1
Oleh: Pan Mohamad Faiz 2
Salah satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan
Senin (19/5) lalu tampaknya kurang memperoleh perhatian luas.
Putusan kondisional seperti ini memang belum lazim digunakan dalam sistem
pengujian konstitusional di Indonesia. Namun dalam praktiknya sering
digunakan oleh MK Korea dengan merujuk pada jenis putusan MK Jerman yang
dikenal dengan istilah unvereinbar (West and Yoon, 1992).
Inkonsistensi Penafsiran
1
terangan dalam putusannya menyatakan secara tegas bahwa pilkada
merupakan bagian dari rezim pemilu yang sengketanya dapat ditangani oleh
MK. Pertanyaannya, dapatkah MK membuat putusan yang berbeda penafsiran
dengan perkara sejenis yang pernah diputus sebelumnya?
Oleh sebab itu, MK dapat saja menunggu hasil dari legislative review tersebut,
tanpa perlu mengeluarkan putusan yang hanya berdampak pada akselerasi
pembahasannya. Namun, kini putusan telah diketuk dan tinggal dijalankan.
Karena implementasi putusannya tidak diberi batas waktu tertentu, peralihan
kewenangan tersebut pun tetap saja masih harus menunggu selesainya undang-
undang yang baru. Satu hal yang perlu digarisbawahi, mengembalikan
kewenangan mengadili sengketa pilkada ke MA dan pengadilan tinggi bukanlah
satu-satunya jalan alternatif.
2
Apalagi di dalam putusan MK, pemerintah mengakui bahwa putusan sengketa
pilkada yang dihasilkan oleh pengadilan umum di banyak daerah telah
mengakibatkan polemik dan kontroversi, misalnya di Sulawesi Selatan, Maluku
Utara, dan Depok (vide hal 44). Belum lagi ditambah tingginya potensi terjadinya
konflik horizontal antarpendukung kandidat kepala daerah manakala sengketa
pilkada harus diselesaikan di wilayahnya masing-masing. Alternatif lain untuk
penyelesaian sengketa pilkada, yaitu dengan membentuk pengadilan khusus
pemilu yang terpisah.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu secara cermat dan hati-hati dalam
memutuskan sistem penyelesaian sengketa pilkada yang baru. Termasuk
membuka ruang yang seluas-luasnya untuk menerima dan mempertimbangkan
segala masukan yang disampaikan oleh unsur civil society, khususnya dari para
penggiat pemilu dan demokrasi. (*)
---
3
4