Anda di halaman 1dari 14

RANCANGAN MODIFIKASI PERILAKU WORKAHOLIC

MENGGUNAKAN METODE SELF-MANAGEMENT

Kelompok 7 :
1. Vina Yuliana 111911133011
2. Frischa Futichatul M 111911133058
3. Risma Walidatun N 111911133063
4. Tiara Intania 111911133075
5. Muhammad Hafizh A 111911133179

DASAR-DASAR INTERVENSI C-1


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..1

BAB I - LATAR BELAKANG…………………………………………………...…………..2

BAB II - TINJAUAN TEORITIK…………………………………………………………...4

BAB III - DETAIL RANCANGAN INTERVENSI………………………………………... 9

BAB IV - KESIMPULAN………………………………………………………………….. 12

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..13

1
BAB I
LATAR BELAKANG

Dewasa ini, perilaku workaholic merupakan pola perilaku yang sudah familiar
didengar dan diamati oleh beberapa dari kita di kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia
kerja maupun organisasi. Istilah ini muncul untuk menggambarkan perilaku individu yang
biasa disebut gila bekerja. Menurut Oates (1971) orang-orang ini tidak dapat mengontrol
keinginan mereka untuk bekerja terus-menerus (dalam Balducci, Avanzi & Fraccaroli, 2016).
Hal ini terjadi dipengaruhi oleh adanya persaingan yang sangat ketat yang timbul akibat
perubahan kehidupan kerja modern saat ini (Näswall, Hellgren, & Sverke, 2008 dalam
Balducci, dkk, 2016). Menurut Syarifuddin, Nurtjahjanti & Widayanti (2014) persaingan yang
sangat ketat ini menyebabkan individu bekerja sangat keras hingga berlebihan, lalu mengutip
pula dari pendapat Coombs (2004) yang mengatakan bahwa setidaknya seseorang harus
bekerja terus-menerus jika ingin bertahan di dunia ini. Pandangan bahwa bekerja
terus-menerus adalah cara untuk bertahan hidup di dunia mungkin adalah pandangan yang
dianggap baik oleh masyarakat, sehingga seseorang cenderung mengikuti anggapan baik ini
karena workaholic dianggap sebuah aset yang berharga bagi banyak nilai budaya atau kultur
(Ascher, Avery, & Holoshitz, 2015). Orang-orang seperti ini merupakan orang yang rajin,
pekerja keras dan patut dicontoh (Syarifuddin, Nurtjahjanti & Widayanti, 2014). Oleh
karenanya perilaku workaholic ini sepertinya tidak dianggap sebagai suatu masalah yang
serius, padahal mungkin akan tetap memiliki dampak negatif.

Workaholic bila didefinisikan, adalah sebuah tindakan perilaku yang memiliki


konsekuensi negatif dan sebuah dorongan yang sudah di luar kendali individu tersebut
(Ascher, Avery, & Holoshitz, 2015). Perilaku tersebut dicirikan dengan penggunaan waktu
kerja yang berlebihan, merasa kesulitan (mengendalikan diri) untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan, frustasi bila tidak dibiarkan melakukan pekerjaan, memiliki gaya kerja yang
kompulsif dan kurang fleksibel, dan kurangnya kepuasan hidup, semuanya berdampak negatif
seperti menyebabkan burnout dan kesehatan yang memburuk (Sussman 2012 dalam Ascher,
Avery, & Holoshitz, 2015). Bagaimanapun, perilaku workaholic telah dikatakan sebagai
perilaku adiksi yang karena memenuhi keenam komponen dari addiction (Griffiths &
Karanika-Murray, 2012), sebagai berikut: 1) salience yaitu ketika seseorang lebih memilih
untuk mengerjakan pekerjaan daripada hal atau aktivitas bermakna lainnya; 2) mood
modification yaitu ketika seseorang menggunakan pekerjaan sebagai alat untuk meningkatkan
suasana hatinya; 3) tolerance yaitu ketika jam untuk bekerja terus-menerus ditingkatkan

2
karena berusaha mengulangi kesenangan yang didapat melalui bekerja; 4)
withdrawal/symptoms yaitu gejala seperti mudah tersinggung, disforia, atau kemurungan
ketika seseorang dipaksa untuk berhenti bekerja; 5) conflict yaitu ketika seseorang dipaksa
untuk memenuhi tuntutan lain seperti keluarga, di dalam dirinya mungkin telah menyadari
bahwa perilakunya ini menyebabkan gangguan yang tidak semestinya; dan 6) relapse yaitu
menggambarkan kecenderungan untuk berulang kali kembali ke pola perilaku kerja yang
tidak sehat dan kompulsif.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Chamberlin & Zhang (2009) terdapat dua
temuan yaitu yang pertama workaholism tidak hanya terjadi pada para pekerja saja, bahkan
bisa terjadi pada mahasiswa pula. Melalui skala WART, mahasiswa sarjana dan pascasarjana,
mereka yang memiliki skor workaholic lebih tinggi ditemukan menganggap orang tua mereka
lebih workaholic, meskipun orang tua mereka sebenarnya mungkin bukan workaholic.
Temuan kedua, mereka yang workaholic lebih sering mengeluhkan masalah kesehatan fisik
daripada mereka yang menganggap orang tua mereka tidak workaholic. Seperti dalam
psikologi kesehatan, dimana pikiran dianggap mempengaruhi tubuh. Hal ini mungkin dapat
menunjukkan bahwa mahasiswa dengan orang tua workaholic mungkin mengalami lebih
banyak gejala fisik karena kecenderungan workaholic mereka sendiri.

Berdasarkan uraian beberapa hal mengenai workaholic di atas, kami mendapati


beberapa subjek yang memiliki kecenderungan menjadi workaholic dari kalangan mahasiswa
maupun pekerja. Kami mengangkat persoalan tentang perilaku workaholic disebabkan adanya
kecenderungan peningkatan workaholism baik dari kalangan mahasiswa maupun pekerja.
Oleh karena itu, kami menggunakan permasalahan tersebut dan mencoba membuat sebuah
rancangan modifikasi perilaku yang dapat mengubah pola perilaku subjek yang memiliki
kecenderungan workaholic agar dapat menjalankan aktivitas bermakna lainnya dan
mengurangi perasaan disforia bila tidak melakukan pekerjaan.

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIK

2.1 Definisi Konsep


Istilah workaholic pertama kali dicetuskan pada tahun 1971 oleh Oates (1971).
Menurut Oates, workaholic mengacu pada orang-orang yang memiliki kebutuhan kerja yang
sangat dibesar-besarkan hingga membahayakan kesehatan, hubungan interpersonal, dan
fungsi sosial mereka (Oates, 1971). Moiser (1983) mendefinisikan orang yang workaholic
adalah orang yang bekerja setidaknya sekitar 50 jam perminggu. Namun demikian,
Machlowitz (1980) mendefinisikan workaholic tidak berpatokan pada lamanya waktu bekerja,
namun lebih kepada bagaimana ia menyikapi suatu pekerjaan, disini Machlowitz (1980)
memaksudkan orang yang workaholic akan terus memikirkan tentang pekerjaan bahkan saat
ia tidak bekerja.
Beberapa riset penelitian menunjukkan adanya berbagai jenis perbedaan pola perilaku
workaholic, dimana setiap perilaku yang ditunjukkan memiliki perbedaan anteseden dan
asosiasi pada kinerja pekerjaan dan hasil dari pekerjaan (Naughton, 1987; Scott et al.m 1997;
Spence & Robbins, 1992). Naughton (1987) membagi 2 tipologi workaholic, yakni
job-involved workaholics dan compulsive workaholics. Job-involved workaholics adalah
orang yang memiliki komitmen kerja tinggi dan obsesi kompulsi yang rendah, orang dengan
tipe ini dihipotesiskan akan bekerja dengan baik sesuai tuntutan pekerjaan dan akan sangat
puas dengan pekerjaan yang dijalaninya, namun demikian orang dengan tipe ini cenderung
memiliki minat yang rendah pada aktivitas non-kerja. Compulsive workaholics adalah orang
yang memiliki komitmen kerja tinggi dan obsesi kompulsi yang tinggi pula. Orang dengan
tipe ini dihipotesiskan berpotensi memiliki kinerja yang buruk, hal ini karena mereka terlalu
tidak sabar dan memiliki ritual habit kerja yang buruk.
Spence & Robbins (1992) mendefinisikan workaholic berdasarkan gagasan
“workaholic triad” yang mereka ciptakan. Workaholic triad memiliki 3 komponen penting,
yakni keterlibatan kerja, perasaan terdorong untuk bekerja, dan kenikmatan bekerja. Dalam
gagasan yang dicetuskan Spence & Robins (1992) terdapat dua istilah yang sekilas hampir
sama, namun aslinya berbeda, dua istilah itu adalah workaholic dan work enthusiasts. Orang
yang memiliki jiwa workaholic akan memiliki skor yang tinggi pada keterlibatan kerja dan
perasaan terdorong untuk bekerja, namun rendah pada skor kenikmatan kerja. Sebaliknya,
orang yang memiliki jiwa work enthusiasts memiliki skor yang tinggi pada keterlibatan kerja,

4
dorongan untuk bekerja, dan kenikmatan kerja. Artinya, orang yang memiliki jiwa work
enthusiast memiliki skor tinggi di tiga komponen tersebut. Disisi lain, penelitian Spence &
Robbins (1992) juga mengindikasi bahwa orang yang memiliki jiwa workaholics ditemukan
memiliki skor yang tinggi pada ukuran perfeksionisme, non-delegasi tanggung jawab, tekanan
stress akibat bekerja, dan kesehatan yang terancam buruk.
Berkaitan dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya, Scott et al. (1997)
menggagaskan pendapatnya yang hampir serupa dengan teori-teori sebelumnya. Menurut
Scott et al. (1997) terdapat 3 jenis pola workaholic, yakni compulsive-dependent,
perfectionist, dan achievement-oriented. Tipe workaholic pertama adalah
compulsive-dependent, tipe ini dipandang memiliki hubungan positif dengan tingkat
kecemasan, stress, masalah fisik dan psikologis serta berhubungan negatif dengan kinerja
pekerjaan. Tipe kedua adalah perfectionist, tipe ini dipandang memiliki hubungan positif
dengan tingkat stress, masalah fisik dan psikologis, hubungan interpersonal yang tidak
bersahabat, dan juga kemauan untuk melakukan kegiatan sukarela (voluntary), tipe ini juga
memiliki hubungan negatif dengan kinerja dan kepuasan kerja. Selanjutnya pada tipe terakhir,
yakni achievement-oriented workaholism dinilai berkorelasi positif dengan kepuasan kerja
dan kepuasan hidup (hal ini karena perusahaan sering memberikan reward kepada
karyawannya karena prestasi yang diraihnya), kesehatan fisik dan psikologis, prestasi kerja,
dan perilaku prososial, tipe ini juga memiliki hubungan negatif dengan stress dan kemauan
untuk melakukan kegiatan sukarela (voluntary).
Dari beberapa definisi terkait dengan perilaku workaholic diatas, maka dapat kita lihat
bahwa perilaku workaholic merupakan perilaku gila kerja yang ditandai dengan penggunaan
waktu yang lebih lama untuk bekerja dan disertai dengan pengesampingan segala aktivitas
yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Kondisi workaholic dapat dipandang dari segi
negatif maupun positif. Workaholic dipandang sebagai fenomena yang positif karena (Harpaz
& Snir, 2003; Syarifuddin, Nurtjahjanti, & Widayanti, 2013): (1) Orang yang memiliki jiwa
workaholic adalah orang yang mencintai pekerjaannya (Cantarow, 1979), (2) Orang yang
memiliki jiwa workaholic adalah orang yang mempunyai motivasi dan dorongan internal
untuk bekerja keras (Machlowitz, 1980), (3) Orang yang workaholic dipandang masyarakat
sebagai individu yang memiliki dedikasi tinggi pada perusahaan (4) Di kehidupan
masyarakat, orang yang workaholic tidak dipandang sebagai individu yang mengalami
masalah, justru dipandang sebagai teladan karena ia dianggap sebagai orang yang pekerja
keras, giat, rajin dan mampu bekerja dengan baik. Namun demikian, dibalik segi positifnya,
perilaku workaholic juga dipandang sebagai fenomena negatif karena: (1) Orang yang

