Anda di halaman 1dari 25

AGAMA DALAM SAINS MODERN

MAKALAH

Dibuat dan di Presentasikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Agama, Prodi Ekonomi Semester 1 Keguruan
dan Ilmu Pendidikan

Oleh:

RUSNIATI
NIM. 2169010838

NUR APIPA
NIM. 2169010857

SAIFUL MURKAS
NIM.2169010891

DOSEN PENGAJAR

Dr.ANDI HAJAR, S.Pd.,M.Pd

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

TAHUN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena


atas ridho-Nya makalah yang berjudul “Agama Dalam Sains Modern” ini dapat
diselesaikan.

Ucapan terimakasih penulis kepada Dosen Pemangku yang telah


membimbing dalam penyusunan tugas ini. Dan tak lupa pula ucapan terima kasih,
Penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah mendukung untuk penyelesaian
tugas ini.

Semoga tugas ini memberikan banyak manfaat kepada para pembacanya.


Selanjutnya, demi kesempurnaan tugas ini sangat diharapkan segalah masukan
dan saran yang sifatnya membangun.

Watampone, 8 Desember 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulis 2

BAB III PEMBAHASAN

A. Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains 3


B. Islam dan Sains Modern 8
C. Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern 10
D. Tujuan Agama dan Sain Modern 13
E. Agama dan Sains Modern Sebagai Kebutuhan Manusia 17

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 20
B. Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbincangan tentang modernisasi telah menyita konsentrasi para sarjana
baik Muslim maupun non-Muslim dibuktikan dengan telah lahirnya beragam
karya dan pemikiran dibidang ini menunjukkan modernisasi telah mendapat
tempat yang cukup proporsional dalam kajian global, bahkan ditambah lagi
dengan intensnya upaya-upaya pembaruan tersebut dilakukan secara serentak dan
kompak baik dunia Islam sendiri maupun di luar dunianya merupakan suatu arus
deras yang tidak dapat dihentikan demi menciptakan perbaikan dalam segala
bidang kemanusiaanya. Semakin hari kian terasa bahwa kehidupan manusia
makin menjurus kearah pengejaran segala sesuatu yang bermakna fisik-material,
di mana dalam kajian sosiologi kecenderungan semacam ini disebut sebagai
proses “reifikasi”, yaitu ketika manusia saling mengejar apa saja yang bernilai
“material”. Bagi mereka kehidupan ini dimaknai hanya sekedar untuk mengisi
“perut” dan memenuhi segala macam kesenangan yang nyaris mengabaikan
segala aspek yang berdimensi spiritual. Agama hampir dapat dipastikan akan
mengalami dampak yang cukup mengancam kelangsungan hidupnya, ketika
sekularisasi besar-besaran telah menggusur ikatan yang bersifat “sakral, suci dan
transenden”, sehingga afinitas keagamaan makin pudar dan luntur, bahkan kadar
keberagamaan dapat menghilang sama sekali dalam pergaulan hidup manusia era
modern, inilah salah satu ciri dan dampak dari era yang disebut “ Zaman Teknik”.
Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang
dalam pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman
telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan
melalui pengemangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dimana IPTEK
mendominasi segala aspek kehidupan. Kemoderenan selalu identik dengan
kehidupan keserbaadaan, sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu
cirri umum peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial
masyarakat yang kurang maju atau primitive untuk mencapai tahap yang telah

1
2

dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban. Mungkin modernitas memang


suatu keharusan sejarah manusia, modernisasi merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan, baik individual maupun kemasyarakatan. Tidak
kurang filosof eksistensialis menyebut era ini sebagai “kehancuran”, kendatipun
membuka berbagai kemungkinan baru. T.S. Elliot menyebutnya sebagai era
kecemasan, bahkan bagi para seniman era ini disebut sebagai keterasingan baru
dan pemenjaraan yang paling menakutkan.
B. Rumusan masalah
1. Apakah Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains?
2. Bagaimana Islam dan Sains Modern?
3. Bagaimana Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern?
4. Bagaimana Tujuan Agama dan Sain Modern?
5. Bagaimana Agama dan Sains Modern Sebagai Kebutuhan Manusia?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk Mengetahui Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains
2. Untuk Mengetahui Islam dan Sains Modern
3. Untuk Mengetahui Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern
4. Untuk Mengetahui Tujuan Agama dan Sain Modern
5. Untuk Mengetahui Agama dan Sains Modern Sebagai Kebutuhan Manusia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains


Sebelum menguraikan peranan dan tantangan agama dalam era sains dan
teknologi, lebih baik kita tinjau sejenak hubungan agama dan sains dalam sejarah
peradaban manusia. Hal ini sangat penting karena peradaban umat manusia tidak
lepas dari pergumulan antara berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama.
Setiap ada penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan gejolak tertentu
dalam masyarakat karena mereka belum memiliki perangkat baru untuk
menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sedangkan perangkat dan nilai-nilai
lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai
lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus kebingungan dan
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam sejarah Yunani, kehadiran pemikiran filsafat –sebagai induk dari
ilmu dan sains modern telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat karena
penemuan filsafat bertentangan dengan system kepercayaan dan mitos mereka.
Masyarakat pada waktu itu mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang
terjadi didalamnya tidak lepas dari aktifitas dewa. Gerhana, pelangi, atau gempa
bumi dianggap sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Pelangi dalam pandangan
orang Yunani adalah bidadari yang sedang mandi.
Ketika kepercayaan pada dewa mengkristal dalam masyarakat Yunani,
pemikiran filsafat menggugat kepercayaan tersebut. Pemikiran filsafat
mengatakan bahwa kejadian alam dan peristiwanya tidak berkaitan dengan dewa,
tetapi semuanya berasal dari alam sendiri. Dewa tidak ada perannya dalam alam.
Pelangi bukan bidadari yang sedang mandi, tetapi gejala alam yang biasa dapat
diterangkan secara rasional. Pelangi, dalam pandangan filsafat dan ilmu, adalah
bekas rintik-rintik hujan yang belum turun kebumi yang diterpa oleh sinar
matahari, sehingga membentuk warna merah, kuning, dan hijau.
Thales, sebagai seorang pelopor filsafat Yunani mengatakan bahwa
kejadian alam bukan berasal dari perkawinan antara dewa, tetapi alam berasal dari

3
4

alam itu sendiri, yaitu air, semua berasal dari air dan akan kembali menjadi air.
Aristoteles kemudian berpendapat bahwa Thales mengatakan hal itu karena bahan
makanan semua makhluk mengandung zat lembab dan merupakan benih dari
semua makhluk hidup. Lagi pula air bias berubah bentuk dari benda cair menjadi
gas dan benda padat.1
Kendati secara sepintas pemikiran Thales itu sangat sederhana, tetapi
dampak pemikiran tersebut mampu mengubah pola fikir sebagian besar
masyarakat Yunani dari masyarakat mitosentris menjadi logosentrais. Dan
pemikiran Yunani inilah yang kemudian menjadi dasar kebudayaan Barat dan
perkembangan sains modern. Munculnya Renaisans abad ke-15 adalah usaha
untuk menghidupkan kembali kebudayan Yunani dan menggali kesusastraannya.
Namun, perubahan dari masyarakat mitosentris menjadi logosentris tidak
luput dari gejolak. Terjadi benturan kepentingan, terutama antara tokoh-tokoh
tradisoional yang sudah lama menjadi panutan masyarakat dengan para filosof.
Benturan semacam ini tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun, orientasi,
kepentingan dan struktur kepercayaan masyarakat berubah secara total ketika
masuknya faham baru yang sama sekali berbeda dengan faham lama.
Benturan yang semacam ini tidak saja terjadi di Yunani, tetapi juga
dikawasan lain yang mengalami penemuan-penemuan baru, terutama dalam
bidang sains. Namun, ada juga benturan yang tidak terlalu tajam, seperti pada
masa awal-awal Islam (abad kedua dan ketiga Hijrah). Kedatangan filsafat dan
ilmu Yunani kedunia Islam tidak mengalami gejolak yang besar sekali dalam
masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, masyarakat
Islam pada waktu itu belum mengkristaldalam satu pola hidup tertentu. Mereka
masih bebas melakukan ijtihad dalam berbagai lapangan, baik fiqih, teologi,
filsafat, maupun ilmu. Jarak yang begitu dekat dengan sumber pertama, yakni
Nabi, mendorong mereka lebih berani untuk mengadakan pembaharuan dalam
berbagai bidang tersebut. Kedua, Al-Qur‟an dan Hadits Nabi mendorong untuk
melakukan penelitian ilmiah dan mengobservasi kejadian-kejadian dialam untuk
dijadikan I‟tibar bagi orang-orang yang berakal. Ketiga, para khalifah pada waktu

1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981), hlm. 26.
5

itu sangat menyokong kegiatan ilmiah, baik fasilitas maupun dana. Masa khalifah
Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, berbagai buku filsafat dan ilmu diterjenahkan
kedalam bahasa Arab. Para ilmuan diberi insentif oleh kerajaan untuk
mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Karena itu, tidak heran kemudian muncul
ulama yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang fisika,
kimia, matematika, dan kedokteran.
Namun, perkembangan ilmu kemudian hari didunia Islam terhenti karena
umat Islam terlena oleh kehebatan para faqih, teolog, dan ilmuan pada masa
kejayaan tersebut. Lagipula situasi politik umat Islam pada waktu itu tidak
mendukung berkembangnya pembaharuan pemikiran dan penelitian ilmiah. Lala
kelamaan ajaran para ulama itulah yang mengkristal daalam diri umat Islam.
Kristalisasi itu tidak saja terjadi dalam diri atau kelompok, tetapi juga wilayah,
seperti wilayah India terkenal dengan mazhab Hanafi, dan Indonesia dengan
mazhab Syafi‟i. Fenomena yang demikian membuat umat Islam tidak kreatif lagi,
bahkan mengalami kejumudan karena mereka mengambil apa saja yang sudah
dikupas oleh imam mazhab dengan sedikit perubahan. Keadaan yang demikian
tidak saja terjadi dalam bidang fiqih, tetapi juga dalam berbagai bidang, seperti
teologi dan ilmu.
Gejolak antara agama dan sains kemudian terjadi lagi pada era Renaisans.
Gereja pada awal abad pertengahan sangat berkuasa dan dominan, tidak saja
dalam lapangan agama, tetapi juga dalam lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang
sebenarnya tidak baku dan statis menjadi sacral dan tidak bias diubah. Karena itu,
ketika Nicolaus Copernitus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi bukan
pusat jagat raya, tetapi mataharilah yang merupakan pusat jagat raya, kalangan
gereja sangat marah karena teori tersebut sangat bertentangan dengan doktrin
„ilmiah‟ gereja. Ketegangan ini rupanya merupakan cikal bakal Sekularisme di
Barat. Agamawan berjalan menurut kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan
ilmuan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional dan empiris.
Akibatnya antara agama dan ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di
Barat tidak mengenal agama. Dari sini muncul semboyan sains untuk sains, atau
sains yang bebas nilai.
6

