Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEWAJIBAN MENUNTUT DAN MENGAMALKAN ILMU

SERTA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Dosen Pengampu :
Safari Hasan S.IP., M.M.R

Disusun oleh :
FIDDARI AULIYAH RAKHMAH 30720013

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

TAHUN PEALAJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dalam menulis
makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
walaupun dengan banyak kekurangan.
Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Kediri , 22 november 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perintah Menuntut Ilmu 3

B. Keutamaan Orang yang Berilmu 7


C. Kedudukan Ulama dalam Islam 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 18

B. Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak


tegak dan tidak akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk
mengenal Allah dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang
telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan
yang dicita-citakannya.
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak

bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya
akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan
dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Menuntut ilmu
dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat

dimuliakan oleh Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan
martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan
lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar
(orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini

adalah :
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?

2. Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?

3. Bagaimana kedudukan Ulama dalam islam ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :


1. Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.

2. Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.

3. Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perintah Menuntut Ilmu

Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak


tegak dan tidak akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk
mengenal Allah dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang
telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan
yang dicita-citakannya.
Jumhur ulama sepakat, tidak ada dalil yang lebih tepat selain wahyu

pertama yang disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw
sebagai landasan utama perintah untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana
untuk mendapatkannya, disertai bagaimana nikmatnya memiliki ilmu,
kemuliaannya, dan urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang Khalik
dan mengetahui rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah
yang tetap. Sebagaimana firman-Nya : “Bacalah dengan (menyebut) nama

Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal


darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam (baca tulis). Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”.
(Q.S. Al ‘Alaq [96]: 1-5).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman : “…Katakanlah :
“ Adakah sama orang-orang yang mengetahui (ilmu agama Islam) dengan orang-
orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran”. (Q.S. Az Zumar [39]: 9).

Para mufasir menyimpulkan firman Allah di atas, bahwa : 1). Tidaklah


sama antara hamba Allah yang memahami ilmu agama Allah, yaitu yang
menyadari dirinya, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mentaati segala
perintah dan larangan-Nya, dengan orang-orang yang mendustakan nikmat-nikmat
Allah, yang tidak mau mempelajari ilmu agama Allah; 2). Hanya orang-orang
yang berakal sehatlah yang dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari tanda-
tanda kekuasaan Allah.
Terkait hal tersebut, Rasulullah saw menandaskan bahwa menuntut,
memahami dan mendalami ilmu agama Islam itu, merupakan kewajiban utama

setiap muslim. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia


mendengar Rasulullah Saw telah bersabda : “siapa yang dikehendaki menjadi
orang baik oleh Allah, Allah akan memberikan kepahaman kepadanya dalam
agama Islam”. (H.R. Bukhari, Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat
seorang muslim, baik dan benar dalam beribadah kepada Allah SWT, jauh dari
Bid’ah atau hal-hal lain yang membatalkan ibadah kita. Serta mampu

membentengi diri dan keluarga dari aqidah berbahaya.


Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1). Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim
tentang Ilmu Agama Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar,
mu’amalahnya lurus dan sesuai dengan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla,
yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang sahih. Inilah yang
diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan Allah”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga
yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu

wajib bagi setiap muslim”. (H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini,
adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan
mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-
ilmu yang dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum,
kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada yang
mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan jika
tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya

bagi orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta

menggapai keuntungan dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu


adalah cahaya yang dengannya Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-
kitab, dan dengannya pula memberi petunjuk dari kesesatan dan kebodohan.
Dengan ilmu terungkaplah seluruh keraguan, khurafat dan kerancuan. (Q.S. Al
Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S. Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita
hingga akhir zaman, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As
Sunnah (Hadis) Sahih, tidak akan sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah
SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya),


dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (Q.S. An Nisa [4] : 59). Dan
hadits nabi Saw.
“ Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu
berpegang teguh dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu)
Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya”. (H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).

Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis
taklim yang istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai
tempat dan media. Ilmu agama ada di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis
sahih, yang sudah diterjemahkan. Jika kita tidak memahami ilmu agama Islam,
bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ? Bagaimana kita bisa
tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam juga

jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka


kelak ilmu yang dimiliki itu akan tersesat.

B. Keutamaan Orang Berilmu

Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak
bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya
akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan
dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.

Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2 yaitu :


1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal
Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah Praktis
1. Ilmu Syari’at

Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :


1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah,

Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
2. Ilmu Akal

Ilmu Akal itu bersifat berdiri sendiri, yang melahirkan komposisi

keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )
3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam
hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara:

shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan
kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT:
(Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia.
Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta
ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb
ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)

4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (…


Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa
derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam
firmannya: (…. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya
hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).

6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:


(Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran
dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang
Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham

dalam agama,” (HR Bukhari dan Muslim).


8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh
suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga,” (HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua
hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam
kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan
mengajarkannya,” (HR Bukhari )
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya

para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang
dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).

C. Kedudukan Ulama dalam Islam

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama,
serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan

mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh
perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan
ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh
dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa.
Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya,
menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman: َ‫ ﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِي اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻻَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮن‬Katakanlah, “Apakah sama orang-
orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-
Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla: َ‫ﯾَﺮْﻓَﻊِ ﷲﱠُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آَﻣَﻨُﻮا ﻣِﻨْﻜُﻢْ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ أُوﺗُﻮا اﻟْﻌِﻠْﻢ‬

ٍ‫ دَرَﺟَﺎت‬Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu


beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan
sayapnya karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan
yang berada di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah
pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga
dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya
dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang
sama dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu

‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah
akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan
membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa
yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan
ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada

di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan
bulan purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah
ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah
mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu
Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-
Mawarid).
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan
melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada

Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta
membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan
hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara
antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa
masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya
adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para

Nabi dan ulama.” Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat
majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana
ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu
terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan
demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang
orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang

bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah


melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh
Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).” Maimun bin
Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata
air yang tawar di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti
itu, maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta
kemuliaannya. Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku
orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih

muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah
mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu
menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang
semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta
sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau
perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu
akan kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan
setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam

bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan


jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada para dokter, maka
janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya. Maka
bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh
kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak
terkenal alim mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh

sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli
fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath? Allah Ta’ala berfirman:
"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan
rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil
saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama
yang 'Alim dan cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab
maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan
seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu
mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash
kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna
“Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu
Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui

kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.”
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah
orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan

dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul”


sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang
yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-
Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman
Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-
Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih
bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan
pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya
di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal)

apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah
Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan
pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan
mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang
penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan
kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah,
maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk

menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang
faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan
sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta
dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila

mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi
mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh
karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu:
mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.
Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan
dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului
mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan.
Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya,
yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara,

apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai
ucapan syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa
perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-
hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu,
kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan
orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam
ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan

sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama.
Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada
permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada
dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam
satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan

as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak
dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita memohon
kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga
memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan
sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan
permintaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak


tegak dan tidak akan ada kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk
mengenal Allah dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang
telah menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan

yang dicita-citakannya. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu).


Para ahli fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2).
Fardhu kifayah.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya.
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran.

3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta


ditambahkan ilmu.
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu.
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT.
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar.
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang.
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surge.
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu.
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama,

serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan
mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh
perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan
ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh
dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para
ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia
kehormatannya.

B. Saran

Sebagai seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh


dalam menuntut ilmu, karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat di
muliakan dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga
memiliki banyak keutamaan. Maka dari itu, setelah kta memahami tentang
perintah menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu dan kedudukan orang yang

berilmu, kita sebagai ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya dalam


kehidupan kita sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14
Maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai