Kiranya dapat dimaklumi bahwa saat ini sedikit buku yang ditulis dalam
bahasa Indonesia. Untuk sedikit membantu mahasiswa maupun para pengajar di
tingkat Strata Satu (S1) Jurusan Teknik Sipil maka penulis berusaha ikut memberi
iuran penulisan buku ini.
Buku "PENGANTAR REKAYASA LALU LINTAS" disusun pada tahun
pertama penulis diberi tugas untuk mengajar mata kuliah Rekayasa Lalu Lintas
Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Islam Riau, sehingga sudah barang tentu
jauh dari sempurna. Demikian pula, karena terbatasnya waktu penulisan maka
banyak kekurangan. Penulis telah berusaha agar buku ini sesuai dengan peraturan
tentang pedoman cara membuat buku ajar pada penataran di Cisarua Bogor Tahun
1998 untuk dosen Perguruan Tinggi / Swasta seluruh Indonesia bidang transportasi.
Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Istri tercinta,
Hj. DWI ARTATY, S.Pd, anak tersayang CYINTIA KUMALASARI, ST., M.
Pd yang telah membantu penulis dan mendorong agar bisa terlaksananya membuat
buku ini.
Mudah-mudahan buku ini dapat berguna dan kritik maupun saran perbaikan
dari pembaca sangat penulis harapkan.
i
DAFTAR ISI
ii
2.4 Perilaku Pengemudi dan Kecelakaan ................................................. 17
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pengemudi ................. 17
2.5.1. Pengaruh Dari Dalam........................................................... 18
2.5.2. Pengaruh Dari Luar .............................................................. 23
2.6. Karakteristik Pejalan Kaki ................................................................. 24
iii
4.1.12 Contoh Kasus ....................................................................... 57
iv
7.4. Konsep Dasar Penanganan Masalah parkir ..................................... 116
7.5. Satuan Ruang Parkir ........................................................................ 120
7.6. Desain Parkir Pada Badan Jalan ...................................................... 125
7.7. Survai Durasi Parkir ........................................................................ 144
7.8. Strategi Penanganan Masalah Parkir ............................................... 145
7.9. Manajemen Pengelolaan Parkir ....................................................... 146
v
BAB I
TEKNIK LALU LINTAS
1.1. Pengantar
Apa saja pendekatan yang dilakukan subjek teknik lalu lintas telah dikenal
banyak. Siapapun yang mengemudi, menumpang kendaraan, memakai bis atau
taksi, berjalan di jalan umum, telah dilindungi dengan mahal oleh sistem yang
terpusat pada profesi para sarjana teknik lalu lintas. Kemacetan dan kecelakaan
yang cenderung terus meningkat, telah menghamburkan sumber dana yang amat
tinggi. Demikian juga pencemaran udara akibat asap buangan yang dikeluarkan
oleh knalpot kendaraan bermotor, telah mengancam kehidupan manusia, terutama
di kota-kota besar atau metropolitan.
Bertambahnya kendaraan bermotor yang sangat tinggi, dan tidak diiringi
dengan bertambahnya panjang jalan untuk mengimbanginya, akan menimbulkan
masalah transportasi yang tidak efisien dan boros.
Dengan klarifikasi (menjelaskan) kebiasaan umum pada terminology di atas,
maka timbul pertanyaan yang mendasar : Apakah maksud Teknik Lalu Lintas
itu ?.
1
4. Operasi dan kontrol lalu lintas,
5. Keselamatan lalu lintas,
6. Perawatan fasilitas dan kontrol lalu lintas,
7. Manajemen fasilitas dan kontrol lalu lintas untuk mendapatkan gerakan
manusia atau barang yang aman, cepat dan nyaman, tepat, ekonomis, dan
lingkungan yang cocok.
Berdasarkan pada defenisi tersebut, maka tujuan dari Teknik Lalu lintas
adalah untuk memperoleh : Keamanan, Kenyamanan, dan Ekonomis dalam
transportasi orang atau barang.
2
dimunculkan tahun 1918. tahun 1931, The Institute of Traffic Engineers
dididrikan, dan mulai saat itu pekerjaan secara resmi ditetapkan.
Teknik jalan dan teknik lalu lintas mempunyai subjek yang paling berkaitan,
dan belakangan ini masing-masing ditetapkan menjadi cabang.
Sekarang di USA teknik lalulintas telah diakui sebagai cabang yang
spesialis.Sejumlah program graduate dan post graduate course dalam ilmu teknik
lalulintas ditawarkan. Di Eropa, sekarang ini teknik lalulintas merupakan suatu
cabang yang penting dan kebutuhan profesi di bidang ini meningkat dengan tajam.
Produksi otomotif di Jepang sekarang ini telah menguasai pasaran dunia dan
teknik lalu lintasnya berkembang amat pesat. Di Indonesia, teknik lalu lintas
mulai diperkenalkan pada permulaan tahun 1970-an, dengan perkembangan yang
cukup menggembirakan.
3
1.4.1 Melakukan Pengumpulan, Analisis dan Interpretasi Data Lalu Lintas
Salah satu fungsi sarjana teknik lalu lintas yang penting adalah mengatur
dan melaksanakan survei lalu lintas, serta studi untuk memperoleh data
karakteristik lalu lintas. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup :
1. Studi survei asal-tujuan (O-D surveys),
2. Hitungan volume lalu lintas (traffic volume counts),
3. Studi yang meliputi kecepatan, waktu perjalanan, dan ukuran ketertundaan
(delay measurements),
4. Studi statistik kecelakaan,
5. Studi karakteristik parkir,
6. Studi perilaku pejalan kaki (pedestrian behaviour), dan pemakaian jalan (use
of streets),
7. Studi kapasitas (capacity studies),
8. Studi mengenai kehilangan ekonomi karena kekurangan fasilitas lalu lintas
(economic loss caused by inferior traffic facilities).
Data yang diperoleh dari studi diatas, dianalisis dan diinterpretasi oleh
sarjana teknik lalu lintas, kemudian diobservasi keteraturannya lebih lanjut. Untuk
memilih solusi yang tepat dalam mengatasi problema tersebut.
4
1. Menentukan obyek yang harus dilayani,
2. Menentukan keuntungan yang akan didapat dan konsekuensi yang harus
ditanggung oleh masyarakat,
3. Menentukan kesepakatan yang akan dipakai untuk pemilihan alternatif,
4. Menentukan alternatif mana saja yang harus diutamakan,
5. Menentukan perimbangan antara batas pelayanan yang harus dicapai dengan
besarnya sumber yang dipakai,
6. Menentukan perimbangan antara derajat kelebihan hasil dan tingkatan sosial,
ekonomi, dan teknologi masyarakat.
5
1.4.5 Melakukan Pendekatan-Pendekatan Lalu Lintas
Membangun jalan raya beserta fasilitasnya, umumnya sering kurang atau
tidak sesuai dengan pertumbuhan volume lalu lintas yang cepat seperti sekarang
ini. Hal tersebut karena akibat kenaikan jumlah kendaraan yang sangat pesat,
sehingga sering terjadi tundaan (delays) dan kemacetan (congestion) di jalan
terutama di kota-kota besar. Selain itu jumlah kecelakaan di simpang jalan yang
sudah ada, baik di daerah perkotaan maupun di luar kota menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah kecelakaan di simpang yang telah dirancang dengan
perancangan modern. Dalam ini diusulkan cara pencegahannya dengan
menggunakan peraturan lalu lintas yang cukup.
Teknik lalu lintas akan menjawab tantangan atau masalah tundaan,
kemacetan dan kecelakaan lalu lintas melalui dua pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan konstruktif (construction approaches), yaitu mengatasi tantangan
dan masalah lalu lintas, melalui pembangunan (secara fisik) prasarana dan
sarana yang baru atau meningkatkan (secara fisik) prasarana dan sarana yang
sudah ada. Termasuk di dalamnya perencanaan dan perancangan geometrik
jalan baru yang meliputi transit, fasilitas parkir dan sebagainya, memperlebar
lajur, bahu jalan, serta memperbaiki alinyemen.
2. Pendekatan dengan pembatasan (restrictive approaches), yaitu mengatasi
tantangan dan masalah lalu lintas melalui pembatasan pemakian jalan yang
sudah ada, melakukan efisiensi dan pengaturan dengan memakai kontrol lalu
lintas, termasuk melakukan pembatasan kendaraan yang lewat,
mengoperasikan arus searah, arus pasang, membatasi kecepatan dan
sebagainya.
Analisis dan studi lalu lintas akan menghasilkan dasar untuk pendekatan
konstruktif dan pendekatan pembatasan secara bersama-sama.
6
1. Studi dan koleksi data. Aktifitas pertama dalam teknik lalu lintas yang selalu
untuk diketahui ; sebagai dokumen masalah, dan mengumpulkan informasi
untuk dilakukan suatu analisis yang tepat dan rancangan kerja.
2. Perancangan geometrik. Fasilitas harus dirancang sesuai dengan kriteria dan
standar yang pasti, dan rencana-rencana harus didokumentasikan serta
dilaksanakan.
3. Analisis kapasitas dan evaluasi. Operasi setiap fasilitas lalu lintas ditentukan
oleh interaksi diantara pengemudi dan kendaraannya dan antara pengemudi,
kendaraan dan jalan. Terdapat prosedur penentuan yang baik untuk
mengestimasi berapa kendaraan yang dapat ditampung pada tingkat kualitas
pengemudi yang bervariasi pada aliran lalu lintas, untuk kondisi yang spesifik.
Prosedur ini mungkin digunakan untuk membantu dalam perancangan
fasilitas, untuk maksud perencanaan, atau untuk evaluasi operasi yang sudah
ada.
4. Kontrol, operasi dan manajemen. Pengemudi diarahkan dan dikontrol oleh
rambu, marka jalan dan sinyal. Ada syarat ketentuan yang baik dalam
pemakaian, penempatan, dan bentuk fisik dari alat kontrol ini, yaitu adanya
keseragaman yang tepat dalam komunikasi dengan pengemudi. Perhatian
sarjana teknik lalu lintas tidak hanya ketepatan pemakaian alat kontrol saja,
akan tetapi juga meningkatkan operasi aliran lalu lintas.
Terlebih lagi, adanya tekanan manajemen dari sumber yang ada, terbatasnya
dana, ruang dan prioritas sosial untuk membangun fasilitas baru di sepanjang
Right Of Way (ROW).
7
Gambar 1.1 Hubungan tingkat perkembangan masyarakat dengan
transportasi
8
1.7. Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan Manajemen
Selama tahun 1970 sampai 1990, kebutuhan pelayanan teknik lalu lintas
dalam proyek-proyek perkembangan telah meningkat dengan kuat. Pada
umumnya setiap peningkatan proyek baru atau modifikasi fasilitas memerlukan
penilaian formal terhadap pengaruhnya. Sarjana lalu lintas sangat terlibat
langsung dengan dampak lalu lintas, yang sangat berkait erat dengan dampak
suara dan pencemaran udara.
Apabila dampak tersebut signifikan, pekerjaan biasanya meliputi bentuk
spesifikasi dan perancangan untuk mengurangi dampak, yang mempunyai
jangkauan :
1. Memperbaharui sinyal simpang,
2. Menambah jalur fasilitas yang ada,
3. Memasukkan fasilitas baru dalam perencanaan total.
Sejumlah alat-alat harus diaplikasikan untuk difokuskan pada evaluasi
operasi. “apa dan bila” sejumlah alternatif harus dipertimbangkan, dan
penggunaan rancangan yang mudah untuk mengurangi biaya efektif.
Perkembangan menyebabkan masyarakat sangat memperhatikan akan hal ini.
Selama tahun 1970-an beberapa masyarakat mengembangkan kebijakan
resmi atas tingkat lalu lintas yang sesuai, atau atas “kecepatan bertindak”, seperti :
1. Tak ada simpang jalan dalam masyarakat ini dioperasikan pada suatu rasio
volume – kapasitas (v/c) lebih dari 0,80.
2. Suatu proyek yang akan menyebabkan rasio v/c melebihi 0,80 harus diganti
dengan bentuk yang menjamin nilai 0,80 tidak dilampaui.
3. Suatu proyek yang menyebabkan rasio v/c menigkat 0,01 harus diganti dengan
bentuk yang menjamin nilai 0,01 tidak terjadi.
Kebijakan-kebijakan ini selalu merupakan suatu sikap mental masyarakat
terhadap “no-development”, memaksa penambahan persyaratan atas zoning serta
menambah tingkat biaya yang membuat proyek pasti dikerjakan.
Sebagai kelengkapan biaya atas perkembangan baru tersebut, telah menjadi
perhatian lebih besar, serta banyak masyarakat mengambil peraturan untuk
memperoleh biaya yang sebenarnya. Selain transportasi, ini meliputi estimasi
9
gorong-gorong, pipa air, pembersihan sampah, pemadam kebakaran, polisi,
sekolah dan pelayanan masyarakat yang lain.
Sarjana lalu lintas dapat menjamin persoalan pertumbuhan manajemen yang
sangat besar mempengaruhi keahlian mereka di kehidupan mendatang. Berkait
erat dengan persoalan keringanan finansial, faktor biaya dasar, dan alokasi biaya
yang pantas.
10
BAB II
KARAKTERISTIK PENGEMUDI DAN PEJALAN KAKI
11
Tabel 2.1 How sample of California Drivers Learned to Drive
Percent How Learned to Drive*
Age Group Number
1 2 3 4 5 6 7
Under 20 1,921 47.1 0.9 11.9 0.7 9.9 29.1 0.4
20 – 24 2,168 60.3 2.0 9.5 1.1 6.0 20.2 0.9
25 – 29 1,831 74.7 3.2 6.9 1.7 4.2 8.7 0.6
30 – 34 1,755 85.5 4.3 3.4 1.4 1.3 3.8 0.3
35 – 39 1,820 90.5 4.1 1.8 1.3 0.5 1.6 0.2
40 – 44 1,848 89.8 4.0 1.8 2.1 0.3 1.5 0.6
45 – 49 1,587 93.1 2.7 1.1 1.3 0.1 1.4 0.3
50 – 54 1,443 92.6 3.7 0.6 1.1 0.2 1.5 0.3
55 – 59 1,022 93.8 2.7 0.8 1.3 0.1 1.1 0.2
60 – 64 774 92.0 4.3 1.2 1.2 0.5 0.8 0.1
65 and up 1,304 91.8 4.2 1.9 1.7 0.1 0.5 0.2
All ages 17,473 80.5 3.2 4.3 1.4 2.5 7.7 0.4
*Keterangan : 1. Diajari oleh famili, teman atau “dibawa”
2. Mengupah pengajaran
3. Pendidikan pengemudi (di kelas dan di jalan)
4. No. 1 + No. 2
5. No. 1 + kursus pengemudi hanya di kelas
6. No. 1 + No. 3
7. Lain-lain dan tidak disebutkan
Sumber : Albert Burg. 1972. Characteristic of Drivers. New York. USA
2.1.2 Umur
Umur pengemudi akan menentukan daya dan waktu reaksi terhadap suatu
rangsangan yang diterima oleh pengemudi, sehingga berpengaruh terhadap
kecepatan reaksi dan tindakannya dalam mengatasi rangsangan tersebut.
Akibatnya, karakteristik lalu lintas sangat diperngaruhi oleh umur pengemudi.
Hasil penelitian pakar psikologi menunjukkan bahwa pengemudi yang
mempunyai umur lebih muda, akan mempunyai daya dan kecepatan reaksi yang
lebih tinggi, dibanding dengan pengemudi yang berumur lebih tua.
12
Dalam hal ini, yang lebih menonjol adalah bahwa sifat emosional wanita
pada umumnya lebih tinggi disbanding dengan pria. Akibatnya, karakteristik lalu
lintas juga dipengaruhi oleh jenis kelamin pengemudi.
Selain jumlah, umur dan jenis kelamin tersebut, perlu diketahui pula sifat-
sifat fisik dan psikologinya, yang berkaitan dengan perilaku ketika sedang
mengemudi. Kedua sifat ini memegang peran sangat penting dalam observasi
yang dilakukan pengemudi, yang berakibat mempengaruhi reaksi pengemudi.
Untuk melakukan observasi dibutuhkan adanya rangsangan dan setiap
rangsangan akan diolah diotak. Tingkat rangsangan yang diterima tidak selalu
sama, karena itu pengaruhnya terhadap sikap atau cara mengemudi juga berbeda-
beda.
Tabel 2.2 Menunjukkan hubungan perasaan dengan tingkat kepentingan
pengemudi.
13
2.2. Observasi Pengemudi
Beberapa observasi yang penting, yang berkaitan dengan sikap pengemudi
berkendaraan adalah (lihat tabel 2.2) :
2.2.1 Observasi Penglihatan (Visual Observation)
Observasi ini dilakukan untuk mengamati keadaan disekitar kendaraan,
muka, belakang dan di kedua sisinya. Sewaktu mengemudikan kendaraan,
observasi ini harus terus menerus dilakukan, terutama observasi yang dilakukan
didepan kendaraannya.
Kondisi sekitar seperti : keadaan cuaca hujan, berkabut, berasap akan
sangat membatasi kemampuan melihat ke depan dari pengemudi, dan
mempengaruhi observasi rangsangan yang diterimanya, khususnya oleh mata.
Kondisi malam hari, dengan tingkat penerangan yang kurang, jarak pandang yang
diobservasipun berkurang. Selain itu, karakteristik kendaraan dan
perlengkapannya dapat pula mempengaruhi pandangan pengemudi, serta
membatasi obyek-obyek yang diobservasi. Ukuran dan posisi mirror, tinted
windshield (warna kaca depan) dan door post (tempat pintu) juga mempengaruhi
pandangan. Observasi penglihatan mempunyai tingkat sangat penting (most
important) sewaktu menjalakan kendaraan, karena itu tak boleh ditinggalkan.
Pengalaman, latihan serta kondisi fisik pengemudi akan sangat membantu
pengemudi dalam mengobservasikan obyek ketika sedang mengemudi. Seorang
pengemudi yang miskin pengalaman dan latihan, mempunyai kecenderungan
untuk memusatkan perhatian hanya pada pandangan ke muka saja, tanpa
memperhatikan keadaan-keadaan di belakang atau di sampingnya.
Observasi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok :
1. Mendeteksi gerakan, posisi atau letak dan kondisi kendaraannya, yang
dilakukan setiap saat,
2. Mengarahkan langsung ke pusat-pusat perhatian di daerah sekelilingnya.
14
2.2.2 Observasi dengan Perasaan (Observasi by Feel)
Yang dimaksud dengan perasaan (feel) adalah kinesthetic and vestibular
senses, yang lebih dikendalikan oleh perasaan pada kebiasaan bawah sadar.
Observasi penting yang dilakukan adalah :
1. Mengobservasi : putaran roda kemudi, kekuatan, gerak serta perubahannya,
2. Mengobservasi gaya-gaya inertia dan perubahannya dalam 3 dimensi (ke
muka-belakang, ke kanan-kiri, ke atas-bawah),
3. Mengobservasi getaran, goyangan serta stabilitas kendaraan.
Dalam observasi ini, perasaan akan lebih berperan dan observasi akan
lebih meningkat atau sering dilakukan, seiringan dengan pengalaman pengemudi
yang lebih matang. Hal tersebut diatas mempunyai hubungan dengan rancangan
kendaraan yang nyaman dan aman, rancangan geometrik, dan gerakan-gerakan
dinamisnya.
15
2.3. Keputusan Pengemudi
Dalam menghadapi rangsangan yang diterima, pengemudi harus
menentukan sikap terhadap rangsangan tersebut. Untuk ini, ia harus membuat
suatu keputusan apa yang harus dilakukan untuk menanggapi rangsangan tersebut
yang dapat berupa reaksi atau tindakan. Keputusan ini sangat erat kaitannya
dengan keselamatan di perjalanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengemudi ditunjukan pada
tabel 2.3 dan merupakan faktor yang menentukan bagi keputusan pengemudi.
16
2.4. Perilaku Pengemudi dan Kecelakaan
Perilaku pengemudi yang tidak patut atau salah (improper) sewaktu
mengendarai kendaraan sangat berkaitan dengan kecelakaan yang dibuat. Tabel
2.3 memperlihatkan perilaku pengemudi yang salah yang akan menyebabkan
kecelakaan.
17
setiap individu dalam aliran lalu lintas merupakan faktor yang berulang-ulang dan
merupakan kenyataan yang pasti dari lalu lintas. Pengaruh ini dapat dibedakan
atas : pengaruh dari dalam dan pengaruh dari luar.
2.5.1 Pengaruh dari Dalam (Human Factors)
Tubuh manusia sebagai suatu sistem yang kompleks akan memperlihatkan
reaksi terhadap rangsangan yang dating dari luar. Aspek perilaku manusia
mempengaruhi lalu lintas dan ditetapkan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Yang bersifat fisiologis (fisik)
2. Yang bersifat psikologis (kejiwaan), yaitu sifat-sifat manusia, termasuk
didalamnya perception, intellection, emotion dan volition.
Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity)
Ketajaman penglihatan merupakan faktor yang sangat penting bagi
pengemudi karena akan memberikan pengaruh di semua aspek suatu
perancangan jalan beserta keselamatannya. Mata manusia merupakan alat
indera (sensory organ) yang memungkinkan seseorang dapat dan
mengevaluasi bentuk, ukuran dan warna suatu objek serta mengestimasi
jarak serta kecepatan suatu benda.
18
Pandangan peka (sensitive vision) adalah pandangan di luar daerah
pandangan tajam yang dibatasi sampai dengan 20 0 arah horizontal dan 130
arah vertikal. Obyek yang berada di daerah ini dapat dilihat cukup jelas
dengan tingkat kesalahan di akhir batas berkisar 10%.
Pandangan sekeliling (peripheral vision) adalah pandangan di luar
daerah pandangan tajam yang dibatasi sampai dengan 160 0 arah horizontal
dan 1150 arah vertikal. Objek yang berada di daerah ini terlihat kabur
makin kesamping semakin kabur sehingga tak dapat membedakan warna
dan detil obyek.
Sudut kerucut akan menjadi kecil dari sekitar 1100 pada kecepatan 30
km/j menjadi sekitar 400 pada kecepatan 100 km/jam.
Untuk mengenali objek diperlukan waktu, demikian juga untuk
memindahkan arah pandangan untuk mengenali objek secara lebih detil
juga memerlukan waktu, sedangkan kendaraan dalam keadaan berjalan.
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai waktu untuk melihat adalah
penting dan AASHO menetapkan bahwa waktu yang diperlukan untuk
menggerakan mata dari satu objek ke objek yang lain sekitar 0,15 – 0,33
detik, sedangkan untuk memusatkan pandangan pada satu obyek sekitar
0,1 – 0,3 detik.
Suatu juga penting untuk diketahui bahwa waktu penyesuaian yang
diperlukan oleh mata dari keadaan gelap ke keadaan terang sekitar 3 detik,
sedangkan waktu penyesuaian dari kesilauan kembali keadaan gelap,
membutuhkan waktu 6 detik atau lebih. Bertambahnya umur serta
pemakaian kacamata akan mengurangi kemampuan dalam mengatasi
kesulitan cahaya yang menyilaukan.
19
Pada umumnya, orang-orang yang lajut usia dengan pandangan mata yang
menurun, data merasakan lebih baik melalui pendengaran daripada
penglihatan.
Bagi pengemudi, ketajaman pendengaran ini tidak sepenting
ketajaman penglihatan, namun dapat pula membantu dalam mengambil
keputusan.
20
tingkat emosinya lebih menonjol disbanding dengan usia yang sudah
tua dan berjenis kelamin pria.
Volition or reaction (Kemauan atau Reaksi), adalah merupakan proses
yang terakhir, yaitu respon fisik yang dihasilkan dari keputusan yang
dibuat, atau reaksi untuk mengambil, seperti : menginjak pedal rem,
atau membanting stir ke kiri atau ke kanan.
Contoh PIEV adalah : pengemudi sedang mendekati suatu rambu
STOP. Pengemudi pertama kali melihat rambu tersebut (perception),
kemudian mengenalinya sebagai suatu rambu STOP (intelection),
kemudian memutuskan untuk STOP (emotion), dan akhirnya kaki
menginjak pedal rem (volition).
Waktu total yang diperlukan untuk serangkaian peristiwa tersebut
ditetapkan sebagai PIEV time (Waktu PIEV) atau perception-reaction time
(waktu tanggap-reaksi). Ini merupaka para meter kritis dalam berbagai
perhitungan dan analisis rancangan. Dalam contoh kasus diatas, waktu
tanggapan reaksi ditunjukan antara waktu pertama kali memperhatikan
rambu sampai menginjak pedal rem. Pada saat ini terjadi, kendaraan terus
bergerak pada kecepatan awalnya. Kendaraan akan menjalani jarak yang
cukup berarti (signifikan) saat rangkaian tanggapan-reaksi membutuhkan
tempat. Secara umum dapat ditentukan sebagai berikut :
dp = 1,468 v.t (ft) ............................................................... (2.1)
atau dp = 0,278 v.t (meter) ........................................................ (2.2)
Dengan dp = jarak tanggapan-reaksi (PIEV), (ft) atau (meter)
v = Kecepatan kendaraan, (mph) atau (kph)
t = Waktu tanggapan-reaksi (waktu PIEV), (sec), dan
1,468 = Faktor konversi dari mph ke fps atau
0,278 = Faktor konversi dari kph ke mps
21
- Kelelahan
- Kompeleksnya isyarat atau tugas
- Pelemahan fisik (cacat fisik)
- Kehadiran alkohol atau obat bius (morphin, ganja, dan lain-lain)
Faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dan gawat. Alkohol
dan obat bius adalah suatu faktor yang besar sekali proporsinya ada
kecelakaan fatal dan kecelakaan lainnya. Alasan untuk ini adalah cepatnya
kemerosotan waktu PIEV karena kehadiran zat ini. Pengemudi yang
mengalami mabuk berat sangat berbahaya. Pengemudi ada umumnya tidak
menaruh perhatian akan hal ini, dan waktu tanggapan-reaksi (PIEV) nya
dapat tiga kali atau lebih dari waktu normalnya. Dari persamaan (2.1)
terlihat hubungan liner terhadap peningkatan jarak PIEV. Oleh karena itu
sangat membahayakan dalam situasi yang membutuhkan kecepatan reaksi
penuh sesuai dengan waktu reaksi normal.
Besarnya PIEV sekitar 0,5 detik untuk rangsangan yang sangat
sederhana sampai sekitar 3 a 4 detik untuk rangsangan yang sulit atau
berat. Dari hasil penelitian, terdapat angka yang lebih rendah, yaitu sekitar
0,25 detik sampai 1,5 detik.
American Association of State Highway and Transportation Officials
(AASHTO) menganjurkan waktu PIEV 2,5 detik untuk keperluan
perancangan yang meliputi reaksi untuk berhenti atau reaksi pengereman.
Jarak pengereman dapat dihitung berdasarkan persamaan :
dr = v2 / [30 (f + g)] (ft) .......................................... (2.2)
atau : dr = v2 / [225 (f + g)] (meter) ................................... (2.3)
dengan : dr = jarak pengereman (meter)
v = kecepatan kendaraan (kph)
f = koefisien gesek normal antara ban dan permukan jalan
g = besarnya landai jalan (tanda (-) turun, tanda (+) naik)
30 = faktor konversi dari mph ke fps
255 = faktor konversi dari kph ke mps
Jarak untuk berhenti (stopping distance) = d
22
ds = dp + dr = 0,278 v . t + v2 / [255 (f + g)] (meter) ........ (2.3)
23
berjalan di lajur lalu lintas (karena faktor mental dan emosi) sangat
menggangu pengemudi dalam menjalankan kendaraannya,
6. Banyaknya para pedagang kaki lima yang menjajakan daganganmya
bersebelahan dengan lajur lalu lintas. Sangat menggangu serta sangat
mempengaruhi pengemudi terutama dalam mempertahankan kecepatannya.
24
BAB III
KARAKTERISTIK ARUS LALU LINTAS
3.1. Volume
Volume lalu lintas adalah jumlah kedaraan (atau mobil penumpang) yang
melalui suatu titik tiap satuan waktu. Manfaat data (informasi) volume adalah :
Nilai kepentingan relatif suatu rute
Fluktuasi dalam arus
Distribusi lalu lintas dalam sebuah sistem jalan
Kecendrungan pemakai jalan
Data volume dapat berupa volume :
a. Berdasarkan arah arus :
Dua arah
Satu arah
Arus lurus
Arus belok (kiri atau kanan)
b. Berdasarkan jenis kendaraan, seperti antara lain :
Mobil penumpang (sedan) atau kendaraan ringan
Truk besar
Truk kecil
Bus
Angkutan kota
Sepeda motor
25
Pada umumnya kendaraan pada suatu ruas jalan terdiri dari berbagai
komposisi kendaraan, sehingga volume lalu lintas menjadi lebih praktis jika
dinyatakan dalam jenis kendaraan standar, yaitu mobil penumpang sehingga
dikenal istilah satuan mobil penumpang (smp). Untuk mendapatkan volume dalam
smp, maka perlu faktor konversi dari berbagai macam kendaraan menjadi mobil
penumpang, yaitu faktor ekivalen mobil penumpang atau emp (ekivalen mobil
penumpang). Dalam MKJI (1997) edisi bahasa Inggris, smp menjadi pcu
(passenger car unit), sedangkan emp menjadi pce (passenger car equivalent). Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
c. Waktu pengamatan survei lalu lintas, seperti 15 menit, 1 jam, atau 1 jam hijau
(khusus pada persimpangan berlampu lalu lintas)
d. Volume jenuh merupakan volume yang hanya dikenal pada persimpangan
berlampu lalu lintas. Volume jenuh merupakan volume maksimum yang dapat
melewati garis stop, setelah kendaraan mengantri pada saat lampu merah,
kemudian bergerak ketika menerima lampu hijau.
26
Q
ADT x
X
Dengan :
Qx = Volume lalu lintas yang diamati selama lebih dari 1 hari dan
kurang dari 365 hari (atau 1 tahun)
X = Jumlah hari pengamatan
b. AADT (average annual daily traffic) atau dikenal juga sebagai LHRT (lalu
lintas harian rata-rata tahunan) yaitu total volume rata-rata harian (seperti
ADT), akan tetapi pengumpulan datanya harus > 365 hari (X > 365 hari).
Perhitungan AADT sama seperti perhitungan ADT.
c. AAWT (average annual weekday traffic) yaitu volume rata-rata harian selama
hari kerja berdasarkan pengumpulan data > 365 hari. Sehingga AAWT dapat
dihitung sebagai jumlah volume pengamatan selama hari kerja dibagi dengan
jumlah hari kerja selama pengumpulan data.
d. Maximum annual hourly volume adalah volume tiap jam yang terbesar untuk
satu tahun tertentu.
e. 30HV (30th highest annual hourly volume) atau disebut juga sebagai DHV
(design hourly volume), yaitu volume lalu lintas tiap jam yang dipakai sebagai
volume desain. Dalam setahun, besarnya volume ini akan dilampaui oleh 29
data.
f. Rate of flow atau flow rate adalah volume yang diperoleh dari pengamatan
yang lebih kecil dari satu jam, akan tetapi kemudian dikonversikan menjadi
volume 1 jam secara linier.
g. Peak hour factor (PHF) adalah perbandingan volume satu jam penuh dengan
puncak dari flow rate pada jam tersebut. Sehingga PHF dihitung seperti :
volume 1 jam
PHF
maximum flow rate
Misalkan data volume dicatat setiap 15 menit, yaitu masing-masing 250, 275,
300 dan 225 kendaraan, maka volume satu jam adalah 1050 kendaraan, dan
PHF-nya adalah 1050/(4*300) = 0,875.
27
3.2. Kecepatan
Kecepatan kendaraan merupakan besaran jarak tempuh tiap satuan waktu.
Kecepatan adalah laju perjalanan yang biasanya dinyatakan dalam satuan
kilometer per jam. Pada umumnya kecepatan kendaraan dapat dibedakan menjadi:
a. Kecepatan setempat (spot speed), yaitu kecepatan sesaat. Dapat dilakukan
dengan alat ukur dengan sistem radar, atau jika diukur dengan cara manual
dapat dihitung seperti berikut :
L
V1
t
Dengan :
V1 = spot speed dengan satuan sesuai dengan satuan dari L dan t
L = jarak tempuh kendaraan, yang pendek (< 100 m)
t = waktu tempuh kendaraan untuk melintas sejauh L
b. Kecepatan setempat rata-rata (average spot speed atau time mean speed =
TMS) yaitu rata-rata dari data kecepatan setempat pada tempat yang sama.
Sehingga jika pensurvei melakukan banyak pengukuran kecepatan setempat
ditempat yang sama, maka nilai rata-ratanya menjadi kecepatan setempat rata-
rata. Secara matematis kecepatan setempat rata-rata ini dapat dihitung sebagai
berikut :
n* L
V2
n
ti
i -1
Dengan :
V2 = average spot speed dengan satuan yang sesuai dengan satuan dari L dan t
L = jarak tempuh yang pendek (< 100 m)
n = jumlah pengamatan
ti = waktu tempuh dari kendaraan ke-1
c. Kecepatan ruang rata-rata (space mean speed = SMS) yaitu kecepatan rata-rata
ruang, yang biasanya diukur dengan cara fotografi. Jika selang waktu
pengamatan adalah t, dan waktu tempuh tiap kendaraan yang diamati adalah
Li, maka kecepatan ruang rata-rata dihitung sebagai berikut :
28
n
Lt
V3 i - 1
n* t
d. Kecepatan tempuh (travel speed atau journey speed) yaitu kecepatan yang
diukur dengan L yang panjang, dengan waktu tempuh termasuk waktu
kendaraan berhenti dan akibat terjadinya kelambatan, kecepatan tempuh
dihitung dengan rumus :
L
V4
t
Dengan defenisi yang sama seperti kecepatan setempat.
e. Kecepatan tempuh rata-rata (average travel speed atau average journey speed)
adalah nilai rata-rata dari kecepatan tempuh. Perhitungan dilakukan seperti
rumus untuk kecepatan setempat rata-rata.
f. Kecepatan gerak (running speed) adalah seperti kecepatan tempuh, akan tetapi
perhitungan waktu tempuhnya hanya selama kendaraan bergerak.
Perhitungannya dilakukan seperti perhitungan kecepatan tempuh.
g. Kecepatan rata-rata (average running speed) adalah nilai rata-rata dari banyak
data kecepatan gerak.
29
h. Modal speed yaitu nilai kecepatan yang paling sering dijumpai dari sejumlah
data kecepatan. Pengertian ini sama seperti dalam istilah statistik.
i. Media speed yaitu nilai kecepatan yang berada di tengah-tengah dari suatu seri
data kecepatan yang disusun dari paling kecil ke yang terbesar. Sehingga nilai
median speed ini akan dilampaui sebanyak 50% dari data sampel.
j. Kecepatan persentil ke-X adalah kecepatan yang lebih besar dari X% sampel
data. Sebagai contoh jika ada 100 kendaraan yang diamati, dan diambil
kecepatan persentil ke 90. misalnya kecepatan tersebut adalah 70 km/jam,
maka artinya 90% dari data kecepatan yang diamati lebih kecil dari 70
km/jam.
k. Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipakai dalam desain ruas jalan
atau geometrik jalan.
3.3. Kerapatan
Kerapatan adalah parameter ke tiga dari arus lalu lintas, dan didefinisikan
sebagai jumlah kendaraan yang menempati panjang ruas jalan tertentu atau lajur
yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah kendaraan per kilometer. Atau jumlah
kendaraan per kilometer perlajur (jika pada ruas jalan tersebut terdiri dari banyak
lajur). Jika panjang ruas yang diamati adalah L, dan terdapat N kendaraan, maka
kerapatan k, dapat dhitung sebagai berikut :
N
k
L
dengan satuan dari k harus sesuai dengan satuan dari N dan L.
kerapatan sukar diukur secara langsung (karena diperlukan titik ketinggian
tertentu yang dapat mengamati jumlah kendaraan dalam panjang ruas jalan
tertentu), sehingga besarnya ditentukan dari dua parameter sebelumnya, yaitu
kecepatan dan volume, yang mempunyai hubungan sebagai berikut :
volume
k
kecepatan - ruang - rata - rata
Sebagai contoh jika volume kendaraan = 1200 kendaraan/jam. Kecepatan
ruang rata-rata = 40 km/jam, maka kecepatannya adalah 30 kendaraan/jam.
30
Kerapatan menunjukkan kemudahan bagi kendaraan untuk bergerak, seperti
pindah lajur dan juga untuk memilih kecepatan yang diinginkan.
31
tinjauan pada suatu segmen atau ruas jalan, parameter yang dihasilkan adalah
makroskopik.
Jika tinjauan besarnya tiap waktu-antara tiap kendaraan, nilai rata-ratanya,
dan distribusinya merupakan tinjauan mikroskopik. Sedangkan besarnya besar
arus (flow rate) merupakan analisis makroskopik. Untuk parameter kecepatan,
kecepatan setempat dari suatu kendaraan merupakan tinjauan mikroskopik.
Sedangkan kecepatan dari sekelompok kendaraan pada suatu tempat, atau tinjauan
kecepatan pada suatu segmen tertentu merupakan tinjauan makroskopik. Untuk
parameter kerapatan, jarak antara dari dua kendaraan berurutan, merupakan
tinjauan mikroskopik. Sedangkan tinjauan kerapatan kendaraan sepanjang suatu
segmen ruas jalan merupakan tinjauan makroskopik.
32
Pada Gambar 3.1 tersebut terlihat bahwa hubungan volume dengan
kecepatan berbentuk parabola. Sehingga pada volume tertentu terdapat 2 macam
kecepatan (titik A dan titik B). Kecepatan untuk titik A lebih baik kondisi arus
lalu lintasnya karena kepadatan pada saat tersebut lebih kecil dari pada kecepatan
pada titik B.
Kecepatan tertinggi korelasi kecepatan dan volume, diberi nama kecepatan
bebas (free flow speed). Ketika volume meningkat, maka kecepatannya akan
menurun. Volumenya akan mencapai nilai puncak pada saat Vc. Kondisi ini
disebut sebagai kapasitas dari ruas jalan. Tingkat kenyamanan secara berangsur-
angsur juga menurun. Jika kecepatan lebih rendah dari Vc, maka arus lalu lintas
disebut sebagai forced flow.
Pada saat kecepatan menjadi sangat rendah, maka volume kendaraan akan
menjadi sangat rendah dan kerapatannya menjadi sangat tinggi, atau dikenal
sebagai kerapatan macet (januned density). Ini adalah kondisi arus yang paling
buruk.
33
k
V V f 1 -
kj
Dengan :
V = space mean speed (kecepatan rata-rata ruang)
Vf = space mean speed (kecepatan rata-rata) dalam kondisi lalu lintas bebas
memilih kecepatannya, atau free flow speed. Sering juga diasumsikan
pada saat kerapatannya kecil atau nol
k = kerapatan
kj = kerapatan pada saat macet (jam)
Dengan menggunakan asumsi hubungan volume, kecepatan dan kerapatan,
maka volume dapat dinyatakan dalam Sf dan kj seperti berikut :
k
Q k * V f 1 -
kj
dari persamaan diatas, volume merupakan fungsi kuadrat dari kerapatan. Sehingga
akan terdapat nilai volume maksimum pada nilai kerapatan tertentu. Ini dapat
dQ
diperoleh dari = 0 (mengingat nilai volume tidak pernah negatif, maka titik
dk
tersebut pasti maksimum). Sehingga diperoleh :
k
V f - 2* V j 0
kj
34
Contoh :
Data kecepatan dan kepadatan yang sesuai dengan Model Greenshield, diberikan
pada tabel 3.3 (kolom 1 dan 2) untuk menunjukkan pengunaan metoda analisis
regresi dalam data kecepatan dan kepadatan yang sesuai pada model-model secara
makro yang telah didiskusikan sebelumnya.
Y = 28,1 X = 63.71
35
Y 404,8
i X i 892 Y 28,91
X i Yi 20.619,8 Y i
2
66.628 x 63,71
36
kj
V Vc ln ; dan Q = k * V, maka
k
V
Q k j *V * e Vc
volume maksimum akan terjadi pada saat nilai kecepatannya k c, yaitu pada saat
dQ
= 0, sehingga diperoleh :
dk
kj
kc
e
Sehingga volume maksimum, Vc, terjadi pada saat :
k j * Vc
Qc
e
Contoh :
Data kecepatan dan kepadatan yang sesuai dengan Model Greenberg diberikan
pada Tabel 3.4 berikut :
37
Data tersebut juga dapat disesuaikan ke dalam Model Greenberg seperti yang
diperlihatkan pada rumus :
kj
u s c . In
k
Dengan membandingkan rumus diatas dengan estimasi fungsi regresi pada rumus
Y = a + bx, dapat dilihat bahwa kecepatan u dalam pernyataan Greenberg
diwakili oleh Y dalam estimasi fungsi regresi, c In k diwakili oleh a, c diwakili
oleh –b, dan In k diwakili oleh x.
Tabel 3.4 menunjukkan nilai-nilai untuk xi, xiyi, dan xi2
38
Gambar 3.2 Kurva Kecepatan – Kepadatan
39
k
-
kc
V Vf * e
Atau
k
ln (V) = ln (Vf) -
kc
Sehingga hubungan volume dan kerapatan serta volume kecepatan adalah sebagai
berikut :
k
-
kc
Q k*Vf * e
Vf
Q V * kc * ln
V
Pada saat volumenya maksimum, Qc, maka kerapatannya adalah kc dan
kecepatannya adalah Vc. Nilai Vc adalah :
Qf
Qc
e
Sehingga volume maksimumnya adalah :
kc * V f
Qc
e
40
Dengan menggunakan data Vf dan kj ini untuk model-model lain, dan
dengan asumsi Vc model Greenberg = Vc model Greenshields, serta kc model
Underwood = kc model Greenshields, maka dapat dibuat hubungan V – k, Q – k,
dan V – Q dari model-model diatas (Gambar 3.2, 3.3 dan 3.4).
41
Gambar 3.6 Hubungan Volume dengan Kecepatan menurut berbagai Model
42
Tingkat pelayanan ini dibedakan menjadi 6 kelas, yaitu dari A untuk tingkat
yang paling baik sampai dengan tingkat F untuk kondisi yang paling buruk.
Defenisi tingkat pelayanan untuk masing-masing kelas untuk jalan bebas
hambatan (freeways) adalah sebagai berikut :
a. Free flow, pengemudi dalam menentukan (memilih) kecepatan dan
bergeraknya tidak tergantung (atau ditentukan) kendaraan lain dalam arus.
Pada saat kerapatan lalu lintasnya maksimum, jarak antara kendaraan rata-rata
adalah 159 m (528 ft), sehingga pengemudi dapat mengendarai kendaraannya
dengan nyaman. Ini merupakan tingkat pelayanan terbaik.
b. Stabel flow, pengemudi mulai merasakan pengaruh kehadiran kendaraan lain,
sehingga kebebasan dalam menentukan kecepatan dan pergerakannya sedikit
berkurang. Jarak antara kendaraan rata-ratanya adalah 99 m (300 ft). Tingkat
kenyamanan sedikit berkurang dibandingkan dengan tingkat pelayanan A.
c. STabel flow, pengemudi sangat merasakan pengaruh keberadaan kendaraan
lain. Sehingga pemilihan kecepatan dan pergerakkannya dipengaruhi oleh
keberadaan kendaraan lain. Jarak antara kendaraan rata-rata minimal sebesar
66m (220 ft). Tingkat kenyamanan sangat berkurang.
d. STabel flow, dengan kerapatan lalu lintas yang tinggi, kecepatan dan
pergerakkan sangat dibatasi oleh keberadaan kendaraan lain. Jarak kendaraan
rata-ratanya adalah 49,5 m (165 ft). Tingkat kenyamanan sangat buruk.
e. UnsTabel flow, yaitu keadaan mendekati atau pada kapasitas jalan.
Penambahan kendaraan dapat menyebabkan kemacetan. Kecepatan arus lalu
lintas rendah, dengan kecepatan yang relatif uniform. Kebebasan bergerak
tidak ada, kecuali memaksa kendaraan lain untuk tidak bergerak atau pejalan
kaki memberikan kesempatan berjalan pada kendaraan. Jarak antara kendaraan
rata-ratanya adalah 33 m (110 ft). Tingkat kenyamanan sangat buruk, sehingga
pengemudi kendaraan pada tingkat pelayanan ini sering tegang atau stress.
f. Forced flow, yaitu keadaan sangat tidak stabil. Pada keadaan ini terjadi antrian
kendaraan, karena kendaraan yang keluar lebih sedikit dari pada kendaraan
yang masuk ke suatu ruas jalan. Terjadi stop-and-go waves, yaitu kendaraan
bergerak beberapa puluh meter harus berhenti, dan ini terjadi berulang-ulang.
43
Jika tingkat pelayanan ini ingin di korelasikan dengan parameter terukur,
seperti kerapatan atau kapasitas jalan, hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel
3.6.
Tabel 3.6 Penggolongan Tingkat Pelayanan Untuk Ruas Utama Jalan Bebas
Hambatan
Kerapatan Maks Kecepatan Min Max Flow Rate
LOS v/c Maks
(smp/mil/lajur) (mil/jam) (smp/jam/lajur)
Kecepatan Arus Bebas (free flow speed) 70 mil/jam
A 10 70 700 0,318/0,304
B 16 70 1.120 0,509/0,487
C 24 68,5 1.644 0,747/0,715
D 32 63 2.015 0,916/0,876
E 36,7/39,7 60/58 2.200/2.300 1,000
F variasi variasi variasi variasi
Kecepatan Arus Bebas (free flow speed) 65 mil/jam
A 10 65 650
B 16 65 1.040
C 24 64,5 1.548
D 32 61 1.952
E 39,3/43,4 56,/53 2.200/2.300
F Variasi Variasi variasi
Catatan : Kolom dengan dua angka, angka pertama untuk 4/2D, angka keduanya
untuk 6/2D atau 8/2D
Sumber : HCM (1994)
44
Tipe alinyemen, seperti medan datar, berbukit, atau pegunungan, dan
Volume jalan.
Untuk ilustrasi, dapat dilihat pada tabel 3.7 untuk besarnya ekivalen mobil
penumpang untuk jalan 2/2 UD. Setelah volume dihitung dengan menggunakan
emp yang sesuai, maka berdasarkan defenisi derajat kejenuhan, DS dihitung
sebagai berikut :
Q
DS
C
Dengan :
Q = volume lalu lintas dengan satuan smp
C = kapasitas jalan
Tabel 3.7 Faktor emp untuk Jalan Dua Lajur Dua Arah Tidak Terpisah
emp
Tipe Volume
Lebar Jalur (m)
Alinyemen (kend/jam) MHV LB LT
< 6,0 6 – 8 >8
0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
Datar
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
> 1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3
650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
Bukit
1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
> 1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
Gunung
900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
> 1350 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3
Catatan :
LV = mobil penumpang, mini bus, pickup, jeep
MHV = medium heavy vehicle = bus kecilm truk dua gandar (tandem)
LB = large bus
LT = large truck = truck tiga gandar atau truck gandeng
Sumber : MKJI (1997)
45
3.9. Derajat Iringan (DB)
Dalam MKJI, derajat iringan adalah perbandingan volume (nilai arus) lalu
lintas yang bergerak dalam peleton terhadap volume total. Sedangkan peleton
didefinisikan sebagai suatu rangkaian kendaraan yang bergerak beriringan dengan
waktu antara (headway) < 5 detik. Headway adalah selang waktu kedatangan
kendaraan yang satu dengan kendaraan berikut dibelakangnya. Dalam analisis
peleton ini, sepeda motor tidak dianggap sebagai bagian dari peleton, dan satuan
yang digunakan adalah satuan kendaraan (bukan smp).
46
lintas pada segmen itu tergolong uninterrupted flow, tanpa menunjukkan kualitas
arus pada segmen tersebut pasti lancar.
47
BAB IV
KAJIAN RUAS JALAN
48
- Mempunyai kareteristik yang hampir sama sepanjang jalan
49
Frekuensi tiap kejadian hambatan samping dicacah dalam rentang 100
meter ke kiri dan kanan potongan melintang yang diamati kapasitasnya lalu
dikalikan dengan bobot masing-masing, frekuensi jejadian terbobot menentukan
kelas hambatan samping:
- <100 (kelas : antararendah/VL, daerah pemukiman)
- 100-299 (kelas:Rendah/L, daerah pemukiman dengan beberapa kendaraan
umiun)
- 300-499 (kelas : sedang/M, daerah industri, dengan beberapa took
disisijalan)
- 500-899 (kelas : tinggi/H, daerah komersial, aktivitas sisi jalan
tinggi)
- >900 (kelas : amat tinggi/ VH, daerah komersial dengan aktivitas
pasar)
50
4.1.6. Volume dan Komposisi Lalu Lintas
Berdasarkan tingkat analisanya (lihat 4.1.5.) ketersediaan data lalu lintas
dapat dibagi menjadi dua bagian :
- Hanya tersedia data LHRT, pemisah arah (SP) dan komposisi lalu lintas :
Volume jam perencanaan dihitung dengan QDH = k x LHRT x SP/100.
selanjutnya untuk mengetahui jumlah tiap jenis kendaraan Q DH dikalikan
dengan persentase tiap jenis kendaraan. MKJI 1997, menyarankan komposisi
lalu lintas yang berbeda-beda berdasarkan ukuran kota.
- Data yang tersedia adalah arus lalu lintas per jenis per arah.
4.1.7. Kapasitas
Kapasitas ruas didefenisikan sebagai arus lalu lintas maksimum yang
dapat melintas dengan stabil pada suatu potongan melintang jalan pada keadaan
(geometrik, pemisah arah, komposisi lalu lintas, lingkungan) tertentu. Untuk jalan
dua lajur dua-arah kapasitas ditentukan untuk arus dua-arah (kombinasi dua arah),
tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapsitas
ditentukan per lajur. MKJI 1997 menetapkan kapasitas berdasarkan ramus 4.1.
51
FCw = Faktor penyesuai lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuai pemisah arah
FCsf = Faktor penyesuai hambatan samping dan lebar bahu/jarakkereb
penghalang
FCcs = `Faktor penyesuai ukuran roda
Menurut MKJI 1997, faktor penyesuai lebar jalan akan nilai 1,00 untuk
lebar lajur standar (3,5 m) atau lebar jalur standar (7 m) untuk jalan dua-lajur dua-
arah. Lebar lajur yang kurang dari 3,5 m akan berakibat pada berkurangnya
kapasitas (FCw< 1), sedangkan lebar lajur yang lebih dari 3,5 m akan berakibat
pada bertambahnya kapasitas (FCw> 1). Besar kecilnya pengurangan kapasitas
tersebut selain tergantung pada selisihnya dengan labar lajur standar, juga
tergantung pada jenis jalan. Sebagai contoh untuk jalan dua-lajur dua-arah terbagi,
besarnya FCw adalah sebagai berikut:
Faktor penyesuai pemisahan arah hanya untuk jalan tak terbagi. Secara
umum reduksi kapasitas akan meningkat bila pemisahan arah makin menjauh dari
50%-50%. Pada jalan empat-lajur reduksi kapasitas lebih kecil dari pada jalan
dua-arah untuk pemisahan arah yang sama.
52
Tabel 4.2. Faktor Penyesuai Pemisahan Arah FCsp Jalan Perkotaan
Pemisahan Arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
Dua-lajur 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
FCsp
Empat-lajur 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
53
ukuran kualitatif yang menerangkan kondisi operasional dalam arus lalu lintas dan
penilaiannya oleh pemakai jalan (pada umumnya dinyatakan dalam kecepatan,
waktu tempuh, kebebasan bergerak, interupsi lalu lintas, kenyamanan dan
keselamatan). Karena berkaitan dengan persepsi pemakai jalan, MKJI 1997, tidak
menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan di Amerika SerikatPersepsi
mengenai kenyamanan bagi masyarakat Sumatera Utara misalnya, belum tentu
sama dengan masyarakat Yogyakarta. Sebagai gantinya MKJI 1997 menggunakan
beberapa ukuran kinerja sebagai berikut:
- Derajat Kejenuhan (Q/C)
- Kecepatan Arus Bebas (FV)
- Kecepatan Ruang Rata-rata (V, pada literature international biasa digunakan
Us)
54
FV = (FVo + FVw)xFFVsfxFFVcs .............................................................. (4.3)
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan
(km/jam)
FVo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyemen
yang diamati (km/jam)
FVw = Penyesuai kecepatan akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam)
FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu/jarak kereb ke
Penghalang
FFVcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
Kecepatan arus bebas dasar ditentukan berdasarkan jenis jalan dan jenis
kendaraan. Secara umum kendaraan ringan memiliki kecepatan arus bebas lebih
tinggi dari pada kendaraan berat dan sepeda motor. Jalan terbagi memiliki arus
bebas lebih tinggi dari pada jalan tidak terbagi. Bertambahnya jumlah lajur sedikit
menaikan kecepatan arus bebas. Sebagai contoh Tabel 4.5. menyajikan nilai
kecepatan arus bebas yang disarankan MKJI1997 untuk kendaraan ringan.
Tabel 4.5 Kecepatan Arus Bebas (FVo) untuk Kendaraan Ringan di Jalan
Perkotaan
Jenis jalan FVo (Km/Jam)
Enam-lajur terbagi (6/2 D) atau tiga-lajur satu-arah (3/1) 61
Eampat-Iajur terbagi (4/2 D) atau dua-lajur satu-arah (2/1) 57
Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD) 53
Dua-lajur tak terbagi (2/2 UD) 44
55
Tabel 4.6 Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Lajur Lalu Lintas FVW di
Jalan Perkotaan
W(m) 5 6 7 8 9 10 11
FVw (Km/Jam) -9,5 -3,0 0,0 3,0 4,0 6,0 7,0
56
Gambar 4.1 Kecepatan Kendaraan Ringan sebagai Fungsi Q/C pada jalan
2/2 UD
Arus yang melintas pada ruas tersebut saat ini pada tiap arah masing-
masing 387 smp/ jam / dan 166 smp / jam.
Pertanyaan :
a. Hitung kapasitas ruas jalan tersebut (smp / jam)!
b. Hitung ukuran-ukuran kinerja ruas tersebut!
Jawab :
Q = 387 + 166 = 533 smp /jam
387/Q x 100% = 387/533 * 100% = 70%
57
SP : 70% -30%
Frekuensi terbobot kejadian hambatan samping = 2.50 x 0,5 + 200x , 0 + 150 x0,7
+ 250 x 0,4 = 510 (kelas hambatan samping : H)
Co = 2900 smp/jam (untuk 2/2 UD)
FCW = 0,87 (untuk Ws = 6m pada 2/2 UD,Tabel 4.1)
FCSp = 0,86 (untuk SP 70% - 30% pada2/2 UD, Tabel 4.2)
FCsf = 0,79 (untuk Ws = 1 m, kelas hambatan sampingH pada 2/2 UD,
Tabel 4.3)
FCcs = 0,94 (untuk jalan 2/2 UD pada kota berpenduduk 0,5 – ljuta
jiwa,Tabel 4.4)
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs (rumus4.1)
= 2900 x 0,87 x 0,88 x 0,86 x 0,94
= 1795 smp/jam
DS = Q/C (ramus 4.22) = 553 /1795 = 0,30
FV0 = 44 Km/jam (untuk kendaraan ringan pada 2/2 UD, Tabel 4.5)
FVW = -3 Km/jam (untuk kendaraan ringan pada 2/2 UD, Ws = 6m, Tabel
4.6)
FFVsf = 0,86 (untuk Ws = lm, kelas hambatan samping H pada 2/2 UD,
Tabel 4.7)
FFVcs = 0,95 (untuk jalan 2/2 UD pada kota berpenduduk 0,5 - 1 juta
jiwa,Tabel 4.8)
FV = (FV0 + FVW) x FFVsfxFFVCS (ramus 4.3)
= (44 - 3) x 0,86 x 0,95 = 33,5 km/jam
VLV = 26,4 km/jam (untuk DS = 0,31 dan FV = 33,4 km/jam
58
BAB V
SIMPANG BERSINYAL
5.1. Pendahuluan
Sebelum dikenal adanya lampu lalulintas, maka pada simpang-simpang
yang sangat sibuk, ditugaskan polisi lalulintas untuk mengatur aras lalu lintas.
Kemudian muncul idepertama kali padatahun 1918 di New York untuk
menggunakan lampu pengatur lalu lintas dengan warna merah – kuning-hijau.
Persoalan kemudian muncul, karena lampu lalulintas terayata tidak dapat
mengatur lalulintas sebaik seorang polisi lalu lintas. Pada pengaturan dengan
lampu lalu lintas, maka periode lampu lalulintas tetap, tidak dapat menyesuaikan
dengan keadaan yang ada (kecuali kalau ada polisi yang berjaga di dekatnya).
Oleh karena itu, dikembangkan lampu lalulintas yang dapat menyesuaikan dengan
arus lalulintas yang lewat.