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, penemuan sains di Barat tidak dapat
diharmoniskan dengan dogma Kristen. Timbul pertentangan keras antara gereja
disatu fihak dan kaum filosof dan saintis difihak lain. Kaum filosof, demikian
Harun Nasution, yang membawa pemikiran-pemikiran dan saintis yang
menimbulkan penemuan-penemuan yang bertentangan dengan pendapat gereja
yang dikeluarkan dari gereja. Maka filsafat dan sains yang mereka kembangkan
menjadi terlepas dari ikatan agama. Dengan demikian, berkembanglah filsafat dan
sains yang sekuler di Eropa Barat sebagaimana halnya filsafat dan sains di Yunani
zaman klasik.2
Sebagaimana halnya di Yunani zaman klasik, rasionalisme yang
berkembang di Eropa zaman modern, menurut Harun nasution, adalah
rasionalisme yang tidak terikat oleh pada apapun. Timbullah pemikiran-pemikiran
ganjil di Eropa, sehingga filsafat hedonisme Yunani muncul kembali dalam
bentuk baru yang disebut dengan utilitarianisme. Fissafat ini mengajarkan bahwa
mencari sebanyak mungkin kesenangan adalah prinsip yang dipakai dalam bidang
moral. Dalam bidang teologi, timbil teilogi Tuhan telah mati. Agama tidak ada
artinya lagi. Yang menentukan segala-galanya adalah akal manusia. Nilai yang
absolut lenyap digantikan dengan nilai yang relatif.
Teknologi, demikian Takdir Alisyahbana, adalah kecakapan manusia
melipat gandakan tenaga-tenaga dan kemungkinan-kemungkinan alam yang tiada
berhingga besarnya. Menurut Takdir, manusia yang pertama menyambung
tangannya dengan galah agar dapat mengambil buah-buah yang tinggi tergantung
diujung dahan adalah ahli teknik yang pertama. Di zaman sains modern ini,
tangan manusia sudah begitu panjangnya sehingga dia dapat mengambil batu di
bulan. Sedangkan, tenaga manusia sedemikian besarnya sehingga dengan mudah
memusnahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia dengan letusan bom
nuklir.3

2
Prof. Dr. Harun Nasution, “Iptek berwawasan Moral dalam Perspektif Falsafat dan
Pemikiran Islam”, makalah seminar Iptek Berwawasan Moral di IAIN tanggal 8 Agustus 1996.
3
S. Takdir Alisyahbana, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa
Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 10
7

Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama


secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi
kalangan ilmuan di Barat, agama adalah penghalang kemajuan. Karena itu,
mereka beranggapan, jika ingin maju, agama tidak boleh lagi mengurusi masalah-
masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti politik dan sains. Para pemikir dan
saintis sering mengemukakan nada minor terhadap agama, baik pada awal
munculnya era industrialisasi maupun pada decade belakangan ini. Karl Marx
terkenal dengan pernyataannya bahwa “agama adalah candu
masyarakat”. August Comte mengatakan bahwa agama hanya cocok untuk
masyarakat yang masih primitif dan terbelakang. Sekarang, demikian Comte,
adalah era positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan dengan
rasional. Bahkan para saintis pada suatu saat berpendapat bahwa pencarian untuk
menemukan „kebenaran‟ akan membawa suat kecenderungan utama untuk
menyembah sains ketimbang agama. Kecenderungan ini memuncak pada filsafat
sekuler „Tuhan sudah mati‟ yang diungkapkan teolog radikal Thomas JJ Altizer
ditahun 1960 dan 1970-an. Sekarang dengan pandangan millennium, kekuatan
kecenderungan berbalik, menuju kebangkitan agama dan menyangkal
kepercayaan yang buta terhadap sains dan teknologi.
Proses sekularisasi terus berlanjut sepanjang abad ke-20 sejalan dengan
perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan
teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin luas. Karena itu, Hendrik
Kramer, sebagaimana dikutip oleh Sutan Takdir Alisyahbana, mengatakan bahwa
semua agama modern sedang mengalami suatu krisis yang amat mendalam. Setiap
orang dizaman kita yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan
agama dengan berbagai macam aliran-alirannya, kesangsiannya, danm
pertentangan diantara pengikut-pengikutnya, tak dapat dengan jujur berkata lain
daripada itu.
Jadi, peranan agama dalam menghadapi tantangan sains dan teknologi
adalah tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan sains dan tekhnologi
dengan titik tekannya pada aspek moral dan penggunaannya serta menjaga
keseimbangan lingkungan hidup. Agama harus memberikan semangat spiritualitas
8

yang bersifat global kepada umat manusia agar para pelaku dan pengguna
teknologi mawas diri. Agama, sebagaimana dinyatakan oleh Naisbitt, akan
bangkit pada abad ke-21. namun, kebangkitan agama tidak dalam bentuk formal,
tetapi semacam kesadaran atau kebutuhan akan suatu spiritualitas. Dengan
demikian, agama yang menghadirkan kebutuhan tersebut akan mendapat tempat
di berbagai lapisan masyarakat.4
B. Islam dan Sains Modern
Tak ada benturan dan pertentangan antara Islam dengan sains," cetus Ketua
Persatuan Ulama Umat Islam Dunia, Dr Yusuf Al-Qaradhawi, dalam sebuah
kesempatan. Alih-alih bertentangan, para saintis modern Barat telah membuktikan
bahwa ajaran Islam sangat sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.
Alquran--sebagai kitab suci dan petunjuk hidup umat Islam--yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam, secara
mengagumkan, mengungkapkan sederet fenomena ilmu pengetahuan yang telah
terbukti akurasi dan kebenarannya
Setelah melakukan berbagai penelitian ilmiah, para saintis Barat telah
membuktikan kebenaran janji Allah SWT tentang isi Alquran. Dalam surah
Albaqarah ayat 2, Allah SWT berfirman, "Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Prof Keith L Moore, guru besar Departemen Anatomi dan Biologi Sel
Universitas Toronto, telah membuktikan kebenaran firman Allah SWT itu. "Saya
tak tahu apa-apa tentang agama, namun saya meyakini kebenaran fakta yang
terkandung dalam Alquran dan sunah," papar Moore yang terkagum-kagum
dengan kandungan Alquran yang secara akurat menjelaskan perkembangan
embrio manusia.

