Anda di halaman 1dari 17

ANDAI SAYA MENJADI MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK

INDONESIA: APA YANG AKAN SAYA LAKUKAN DALAM


MENCIPTAKAN SUPREMASI SIPIL DI INDONESIA

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

BANDUNG-CIMAHI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Metode Penelitian.....................................................................................................3
1.4 Landasan Teori.........................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................5
2.1 Praktek Supremasi Sipil...........................................................................................5
2.2 Tataran Kewenangan Antara Otoritas Sipil dan Otoritas Militer..............................6
2.3 Kerjasama Sipil-Militer Dalam Rangka Terciptanya Supremasi Sipil......................8
BAB III............................................................................................................................11
PENUTUP.......................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah
dengan judul “Andai Saya Menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia :
Apa Yang Akan Saya Lakukan Dalam Menciptakan Supremasi Sipil di
Indonesia”. Salawat serta salam tak lupa penulis panjatkan semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W.

Penulisan makalah diajukan sebagai salah satu syarat akademik guna


menyelesaikan mata kuliah Kerja Sama Global pada Jurusan Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Achmad
Yani. Tidak lupa, saran dan kritik yang membangun tetap penulis harapkan dari
semua pembaca. Besar harapan penulis agar laporan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi banyak pihak.

Bandung, Desember 2021

Desmana Azzahra
NIM. 6211191110

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reformasi militer di Indonesia telah menghasilkan beberapa perubahan,


baik kultural, struktural, doktrinal, maupun organisasional. Namun, perubahan-
perubahan tersebut belum mencapai tataran yang fundamental terkait relasi sipil–
militer yang demokratis dan bersandar pada supremasi sipil. Proses reformasi
militer di Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi relasi sipil–
militer bergantung pada tatanan kelembagaan militer dalam kaitannya dengan
kegigihan, arahan, dan inisiatif institusi sipil.

Kebijakan instruktif dan dasar hukum lantas menjadi dua hal yang penting
untuk menghasilkan subordinasi penuh militer terhadap masyarakat sipil di dalam
sistem demokratis. Argumentasi ini membantah studi-studi sebelumnya, terutama
studi-studi berperspektif politik, yang cenderung menerima ide bahwa supremasi
militer atas sipil dalam politik diperlukan untuk membangun negara-bangsa yang
kuat dan mempertahankan konstitusi.

Latar belakang utama yang dibahas dalam makalah ini adalah mengapa
setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi berjalan di Indonesia relasi sipil–
militer yang demokratis belum juga terwujud? Hal ini disebabkan oleh dua hal
utama. Pertama, kalangan sipil belum bisa mewujudkan militer yang profesional.
Kedua, kepemimpinan dari kalangan sipil yang dinilai masih lemah. Subordinasi
voluntaristik TNI kepada otoritas sipil dalam dua puluh tahun terakhir ini
bukanlah konsekuensi dari ruang delegatoris yang secara sengaja diberikan oleh
institusi sipil, melainkan karena stagnasi prakarsa-prakarsa reformasi militer yang
ditawarkan oleh institusi sipil. Stagnasi itu terjadi karena fragmentasi institusi
sipil dan diversifikasi koalisi ad hoc antar-aktor di lingkaran dalam dan lingkaran
luar. Konseptualisasi institusi sipil di Indonesia tentang institusi militer cenderung

1
tidak beranjak dari konseptualisasi modern yang didasarkan pada kompetensi
militer dalam penggunaan instrumen koersif, melainkan beranjak dari
konseptualisasi historis yang kental mempertahankan sejarah dan kebiasaan
selama bernaung di bawah sistem otoriter Orde Baru.

Bersama dengan fragmentasi institusi-institusi sipil, asimetri institusional


itu menyebabkan TNI dapat memperkokoh kepentingan institusinya untuk tetap
mempertahankan otonomi pada konservativisme doktrin dan strategi militer
maupun tradisionalisme postur pertahanan. Dalam beberapa persoalan tersebut,
dinamika pengendalian institusi sipil atas militer merupakan pola agent without
principal seperti diajukan oleh Feaver (2003:55). Secara politik, agent without
principal dan voluntary subordination mengisyaratkan kerawanan, jika bukan
ketidakstabilan, relasi sipil–militer di Indonesia. Secara sosiologis, supremasi sipil
atas militer tidak mungkin dilakukan sebelum konsolidasi institusi-institusi sipil
pada tataran ideologis dan kebijakan menjadi agenda prioritas.

Maka dari itu, dalam penelitian ini akan membahas argumentasi sekaligus
sebagai kritik terhadap studi sebelumnya, terutama yang didominasi studi
berperspektif politik dan sejarah, yang menempatkan supremasi militer atas sipil
dalam politik sebagai suatu kewajaran (lihat Crouch 1985, 1998). Di samping itu,
studi ini juga untuk menolak adanya keyakinan yang kuat dalam masyarakat
bahwa militer harus berpolitik karena mereka merasakan kegagalan beberapa
pemimpin sipil setelah era kemerdekaan 1945, dan hanya melalui kekuatan
militerlah stabilitas suatu bangsa akan dapat diwujudkan guna mengatasi
kekacauan politik.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan konsep supremasi sipil?


2. Bagaimana kedudukan menteri pertahanan dalam tataran kewenangan
antara otoritas sipil dan otoritas pelaksana?

2
3. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan kerjasama sipil-militer dalam
mendukung terciptanya supremasi sipil?

1.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif


kualitatif, yaitu jenis penelitian dengan memberikan gambaran apa yang dimaksud
dengan supremasi sipil, bagaimana kedudukan antara otoritas sipil dengan otoritas
pelaksana, dan juga bagaimana pelaksanaan kerjasama antara sipil-militer dalam
konteks supremasi sipil. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi
kepustakaan melalui pemanfaatan data sekunder yang diolah dari buku, artikel,
jurnal, dan berita.

1.4 Landasan Teori

Teori Hubungan Internasional memiliki fokus pada studi mengenai


penyebab konflik dan kondisi-kondisi yang menunjang terjadinya kerja sama.
Teori-teori kerja sama dan juga teori-teori tentang konflik, merupakan basis
pentingnya bagi teori Hubungan Internasional yang komprehensif. Merujuk pada
teori Peter D. Feaver tentang “Agen Prinsipal”, studi ini menunjukkan bahwa
kurangnya koherensi dan keterpaduan lembaga sipil mengakibatkan reformasi
militer di bawah kontrol sistem demokrasi di Indonesia masih bermasalah.
Supremasi sipil di Indonesia nampaknya lebih mengandalkan “subordinasi
sukarela” dari militer, dan bukan hasil dari kontrol sipil yang efektif terhadap
militer. Dalam perspektif teori principal-agents seperti dikemukakan oleh Feaver
(2003:18), pengendalian sipil atas militer terjadi karena asimetri institusional,
bukan asimetri informasi.

Teori ini sebenarnya muncul sebagai kelanjutan dari teori Huntington


tentang relasi sipil–militer. Ada tiga aspek penting mengenai relasi sipil–militer
menurut Feaver (2003:7):

1. That there is a meaningful difference between civilian and military roles;

3
2. That the key to civilian control is professionalism;

3. that the key to professionalism is military autonomy.

Agency Theory, menurut Eisenhardt (1989) menekankan pada hubungan


antara principal (pemberi tugas) dengan agent (yang diberi tugas). Menurut
pemikiran positivis tentang agency theory, teori ini dapat digunakan dalam
hubungan yang bersifat governmental—principal diartikan sebagai atasan,
sementara agent merupakan bawahan yang menerima perintah atasan. Proses ini
terjadi ketika terjadi konflik perbedaan tujuan akhir organisasi di antara kedua
belah pihak. Kemudian, menurut pandangan teori ini juga, permasalahan tersebut
dapat diselesaikan melalui mekanisme governmental yang membatasi agent dalam
bersikap sesuai dengan keinginannya. Tentu hal ini dapat dituangkan salah
satunya dalam relasi sipil–militer yang demokratis.

Sebagaimana dikemukakan Feaver, agency theory merupakan teori tentang


relasi sipil–militer yang mengkhususkan pada upaya memonitor agent militer dari
hari ke hari, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan dan kondisi militer, baik
pada saat terganggu (intrusive) maupun tidak terganggu (nonintrusive).

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Praktek Supremasi Sipil

Supremasi Sipil atau dikenal dengan superemasi rakyat merupakan


kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih
oleh rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai asas demokrasi. Sehingga
kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat serta Presiden memegang otoritas atas
militer karena dipilih oleh rakyat dan sudah menjadi representasi dari semuanya.

Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu tegaknya supremasi sipil
atau kontrol sipil terhadap militer. Pada prinsipnya pembahasan tentang
pengendalian demokratis atas angkatan bersenjata berkaitan erat dengan siapa
yang menjaga penjaga (who guards the guardians). Ketentuan ini sesuai dengan
pemikiran klasik Romawi dari Juvelai dan Omnia Romae yang mengatakan
bahwa demokrasi adalah supremasi sipil, termasuk terhadap komando angkatan
bersenjatanya.

Pengendalian demokratis (democratic control) merupakan produk yang


didasarkan pada sistem pemerintahan, politik, sejarah, dan kultur suatu bangsa.
Oleh sebab itu, kita sadari bahwa tidak ada satu pun model demokrasi di dunia ini
yang dikatakan paling baik atau paling tepat untuk diterapkan di suatu negara.
Ada beberapa definisi tentang pengendalian demokratis yang perlu dipahami,
antara lain:

1. Samuel P. Huntington (1957) menyatakan bahwa kontrol sipil (civilian


control) harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan relatif
sipil terhadap militer yang merupakan bentuk pengendalian, baik subjektif
maupun objektif sipil.

2. Pemerintah Czech memandang bahwa pengendalian demokratis


merupakan umpan balik dari proses manajemen terhadap militer yang

5
disahkan oleh otoritas konstitusi, termasuk di dalamnya bagaimana
mengumpulkan dan mengendalikan informasi untuk kepentingan operasi
militer (Vlachová 2002).

3. Pandangan Stevan Sarvas (1998:2), “Democratic control always implies


civilian control, but civilian control not necesarilly democratic control.”
Misalnya, “the political oversight of the Czech communist regime over the
military forces was civilian control, but not democratic control”.

4. Chris Donnelly (2006) dari NATO mendefinisikan bahwa pengendalian


demokratis adalah peran pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk
mengarahkan kegiatan militer dan juga peran parlemen dalam memberikan
pengawasan kepada militer dan pemerintah.

Dari pemahaman di atas, pendapat Chris Donnelly nampaknya yang paling


mendekati situasi dan kondisi di Indonesia. Namun demikian, pemahaman
tersebut masih menyimpan sedikit perbedaan, terutama berkaitan dengan
parlemen yang memberikan peran pengawasan kepada militer. Pengawasan yang
dilakukan oleh DPR saat ini masih sebatas anggaran pertahanan dalam rangka
mendukung kemampuan militer.

Kontrol atau supremasi tidak diartikan setara dengan komando, namun


kontrol diartikan lebih dekat dengan kebijakan. Artinya produk kebijakan elit sipil
(pemerintah) khususnya yang berkepentingan dengan strategi keamanan nasional
yang telah diatur dalam “kebijakan” elit sipil, sebagai konsekuensinya akan
dilakukan oleh militer, pengertian sebagai kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil
tersirat keinginan untuk menjamin strategi pertahanan nasional oleh karena itu
semua instansi terkait pertahanan nasional adalah subordinasi tradisi nasional,
nilai, kebiasaan, kebijakan pemerintah dan institusi sosial maupun ekonomi.

Kontrol sipil terbungkus dalam dua tipikal yaitu : kontrol sipil subyektif
dan kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil subyektif difokuskan kepada
memaksimalkan kekuatan kontrol sipil atau kelompoknya. Sedangkan kontrol

6
sipil obyektif fokus kepada memaksimalkan profesionalisme Perwira. Pembagian
ini ada kaitannya dengan tidak hadirnya korps perwira yang professional,
sehingga bentuk kontrol sipil yang paling memungkinkan adalah kontrol sipil
subyektif. Inti kontrol sipil obyektif meyakinkan bahwa elit militer akan semakin
efektif dengan catatan menurunkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan
nasional.

Hubungan sipil-militer sangat berlimpah dan banyak sekali. Hampir semua


negara tertarik dan berminat untuk mempelajari khususnya yang terjadi
dinegerinya sendiri, termasuk negara besar seperti Amerika serikat , Rusia, Cina
dan negara-negara lainnya yang sedang mengembangkan demokrasinya, tidak
perduli berbasis negara liberal, sosialis, komunis, agama atau diantaranya. Kunci
area dalam studi berproses demokrasi adalah hubungan sipil-militer itu sendiri.

Tingkat kepercayaan antara elit sipil maupun elit militer sangatlah penting.
Karena itu membangun kepercayaan sangatlah penting utamanya saat awal
reformasi. Menurutnya definisi supremasi sipil telah terdeviasi sehingga terkesan
tidak ada keseimbangan antara elit sipil dan elit militer. Padahal, maka definisi
kontrol sipil atau supremasi sipil sulit diterapkan. Faktor keseimbangan kekuatan
antara instrumen militer dengan non-militer perlu digaris bawahi agar tidak ada
kekuatan dominan dalam proses pengambilan keputusan strategik atau nasional.
Ide bahwa hubungan sipil-militer seharusnya diarahkan agar bagaimana hubungan
ini bisa menghasilkan suatu keputusan tentang keamanan nasional yang terbaik.

2.2 Tataran Kewenangan Antara Otoritas Sipil dan Otoritas Militer

Praktek-praktek terbaik di negara-negara demokratis mengharuskan


adanya pembedaan tugas dan wewenang antara otoritas sipil dengan otoritas
operasional. Bandingkan dengan negara Asia seperti India, Malaysia, ataupun
Singapura, pembedaan antara keduanya juga cukup jelas, serta militer
dikendalikan secara efektif oleh menteri pertahanan. Yang lebih penting lagi
bahwa otoritas operasional tidak bisa menugaskan diri sendiri, sehingga semua
tugasnya harus berdasarkan keputusan otoritas sipil. Kotak berikut dapat dijadikan

7
referensi dalam rangka hubungan sipil – militer yang demokratis, yang berlaku di
negara-negara Eropa.

Sejak tahun 2002, Indonesia telah memiliki suatu Undang-Undang No. 3


tentang Pertahanan Negara yang isinya mengatur kewenangan Menteri Pertahanan
dan Panglima TNI serta hubungan di antara mereka. Walaupun secara legal UU
ini ingin menampakkan adanya suatu tataran kewenangan yang jelas antara
Dephan dan Mabes TNI, secara faktual hubungan antara keduanya masih belum
mantap. Tetapi UU ini paling tidak memberikan prinsip dasar dari tataran
kewenangan antara otoritas sipil dan otoritas pelaksana yakni: Presiden adalah
pimpinan otoritas tertinggi dalam pertahanaan negara, Menteri Pertahanan adalah
pembantu Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara,
Panglima TNI adalah pelaksana operasional dalam kebijakan pertahanan negara.
Jabatan Menhan dan Panglima TNI adalah sebagai dua struktur yang berada
dibawah Presiden, sehingga membuat kedudukan Panglima TNI sejajar dengan
Menhan.

