BANDUNG-CIMAHI
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Metode Penelitian.....................................................................................................3
1.4 Landasan Teori.........................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................5
2.1 Praktek Supremasi Sipil...........................................................................................5
2.2 Tataran Kewenangan Antara Otoritas Sipil dan Otoritas Militer..............................6
2.3 Kerjasama Sipil-Militer Dalam Rangka Terciptanya Supremasi Sipil......................8
BAB III............................................................................................................................11
PENUTUP.......................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah
dengan judul “Andai Saya Menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia :
Apa Yang Akan Saya Lakukan Dalam Menciptakan Supremasi Sipil di
Indonesia”. Salawat serta salam tak lupa penulis panjatkan semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W.
Desmana Azzahra
NIM. 6211191110
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kebijakan instruktif dan dasar hukum lantas menjadi dua hal yang penting
untuk menghasilkan subordinasi penuh militer terhadap masyarakat sipil di dalam
sistem demokratis. Argumentasi ini membantah studi-studi sebelumnya, terutama
studi-studi berperspektif politik, yang cenderung menerima ide bahwa supremasi
militer atas sipil dalam politik diperlukan untuk membangun negara-bangsa yang
kuat dan mempertahankan konstitusi.
Latar belakang utama yang dibahas dalam makalah ini adalah mengapa
setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi berjalan di Indonesia relasi sipil–
militer yang demokratis belum juga terwujud? Hal ini disebabkan oleh dua hal
utama. Pertama, kalangan sipil belum bisa mewujudkan militer yang profesional.
Kedua, kepemimpinan dari kalangan sipil yang dinilai masih lemah. Subordinasi
voluntaristik TNI kepada otoritas sipil dalam dua puluh tahun terakhir ini
bukanlah konsekuensi dari ruang delegatoris yang secara sengaja diberikan oleh
institusi sipil, melainkan karena stagnasi prakarsa-prakarsa reformasi militer yang
ditawarkan oleh institusi sipil. Stagnasi itu terjadi karena fragmentasi institusi
sipil dan diversifikasi koalisi ad hoc antar-aktor di lingkaran dalam dan lingkaran
luar. Konseptualisasi institusi sipil di Indonesia tentang institusi militer cenderung
1
tidak beranjak dari konseptualisasi modern yang didasarkan pada kompetensi
militer dalam penggunaan instrumen koersif, melainkan beranjak dari
konseptualisasi historis yang kental mempertahankan sejarah dan kebiasaan
selama bernaung di bawah sistem otoriter Orde Baru.
Maka dari itu, dalam penelitian ini akan membahas argumentasi sekaligus
sebagai kritik terhadap studi sebelumnya, terutama yang didominasi studi
berperspektif politik dan sejarah, yang menempatkan supremasi militer atas sipil
dalam politik sebagai suatu kewajaran (lihat Crouch 1985, 1998). Di samping itu,
studi ini juga untuk menolak adanya keyakinan yang kuat dalam masyarakat
bahwa militer harus berpolitik karena mereka merasakan kegagalan beberapa
pemimpin sipil setelah era kemerdekaan 1945, dan hanya melalui kekuatan
militerlah stabilitas suatu bangsa akan dapat diwujudkan guna mengatasi
kekacauan politik.
2
3. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan kerjasama sipil-militer dalam
mendukung terciptanya supremasi sipil?
3
2. That the key to civilian control is professionalism;
4
BAB II
PEMBAHASAN
Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu tegaknya supremasi sipil
atau kontrol sipil terhadap militer. Pada prinsipnya pembahasan tentang
pengendalian demokratis atas angkatan bersenjata berkaitan erat dengan siapa
yang menjaga penjaga (who guards the guardians). Ketentuan ini sesuai dengan
pemikiran klasik Romawi dari Juvelai dan Omnia Romae yang mengatakan
bahwa demokrasi adalah supremasi sipil, termasuk terhadap komando angkatan
bersenjatanya.
5
disahkan oleh otoritas konstitusi, termasuk di dalamnya bagaimana
mengumpulkan dan mengendalikan informasi untuk kepentingan operasi
militer (Vlachová 2002).
Kontrol sipil terbungkus dalam dua tipikal yaitu : kontrol sipil subyektif
dan kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil subyektif difokuskan kepada
memaksimalkan kekuatan kontrol sipil atau kelompoknya. Sedangkan kontrol
6
sipil obyektif fokus kepada memaksimalkan profesionalisme Perwira. Pembagian
ini ada kaitannya dengan tidak hadirnya korps perwira yang professional,
sehingga bentuk kontrol sipil yang paling memungkinkan adalah kontrol sipil
subyektif. Inti kontrol sipil obyektif meyakinkan bahwa elit militer akan semakin
efektif dengan catatan menurunkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan
nasional.
Tingkat kepercayaan antara elit sipil maupun elit militer sangatlah penting.
Karena itu membangun kepercayaan sangatlah penting utamanya saat awal
reformasi. Menurutnya definisi supremasi sipil telah terdeviasi sehingga terkesan
tidak ada keseimbangan antara elit sipil dan elit militer. Padahal, maka definisi
kontrol sipil atau supremasi sipil sulit diterapkan. Faktor keseimbangan kekuatan
antara instrumen militer dengan non-militer perlu digaris bawahi agar tidak ada
kekuatan dominan dalam proses pengambilan keputusan strategik atau nasional.
Ide bahwa hubungan sipil-militer seharusnya diarahkan agar bagaimana hubungan
ini bisa menghasilkan suatu keputusan tentang keamanan nasional yang terbaik.
7
referensi dalam rangka hubungan sipil – militer yang demokratis, yang berlaku di
negara-negara Eropa.
Posisi dan peran Dephan dalam konteks supremasi sipil; supremasi sipil
merupakan konsep yang hampir tidak pernah mengemuka pada zaman otoriter
Orde Baru. Dengan konsep ini, artinya prinsip demokrasi dijalankan berdasarkan
suatu mekanisme yang terbuka dan bertanggungjawab dari otoritas terpilih dalam
membuat kebijakan, mengelola sumber daya pertahanan, mengawasi aktor
keamanan dan yang juga penting yakni akuntabilitas dalam implementasi
kebijakannya.
8
bidang pertahanan negara baik dari sisi pembuatan kebijakan strategis (strategic
policy) dan/atau perencanaan strategis serta kebijakan penggunaan TNI. Dari
aspek UU tersebut secara formal juga Dephan memiliki kewenangan penggunaan
anggaran pertahanan. Peran Dephan sebagai otoritas kebijakan di bidang
pertahanan, sejak reformasi dapat dikatakan sudah relatif berjalan baik. Paling
tidak sejak 2003, terdapat sejumlah produk kebijakan strategis yang dihasilkan
Dephan yaitu Buku Putih Pertahanan 2003, Kaji Ulang Strategi Pertahanan
(Strategic Defense Review) 2004, Kaji Ulang Strategi Pertahanan (Strategic
Defense Review) 2005, serta dalam dua tahun terakhir Dephan mengeluarkan
produk seperti strategi pertahanan, doktrin pertahanan dan postur pertahanan yang
dikeluarkan pada akhir tahun 2007, dan Buku Putih Pertahanan 2008. Buku Putih
Pertahanan 2008 merupakan revisi terbaru tentang kebijakan pertahanan negara
secara umum sebagai bagian dari membangun kepercayaan dari negara-negara
sahabat setelah diterbitkan terakhir kalinya pada tahun 2003. Yang menjadi
pertanyaan mungkin adalah sampai sejauh mana kebijakan-kebijakan Dephan itu
akan dan dapat dilaksanakan secara operasional. Tentunya aktualisasi Dephan
sebagai perwujudan supremasi sipil akan terlihat secara jelas dalam produk-
produk kebijakan tersebut terutama yang dihasilkan 2007-2008. Apakah memang
produk kebijakan itu sudah memenuhi azas keterbukaan dan tranparansi, serta
melalui kajian ulang yang memadai dalam melihat ancaman dan tantangan ke
depan di bidang pertahanan dan keamanan.
9
Namun substansi intelijen pertahanan masih perlu menjadi revisi terbatas
UU No. 17 Tahun 2011, karena UU ini masih menganut intelijen pertahanan
masih dipegang oleh TNI dan bukan oleh Menhan sebagai otoritas sipil yang
bertanggungjawab langsung ke Presiden sebagai pemegang komando tertinggi.
10
yang mendukungnya, yang dilakukan oleh TNI harus melibatkan komponen sipil,
sehingga akan terwujud pertahanan nirmiliter seiring dengan ancaman terhadap
bangsa Indonesia yang tidak hanya ancaman militer, melainkan ancaman non
militer, sehingga harus dihadapi dengan kerjasama antara sipilmiliter dalam
kerangka sistem pertahanan negara yang bersifat semesta.
Pada relasi sipil–militer yang otoritarian, yang terjadi adalah tidak adanya
kontrol sipil atas militer sehingga keberadaan pemerintahan sipil sering kali
dilangkahi oleh militer. Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Indonesia pada
awal masa kemerdekaan. Peran tentara saat itu sangatlah besar dan terkadang
tidak ada kontrol sipil atas operasi-operasi yang dilakukan. Seperti yang terjadi
pada era 1950-an, Tentara Rakyat (sekarang TNI) sering kali melakukan
perlawanan terhadap agresi asing ataupun gerakan pemberontakan tanpa komando
Presiden (Sutoro 2002). Hal ini kemudian dilanjutkan pada era Orde Baru, namun
dengan model supremasi yang berbeda. Berlakunya doktrin Dwifungsi ABRI
telah menjadikan kekuatan militer benar-benar mendominasi aspek-aspek
kehidupan masyarakat Indonesia.
11
profesional di bidangnya, di sisi lain adanya pemahaman yang berbeda terhadap
arti kerjasama sipilmiliter itu sendiri.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
Prayudi. 2016. Intelejen Pertahanan dan Politik Supremasi Sipil. Majalah Info
Singkat Pemerintahan Dalam Negeri Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016
14