4
B. R. Wilson, “Agama dalam Masyarakat Sekuler”, dalam, Agama dalam analisa
Interpretasi Sosiologis, Roland Robertson (ed.), (Jakarta : Rajawali Pers, 1993),
9

Berikut ini sebagian kecil fakta penting tentang kandungan Alquran yang
sejalan dengan temuan dunia sains modern.
Pembentukan awan
Para saintis telah mempelajari beragam jenis awan. Selain itu, kalangan
ilmuwan juga meneliti proses terbentuknya awan dan bagaimana hujan terjadi.
Secara ilmiah, saintis memaparkan proses terjadinya hujan dimulai dari awan
yang didorong angin. Awan Cumulonimbus terbentuk ketika angin mendorong
sejumlah awan kecil ke wilayah awan itu bergabung hingga kemudian terjadi
hujan. Tentang fenomena pembentukan awan dan hujan itu, Alquran pun
menjelaskannya secara akurat. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak
awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian
menjadikannya bertindih-tindih. Maka, kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan, seperti) gunung-gunung. Maka,
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-
hampir menghilangkan penglihatan." (QS Annur: ayat 43).
Setiap produk apapun jenisnya pasti membawa tata nilai dan pandangan
hidup atau pandangan dunia dari produsennya. Contoh extrem dan gamblang
adalah majalah play boy yang pernah diterbitkan di negeri berpenduduk muslim
terbesar di dunia yaitu Indonesia. Play boy adalah produk yang sekaligus
membawa pesan masyarakat penganut hidup bebas, termasuk freesex didalamnya.
Majalah ini pelan tapi pasti akan menggiring pada tradisi dan kehidupan mesum,
membangun masyarakat bebas seperti masyarakat hewan yang tidak memiliki
akal dan tidak dapat menggali ilmu pengetahuan.
”Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan
binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S Fatir 35 : 28 ).
Produk diatas memang hasil cipta dari akal namun memiliki nilai yang sangat
bertentangan dengan tata nilai muslim sebagai mayoritas masyarakat Indonesia.
10

Sains sebagai produk yang diciptakan manusia tidak dapat dikecualikan


atau diistimewakan. Ia membawa pandangan dunia tertentu dari kreatornya.
Bedanya dengan produk yang tadi yang telah disebutkan diatas, sains selain lebih
abstrak juga relatif tidak memiliki bandingan. Peradaban modern telah mencapai
kemajuan material yang luar biasa, tetapi pada saat yang bersamaan telah
melahirkan krisis yang cukup akut. Biang kerok dari semua kejadian buruk itu
dituduhkan justru kepada sains sebagai panglima peradaban modern. Apa yang
salah dari sains sekarang hingga perlu dibangun sains alternatif yang holistik, dan
diantaranya adalah sains Islam.
Secara sederhana sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam
menyibak realitas. Terkait dengan pengertian ini, sains menjadi tidak tunggal atau
dengan kata lain akan ada lebih dari satu sains, dan sains satu dengan sains yang
lain dibedakan pada apa makna realitas dan cara apa yang dapat diterima untuk
mengetahui realitas tersebut.
C. Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern :
1. Pilar Ontologis, dalam Sains Islam yakni hal yang menjadi subjek ilmu, Islam
harus menerima realitas material maupun nonmaterial sebagaimana dikatakan
dalam Q.S Al-Haqqah ( 69 : 38-39 )
“Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak
kamu lihat.” (Q.S Al-Haqqah 69 : 38-39)
Hal yang menjadi subjek ilmu adalah makhluk dimana makhluk tidak dibatasi
oleh yang material dan terindra, tetapi juga yang imaterial. Tatanan ciptaan
atau makhluk terdiri atas tiga keadaan fundamental, yaitu keadaan material,
psikis dan spiritual. Namun dalam Sains Modern hanya menerima realitas
materi dan pikiran, dan keduanya dipandang sebagai dua substansi yang
sepenuhnya berbeda dan terpisah.
2. Pilar Aksiologis, dalam Sains Islam yakni terkait dengan tujuan dibangun
atau dirumuskannya ilmu pengetahuan. Tujuan utama ilmu pengetahuan Islam
adalah dikenalkannya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya,
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ali Imran ( 3 : 191 )
11

“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini
dengan sia-sia; Maha suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.
Namun, dalam Sains Modern, tujuannya telah bergerak menuju deisme.
Yakni kepercayaan bahwa Tuhan memulai alam semesta dan kemudian
membiarkannya berjalan.
Hal ini terbukti ketika ilmuwan bernama Leplace membuat buku tentang alam
semesta dan tidak pernah menyebut Sang Pencipta.
3. Pilar Epistemologis, yakni pilar terpenting dalam ilmu pengetahuan dimana
didalamnya mencangkup penjelasan serta pertanyaan, bagaimana kita dapat
mencapai pengetahuan tersebut. Al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar Nabi
Muhammad S.A.W sekaligus merupakan sumber intelektualitas dan spiritual
Islam. Ia merupakan pijakan bukan hanya bagi agama dan pengetahuan
spiritual, melainkan juga semua jenis pengetahuan. Manusia memiliki fakultas
pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan. Namun meski demikian, sumber dari segala sumber tidak lain
adalah Tuhan yang maha mengetahui. Salah satu sumber pengetahuan adalah
Al-Qur‟an. Meski bukan kitab sains, Al-Qur‟an memiliki fungsi sebagai
petunjuk bagi ummat manusia secara keseluruhan sebagaimana dinyatakan
dalam Surah Al-Baqarah ayat 185
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur‟an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda”.(Q.S. Al-Baqarah 2 : 185)
Dalam ayat tersebut jelas bahwa Al-Qur‟an dapat dijadikan kontruksi ilmu
pengetahuan. Namun dalam Sains Modern Al-Qur‟an bukanlah apa-apa,
bahkan mereka mengabaikan dan menyangkal segala aspek metafisik, spiritual
dan estetis jagat raya. Eddington dan Whitehead menyatakan dengan tepat
bahwa sains modern adalah jenis pengetahuan yang dipilih secara subjektif
karena hanya berurusan dengan aspek-aspek realitas alam semesta yang dapat
dipelajari oleh metode ilmiah.
12

