Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyandang disabilitas seringkali tidak direspon oleh masyarakat


dunia. Penyandang disabilitas perempuan atau laki-laki, menghadapi
hambatan sikap dan fisik dari masyarakat. Dibandingkan dengan orang-orang
pada umumnya, mereka mengalami tingkat pengangguran dan ketidakaktifan
ekonomi yang lebih tinggi dan berisiko lebih besar terhadap perlindungan
sosial dan kesehatan yang tidak memadai. Dalam hal ini, lebih dari satu miliar
orang atau sekitar 15% dari jumlah penduduk di dunia adalah peyandang
disabilitas. Mereka terbilang kelompok minoritas terbesar di dunia. Adapun
sekitar 82% dari peyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang
dan hidup di bawah garis kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan
akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Upaya
ILO untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam mencakup seluruh
spektrum kegiatannya, termasuk praktik internal dan kemitraannya dengan
badan-badan PBB lainnya (ILO, 2017).
Riskesdas (2018), data disabilitas provinsi di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu anak (umur 5-17 tahun), dewasa (umur
18-59 tahun) dan lanjut usia (umur ≥60 tahun). Masing-masing menggunakan
instrumen yang berbeda menyesuaikan kondisi dan kebutuhan data masing-
masing kelompok umur. Hasil yang didapatkan dari anak umur 5-17 tahun
sebesar 3,3% mengalami disabilitas. Provinsi dengan proporsi disabilitas anak
tertinggi adalah Sulawesi Tengah (7,0%), Kalimantan Utara, dan Gorontalo
(masing-masing 5,4%), sedangkan proporsi terendah di Provinsi Sulawesi
Barat, Lampung dan Jambi (masing-masing 1,4%) dan Provinsi Kepulauan
Riau (2,6%) urutan ke tujuh proporsi terendah dari 34 provinsi. Sedangkan
khusus Provinsi Kepulauan Riau Pada proporsi disabilitas tertinggi berada di
Natuna (38,69%), Lingga (25,04%), sedangkan proporsi terendah berada di
Kepulauan Anambas (10,36%), Bintan (4,20%) dan Tanjungpinang (21,36%)
urutan ke empat dari tujuh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kepulauan
Riau. Pada rekapan data siswa SLB Negeri 1 Tanjungpinang (2021),
didapatkan jumlah anak berkebutuhan khusus mencapai 191 siswa dengan
rincian 3 siswa Tunanetra, 44 siswa Tunarungu, 14 siswa Tunadaksa dan 122
siswa Tunagrahita salah satunya Retardasi Mental.
Ketergantungan dan keterbatasan akibat kelainan yang diderita anak
dengan Detardasi Mental, dapat dilakukan dengan pendidikan khusus.
Pendidikan yang diberikan yaitu pengetahuan dan keterampilan tentang
kegiatan kehidupan sehari-hari. Keberhasilan anak Retardasi Mental dalam
menjalankan tugas perkembangannya tidak lepas dari dukungan keluarga,
khususnya kedua orang tua. Orang tua dapat mengembangkan kemandirian
kepada anak sesuai dengan kemampuan anak tersebut (Efendi, 2017).
Anak dengan Detardasi Mental mengalami keterlambatan pada
perkembangan motorik dan kognitif. Hal tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan dalam melakukan aktivitas perawatan diri dan keterampilan
perawatan diri. Perawatan tersebut meliputi makan, menggunakan toilet,
memakai dan melepas baju, personal hygiene, dan keterampilan berhias. Oleh
karena itu, pengasuhan dari orang tua, keluarga, guru sekolah dan perawat
diharapkan dapat meningkatkan perkembangan motorik dan kognitif pada
anak dengan Retardasi Mental (Ramawati, 2018).
Pemberian Asuhan Keperawatan kepada keluarga berguna untuk
mencegah terjadinya gangguan atau dapat merawat anggota yang sakit. Hal
tersebut, dapat mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga dan individu dan
perilaku keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan keluarga.
Kesanggupan keluarga melaksanakan perawatan atau pemeliharaan
keseahatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan.
Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan dengan baik berarti
sanggup menyelesaikan masalah kesehatan keluarga. Jika perawatan
kesehatan anak dengan Retardasi Mental tidak terpenuhi maka, akan
menyebabkan kemunduran kognitif dan keterampilan atau penyakit yang lebih
parah (Harmoko, 2012).
Salah satu intervensi berdasarkan rencana asuhan keperawatan untuk
mengimplementasikan tindakan keperawatan yang meningkatkan,
mempertahankan, mengembalikan kesejahteraan, mencegah penyakit, dan
memfasilitasi rehabilitasi. Hal tersebut, dapat diberikan kepada anak dengan
retardasi mental salah satunya dengan terapi bermain, psikoedukasi keluarga
dan terapi okupasi berdasarkan hasil penelitian (Parendrawati, et al, (2015),
Wulandari, et al, (2018), Yuemi, C & Mundakir, (2015). Berdasarkan latar
belakang di atas, maka penulis tertarik dalam melakukan Asuhan Keperawatan
studi kasus dengan masalah defisit perawatan diri pada anggota keluarga
penderita Detardasi Mental.

1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimanakah Gambaran Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Pasien


Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri ?

1.3 Tujuan Studi Kasus

1.3.1 Tujuan Umum


Menggambarkan Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Pasien Detardasi
Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menggambarkan pengkajian keluarga Pada Pasien Detardasi


Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.
2. Menggambarkan diagnosa keperawatan keluarga Pada Pasien
Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.
3. Menggambarkan intervensi keperawatan keluarga Pada Pasien
Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.
4. Menggambarkan implementasi keperawatan keluarga Pada Pasien
Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.
5. Menggambarkan evaluasi keperawatan keluarga Pada Pasien
Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.
6. Menggambarkan dokumentasi keperawatan keluarga Pada Pasien
Detardasi Mental Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri.

1.4 Manfaat Studi Kasus

Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :

1.4.1 Masyarakat
Memberikan pengetahuan bagi masayarakat dalam meningkatkan
kemandirian keluarga dalam melakukan pengobatan dan pencegahan
terjadi Detardasi Mental.

1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan


Memberikan informasi dan sebagai tambahan ilmu dalam melakukan
asuhan keperawatan keluarga yang komprehensif dan optimal pada
keluarga penderita Detardasi Mental.

1.4.3 Penulis
Sebagai sarana pembelajaran serta menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam melakukan Asuhan Keperawatan.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan proposal studi kasus terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Studi Kasus, Manfaat
Studi Kasus dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Terdiri dari Tinjauan Kepustakaan dari berbagai sumber yang relevan dan
buku – buku yang berisi tentang konsep keluarga, konsep penyakit Detardasi
Mental, konsep Defisit Perawatan Diri dan konsep asuhan keperawatan
keluarga dengan Detardasi Mental.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Merupakan metode penelitian secara deskriptif yang terdiri dari rancangan
studi kasus, fokus studi kasus, definisi operasional, lokasi dan waktu
pelaksanaan studi kasus, waktu pengumpulan data, penyajian data dan etika
studi kasus.

BAB IV HASIL PENELITIAN


Terdiri dari gambaran wilayah kerja puskesmas Kota Tanjungpinang, asuhan
keperawatan dan hasil penelitian yang sudah dilakukan.

BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran dalam penulisan karya tulis ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai