Anda di halaman 1dari 3

KEBIJAKAN PROVINSI BINWAS KABUPATEN/KOTA BANGKA BELITUNG

KATA PENGANTAR
Ketidaksinkronan program pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari disorientasi
kebijakan desentralisasi yang telah dilaksanakan selama ini. Kekuasaan politik otonom dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah cenderung tidak sejalan dengan kemauan politik binwas
provinsi yang cenderung hampir secara eksklusif difasilitasi. Koordinasi pemerintah tidak
berjalan maksimal dan bahkan terkesan tidak berjalan tanpa adanya pedoman politik yang jelas
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTR) provinsi untuk proyek-proyek pembangunan
tertentu. . Dalam kasus Bangka Belitung, hal ini mengakibatkan konflik antara otoritas perizinan
pertambangan kabupaten/kota yang kuat, yang mengarah pada kebijakan pemilihan kepala
daerah dengan koordinasi pemerintah yang dipimpin oleh provinsi.
PEMBENTUKAN MASALAH
Keberadaan pemerintah provinsi merupakan jembatan penting dalam hubungan pusat-daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan selama implementasi UU
no. 32 tahun 2004, bahkan sejak berlakunya UU no. 22 tahun 1999 tentang tingkatan
pemerintahan, kekuasaan bupati/walikota di atas gubernur. Padahal, undang-undang tidak. 32
Tahun 2004 sangat ampuh dalam membangun pemerataan hubungan pusat-daerah dan
antardaerah. Hal ini terlihat pada konsep harmonisasi model pembagian kerja yang dianutnya,
khususnya istilah “harmonisasi hubungan” yang diartikan sebagai pengelolaan bagian-bagian
pekerjaan pemerintahan dengan pelaksanaan oleh berbagai tingkatan pemerintahan, saling
berhubungan (connected ), saling bergantung (interdependen) dan saling mendukung sebagai
satu kesatuan sistem cakupan. Kurangnya sinergitas, bahkan konflik antar golongan pemerintah
daerah diyakini menyebabkan belum optimalnya pengaturan urusan otonomi daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal, keberhasilan pemerintahan daerah sendiri
dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan
publik, peningkatan demokratisasi, dan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).
Kewenangan yang begitu besar dalam pengelolaan urusan otonomi daerah, membuat banyak
bupati atau walikota bertindak sebagai “raja kecil” yang tidak taat pada gubernur selaku wakil
pemerintah pusat di daerah. Sehingga, pemerintah menganggap kalau kondisi pembangkangan
kasus-kasus kabupaten/kota terhadap provinsi semakin meluas, maka substansi bentuk negara
kesatuan yang dianut Indonesia akan semakin hanya bersifat formalitas semata, dan sebaliknya
substansi unsurunsur yang mengarah pada bentuk negara federal justru memperoleh ruang lebih
besar. Beranjak dari relitas pemerintahan daerah semacam itu, maka masalah yang penting
diangkat dalam mengkonstruksikan bangunan politik daerah setelah diterapkan kebijakan
otonomi seluas-luasnya, adalah mengapa politik pembinaan dan pengawasan provinsi dijalankan
terhadap kabupaten/kota di wilayahnya selama ini cenderung masih lemah?
TUJUAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah antara lain adalah sebagai upaya identifikasi potensi
sinergi dan sebaliknya juga untuk telaah atas kasus-kasus kemungkinan terjadinya kerjasama dan
konflik hubungan provinsi dan kabupaten/kota. Di samping itu, menganalisis atas dampak yang
ditimbulkan dari lemahnya politik binwas yang terjadi dalam konstruksi hubungan provinsi
terhadap kabupaten/kota. Kegunaan kajian ini antara lain sebagai kontribusi bagi DPR dalam
memantau pelaksanaan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Khususnya pandangan
politik yang diterapkan gubernur binwas terhadap proses konsolidasi otonomi daerah.
METODE
Penelitian dilakukan di Pangkal Pinang yang merupakan ibu kota provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan interpretatif,
guna menangkap sifat mendasar dari hubungan antar tingkat pemerintahan daerah yang akan