Sains modern dibangun hanya dengan satu metodologi, yakni metodologi


ilmiah yang didalamnya terkandung unsur logika, observasi dan
eksperimentasi. Sehingga ketika mereka tidak melihat bukti secara nyata,
mereka tidak akan menganggapnya ada dan malah akan menganggap bahwa
hal tersebut tidak masuk akal karena tidak dapat dilogikakan.

Logika bukanlah khas sains modern. Jauh sebelumnya, para ilmuwan dan
filsuf muslim senantiasa menggunakan logika dan memandangnya sebagai
suatu bentuk hikmah, bentuk pengetahuan yang sangat diagungkan Al-Qur‟an.
Di dalam penggunaan logika di kalangan sarjana muslim, terdapat
istilah burhan, istilah yang menunjukkan metode ilmiah demonstrasi atau bukti
demonstratif.Al-Ghazali menyatakan bahwa istilah mizan yang biasa
diterjemahkan sebagai timbangan, merujuk antara lain pada logika. Artinya,
logika adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang ide-ide dan
pendapat-pendapat untuk sampai pada penilaian yang benar.
Seperti halnya logika, observasi dan eksperimentasi sudah tersebar luas di
kalangan sarjana muslim jauh sebelum masa. Sejarah ilmu pengetahuan
modern sering menyebutkan bahwa peralihan dari pendekatan metafisis
silogistik Aristotelian dalam tradisi Yunani ke observasi dan eksperimen terjadi
pada masa renasains Eropa dan ditandai oleh Novum Organon (Logika baru)
dari Francis Bacon. Penyelidikan yang cermat dan jujur akan mengakui bahwa
observasi dan eksperimen telah menjadi bagian dari aktivitas yang tak
terpisahkan dari para sarjana muslim enam atau tujuh abad sebelumnya.
Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa para sarjana muslim klasik
bukan hanya sekedar penerjemah dan penerus tradisi dan pola pemikiran
Yunani. Para ilmuwan muslim juga memberi kontribusi yang signifikan bagi
ilmu pengetahuan, yakni observasi dan eksperimen.
Dalam tataran ini epistemologi sains Islam adalah epistemologi sains
modern plus atau diperluas, yakni plus penerimaan wahyu sebagai sumber
informasi dan plus metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan
metodologi seperti penerimaan metode ta‟wil.
13

Metode terakhir ini terkait dengan upaya penyingkapan realitas lebih


tinggi, yang hanya mungkin pikiran tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh
oleh keberkatan yang tumbuh dari wahyu karena ruh ditiupkan kepada yang
menginginkannya. Bagi ilmuwan muslim adalah hal yang niscaya untuk sering
berdoa dan meminta pertolongan Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah
ilmiah maupun filosofisnya. Karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian
jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan
Islam.
D. Tujuan Agama dan Sain Modern
Dalam pandangan sainstis agama dan sains memiliki perbedaan yang
sangat jauh dan sukar dipertemukan. Bidang kajian agama adalah alam metafisik,
sedangkan bidang kajian sains adalah alam empiris. Sumber agama dari Tuhan
sedangkan sains dari alam. Perbedaan agama deduktif emosional sedangkan sains
induktif rasional. Agama bersifat subjektif sedangkan sains bersifat obyektif.
Ukuran agama adalah mukmin atau kafir, sedangkan sains adalah benar atau
salah. Anggapan para sainstis yang demikian menunjukkan bahwa titik singgung
antara agama dan sains hampir tidak ada, dan kalau pun ada itu terletak pada hal
yang umum sekali, yaitu baik agama maupun sains, subyeknya sama-sama
manusia.
Namun, kalau diamati secara lebih dalam, terutama dalam segi asal-usul
dan tujuan agama dan ilmu, akan tampak titik persamaan antara sains dan agama,
kalau sainstis sekuler mengatakan bahwa sumber sains adalah alam empiris, maka
dari mana sumber alam empiris itu? Mendapat pertanyaan seperti ini biasanya dia
mengatakan bahwa alam empiris terjadi sendirinya, tanpa pencipta. Toh kalaupun
ada pencipta, maka dia tidak dapat diketahui dengan jelas dan kehadirannya tidak
membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Jawaban yang demikian terlihat tidak
logis karena tidak ada sesuatu yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal
sainstis sangat mengagungkan sekali teori sebab akibat- suatu akibat pasti ada
sebab yang berasal dari luar dirinya. Dari sini terlihat kalau diusut lebih jauh lagi,
para sainstis, baik yang sekuler, yang agnotis mengakui adanya sebab dibalik
14

alam nyata ini, bagi kalangan agamawan sebab itu dinamakan pencipta, bukan
sekedar sebab saja atau asal usul.
Dari segi tujuan, agama berfungsi membimbing umat manusia agar hidup
tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat. Adapun sains dan tekhnologi
berfungsi sebagai sarana mempermudah aktivitas manusia di dunia. Di sini
tampak lebih jelas titik singgung antara agama dan sains. Kebahagiaan di dunia,
menurut agama adalah prasyarat untuk mencapai kehidupan akhirat. Sains adalah
sarana untuk membahagiakan dan mempermudah aktivitas manusia di dunia.
Dengan tekhnologi mobil, dia dapat dengan cepat sampai pada tujuan yang jauh.
Dengan tekhnologi arsitektur, dia mampu membangun rumah yang nyaman dan
indah. Semua itu dalam pandangan agama, adalah penting dan perlu sebab
ketenangan dan kebahagiaan tersebut membuat dia leluasa menjalankan ajaran-
ajaran agama yang mengantarkan kebahagiaan di akhirat.
Sains, tujuannya adalah untuk mempermudah aktivitas manusia di dunia
dan dengan sains posisi manusia lebih tinggi dri pada makhluk-makhluk lain,
bahkan lebih tinggi dari malaikat. Sebagaimana agama, sains juga bertujuan untuk
menyenangkan sekaligus membahagiakan manusia.
Pelaku kegiatan sains dan agama adalah sama-sama manusia. Agama dan
sains sama-sama mengakui bahwa manusia merupakan makhluk yang tertinggi
tingkatannya di bandingkan dengan makhluk lain. Dalam konsep Islam manusia
di anggap sebagai khalifah di bumi, yakni pengganti Allah.
Tugas umat manusia sebagai khalifah Allah adalah mengembangkan
potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi yang tertinggi dan yang
membedakan dia dan makhluk lain adalah daya akal. Dengan akal manusia dapat
mengungguli kemampuan makhluk yang memiliki keahlian tertentu, seperti
manusia mampu terbang melebihi ketinggian dan kecepatan burung.
Andi Hakim Nasition mengatakan bahwa yang dimaksud dengan manusia
sebagai khalifah di muka bumi adalah kemampuan dia mengambil keputusan,
kemampuan dalam mengambil keputusan berdasarkan pada kemampuan manusia
berpikir dan bernalar. Kemampuan itu di mungkinkan pada manusia karena ia
memiliki susunan otak yang paling sempurna di bandingkan dengan otak berbagai
15

makhluk hidup lainnya. Menurutnya kemampuan akal itu pulalah yang membuat
manusia berkuasa di muka bumi ini dan siapa yang memiliki ilmu dialah yanmg
kuat dan berkuasa.
Dari dulu sampai sekarang peradaban umat manusia selalu di tandai
dengan kemajuan sains dan tekhnologi. Peradaban Mesir kuno terkenal dengan
peninggalan piramida dan mummi, yang merupakan hasil dari arsitektur dan
bahan-bahan pengawet. Peradaban Yunani terkenal dengan kemajuan filsafat.
Peradaban Islam berjaya selama lebih kurang lima abad merupakan sumbangan
bagi kemajuan ilmu dalam berbagai bidang, seperti kedokteran dan astronomi.
Sekarang peradaban Barat merupakan primadona dari peradaban dunia karena di
Barat sains maju dengan pesatnya. Jadi, dari sejarah peradaban manusia, jelas
bahwa sains mempunyai peranan sangat penting.
Namun, sains yang begitu dibanggakan pada suatu saat dapat
meruntuhkan suatu peradaban dan menimbulkan bencana bagi umat manusia.
Contohnya, kematian ratusan ribu rakyat Jepang ketika bom atom di jatuhkan di
Hirosima dan Nagasaki. Penemuan tekhnologi atom, di satu sisi mendatangkan
dampak yang baik, di sisi lain dapat menimbulkan bencana. Karena itu, seorang
sainstis kalau tidak memiliki komitmen moral terhadap nilai kemanusiaan, dia
bisa saja derbuat dengan bebas. Dia tidak mempermasalahkan apakah tekhnologi
yang di hasilkannya digunakan untuk hal yang konstruktif atau destruktif. Di sini
moral sebagai salah satu ajaran dasar agama sangat diperlukan sekali. Hukuman
yang diterima oleh para sainstis yang menyalah gunakan penemuannya, tidak saja
kutukan dari umat manusia, tetapi juga kutukan dari Tuhan. Kalau kutukan dari
Tuhan ini dapat di tanamkan lebih kuat, niscaya tidak seorangpun sainstis yang
menyalah gunakan sains dan tekhnologi.
Dalam beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan.
Agama membutuhkan penjelasan sains tentang fakta-fakta yang di alam, sebagai
mana termaktub dalam kitab suci. Al-Qur‟an menegaskan agar selalu meneliti
peredaran planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan langit. Sebaliknya, ilmu
membutuhkan agama dalam memberikan dasar moral bagi penerapan dan
kegunaan sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan.
16

Keterjalinan antar agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan
dan kebahagiaan di dunia.
Perbedaan agama dan sains tentu ada dan dalam beberapa hal perbedaan
itu memang di perlukan agar tidak terjadi kekacauan epistomologis dalam
menguraikan suatu permasalahan. Kendati agama dan sains dapat di bedakan,
tetapi keduanya tidak dapat di pisah-pisahkan. Ukuran kebenaran sains harus
dapat di buktikan secara empiris. Adapun kebenaran agama tidak perlu adanya
pembuktian secara empiris.
Namun, dalam aspek praktek keagamaan pengalaman empiris dari
pemeluk agama telah membuktikan suatu kebenaran empiris juga, sehingga antara
kesadaran ilmiah dan kesadaran agama memiliki titik temu. Orang yang
melakukan zikir dan ibadat dengan teratur, jiwanya menjadi tenang dan hidupnya
semakin berarti, dan dia mampu mengendalikan diri dengan baik. Pengalaman
semacam ini tidak saja di alami satu dua orang , tetapi hampir semua orang yang
menjalankan ibadat agama secara konsisten.
Ilmu jiwa pada khususnya membahas masalah hubungan tingkah laku
manusia dengan keadaan jiwanya. Semakin tenagng jiwa seseorang semakain
mantap dan timbul rasa percaya dirinya yang besar. Sebaliknya, semakin labil
jiwanya, semakin hilang pegangan hidupnya dan tidak heran juga banyak penyakit
yang timbul karena factor kejiwaan. Fisik sebenarnya sehat, tetapi jiwanya
merasakan sebaliknya,
Agama dan sains memiliki titik singgung, terutama dalam hal kepentingan
dan kebutuhan dasar manusia. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan
rohani. Jasmani manusia terbatas, alat indranya terbatas. Namun, dengan kekuatan
daya akal, alat indra itu dapat di maksimalkan. Tangan yang pendek dapat di
perpanjang dengan tekhnologi , sehingga ia dapat menjangkau batu di bulan.
Begitu juga dengan mata yang terbatas melihat benda dalam ukuran tertentu saja,
dengan tekhnologi mikroskop benda yang paling kecil dapat di lihat. Singkatnya,
sains dan tekhnologi dapat saling membantu memudahkan pekerjaan fisik
manusia. Dengan demikian secara otomatis, manusia yang menguasai sains dan
17

tekhnologi jiwanya senang dan bahagia. Sebab, dia dapat menikmati hidup ini
dengan penuh kemudahan.
Ketika kebutuhan fisik terpenuhi oleh sains dan tekhnologi, maka unsur
jiwa memiliki kebutuhan tertentu. Di antara kebutuhan jiwa adalah ketenangan
dan kebahagiaan hidup. Sains dan tekhnologi memang dapat menjadikan manusia
bahagia, tetapi agar kebahagiaan itu tidak bersifat materi semata, maka agama
perlu memberikan nilai spiritual kedalam hidup manusia. Lagi pula, agar manusia
tidak di perbudak oleh penemuannya sendiri. Kadang kala orang yang telah
mampu membuat tekhnologi canggih, dia kemudian berstruktur dan terkungkung
oleh tekhnologi itu sendiri. Di sini, agama memberikan petunjuk bahwa manusia
setiap saat harus mampu mengendalikan saons dan tekhnologi, bukan sebaliknya. 5
E. Agama dan Sains Modern Sebagai Kebutuhan Manusia
Dalam pandangan positivisme atau materialisme, jika sains dan tekhnologi
sudah maju, maka masyarakat tidak membutuhkan agama lagi sebab semua
kebutuhan dan keinginan mereka sudah terpenuhi oleh sains dan tekhnilogi.
Sepintas pernyataan tersebut ada benarnya, tetapi jika di renungkan lebih dalam
timbul persoalan. Apakah keinginan manusia betul-betul mampu di penuhi oleh
sains dan tekhnologi?, padahal menurut aliran ini manusia terbatas dalam alm
sangat luas. Bagaimana dioa mampu memenuhi keinginan yang tidak terbatas,
seperti dia tidak ingin mati. Apakah tekhnologi yang super canggih mampu
mengatasi keinginan tersebit?. Kalau ada tekhnologi yang mampu memenuhi
keinginan tersebut, kemungkinan besar semua orang akan menganu materialisme.
Ternyata pandangan materialisme tersebut tidak dapat di pertanggung jawabkan
karena alur pikirannya tidak logis.
Kemajuan sains dan tekhnologi dalam satu abad terakhir ini memang
terasa sangat pesat. Boleh di katakana bahwa 99% dari penduduk dunia sekarang
telah menggunakan tekhnologi modern. Mingkin hanya sebagian suku-suku
terasing saja yang tidak menggunakan tekhnologi modern.

5
Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor : Litera Antar Nusa, 1988),
hlm.11
18

Sains dan tekhnologi adalah daya akal manusia dan sekaligus


kebutuhannya. Namun, kalau manusia tenggelam dalam struktur sains dan
tekhnologi, berarti eksistensinya sebagai manusia bisa hilang. Jiwa manusia
memiliki dua daya yaitu daya akal dan daya hati. Daya akal di gunakan untuk
mencaoai ilmu pengetahuan dan menemukan hal-hal yang baru. Sifat akal
progresif dan cinta pada ilmu. Daya berpikir adalah sifat yang paling penting bagi
akal.
Pada dasarnya manusia ingin kebutuhan materinya cukup dan juga merasa
sangat puas dan bahagia dengan kecukupan itu. Agama mengajarkan pemeluknya
agar selalu bersyukur atas apa yang di terimanya sebab Tuhan itu maha pemurah
dan bikjaksana. Kemurahan Tuhan itu dapat diamati dalam struktur kebutuhan
manusia. Semakin sesuatu itu di butuhkan semakin semakin murah harga dan
mudah diperoleh. Contohnya, udara lebih di butuhkan ketimbang air sebab
seseorang mampu hidup beberapa hari tanpa minum, tetapi dia akan mati dalam
hitungan menit kalau udara tidak ada. Seterusnya, air lebih di butuhkan ketimbang
makanan karena seseorang mampu bertahan hidup tanpa makan sekian puluh hari
dengan tetap minum air, demikian seterusnya.
Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani, secara otomatis
kedua unsur itu memiliki kebutuhan-kebutuhan tersendiri. Kebutuhan jasmani di
penuhi oleh sains dan tekhnologi, sedangkan kebutuhan rohani di penuhi oleh
agama dan moralitas. Apabila dua macam itu terpenuhi , menurut agama, dia akan
bahagia di dunia dan di akhirat. Bahkan agama menekankan bahwa kebahagiaan
rohani lebih penting dan bernilai dari pada kebahagiaan materi. Kebahagiaan
materi menurut agama, bersifat sementara dan akan hancur, sedangkan
kebahagiaan rohani bersifat abadi.
Adanya konsep keabadian jiwa dalam agama merupakan dorongan bagi
pemeluknya agar selalu berpikir dan bertujuan jauh ke depan. Pandangan jauh ke
depan ini memiliki aspek yang positif, antara lain kebahagiaan yang hakiki sulit di
capai di dunia dan yang serba terbatas.karena itu, sesungguhnya kebahagiaan yang
hakiki itu ada pada alam yang tidak terbatas, yaitu alam rohani dan surga.
19

