Kelompok 7 :
1. Vina Yuliana 111911133011
2. Frischa Futichatul M 111911133058
3. Risma Walidatun N 111911133063
4. Tiara Intania 111911133075
5. Muhammad Hafizh A 111911133179
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..1
BAB IV - KESIMPULAN………………………………………………………………….. 12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..13
1
BAB I
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, perilaku workaholic merupakan pola perilaku yang sudah familiar
didengar dan diamati oleh beberapa dari kita di kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia
kerja maupun organisasi. Istilah ini muncul untuk menggambarkan perilaku individu yang
biasa disebut gila bekerja. Menurut Oates (1971) orang-orang ini tidak dapat mengontrol
keinginan mereka untuk bekerja terus-menerus (dalam Balducci, Avanzi & Fraccaroli, 2016).
Hal ini terjadi dipengaruhi oleh adanya persaingan yang sangat ketat yang timbul akibat
perubahan kehidupan kerja modern saat ini (Näswall, Hellgren, & Sverke, 2008 dalam
Balducci, dkk, 2016). Menurut Syarifuddin, Nurtjahjanti & Widayanti (2014) persaingan yang
sangat ketat ini menyebabkan individu bekerja sangat keras hingga berlebihan, lalu mengutip
pula dari pendapat Coombs (2004) yang mengatakan bahwa setidaknya seseorang harus
bekerja terus-menerus jika ingin bertahan di dunia ini. Pandangan bahwa bekerja
terus-menerus adalah cara untuk bertahan hidup di dunia mungkin adalah pandangan yang
dianggap baik oleh masyarakat, sehingga seseorang cenderung mengikuti anggapan baik ini
karena workaholic dianggap sebuah aset yang berharga bagi banyak nilai budaya atau kultur
(Ascher, Avery, & Holoshitz, 2015). Orang-orang seperti ini merupakan orang yang rajin,
pekerja keras dan patut dicontoh (Syarifuddin, Nurtjahjanti & Widayanti, 2014). Oleh
karenanya perilaku workaholic ini sepertinya tidak dianggap sebagai suatu masalah yang
serius, padahal mungkin akan tetap memiliki dampak negatif.
2
karena berusaha mengulangi kesenangan yang didapat melalui bekerja; 4)
withdrawal/symptoms yaitu gejala seperti mudah tersinggung, disforia, atau kemurungan
ketika seseorang dipaksa untuk berhenti bekerja; 5) conflict yaitu ketika seseorang dipaksa
untuk memenuhi tuntutan lain seperti keluarga, di dalam dirinya mungkin telah menyadari
bahwa perilakunya ini menyebabkan gangguan yang tidak semestinya; dan 6) relapse yaitu
menggambarkan kecenderungan untuk berulang kali kembali ke pola perilaku kerja yang
tidak sehat dan kompulsif.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Chamberlin & Zhang (2009) terdapat dua
temuan yaitu yang pertama workaholism tidak hanya terjadi pada para pekerja saja, bahkan
bisa terjadi pada mahasiswa pula. Melalui skala WART, mahasiswa sarjana dan pascasarjana,
mereka yang memiliki skor workaholic lebih tinggi ditemukan menganggap orang tua mereka
lebih workaholic, meskipun orang tua mereka sebenarnya mungkin bukan workaholic.
Temuan kedua, mereka yang workaholic lebih sering mengeluhkan masalah kesehatan fisik
daripada mereka yang menganggap orang tua mereka tidak workaholic. Seperti dalam
psikologi kesehatan, dimana pikiran dianggap mempengaruhi tubuh. Hal ini mungkin dapat
menunjukkan bahwa mahasiswa dengan orang tua workaholic mungkin mengalami lebih
banyak gejala fisik karena kecenderungan workaholic mereka sendiri.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIK
4
dorongan untuk bekerja, dan kenikmatan kerja. Artinya, orang yang memiliki jiwa work
enthusiast memiliki skor tinggi di tiga komponen tersebut. Disisi lain, penelitian Spence &
Robbins (1992) juga mengindikasi bahwa orang yang memiliki jiwa workaholics ditemukan
memiliki skor yang tinggi pada ukuran perfeksionisme, non-delegasi tanggung jawab, tekanan
stress akibat bekerja, dan kesehatan yang terancam buruk.
