Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

SHOLAT DALAM KONDISI KHUSUS

Oleh:
Agustya Elya Risnanda
201910330311042

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ibadah shalat merupakan ibadah yang tidak dapat ditinggalkan walau dalam
keadaan apapun. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, zakat
dan haji. Jika seseorang sedang sakit pada bulan ramadhan dan tidak mampu untuk
berpuasa, maka ia boleh tidak berpuasa dan harus menggantinya pada hari lain. Orang
yang tidak mampu membayar zakat ia tidak wajib membayar zakat. Demikian pula
halnya dengan ibadah haji, bila seseorang tidak mampu maka tidak ada kewjiban
baginya.
Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih
memiliki akal dan ingatannya masih normal. Kewajiban tersebut harus dilakukan tepat
pada waktunya. Betapa pentingnya ibadah shalat ini, Rasulullah pernah bersabda :
“Urusan yang memisahkan antara kita (orang-orang Islam) dengan mereka (orang-orang
kafir) adalah shalat. Oleh sebab itu siapa yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah
menjadi kafir.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Halangan untuk tidak mengerjakan shalat hanya ada tiga macam, yaitu hilang akal
seperti gila atau tidak sadar, karena tidur dan lupa (namun demikian ada kewajiban
mengqadha di waktu lain), dan anak kecil hingga ia baligh. Demikian juga yang
dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah
radhiallahu’anha pernah ditanya,
‫يض َم َع النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فَالَ يَأْ ُم ُرنَا بِ ِه‬ ِ ‫صالَتَ َها إِ َذا طَ ُه َرتْ فَقَالَتْ أَ َح ُرو ِريَّةٌ أَ ْن‬
ُ ‫ت ُكنَّا نَ ِح‬ َ ‫أَت َْج ِزى إِ ْحدَانَا‬
“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab,
“Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid
di masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami
untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).
Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:
‫كانت النفساء تجلس على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أربعين يوما‬
“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
duduk (tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Ibnu Majah).
Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk
meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang tatacara sholat
dalam kondisi khusus.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan memperluas
wawasan penulis ataupun pembaca mengenai sholat dalam kondisi khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ketentuan Keringanan
Orang sakit tidak dicabut kewajiban shalatnya. Namun mendapatkan beberapa
keringanan. Untuk itu dalam menetapkan bentukbentuk keringanan, ada beberapa
prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Sakit Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat
Ini adalah prinsip yang paling dasar dan sangat penting. Sebab banyak sekali
orang yang keliru dalam memahami bentuk-bentuk keringanan, sehingga terlalu
memudah-mudahkan hingga keluar batas. Tidak mentang-mentang seseorang
menderita suatu penyakit, lantas dia boleh meninggalkan shalat seenaknya. Kalau
pun terpaksa harus meninggalkan shalat, karena alasan sakit yang tidak mungkin
bisa mengerjakan shalat, tetap saja shalat itu menjadi hutang yang harus dibayarkan
di kemudian hari.
2. Lakukan Yang Bisa Dilakukan
Seseorang yang sakit tetap diwajibkan untuk mendirikan shalat dengan
melakukan gerakan dan posisi-posisi shalat sebisa dan semampu yang dia lakukan,
meski pun tidak sampai sempurna. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
‫م ُ ت ْ َطَع ت ْ ا س َ م َ وا هلال ُ َّ ق ات َ ف‬
“Dan bertaqwalah kepada Allah semampu yang kamu bisa” (QS. At-Taghabun : 16)
Dan juga sabda Rasulullah SAW :
َ‫ذا ِ إ ْ ُ ُكم ت ْ ر َ ر أَم ْ ِبَم وا ُ ْأت َ ف ُ ْه ن ِ م ا َ م ْ م ُ ت ْ َطَع ت ْ اس‬
“Bila kalian diperintah untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakannya semampu
yang bisa kamu lakukan.” (HR.Bukhari)
Prinsipnya, apa pun gerakan dan bacaan shalat yang masih bisa dikerjakan, maka
tetap wajib untuk dikerjakan. Dan apa yang sama sekali sudah mustahil bisa
dilakukan, barulah boleh untuk ditinggalkan.
3. Keringanan Tidak Boleh Mengarang Sendiri
Keringanan yang Allah SWT berikan kepada orang sakit tetap saja ada
keterbatasan syariah yang mengiringi.
2.2 Bentuk Keringanan Syari
1. Keringanan dalam bersuci
Dalam perkara bersuci untuk mengangkat hadats, apabila tidak dimungkinkan
bagi orang yang sedang sakit untuk menggunakan air, baik untuk berwudhu' atau
mandi janabah, maka para ulama menetapkan kebolehan bertayammum. Tidak
boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat
kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas
petunjuk dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu boleh
baginya untuk bertayammum.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata "Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang
dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi
basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku
bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan
bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah
orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah
SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya
semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ?
Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk
tayammum (HR. Abu Daud, AdDaruquthuny).
2. Keringanan tidak bisa berdiri
Berdiri merupakan rukun di dalam shalat fardhu, dimana seorang bila
meninggalkan salah satu dari rukun shalat, maka hukum shalatnya itu tidak sah.
Namun bila seseorang karena penyakit yang dideritanya, dia tidak mampu berdiri
tegak, maka dia dibolehkan shalat dengan posisi duduk.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini : Dari Imran bin Hushain
berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau
bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk.
Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)
3. Keringanan tidak bisa ruku’
Menurut jumhur ulama, orang yang tidak bias melakukan gerakan atau berposisi
ruku’, dia harus berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri.
Dasarnya adalah hadits berikut ini:
‫وا ُ وم ُ ق َ و ِ َّ َي ّلل ِ ِ ت ِ ان َ ق‬
“Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’ “, Maksudnya, bila orang sakit tidak
mampu melakukan gerakan ruku, maka dia mengambil posisi dasar yaitu berdiri.
Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.
Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan
gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga
dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi
duduk, bukan dari posisi berdiri.
4. Keringanan tidak bisa sujud
Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit
saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh berbaring, sambil
menganggukkan kepala untuk sujud.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
ِ ‫األر َّل ِ إ َ و ْ ئ ِ م ْ أَو َ ف ا اء َ َي ِ إ َل ع ْ اج َ و َك َ ود ُ ج‬
ْ ْ َ ‫ِن ْ َت إ َطَع ت ْ ْن اس أَ َ د ُ ْج ت لَى َس ع ِض‬
‫ُكوع ُ ر‬
ِ ‫ُ َض س َ ف ْ أَخ ْ ن ِ َك م‬
“Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak,
maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.” (HR. Ath-
Thabrani)
5. Keringanan tidak wajib shalat jumat
Seluruh ulama sepakat bahwa orang sakit termasuk mereka yang gugur
kewajibannya untuk mengerjakan shalat Jumat. Namun demikian, dia tetap
diwajibkan mengerjakan shalat Dzhuhur sendirian.
Dalil bolehnya orang sakit tidak ikut shalat Jumat ada banyak, salah satunya hadits
berikut ini:

ِ ‫ ب ا َ ه ِن‬ ‫ ِل ُ س َ ك و ُ ن ر‬p‫َّّل‬pّ َ‫ َول ا‬ ْ ‫ل أَ َّ اَل َ ْم َ ق ض ِري َ م َ ٌّ و ِب َ َص و أَة َ ر‬


‫ش ْ ِق ب طَاِر ْ َن ع َ و‬
‫ام َ و‬
“Dari Thariq bin Syihab radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat
Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak
diwajibkan) atas 4 orang, yaitu budak, wanita, anak kecil dan orang sakit." (HR.
Abu Daud)”
2.3 Tatacara Shalat bagi Orang Sakit
Para ulama sepakat bahwa bagi yang tidak mampu berdiri, maka diperbolehkan
shalat sambil duduk. Jika tidak mampu sambil duduk, boleh shalat sambil berbaring
miring dengan wajah menghadap kibat, dan dianjurkan di miring sisi sebelah kanan.
Jika tidak mampu shalat sambil berbaring miring, maka boleh shalat sambil berbaring
terlentang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam,
َّ ‫لَّ َم َع ِن‬p‫ ِه َو َس‬p‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬p‫ص‬
،‫الَ ِة‬p‫الص‬ َ ‫ي‬ ُ ‫أ َ ْل‬p‫ فَ َس‬،ُ‫ير‬p‫اس‬
َّ ِ‫ت النَّب‬ ْ ‫ان‬pp‫ َك‬:‫ا َل‬ppَ‫ ق‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫َت بِي بَ َو‬ َ ‫ع َْن ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح‬
ِ ‫صي ٍْن َر‬
ٍ ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَى َج ْن‬،‫اعدًا‬
‫ب» (رواه البخارى وابوداود والترميذي واحمد‬ ِ َ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَق‬،‫صلِّ قَائِ ًما‬
َ « :‫فَقَا َل‬
Dari Imran bin Hushain, ia berkata, aku dulu sakit bawasir, maka aku bertanya pada
Nabi SAW tentang (pelaksanaan) Shalat, makaBeliau bersabda:”Shalatlah kamu
denganberdiri, bila kamu tdk bisa maka (shalatlah) dengan duduk, bila kamu tidak bisa
maka (shalatlah) dengan berbaring “. (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi
danIbnu Majah)
Bagi yang tidak mampu untuk rukuk dan sujud, maka boleh dengan
membungkukkan badan dengan gerakan sujud lebih rendah dari rukuk. Jika mampu
untuk rukuk namun tidak mampu untuk sujud saja maka tetap rukuk dan sujud dengan
membungkuk. Jika dia tidak mampu membungkukkan punggungnya maka berisyarat
dengan kepala.
Kapan pun pasien mampu melaksanakan shalat sesuai dengan keterbatasan yang
ada padanya baik ketika berdiri, duduk, sujud, maupunmemberiisyarat, maka berpindah
keposisi yang memungkinkan baginya dan tetap harus shalat sesuai dengan kondisiter
debut.
1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri
Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak
memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk
dilakukan.
b. Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap
kiblat maka tidak mengapa.
c. Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu
tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
d. Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
e. Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari
ketika rukuk.
f. Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud
seperti biasa.
2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil
berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:
a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)
Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:
 Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan.
Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun
tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat
maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam
keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan
setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke
arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika
rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk
tetap berisyarat ke arah kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
 Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala
diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga
wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap
kiblat maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam
keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan
setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke
arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika
rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk
tetap berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya
(lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan


mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna  al-
imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan
banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan
shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca
dalam hati. Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun
masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam
hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan
ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka
bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.
BAB III
PENUTUP
Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih
memiliki akal dan ingatannya masih normal. Ibadah shalat merupakan ibadah yang tidak
dapat ditinggalkan walau dalam keadaan apapun. Tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat
selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas, baik orang tersebut dalam keadaan sehat
maupun sakit. Orang sakit tidak dicabut kewajiban shalatnya, namun mendapatkan beberapa
keringanan. Keringanan yang diberikan mulai dari bersuci hingga tatacara sholat dalam
kondisi khusus tersebut. Keringanan posisi sholat orang sakit yaitu bisa dilakukan dengan
posisi duduk maupun berbaring.
DAFTAR PUSTAKA
Purnama, Yulian. 2018. Tatacara Shalat Orang yang Sakit. Yogyakarta

Rifqi Hamzah & Samardi. 2019. Tetap Sholat Walaupun Dalam Kondisi Sakit, Edisi 1. Jurnal
Umum. RS. Roemani Muhammadiyah: Kerohanian RSR.

Sarwat, Ahmad. 2018. Shalat Orang Sakit. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing

Anda mungkin juga menyukai