Posisi dan peran Dephan dalam konteks supremasi sipil; supremasi sipil
merupakan konsep yang hampir tidak pernah mengemuka pada zaman otoriter
Orde Baru. Dengan konsep ini, artinya prinsip demokrasi dijalankan berdasarkan
suatu mekanisme yang terbuka dan bertanggungjawab dari otoritas terpilih dalam
membuat kebijakan, mengelola sumber daya pertahanan, mengawasi aktor
keamanan dan yang juga penting yakni akuntabilitas dalam implementasi
kebijakannya.

Masalah peran dan posisi Departemen Pertahanan Republik Indonesia


sejak pasca Orde Baru terus mengemuka hingga saat ini, terutama Dephan sebagai
pemegang otoritas politik dalam bidang pertahanan. Otoritas kebijakan yang
dipegang Dephan semakin diperkuat dengan landasan hukum berupa UU No.
2/2002 dan UU No. 34/2004 tentang TNI yang menjabarkan peran dan tugas TNI
secara lebih jelas. Dari sisi legalitas formal UU mungkin sudah cukup
menjelaskan tentang tugas dan fungsi dari Dephan sebagai pembuat keputusan di

8
bidang pertahanan negara baik dari sisi pembuatan kebijakan strategis (strategic
policy) dan/atau perencanaan strategis serta kebijakan penggunaan TNI. Dari
aspek UU tersebut secara formal juga Dephan memiliki kewenangan penggunaan
anggaran pertahanan. Peran Dephan sebagai otoritas kebijakan di bidang
pertahanan, sejak reformasi dapat dikatakan sudah relatif berjalan baik. Paling
tidak sejak 2003, terdapat sejumlah produk kebijakan strategis yang dihasilkan
Dephan yaitu Buku Putih Pertahanan 2003, Kaji Ulang Strategi Pertahanan
(Strategic Defense Review) 2004, Kaji Ulang Strategi Pertahanan (Strategic
Defense Review) 2005, serta dalam dua tahun terakhir Dephan mengeluarkan
produk seperti strategi pertahanan, doktrin pertahanan dan postur pertahanan yang
dikeluarkan pada akhir tahun 2007, dan Buku Putih Pertahanan 2008. Buku Putih
Pertahanan 2008 merupakan revisi terbaru tentang kebijakan pertahanan negara
secara umum sebagai bagian dari membangun kepercayaan dari negara-negara
sahabat setelah diterbitkan terakhir kalinya pada tahun 2003. Yang menjadi
pertanyaan mungkin adalah sampai sejauh mana kebijakan-kebijakan Dephan itu
akan dan dapat dilaksanakan secara operasional. Tentunya aktualisasi Dephan
sebagai perwujudan supremasi sipil akan terlihat secara jelas dalam produk-
produk kebijakan tersebut terutama yang dihasilkan 2007-2008. Apakah memang
produk kebijakan itu sudah memenuhi azas keterbukaan dan tranparansi, serta
melalui kajian ulang yang memadai dalam melihat ancaman dan tantangan ke
depan di bidang pertahanan dan keamanan.

Reformasi intelijen Indonesia tidak terlepas dari konteks supremasi sipil.


Hal ini kemudian secara riil dimulai pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid di tahun 2001, yaitu dengan perubahan BAKIN menjadi
BIN, dan pertanggungjawaban intelijen pada Presiden dan DPR. Sebelum lahir
UU No. 17 Tahun 2011, BIN berada di bawah kendali pemerintahan hasil Pemilu
(supremasi sipil), dengan Kepala BIN yang ditunjuk langsung dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Meskipun kemudian lahir UU No. 17 Tahun
2011, BIN dianggap masih mengadopsi karakter militeristik yang konservatif.