Berkaitan dengan pendapat-pendapat para ahli sebelumnya, Scott et al. (1997)
menggagaskan pendapatnya yang hampir serupa dengan teori-teori sebelumnya. Menurut
Scott et al. (1997) terdapat 3 jenis pola workaholic, yakni compulsive-dependent,
perfectionist, dan achievement-oriented. Tipe workaholic pertama adalah
compulsive-dependent, tipe ini dipandang memiliki hubungan positif dengan tingkat
kecemasan, stress, masalah fisik dan psikologis serta berhubungan negatif dengan kinerja
pekerjaan. Tipe kedua adalah perfectionist, tipe ini dipandang memiliki hubungan positif
dengan tingkat stress, masalah fisik dan psikologis, hubungan interpersonal yang tidak
bersahabat, dan juga kemauan untuk melakukan kegiatan sukarela (voluntary), tipe ini juga
memiliki hubungan negatif dengan kinerja dan kepuasan kerja. Selanjutnya pada tipe terakhir,
yakni achievement-oriented workaholism dinilai berkorelasi positif dengan kepuasan kerja
dan kepuasan hidup (hal ini karena perusahaan sering memberikan reward kepada
karyawannya karena prestasi yang diraihnya), kesehatan fisik dan psikologis, prestasi kerja,
dan perilaku prososial, tipe ini juga memiliki hubungan negatif dengan stress dan kemauan
untuk melakukan kegiatan sukarela (voluntary).
Dari beberapa definisi terkait dengan perilaku workaholic diatas, maka dapat kita lihat
bahwa perilaku workaholic merupakan perilaku gila kerja yang ditandai dengan penggunaan
waktu yang lebih lama untuk bekerja dan disertai dengan pengesampingan segala aktivitas
yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Kondisi workaholic dapat dipandang dari segi
negatif maupun positif. Workaholic dipandang sebagai fenomena yang positif karena (Harpaz
& Snir, 2003; Syarifuddin, Nurtjahjanti, & Widayanti, 2013): (1) Orang yang memiliki jiwa
workaholic adalah orang yang mencintai pekerjaannya (Cantarow, 1979), (2) Orang yang
memiliki jiwa workaholic adalah orang yang mempunyai motivasi dan dorongan internal
untuk bekerja keras (Machlowitz, 1980), (3) Orang yang workaholic dipandang masyarakat
sebagai individu yang memiliki dedikasi tinggi pada perusahaan (4) Di kehidupan
masyarakat, orang yang workaholic tidak dipandang sebagai individu yang mengalami
masalah, justru dipandang sebagai teladan karena ia dianggap sebagai orang yang pekerja
keras, giat, rajin dan mampu bekerja dengan baik. Namun demikian, dibalik segi positifnya,
perilaku workaholic juga dipandang sebagai fenomena negatif karena: (1) Orang yang
5
memiliki perilaku workaholic dipandang memiliki komitmen irasional yang berlebihan
terhadap pekerjaan (Cherrington, 1980), (2) Orang yang workaholic dipandang sebagai orang
yang mengidap adiksi berlebih (Killinger, 1991; Oates, 1971; Porter, 1996; Robinson, 1989,
1997; Schaef & Fassel, 1988), (3) Sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu, orang yang
memiliki perilaku workaholic dinilai memiliki kepuasan kerja dan kepuasan hidup yang lebih
rendah (e.g. Del Líbano et al., 2012; van Beek et al., 2014; Bonebright et al., 2000) serta
hubungan sosial yang lebih buruk di luar pekerjaannya (Schaufeli et al., 2008b), (4) Orang
dengan workaholic memiliki gangguan tidur (Kubota et al., 2010) bahkan sampai gangguan
kesehatan (Oates, 1971 & Robbins, 1992).
Dari penjelasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa perilaku workaholic lebih
banyak mengarah pada sisi negatif, hal ini karena menyangkut sisi kesejahteraan individu
yang banyak terganggu. Orang-orang dengan workaholic cenderung tidak dapat merasakan
kesejahteraan dalam hidupnya (Caesens, Stinglhamber, & Luypaert, 2014).
6
sebagai seorang yang hanya menjadi pencetus gagasan, fasilitator yang bertujuan untuk
membantu dalam merancang program serta sebagai motivator bagi konseli tersebut
(Komalasari, dkk., 2011 dalam Halimatus & Chotim, 2016). Jadi, melalui teknik self
management itulah perilaku workaholic diharapkan berubah.
7
tersebut konseli mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan menggunakan suatu
teknik atau kombinasi teknik terapeutik yang dibahas lebih lanjut pada pembahasan Bab 3.
Jadi berdasarkan paparan diatas, kami sepakat bahwa teknik modifikasi ini sesuai dan
dapat diterapkan pada permasalahan workaholic yang terjadi. Untuk itu, dalam mengubah
perilaku workaholic, dibutuhkan kesadaran dan kemauan individu itu sendiri untuk berubah
menuju perilaku adaptif yang diinginkan.
