1. Peristiwa 65-66
Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM, Nur Kholis, dalam jumpa pers di
kantornya menjelaskan bahwa telah terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa serta perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang. Menurutnya, perbuatan-perbuatan
tersebut ditujukan terhadap yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. Semua peristiwa
ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua.
Setelah peristiwa Gerakan 30 Sept. 1965, ribuan orang, diperkirakan mencapai 500.000, yang
dicurigai anggota PKI, dibunuh dan banyak yang lainnya dipenjara tanpa tuduhan yang jelas.
Menurut Nur kholis salah satu unit negara yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah
struktur Komando Pemulihan dan Keamanan (Kopkamtib) yang dipimpin oleh mantan presiden
Soeharto, yang memimpin dari 1965 dan 1967, serta antara 1977 dan
1978.
Jendral Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menuduh
PKI mendalangi G30S. Kemudian Soeharto menyusun rencana pembasmian terhadap orang-
orang yang terkait dengan PKI. Pembantaian ramai dilakukan terutama di wilayah Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Bali.selama proses pembantaian tersebut, telah terjadi pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang berat. Hal ini diungkapkan melalui laporan dari korban dan keluarga
korban peristiwa 1965-1966.
Bukti-Bukti Tragedi 1965
o Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) menyerahkan bukti
tambahan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tahun 1965, berupa 346 lokasi
kuburan massal ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Kamis (3/10/2019).
Posisi kuburan massal tersebut tersebar di Provinsi Jawa Tengah (119 lokasi), DI
Yogyakarta (9), Jawa Timur (116), Jawa Barat (7), Banten (1), Aceh (7), Sumatera Utara
(17), Sumatera Barat (22), Riau dan Kepulauan Riau (6), Sumatera Selatan (2), Lampung
(8), Ball (11), Kalimantan Timur (1), Kalimantan Tengah (1), Sulawesi (9), Nusa Tenggara
Timur (10).
o Ketua YPKP 65 Bedjo mengatakan bahwa Ia juga menyerahkan daftar nama orang yang
dibunuh, yang ditahan, yang disiksa, mati di tahanan.
o Wawancara beberapa pelaku dan korban.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160531_indonesia_kubura
n_masal_jegong
Upaya Rekonsiliasi dalam Penyelesaian Tragedi 1965
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 tidak
dilakukan melalui proses pengadilan namun dengan cara rekonsiliasi dengan keluarga korban.
Penuntasannya terlalu fokus pada mekanisme yudisial padahal ada alternatif penyelesaian lain
dengan mekanisme non yudisial. Dengan mekanisme non-yudisial kemungkinan rencana
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dihidupkan kembali,
Menghidupkan kembali KKR dapat menjadi jalan keluar untuk penyelesaian kasus pelanggaran
HAM yang selama ini tidak digubris.
Ketiadaan pengadilan HAM ad hoc hingga saat ini menjadi hambatan yang dihadapi pihak Jaksa
Agung dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Diperlukan revisi UU Pengadilan HAM.
Contoh undang-undang yang perlu direvisi yaitu Undang Undang No.26 tahun 2000. Undang-
undang tersebut perlu direvisi agar tidak mengurangi hak korban atas kepastian hukum dan
untuk memberi jalan keluar terhadap beberapa persoalan.
Persoalan itu diantaranya, penyelidik dan penyidik memiliki perbedaan pendapat mengenai
dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat, terkhusus tentang kelengkapan hasil penyelidikan.
Jaksa Agung ST Burhanudin pernah mengatakan bahwa ia belum bisa menuntaskan kasus
dikarenakan berkas yang didapat dari KOMNAS HAM itu tidak lengkap dan ketiadaan Pengadilan
ad hoc.