Makalah Kewajiban Menuntut Dan Mengamalkan Ilmu Serta Kerukunan Antar Umat Beragama Fiddari Auliyah Rakhmah 30720013 d3 Kebidanan
Makalah Kewajiban Menuntut Dan Mengamalkan Ilmu Serta Kerukunan Antar Umat Beragama Fiddari Auliyah Rakhmah 30720013 d3 Kebidanan
Dosen Pengampu :
Safari Hasan S.IP., M.M.R
Disusun oleh :
FIDDARI AULIYAH RAKHMAH 30720013
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dalam menulis
makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
walaupun dengan banyak kekurangan.
Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perintah Menuntut Ilmu 3
B. Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya
akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan
dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Menuntut ilmu
dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat
dimuliakan oleh Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan
martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan
lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar
(orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang
bertaqwa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini
adalah :
1. Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?
C. Tujuan Penulisan
pertama yang disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw
sebagai landasan utama perintah untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana
untuk mendapatkannya, disertai bagaimana nikmatnya memiliki ilmu,
kemuliaannya, dan urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang Khalik
dan mengetahui rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah
yang tetap. Sebagaimana firman-Nya : “Bacalah dengan (menyebut) nama
wajib bagi setiap muslim”. (H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini,
adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan
mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-
ilmu yang dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum,
kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada yang
mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan jika
tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya
bagi orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta
Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis
taklim yang istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai
tempat dan media. Ilmu agama ada di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis
sahih, yang sudah diterjemahkan. Jika kita tidak memahami ilmu agama Islam,
bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ? Bagaimana kita bisa
tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam juga
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak
bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya
akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan
dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
2. Ilmu Akal
keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )
3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam
hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan
kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT:
(Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia.
Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta
ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb
ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang
dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama,
serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan
mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh
perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan
ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh
dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa.
Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya,
menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman: َ ﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِي اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻻَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنKatakanlah, “Apakah sama orang-
orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-
Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla: َﯾَﺮْﻓَﻊِ ﷲﱠُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آَﻣَﻨُﻮا ﻣِﻨْﻜُﻢْ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ أُوﺗُﻮا اﻟْﻌِﻠْﻢ
di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan
bulan purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah
ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah
mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu
Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-
Mawarid).
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan
melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada
Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta
membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan
hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara
antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa
masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya
adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para
Nabi dan ulama.” Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat
majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana
ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu
terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan
demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang
orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang
muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah
mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu
menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang
semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta
sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau
perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu
akan kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan
setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam
sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli
fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli istimbath? Allah Ta’ala berfirman:
"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan
rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil
saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama
yang 'Alim dan cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab
maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan
seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu
mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash
kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna
“Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu
Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.”
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah
orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah
Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan
pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan
mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang
penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan
kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah,
maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk
menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang
faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan
sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta
dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila
mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi
mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh
karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu:
mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.
Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan
dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului
mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan.
Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya,
yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara,
apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai
ucapan syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa
perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-
hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu,
kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan
orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam
ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan
sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama.
Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada
permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada
dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam
satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan
as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak
dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita memohon
kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga
memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan
sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan
permintaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan
mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh
perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan
ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh
dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para
ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia
kehormatannya.
B. Saran
Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14
Maret 2015.