8
BAB III
DETAIL RANCANGAN INTERVENSI
9
● Task tracking
Langkah ini digunakan untuk melihat tugas - tugas yang telah dilakukan oleh
subjek. Tugas - tugas tersebut merupakan tugas yang diberikan oleh tenaga
profesional yang membantu membentuk self management.
● Self-evaluation
Setelah pelaksanaan tugas - tugas yang diberikan, langkah berikut yaitu
melakukan self evaluation atau evaluasi diri. Hal ini agar melatih subjek untuk
dapat melihat keberhasilan dari tugas yang telah dikerjakan.
● Self-intervention
Tahap selanjutnya yaitu self intervention atau intervensi diri. Hal ini dilakukan
bila subjek menemukan permasalahan yang menghambat pembentukan tujuan.
intervensi diri dapat dilakukan sesuai tugas yang telah diberikan oleh tenaga
profesional. dengan begitu subjek dapat mengatasi permasalahannya
● Self-development
Langkah terakhir yaitu membangun self development atau pengembangan diri.
Dalam hal ini subjek menggunakan hal yang telah dipelajari dari awal hingga
akhir intervensi. subjek juga bisa mengembangkan hal tersebut sesuai
kondisinya.
10
adanya intervensi. Evaluasi tersebut dilakukan agar tenaga profesional tersebut dapat
memantau dan menangani hambatan yang dapat mengganggu proses intervensi subjek.
Setelah evaluasi dilakukan, tenaga profesional dapat menilai apakah subjek intervensi
telah mencapai tujuan awalnya atau tidak. Apabila subjek belum mencapai tujuan
awalnya, maka perlu dilakukan penyesuaian pada rangkaian proses yang akan
dilakukan. Bila suyek telah berhasil mencapai tujuan intervensinya, maka tenaga
profesional dapat memberi dukungan agar proses intervensi dapat membawa dampak
yang baik pada kehidupan subjek di masa depan. Rangkaian proses evaluasi ini
dilakukan bersama - sama antara tenaga profesional dan subjek intervensi terkait. Hal
ini ditujukan agar subjek tidak hanya mengetahui perkembangan dari proses
intervensinya saja. Selain itu, ditujukan agar subjek dapat mengetahui dampak positif
atau manfaat dari proses intervensi ini secara lebih baik. dampak positif dari proses
intervensi, tidak hanya ditujukan pada konteks intervensi saja, tetapi juga kepada
konteks kehidupan sehari - hari. Dengan proses yang sedemikian, baik tenaga
profesional dan subjek intervensi mendapat manfaat yang baik dari adanya proses
intervensi terkait.
11
BAB IV
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Ascher, M. S., Avery, J., & Holoshitz, Y. (2015). Work Addiction: Taking Care of Business. In
M. S. Ascher, & P. Levounis (Eds.), The Behavioral Addictions (p. 199).
Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Caesens, G., Stinglhamber, F., & Luypaert, G. (2014). The impact of work engagement and
workaholism on well-being: The role of work related social support. Emerald
Insight, 813-835.
Griffiths, M. D., & Karanika-Murray, M. (2012). Contextualising over-engagement in work:
Towards a more global understanding of workaholism as an addiction. Journal
of Behavioral Addictions, 1(3), 87–95. doi:10.1556/JBA.1.2012.002
Gunawan, & Sugiyanto. (2011). Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Pasca Pemutusan
Hubungan Kerja. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
35-50.
Halimatus, S., & Chotim, M. (2016, November). Penerapan Teknik Self Management untuk
Mereduksi Agresivitas Remaja. Jurnal Ilmiah Counsellia, 6(2), 67-78.
Harpaz, I., & Snir, R. (2003). Workaholism: Its definition and nature. Human Relations,
291-319.
Nurzaakiyah, S., & Budiman, N. (2013). Teknik self management dalam mereduksi body
dysmorphic disorder. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.
Rahayu, F. (2019). Rancangan Intervensi REBT dalam Meningkatkan Kedisiplinan Santriwati
di Ponpes Miftahunnajah Yogyakarta. Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, 3(2), 109-122.
Segrin, C., & Flora, J. (2005). Family Communication . London: Lawrence Erlbaum
Associates.
Syarifuddin, S., Nurtjahjanti, H., & & Widayanti, C. (2014). Hubungan antara Persepsi
terhadap Lingkungan Kerja Psikologis dengan Intensi Menjadi Workaholic pada
Karyawan Bank X Semarang. Jurnal EMPATI, 2(3), 22-31. Retrieved from
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/5247
13