5
memiliki perilaku workaholic dipandang memiliki komitmen irasional yang berlebihan
terhadap pekerjaan (Cherrington, 1980), (2) Orang yang workaholic dipandang sebagai orang
yang mengidap adiksi berlebih (Killinger, 1991; Oates, 1971; Porter, 1996; Robinson, 1989,
1997; Schaef & Fassel, 1988), (3) Sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu, orang yang
memiliki perilaku workaholic dinilai memiliki kepuasan kerja dan kepuasan hidup yang lebih
rendah (e.g. Del Líbano et al., 2012; van Beek et al., 2014; Bonebright et al., 2000) serta
hubungan sosial yang lebih buruk di luar pekerjaannya (Schaufeli et al., 2008b), (4) Orang
dengan workaholic memiliki gangguan tidur (Kubota et al., 2010) bahkan sampai gangguan
kesehatan (Oates, 1971 & Robbins, 1992).
Dari penjelasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa perilaku workaholic lebih
banyak mengarah pada sisi negatif, hal ini karena menyangkut sisi kesejahteraan individu
yang banyak terganggu. Orang-orang dengan workaholic cenderung tidak dapat merasakan
kesejahteraan dalam hidupnya (Caesens, Stinglhamber, & Luypaert, 2014).

2.2 Teori Teknik Modifikasi


Teori teknik yang digunakan dalam konseling kognitif adalah modifikasi perilaku atau
terapi perilaku yang menekankan perubahan perilaku bawaan (overt behavior). Modifikasi
perilaku langsung mengarahkan pada perubahan dalam perasaan dan sikap (Halimatus &
Chotim, 2016). Konseling behavioral juga memiliki asumsi dasar bahwasanya dalam setiap
perilaku atau tingkah laku itu dapat dipelajari (Sa’diyah, 2016). Jadi, perilaku yang lama
dapat diubah atau diganti dengan perilaku yang baru dan setiap individu itu memiliki potensi
untuk berperilaku baik maupun buruk dan ataupun benar atau salah. Selain itu juga, setiap
manusia itu dipandang sebagai seorang individu yang mampu dalam melakukan refleksi atas
tingkah lakunya sendiri, mengatur dan juga dapat untuk mengontrol perilakunya serta dapat
belajar tingkah laku yang baru atau perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh orang lain
(Komalasari,dkk., 2011 dalam Halimatus & Chotim, 2016).
Sehingga, untuk memodifikasi perilaku, kami akan menggunakan teknik modifikasi
self-management. Self management sendiri adalah salah satu teknik dalam konseling behavior
yang bertujuan untuk mempelajari perilaku individu (manusia) dimana dimaksudkan untuk
merubah perilaku yang awalnya maladaptif menjadi perilaku adaptif (Halimatus & Chotim,
2016). Dapat dikatakan juga bahwa self management merupakan prosedur dimana individu
tersebut mengatur perilakunya sendiri dan dalam penerapannya teknik self management
memiliki tanggung jawab bahwa keberhasilan konseling berada pada tangan konseli sendiri
(Halimatus & Chotim, 2016). Jadi, di dalam teknik self management ini konselor berperan

6
sebagai seorang yang hanya menjadi pencetus gagasan, fasilitator yang bertujuan untuk
membantu dalam merancang program serta sebagai motivator bagi konseli tersebut
(Komalasari, dkk., 2011 dalam Halimatus & Chotim, 2016). Jadi, melalui teknik self
management itulah perilaku workaholic diharapkan berubah.

2.3 Kesesuaian Teknik Modifikasi dan Permasalahan


Perilaku workaholic merupakan salah satu perilaku yang digunakan untuk diintervensi
lebih lanjut. Seperti yang sudah disinggung di atas, perilaku workaholic merupakan perilaku
gila kerja yang ditandai dengan penggunaan waktu yang lebih lama untuk bekerja dan disertai
dengan pengesampingan segala aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Perilaku
gila kerja yang berlebih ini menjadikan individu mengalami banyak konsekuensi negatif
(Ascher, Avery, & Holoshitz, 2015). Kemudian seperti yang telah dipaparkan pada bagian
latar belakang, terdapat sebuah studi yang dilakukan oleh Chamberlin & Zhang (2009) yang
menghasilkan dua temuan, yakni perilaku workaholism tidak hanya terjadi pada para pekerja
saja, namun juga bisa terjadi pada mahasiswa. Temuan pertama yang didapat melalui skala
WART, menyebutkan bahwa mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang memiliki skor
workaholic lebih tinggi menganggap bahwa orang tua mereka lebih workaholic daripada
dirinya, meskipun orang tua mereka sebenarnya mungkin bukan seorang yang workaholic.
Temuan kedua mengindikasi bahwa orang yang workaholic lebih sering mengeluhkan
masalah kesehatan fisiknya daripada mereka yang menganggap orang tua mereka tidak
workaholic. Jika ditinjau dalam konsep psikologi kesehatan, pikiran akan mempengaruhi
tubuh. Hal inilah yang mungkin menunjukkan mahasiswa dengan orang tua yang sama-sama
memiliki kecenderungan perilaku workaholic lebih banyak mengalami permasalahan gejala
fisik karena kecenderungan workaholicnya sendiri.
Sehingga, untuk mengubah perilaku workaholic dibutuhkan teknik modifikasi yang
sesuai dengan permasalahan tersebut, hal ini ditujukan agar dalam jalannya intervensi tidak
terjadi sebuah kesalahan. Untuk rancangan intervensinya, digunakan teknik self management
yang merupakan prosedur dimana individu tersebut dapat mengatur perilakunya sendiri.
Disini keberhasilan konseling berada pada tangan konseli sendiri, hal ini karena segala
perubahan dilakukan oleh konseli sendiri, konselor hanya berperan sebagai pencetus gagasan,
fasilitator yang bertujuan untuk membantu merancang program serta motivator bagi konseli
tersebut (Komalasari, dkk., 2011 dalam Halimatus & Chotim, 2016). Dalam teknik self
management, digunakan strategi yang bertujuan untuk mengubah perilaku yang dalam proses

7
tersebut konseli mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan menggunakan suatu
teknik atau kombinasi teknik terapeutik yang dibahas lebih lanjut pada pembahasan Bab 3.
Jadi berdasarkan paparan diatas, kami sepakat bahwa teknik modifikasi ini sesuai dan
dapat diterapkan pada permasalahan workaholic yang terjadi. Untuk itu, dalam mengubah
perilaku workaholic, dibutuhkan kesadaran dan kemauan individu itu sendiri untuk berubah
menuju perilaku adaptif yang diinginkan.

8
BAB III
DETAIL RANCANGAN INTERVENSI

3.1 Target Intervensi


Target dari intervensi ini adalah mahasiswa dan / atau pekerja dewasa muda
yang workaholic.
3.2 Prosedur Intervensi
Berdasarkan teori teknik modifikasi yang telah disampaikan di bab 2,
intervensi yang digunakan yaitu self management. Teknik ini memiliki beberapa
prosedur yang perlu dilakukan oleh subjek intervensi. Sebelum melakukan
serangkaian proses intervensi, langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan
kegiatan psikoedukasi dan building rapport. Kedua proses tersebut dilakukan oleh
tenaga profesional kepada subjek intervensi. Kegiatan yang dilakukan yaitu
membentuk informed consent antara tenaga profesional dan subjek terkait. Hal ini juga
meliputi penjelasan intervensi agar subjek mengerti makna dari intervensi yang
dilakukannya (Rahayu, 2019).
Setelah melakukan proses pra-intervensi di atas, langkah selanjutnya yaitu
melakukan langkah intervensi. langkah ini dilakukan agar subjek dapat membentuk
self management yang baik. Nurzaakiyah & Budiman N (2013) menyebutkan dalam
jurnalnya mengenai prosedur self management yaitu sebagai berikut.
● Goal setting
Langkah pertama yang perlu dilakukan pada subjek yaitu menentukan tujuan
awal dari intervensi. Dalam konteks ini, tujuan yang hendak dicapai yaitu
membentuk self management yang baik.
● Planning
Setelah tujuan awal terbentuk, subjek dapat melakukan planning / perencanaan
di masa depan. Planning ini dapat dilakukan bersama tenaga profesional agar
mendapatkan perencanaan yang baik.
● Scheduling
Langkah selanjutnya setelah perencanaan terbentuk yaitu melakukan
scheduling atau penjadwalan. Penjadwalan ini dilakukan untuk mendetailkan
rencana yang telah dibuat. Jadwal yang dibuat dapat disesuaikan dengan
memasukkan tanggal - tanggal pelaksanaan intervensi di masa depan.

9
● Task tracking
Langkah ini digunakan untuk melihat tugas - tugas yang telah dilakukan oleh
subjek. Tugas - tugas tersebut merupakan tugas yang diberikan oleh tenaga
profesional yang membantu membentuk self management.
● Self-evaluation
Setelah pelaksanaan tugas - tugas yang diberikan, langkah berikut yaitu
melakukan self evaluation atau evaluasi diri. Hal ini agar melatih subjek untuk
dapat melihat keberhasilan dari tugas yang telah dikerjakan.
● Self-intervention
Tahap selanjutnya yaitu self intervention atau intervensi diri. Hal ini dilakukan
bila subjek menemukan permasalahan yang menghambat pembentukan tujuan.
intervensi diri dapat dilakukan sesuai tugas yang telah diberikan oleh tenaga
profesional. dengan begitu subjek dapat mengatasi permasalahannya
● Self-development
Langkah terakhir yaitu membangun self development atau pengembangan diri.
Dalam hal ini subjek menggunakan hal yang telah dipelajari dari awal hingga
akhir intervensi. subjek juga bisa mengembangkan hal tersebut sesuai
kondisinya.

3.3 Rancangan Evaluasi Hasil Intervensi


Setelah melakukan proses rangkaian intervensi di atas, tahap yang perlu
dilakukan selanjutnya adalah melakukan proses evaluasi intervensi. proses evaluasi
intervensi ini tidak hanya dilakukan kepada subjek intervensi saja. Proses evaluasi
intervensi juga perlu dilakukan bersama tenaga profesional. Hal ini ditujukan agar
pemberian proses intervensi yang telah dijalankan dapat mencapai tujuan awal dan
tenaga profesional dapat membimbing proses intervensi secara tepat. Rahayu (2019)
menyebutkan dalam jurnalnya mengenai evaluasi hasil intervensi yang diberikan
kepada subjek. proses evaluasi hasil intervensi ini dilakukan dengan melakukan
review secara keseluruhan dari proses intervensi. tenaga profesional di sini
menerapkan proses evaluasi untuk melihat bagaimana perkembangan dan progress
subjek intervensi terhadap permasalahan yang dialami. tenaga profesional dapat
melakukan proses evaluasi dengan menerapkan analisis ABC. hal ini dilakukan
dengan melihat kembali anteseden yang terkait dengan permasalahan subjek, behavior
subjek sebelum intervensi, dan juga consequence yang dirasakan subjek setelah

10
adanya intervensi. Evaluasi tersebut dilakukan agar tenaga profesional tersebut dapat
memantau dan menangani hambatan yang dapat mengganggu proses intervensi subjek.
Setelah evaluasi dilakukan, tenaga profesional dapat menilai apakah subjek intervensi
telah mencapai tujuan awalnya atau tidak. Apabila subjek belum mencapai tujuan
awalnya, maka perlu dilakukan penyesuaian pada rangkaian proses yang akan
dilakukan. Bila suyek telah berhasil mencapai tujuan intervensinya, maka tenaga
profesional dapat memberi dukungan agar proses intervensi dapat membawa dampak
yang baik pada kehidupan subjek di masa depan. Rangkaian proses evaluasi ini
dilakukan bersama - sama antara tenaga profesional dan subjek intervensi terkait. Hal
ini ditujukan agar subjek tidak hanya mengetahui perkembangan dari proses
intervensinya saja. Selain itu, ditujukan agar subjek dapat mengetahui dampak positif
atau manfaat dari proses intervensi ini secara lebih baik. dampak positif dari proses
intervensi, tidak hanya ditujukan pada konteks intervensi saja, tetapi juga kepada
konteks kehidupan sehari - hari. Dengan proses yang sedemikian, baik tenaga
profesional dan subjek intervensi mendapat manfaat yang baik dari adanya proses
intervensi terkait.

11
BAB IV
KESIMPULAN

Penyusunan rancangan modifikasi perilaku ini ditujukan kepada perilaku workaholic.


Perilaku workaholic ini merupakan perilaku yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari, dan
dapat dijumpai dalam dunia kerja maupun organisasi. Perilaku gila bekerja tersebut ditandai
dengan individu yang tidak dapat mengontrol diri dan waktu untuk bekerja terus-menerus.
Akibat perilaku bekerja secara berlebihan yang dilakukan oleh individu tersebut, lama
kelamaan ia akan mendapatkan dampak negatif di masa depan. Dampak negatif yang dapat
dirasakan oleh individu yang workaholic yaitu terhambatnya fungsi kognitif individu akibat
komitmen irasional yang berlebihan terhadap pekerjaan, kurangnya kontrol diri karena adiksi
berlebih terutama pada pekerjaan, dan juga kualitas kepuasan hidup atau psychological well
being yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak memiliki perilaku workaholic. Maka
dari itu, pada makalah ini disusun rancangan modifikasi perilaku yang dapat mengubah
perilaku workaholic tersebut. Dari rancangan penyusunan makalah ini diharapkan perilaku
tersebut dapat teratasi dan subjek intervensi dapat terhindar dari konsekuensi negatif yang
dapat dialami di masa depan.
Proses intervensi yang dilakukan yaitu dengan menerapkan intervensi self
management kepada subjek yang melakukan perilaku workaholic. Proses intervensi ini
melibatkan fungsi kognitif dan fungsi behavior dari subjek intervensi. Serangkaian intervensi
yang dijalankan tersebut berupa proses pembentukan self management oleh subjek yang
dibantu oleh tenaga profesional. Peran tenaga profesional disini adalah mendampingi dan
memberi bimbingan kepada subjek intervensi terkait. Sehingga, proses intervensi tidak
bersifat satu arah saja. Di dalam serangkaian proses intervensi, perlu dilakukan beberapa
tahap agar subjek intervensi dapat membentuk self management yang baik. Keseluruhan
proses tersebut harus dilakukan secara baik dan sesuai kesepakatan dengan tenaga
profesional. Dengan adanya kesepakatan tersebut, subjek diharapkan dapat melakukan proses
intervensi dengan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Setelah proses intervensi
dilaksanakan oleh subjek, selanjutnya perlu dilakukan proses evaluasi. Hal ini ditujukan untuk
menetapkan proses intervensi sesuai target yang diharapkan oleh subjek. Proses evaluasi ini
juga dilakukan oleh tenaga profesional agar subjek intervensi mendapatkan pengetahuan yang
dapat diterapkan di kehidupan sehari - hari. segala bentuk rangkaian proses intervensi ini
diharapkan dapat mengubah perilaku workaholic pada subjek terkait.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ascher, M. S., Avery, J., & Holoshitz, Y. (2015). Work Addiction: Taking Care of Business. In
M. S. Ascher, & P. Levounis (Eds.), The Behavioral Addictions (p. 199).
Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Caesens, G., Stinglhamber, F., & Luypaert, G. (2014). The impact of work engagement and
workaholism on well-being: The role of work related social support. Emerald
Insight, 813-835.
Griffiths, M. D., & Karanika-Murray, M. (2012). Contextualising over-engagement in work:
Towards a more global understanding of workaholism as an addiction. Journal
of Behavioral Addictions, 1(3), 87–95. doi:10.1556/JBA.1.2012.002
Gunawan, & Sugiyanto. (2011). Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Pasca Pemutusan
Hubungan Kerja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
35-50.
Halimatus, S., & Chotim, M. (2016, November). Penerapan Teknik Self Management untuk
Mereduksi Agresivitas Remaja. Jurnal Ilmiah Counsellia, 6(2), 67-78.
Harpaz, I., & Snir, R. (2003). Workaholism: Its definition and nature. Human Relations,
291-319.
Nurzaakiyah, S., & Budiman, N. (2013). Teknik self management dalam mereduksi body
dysmorphic disorder. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
Rahayu, F. (2019). Rancangan Intervensi REBT dalam Meningkatkan Kedisiplinan Santriwati
di Ponpes Miftahunnajah Yogyakarta. Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, 3(2), 109-122.
Segrin, C., & Flora, J. (2005). Family Communication . London: Lawrence Erlbaum
Associates.
Syarifuddin, S., Nurtjahjanti, H., & & Widayanti, C. (2014). Hubungan antara Persepsi
terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dengan Intensi Menjadi Workaholic pada
Karyawan Bank X Semarang. Jurnal EMPATI, 2(3), 22-31. Retrieved from
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/5247

13

Anda mungkin juga menyukai