Anda di halaman 1dari 3

MENELADANI SIKAP NABI TERHADAP WABAH

Jamaah sidang khutbah Jumat hafidhakumullah,


Pada kesempatan yang penuh berkah ini, khatib mengingatkan diri sendiri dan hadirin sekalian
untuk senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt;
menjalankan seluruh perintah dan menghindari seluruh larangan-Nya; juga senantiasa berusaha
menghadirkan Allah dalam tiap kesadaran dan gerak-gerik kita.

Jamaah sidang khutbah Jumat yang semoga dirahmati Allah,


Banyak jalan bagaimana musibah itu hadir di tengah-tengah manusia, termasuk wabah virus
Corona sebagaimana yang kita alami sekarang ini. Sebagian peneliti menilai, SARS-CoV-2 yang
menyebabkan penyakit Covid-19 muncul akibat tindakan semena-mena manusia terhadap satwa
liar (kelelawar). Satwa liar memang dikenal menjadi sumber penyakit menular baru.
Namun demikian, bagaimanapun saat peristiwa ini telah terjadi, kita mesti meyakininya sebagai
bagian dari ketentuan Allah atas kehidupan ini. Selebihnya, kita perlu introspeksi (muhasabah)
atas berbagai perilaku salah kita. Al-Qur'an surat at-Taubah ayat 51 mengingatkan:

)٥١:‫قُ ْل ل َّ ْن ي ُّ ِص ْيبَنَٓا ِااَّل َما َك َت َب اهّٰلل ُ لَنَاۚ ه َُو َم ْو ٰلىنَا َوعَىَل اهّٰلل ِ فَلْ َي َت َولَّك ِ الْ ُم ْؤ ِمنُ ْو َن (التوبة‬
Artinya, "Katakanlah (Muhammad), 'Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah
orang-orang yang beriman.”

Jamaah sidang khutbah Jumat hafidhakumullah,


Wabah bukanlah peristiwa yang sama sekali baru. Wabah memiliki sejarah panjang dengan
tingkat bahaya yang beragam. Peristiwa wabah penyakit juga terjadi pada zaman Nabi
Muhammad dan para sahabat. Artinya, jika kita kini merasakan penderitaan akibat pandemi,
sadarlah bahwa pengalaman serupa juga pernah dialami orang-orang paling saleh pada
zamannya. Wabah tha'un (penyakit sampar, pes, lepra) pernah menyerang masyarakat Arab
ketika itu dan menelan korban jiwa.
Lalu, apa yang dilakukan orang-orang mulia itu ketika wabah menimpa?
Sikap paling jelas dari Rasulullah saat menghadapi wabah adalah imbauan beliau kepada para
sahabatnya untuk menghindari daerah-daerah yang masuk zona penyakit.
Jamaah sidang khutbah Jumat hafidhakumullah,
Wabah bisa menimpa siapa saja, baik mukmin maupun bukan; orang-orang saleh maupun
para pendosa. Namun, masing-masing dari mereka bisa berbeda dalam menyikapi wabah dan
saat itulah mereka secara tidak langsung sedang ikut menentukan, apakah wabah ini menjadi
rahmat (kasih sayang) atau azab (siksa). Sebagaimana ujian sekolah, ia diciptakan agar siswa
semakin giat belajar dan bersiap menyongsong kenaikan kelas. Begitu juga dengan musibah, ia
diciptakan untuk menguji hamba untuk "naik kelas" sebagai mukmin sejati.
Kedua, tentang sikap yang dianjurkan Rasulullah dalam merespons wabah. Dalam hadits yang
disebut tadi, Rasulullah menyebut dua sikap positif, yakni (1) mengisolasi diri sementara dan (2)
sabar dalam kesadaran penuh bahwa Allah penentu segala sesuatu. Jika dua sikap ini diterapkan
maka ganjaran yang diperoleh setara dengan ganjaran orang mati syahid.
Jika dicermati, sikap pertama yang disarankan Rasulullah dalam hadits itu tak lain adalah
dorongan untuk senantiasa berikhtiar. Beliau secara terang-terangan menyuruh para sahabat
untuk menahan diri di daerah setempat, yang berarti pula melarang mereka memasuki zona
penularan penyakit.
Anjuran karantina diri saat wabah juga tercantum dalam hadits lain
Artinya: "Jika kalian mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri, janganlah kalian
memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah tha'un itu ada di negeri kalian, janganlah
keluar dari negeri kalian karena menghindar dari penyakit itu” (HR Muslim).
Yang menarik, aspek ikhtiar lahiriah ini disebut pertama kali oleh Nabi, baru kemudian
menekankan bahwa ikhtiar itu mesti dibersamai dengan sikap sabar dan berserah diri kepada
ketentuan Allah. Tentu tidak semua wabah membutuhkan karantina diri, sebagaimana tha'un
dan Covid-19. Tapi poin pokok dari hadits Nabi itu adalah adanya upaya aktif manusia untuk
menanggulangi penyakit, tidak semata pasif menunggu keajaiban datang sendiri meskipun
dibungkus dengan pengakuan tawakal atau semacamnya.
Ikhtiar untuk mencegah segala hal yang mudarat adalah bagian dari pelaksanaan syariat yang
wajib dilakukan seorang hamba. Manusia dibekali naluri mempertahankan diri dan akal untuk
kelangsungan hidupnya. Melakukan mitigasi bencana, mengarantina penularan virus, atau hidup
higienis adalah bagian dari cara mensyukuri anugerah tersebut. Dan yang mesti dicatat pula,
sebagaimana pesan Nabi, berbagai ikhtiar tersebut mesti beriringan dengan kesabaran dan
keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan siapa yang bakal terkena musibah.
Semoga Allah menancapkan keimanan pada diri kita semua sekuat-kuatnya, sembari
menjauhkan kita dari sikap sembrono, angkuh, dan meremehkan ujian-ujian yang datang dari-
Nya.

Anda mungkin juga menyukai