9
Namun substansi intelijen pertahanan masih perlu menjadi revisi terbatas
UU No. 17 Tahun 2011, karena UU ini masih menganut intelijen pertahanan
masih dipegang oleh TNI dan bukan oleh Menhan sebagai otoritas sipil yang
bertanggungjawab langsung ke Presiden sebagai pemegang komando tertinggi.

2.3 Kerjasama Sipil-Militer Dalam Rangka Terciptanya Supremasi Sipil

Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara hubungan kerjasama


sipil - militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu
bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi
prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer
memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan
untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman
yang akan timbul. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan
terhadap keamanan.

Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipil


dan militer merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan
politik demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarian menuju
demokrasi yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para
politisi di Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran
militer militer yang lebih kondusif bagi perwujudan demokrasi. Di alam
demokrasi sekarang ini hal yang terpenting adalah bagaimana masyarakat sipil
dapat menjalankan perannya yang diwakilkan pemerintahan sipil dalam
mengontrol peran militer demi terwujudnya militer yang lebih profesional.

Kerjasama sipil-militer di era reformasi sangat penting dilakukan


mengingat UU TNI mengamanatkan bahwa dalam pelaksanaan tugas pokok TNI
maka dilakukan dua operasi, yakni Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan
Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang mana kedua operasi ini dapat digelar
oleh TNI dengan bantuan, dukungan, dan kemitraan instansi lintas sektoral atau
non TNI atau sipil. Artinya, gelar komponen utama sebagai TNI, komponen
cadangan sebagai sipil dan komponen pendukungnya sebagai sumber daya alam

10
yang mendukungnya, yang dilakukan oleh TNI harus melibatkan komponen sipil,
sehingga akan terwujud pertahanan nirmiliter seiring dengan ancaman terhadap
bangsa Indonesia yang tidak hanya ancaman militer, melainkan ancaman non
militer, sehingga harus dihadapi dengan kerjasama antara sipilmiliter dalam
kerangka sistem pertahanan negara yang bersifat semesta.

Pada relasi sipil–militer yang otoritarian, yang terjadi adalah tidak adanya
kontrol sipil atas militer sehingga keberadaan pemerintahan sipil sering kali
dilangkahi oleh militer. Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Indonesia pada
awal masa kemerdekaan. Peran tentara saat itu sangatlah besar dan terkadang
tidak ada kontrol sipil atas operasi-operasi yang dilakukan. Seperti yang terjadi
pada era 1950-an, Tentara Rakyat (sekarang TNI) sering kali melakukan
perlawanan terhadap agresi asing ataupun gerakan pemberontakan tanpa komando
Presiden (Sutoro 2002). Hal ini kemudian dilanjutkan pada era Orde Baru, namun
dengan model supremasi yang berbeda. Berlakunya doktrin Dwifungsi ABRI
telah menjadikan kekuatan militer benar-benar mendominasi aspek-aspek
kehidupan masyarakat Indonesia.

Era reformasi telah menciptakan tatanan baru berupa nilai-nilai supremasi


sipil, demokrasi, HAM, dan good governance di mana TNI menyadari dirinya
untuk kemudian melakukan reformasi internal TNI yang sampai dengan saat ini
banyak kalangan mengakui keberhasilan penataan doktrin, organisasi, dan
paradigma baru TNI dalam era reformasi. TNI kembali fokus pada alat pertahanan
negara, kembali ke barak, menjauhi dunia politik praktis, dan tidak berbisnis.

Pelaksanaan kerjasama sipil-militer dalam mendukung komponen utama,


komponen cadangan dan komponen pendukung yang mengacu kepada sistem
pertahanan negara di Indonesia diilhami oleh terlalu lamanya militer terlibat
dalam kancah perpolitikan di Indonesia dan tuntutan penghapusan Dwi Fungsi
ABRI serta adanya ungkapan lain agar militer kembali ke barak. Kondisi ini
mendorong semangat untuk melakukan depolitasi militer agar militer lebih

11
profesional di bidangnya, di sisi lain adanya pemahaman yang berbeda terhadap
arti kerjasama sipilmiliter itu sendiri.

Menteri Pertahanan sendiri memiliki peran yang sangat strategis dalam


merealisasikan supremasi sipil baik di masa sekarang maupun di masa yang akan
datang. Salah satu kebijakan yang akan diambil oleh Presiden menjadi isu hangat
beberapa waktu ke belakang, yaitu adanya isu akan keterdapatan kembali
dwifungsi abri. Hal tersebut lantaran keinginan Presiden Jokowi untuk mengatasi
masalah perwira nonjob di internal TNI dengan menciptakan 60 pos baru.
Rencana ini kemudian diterjemahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto,
salah satunya dengan mendistribusikan para perwira itu ke kementerian. Hadi
bahkan mewacanakan penempatan ini diatur dan dimasukan dalam revisi UU TNI.
Usulan ini dianggap masalah lantaran mengkhianati agenda reformasi. Apabila
UU tersebut dilakukan revisi maka hal ini mengkhianati upaya reformasi di masa
lalu dan akan menjadi embrio dari dwifungsi ABRI di kemudian hari. Menteri
Pertahanan tentu punya suara yang lebih keras agar hal tersebut tidak terjadi, dan
supremasi militer di masa lalu terulang kembali.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Supremasi Sipil atau dikenal dengan superemasi rakyat merupakan


kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih
oleh rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai asas demokrasi. Sehingga
kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat serta Presiden memegang otoritas atas
militer karena dipilih oleh rakyat dan sudah menjadi representasi dari semuanya.
Kerjasama sipil dan militer dalam konteks sistem pertahanan negara
dilakukan dengan mengelola pelaksanaan kerjasama sipil-militer dalam
mendukung Komut,Komcad dan Komduk , Faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam mendukung Komut,Komcad dan Komduk, guna mencapai tujuan sistem
pertahanan negara yang bercirikan kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan.
Dalam mekanismenya, ketika menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh
komponen cadangan dan komponen pendukung. Sedangkan ketika menghadapi
ancaman nirmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan
sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi
dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.
Menteri Pertahanan sendiri memiliki peran yang sangat strategis dalam
merealisasikan supremasi sipil baik di masa sekarang maupun di masa yang akan
datang. Salah satu kebijakan yang akan diambil oleh Presiden menjadi isu hangat
beberapa waktu ke belakang, yaitu adanya isu akan keterdapatan kembali
dwifungsi abri. Apabila UU terkait isu ini dilakukan revisi maka hal ini
mengkhianati upaya reformasi di masa lalu dan akan menjadi embrio dari
dwifungsi ABRI di kemudian hari. Menteri Pertahanan tentu punya suara yang
lebih keras dan posisi strategis agar hal tersebut tidak terjadi, dan supremasi
militer di masa lalu terulang kembali.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sundari, Sri. Kerjasama Sipil-Militer dalam Mendukung Sistem Pertahanan


Negara

Kardi, Koesnadi. 2014 Demokratisasi Relasi Sipil-Militer pada Era Reformasi di


Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Sukadis, Beni. Reformasi Sektor Keamanan dan Supremasi Sipi. Pusat


Dokumentasi ELSAM

Prayudi. 2016. Intelejen Pertahanan dan Politik Supremasi Sipil. Majalah Info
Singkat Pemerintahan Dalam Negeri Vol. VIII, No. 18/II/P3DI/September/2016

Laksmana. A. Evan. 2010. Dari ‘Reformasi Militer’ Menuju ‘Transformasi


Pertahanan’:Tantangan dan Prospek Ke Depan. Indonesian Review RSK & Media
Volume I

14

Anda mungkin juga menyukai