Kebutuhan dalam meramal dan berpikiran jauh ke depan sudah


merupakan naluri manusia. Seirng dengan kemajuan sains dan tekhnologi, di
negara-negara Barat bermunculan para futurology yang terkenal, seperti Naisbitt
dan Alvin Toffler. Mereka meramal masa depan manusia dengan berpijak pada
kenyataan yang sekarang dan pengfalaman umat manusia yang telah lewat. Hasil
dari ramalannya itu di bukukan dan menjadi buku yang paling laris di beli
masyarakat.
Dengan demikian kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan
tekhnologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik
di sunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada agama. Agama Islam
umpamanya memberikan petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan jasmani itu
saling terkait. Doa yang selalu dianjurkan agar di baca oleh seorang muslim
adalah permintaan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, kebahagiaan dunia
menjadi prasayarat bagi kebahagiaan di akhirat.6

6
https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2012/10/15/agama-dan-sains/
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama


secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi
kalangan ilmuan di Barat, agama adalah penghalang kemajuan. Karena itu,
mereka beranggapan, jika ingin maju, agama tidak boleh lagi mengurusi masalah-
masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti politik dan sains. Para pemikir dan
saintis sering mengemukakan nada minor terhadap agama, baik pada awal
munculnya era industrialisasi maupun pada decade belakangan ini. Karl Marx
terkenal dengan pernyataannya bahwa “agama adalah candu masyarakat”. August
Comte mengatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih
primitif dan terbelakang. Sekarang, demikian Comte, adalah era positivisme, yang
semua kejadian dapat diukur dan diterangkan dengan rasional. Bahkan para saintis
pada suatu saat berpendapat bahwa pencarian untuk menemukan „kebenaran‟ akan
membawa suat kecenderungan utama untuk menyembah sains ketimbang agama

Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern :


1. Pilar Ontologis, dalam Sains Islam yakni hal yang menjadi subjek ilmu, Islam
harus menerima realitas material maupun nonmaterial sebagaimana dikatakan
dalam Q.S Al-Haqqah ( 69 : 38-39 )
“Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak
kamu lihat.” (Q.S Al-Haqqah 69 : 38-39)
2. Pilar Aksiologis, dalam Sains Islam yakni terkait dengan tujuan dibangun atau
dirumuskannya ilmu pengetahuan. Tujuan utama ilmu pengetahuan Islam
adalah dikenalkannya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya,
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ali Imran ( 3 : 191 )
3. Pilar Epistemologis, yakni pilar terpenting dalam ilmu pengetahuan dimana
didalamnya mencangkup penjelasan serta pertanyaan, bagaimana kita dapat
mencapai pengetahuan tersebut. Al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar Nabi

20
21

Muhammad S.A.W sekaligus merupakan sumber intelektualitas dan spiritual


Islam.
Dari segi tujuan, agama berfungsi membimbing umat manusia agar hidup
tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat. Adapun sains dan tekhnologi
berfungsi sebagai sarana mempermudah aktivitas manusia di dunia. Di sini
tampak lebih jelas titik singgung antara agama dan sains. Kebahagiaan di dunia,
menurut agama adalah prasyarat untuk mencapai kehidupan akhirat. Sains adalah
sarana untuk membahagiakan dan mempermudah aktivitas manusia di dunia.
Sains, tujuannya adalah untuk mempermudah aktivitas manusia di dunia dan
dengan sains posisi manusia lebih tinggi dri pada makhluk-makhluk lain, bahkan
lebih tinggi dari malaikat. Sebagaimana agama, sains juga bertujuan untuk
menyenangkan sekaligus membahagiakan manusia.
Dengan demikian kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan
tekhnologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik
di sunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada agama. Agama Islam
umpamanya memberikan petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan jasmani itu
saling terkait. Doa yang selalu dianjurkan agar di baca oleh seorang muslim
adalah permintaan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, kebahagiaan dunia
menjadi prasayarat bagi kebahagiaan di akhirat.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memperkaya dan memperluas
wawasan keilmuan kita sebagai pembaca yang haus akan ilmu pendidikan.
Marilah kita menjadikan diri yang kaya akan pendidikan agar menjadi insan-insan
yang terdidik,berbudi pekerti yang baik serta dan bermoral yang berpegang teguh
pada agama masing-masing.
22

DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981), hlm. 26.

Prof. Dr. Harun Nasution, “Iptek berwawasan Moral dalam Perspektif Falsafat
dan Pemikiran Islam”, makalah seminar Iptek Berwawasan Moral di IAIN
tanggal 8 Agustus 1996.

S. Takdir Alisyahbana, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan


Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 10

B. R. Wilson, “Agama dalam Masyarakat Sekuler”, dalam, Agama dalam analisa


Interpretasi Sosiologis, Roland Robertson (ed.), (Jakarta : Rajawali Pers,
1993),

Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor : Litera Antar Nusa,
1988), hlm.11

https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2012/10/15/agama-dan-sains/

Anda mungkin juga menyukai