diteliti. Di sisi lain, rumusan masalah yang terungkap dalam jawaban informan dan data yang
dikumpulkan dalam proses interpretatif dapat mengungkapkan pendapat subjektif atau sifat
seseorang. Namun di sisi lain, pengungkapan penjelas masalah seharusnya dapat melihat
pengalaman hidup dari subjek kajian dan berbagai perubahan atau stagnasi yang terjadi. Metode
analisis data dilakukan berdasarkan hasil informasi yang diperoleh saat wawancara mendalam
dengan informan kunci yang dianggap mampu menjawab pertanyaan yang muncul. dan di
tingkat daerah. Di tingkat pusat, wawancara mendalam dilakukan dengan pejabat Administrasi
Umum Administrasi Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan di daerah, data mining dilakukan
melalui FGD (focus group discussion) dengan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap
berkompeten untuk menjawab pertanyaan pemerintah daerah dan hubungan pusat dan daerah.
Selain itu, penelitian dilakukan dengan cara observasi, dengan segala keterbatasan penelitian ini,
termasuk waktu yang dihabiskan di lapangan.
KETENTUAN KEBIJAKAN DAN BATAS PELAYANAN MASYARAKAT
Di Provinsi Bangka Belitung, tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pusat di daerah
dianggap telah dilaksanakan dan ditafsirkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota mengacu pada
apa yang telah tertuang dalam acuan pemerintah provinsi. Dalam konteks ini, tingkat
pemerintahan ini berkonsultasi dalam proses pembuatan kebijakan. Namun, kami juga mencatat
bahwa dalam pelaksanaan kebijakan politik yang efektif untuk lingkungan / kota, kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah daerah masih memiliki batasan tidak hanya dari segi
fundamental tetapi juga dari segi kompetensi. 20 Pembatasan tersebut menimbulkan masalah
kontrol pelayanan publik di Babel yang masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
laporan masalah yang cenderung diabaikan atau diperpanjang oleh pemerintah daerah setempat.
Penyelesaian klaim pamong praja dinilai pada “jangka menengah”. Pengawasan DPRD belum
berperan dalam pelayanan publik. Demikian pula, Inspektorat juga lemah dalam menjalankan
peran pengawasannya. Rekrutmen pegawai negeri sipil disebut-sebut diwarnai dengan tuduhan
korupsi, kolusi, dan otokrasi (KKN) yang berdampak pada mendapatkan orang yang tepat di
tempat yang tepat. Selain itu, juga melibatkan tindak lanjut pengaduan dari masyarakat. Pemda
terkesan masih raguragu memberikan sanksi bagi aparat yang melanggar. Upaya mengatasi
hambatan pelaksanaan tugas ini perlu dilakukan mengingat pencapaian kinerja pemerintahan
semakin berat. Indikatorindikator pelayanan publik, seperti halnya penyediaan kotak saran,
sangat diperlukan dalam mendorong kerja keras aparat dan dukungan masyarakat. Pengawasan
provinsi dijalankan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun
2014 tentang pedoman pembuatan produk hukum daerah, sebagai perubahan dari Permendagri
No. 53 Tahun 2011 terhadap peraturan daerah yang sudah disahkan DPRD Kabupaten/Kota
bersama Bupati/Walikota ketika sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah, maka harus
diregistrasi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov). Pemprov Bangka Belitung memberikan nomor
registrasinya bagi Perda yang baru saja diundangkan tersebut dan setelah diregistrasi provinsi,
maka Perda kabupaten/kota itu barulah dianggap sah untuk diundangkan. Untuk peraturan daerah
yang baru diundangkan, pengendalian dilakukan dengan memberikan informasi untuk
memperjelas apakah terdapat pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, demi kepentingan umum dan asas kebenaran. Ketiga elemen ini dianggap penting untuk
dipantau provinsi. Jika ternyata bertentangan dengan tiga pertanyaan yang diklarifikasi,
pemerintah provinsi meminta pemerintah kota/kabupaten untuk mengubahnya. Tinjauan
kebijakan pemerintah daerah ini sangat membantu dalam mengklarifikasi.

Anda mungkin juga menyukai