang menjadi subjek pajak adalah warisan yang belum terbagi.
Syarat Objektif
Syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP beserta penjelasannya
adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan. Lebih lanjut dalam Pasal 4 UU PPh 1984 beserta perubahannya mengatur
yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Salah satu bentuk penghasilan
adalah (pasal 4 ayat 1 huruf d UU PPh 1984 beserta perubahannya) keuntungan karena
penjualan atau karena pengalihan harta misalnya jual beli. Perbuatan hukum jual beli menjadi
dasar timbulnya penghasilan atau objek pajak yang menjadi dasar berlakunya hukum pajak. Sifat
hukum perdata yang terjadi antara penjual dan pembeli menjadi dasar berlakunya hukum pajak.
Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata yang dimaksud jual-
beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satumengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Menurut Pasal 1458
KUH Perdata yang dimaksud Jual-beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai
kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun
barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana (KUP dan KUHP)
• Ancaman Hukuman Pidana tidak saja terdapat dalam KUHP, tetapi banyak juga tercantum
dalam Undang-undang di luar KUHP. Hal ini disebabkan antara lain :
• Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti
peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidana.
• Kehidupan moderen semakin kompleks, sehingga disamping adanya peraturan pidana berupa unifikasi
yang bertahan lama (KUHP) diperlukan pula peraturan-peraturan pidana yang bersifat temporer.
• Pada banyak peraturan hukum yang berupa Undang-undang di lapangan hukum administrasi Negara,
perlu di kaitkan dengan sanksisanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu agar ditaati.
Sanksi-sanksi pidana terdapat dalam Undang-undang di luar KUHP antara lain dalam UU Tindak
Pidana Ekonomi, UU Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pajak dan lain-
lain. Antara K.U.H.P. dengan delik-delik/tindak pidana yang tersebar di luar KUHP ada pertalian yang
terletak dalam Aturan Umum Buku I KUHP
• Berlakunya Ketentuan Umum dalam KUHP tercantum dalam Pasal 103 KUHP
yang berbunyi : Ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I juga berlaku bagi tindak
pidana yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh Undang-undang ybs. Diatur lain.
• Ketentuan Pidana di dalam UU Perpajakan antara lain diatur dalam Bab VIII
Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UU KUP, Bab XIII Pasal 24 sampai dengan
Pasal 27 UU PBB dan Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU Bea Materai.
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
•Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik (merupakan hubungan hukum yang terjadi antara
masyarakat dengan pemerintah) yang berkaitan dgn masalah pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam
KUHP banyak digunakan dalam peraturan perpajakan.
misalkan:
•Ketentuan pidana dalam UU KUP sebagaimana di atur dalam Pasal 38 (setiap orang yang karena
kealpaannya) dan Pasal 39 (setiap orang yang dengan sengaja)
•Dalam proses penyidikan & penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP WP yang
karena kealpaannya.