Persoalan berikutnya muncul, yaitu kalau lampu lalulintas dipasang
berjajar pada suatu jalan yang sangat panjang. Para pengemudi mengeluh karena
harus berhenti berkali-kali pada setiap lampu lalulintas. Masalah ini kemudian
diatasi dengan koordinasi antar lampu lalulintas.
59
Hubungan antara waktu tunggu dengan arus lalulintas (jumlah arus
lalulintas dari seluruh lengan simpang) adalah sebagai berikut.
60
tersebut mulai hijau lagi.
2. Fase : suatu rangkaian dari kondisi yang diberlakukan untuk suatu aras atau
beberapa aras. yang mendapatkan identifikasi lampu lalulintas yang sama.
Contoh :
a) Suatu perempatan dengan 2 fase
61
a) Suatu perempatan dengan 3 fase
62
tergantung pada kecepatan minimum kendaraan paling lambat guna melintasi
persimpangan tersebut. Contoh :
63
memperlambat kecepatannya agar dapatberhenti tepat pada garis henti
persimpangan. Waktu kuning ini umumnya diambil 3 detik.
Selain itu, ada juga persimpangan yang menggunakan lampu kuning
sebelumlampu hijau. Lampu kuning dimaksudkan agar kendaraan dapat bersiap-
siap untuk bergerak pada saat lampu menunjukkan warna hijau. Berbeda dengan
lampu kuning sesudah lampu hijau, maka pada lampu kuning ini, kendaraan
masih dilarang melintasi persimpangan.
Contoh pengaturan waktu antar hijau dan lampu hijau, kuning, merah :
So = 600 x We
Dengan:
So = arus lalulintas jenuh dasar (smp/jam)
We = lebar jalan (meter)
64
Dari beberapa penelitian di beberapa kota di Indonesia dari Widodo (
1997) dan Munawar dkk (2003), nilai arus jenuh yang ada di lapangan ternyata
lebih besar dari nilai tersebut. yaitu sekitar 1,3 kali, sehingga rumus empiris dari
MKJI 1997 tersebut dianjurkan untuk dikoreksi menjadi:
So= 780 x We
Arus lalulintas jenuh dasar tersebut, kemudian masih harus dikoreksi lagi
dengan:
a. Ukuran kota tersebut (mempengaruhi fluktuasi arus lalulintas), atau CS (city
Size) dalam jutaan penduduk.
b. Hambatan samping. atau SF (Side Friction).
c. Kelandaian, atau G (Gradient) dalam persen (%)
d. Parkir atau P (Purking) yaitu jarak garis henti - kendaraan parkir pertama.
e. Gerakan membelok kanan/kiri, atau RT (Right Turn) dan LT (Left Turn).
Oleh karena itu, waktu hijau yang ada masih perlu dikoreksi. Besar waktu
hijau efektif adalah :
Waktu hijau efektif = waktu hijau + koreksi (a) - koreksi (b) - koreksi (c)
Koreksi (a) = waktu tambahan, karena pada saat lampu kuning, kendaraan
masih melewati garis slop. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
65
1997, koreksi (a) dianggap sama dengan koreksi (b) + koreksi (c), sehingga waktu
hijau efektif sama dengan waktu hijau sebenarnya.
Koreksi (b) dan (c) disebut waktu hilang, (losttime), umumnya ditentukan
masing-masing sebesar 1 detik.
Copt =
IFR =
Gambar 5.4 Hubungan antara Waktu Tunggu Rata-rata dan Cycle Time
66
5.9. Analisis Simpang Bersinyal Dengan MKJI1997 1.
1. Data Masukan
a. Kondisi geometri dan lingkungan
Kondisi geometri digambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang
memberikan informasi lebar jalan. Lebar bahu dan lebar median serta petunjuk
arah untuk tiap lengan simpang. Lebar approachuntuk tiap lengan diukur
kurang lebih sepuluh meter dari garis henti.
Kondisi lingkungan jalan antara lain menggambarkan tipe lingkungan
jalan yang dibagi dalam tida tipe yaitu : tipe komersial, pemukiman dan akses
terbatas. Seperti juga diterangkan pada sub bab simpang tak bersinyal tentang
definisi gangguan samping, median dan kelandaian lengan simpang.
b. Kondisi arus lalu lintas
Data lalulintas dibagi dalam tipe kendaraan yaitu kendaraan tidak
bermotor (UM) sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV) dan kendaraan
berat (HV). Dalam MKJI 1997, kendaraan bermotor dikategorikan sebagai
hambatansamping. Arus lalulintas tiap approach dibagi dalam tiap pergerakan,
antara lain: gerakan belok ke kanan, belok kiri dan lurus. Gerakan belok kiri
pada saat lampu merah (left turn on red LTOR) diijinkan jika mempunyai
lebar approach yang cukup sehingga dapat melintasi antrian pada kendaraan
yang, lurus dan belok kanan.
Setiap approach harus dihitung perbandingan belok kiri (PIT) dan
perbandingan kanan (PRT) yang diformulasikan dibawah ini:
pLT =
pRT =
Dengan :
LT = arus lalulintas belok kiri
RT = arus lalulintas belok kanan
67
Untuk penghitungan arus lalulintas digunakan satuan smp/jam yang dibagi
dalam dua tipe yaitu arus terlindung(protected traffic flow) dan arus
berlawanan arah (opposed traffic flow), yang tergantung pada fase sinyal dan
gerakan belok kanan. Nilai konversi diterangkan dalam tabel di berikut ini.
Tabel 5.1 Nilai Konversi ini diterangkan dalam tabel di berikut ini.
2. Persinyalan
a. Fase Sinyal
Untuk merencanakan fase sinyal dilakukan dengan berbagai altematif
untuk evaluasi. Sebagai langkah awal ditentukan kontrol dengan dua fase.
Jumlah fase yang baik adalah fase yang menghasilkan kapasitas besar dan
rata-rata tundaan rendah. Pemisahan dengan kontrol pada gerakan belok
kanan biasanya akan lebih baik jika kapasitasnya melebihi 200 smp/jam. Hal
ini mungkin dikehendaki jika keselamatan lalulintas menjadi pertimbangan.
Keadaan ini akan menambah jumlah fase dan waktu antar hijau (intergreen)
berakibat bertambahnya waktu siklus dan waktu hilang. Walaupun dari segi
keselamatan meningkat, biasanya hal ini akan menurunkan kapasitas. Bila
arus belok kanan dari satu kaki dan atau arus belok kanan kaki lawan arah
terjadi pada fase yang sama. Arus ini dinyatakan dengan opposed Sedangkan
arus belok kanan yang dipisahkan fasenya dengan arus lurus atau belok
kanan.tidak diijinkan, maka arus ini dinyatakan sebagai protected.
b. Clearence time dan lost time
Dalam analisis untuk perencanaan, waktu antar hijau (intergreen) dapat
diasumsikan berdasarkan nilai berikut ini.
68
Tabel 5.2 Nilai Antar Hijau
Nilai normal waktu antar
Ukuran Simpang Rata-rata Lebarjalan
hijau
Kecil 6-9m 4 detik/fase
Sedang 10-14 m 5 detik/fase
Besar >15m > 6 detik/fase
CT = ⌊ ⌋max
Dengan :
LEV LAV = jarak dari garis henti ke titik konflik untuk masing-masing
kendaraan yang bergerak maju atau meninggalkan.
LEV = panjang pengosongan kendaraan
VEVLAV = kecepatan masing-masing kendaraanyang bergerak meninggalkan
atau maju.
Rumus di atas sebenarnya untuk simpang 4-way sedangkan untuk
simpang 3-way terdapat kesulitan untuk menetapkan jarak kendaraan dari
garis henti untuk dapat bergerak maju/meninggalkan (LAV).Untuk
memudahkan penentuan LAVmaka digunakan asumsi seperti pada simpang 4-
way yaitu dipakai LAV. Dengan digunakan asumsi ini maka nilai CT menjadi
lebih besar daripada nilai yang terjadi sebenarnya. Ini berarti nilai CT asumsi
lebih aman daripada nilai sebenarnya.
69
Gambar 5.5 Asumsi Penentuan CT untuk Simpang 3 Lengan
Nilai-nilai yang terpilih untuk VEV VAv, LEV tergantung dari kondisi
komposisi laulintas dan kondisi kecepatan pada simpang. Nilai-nilai
sementara yang dapat digunakan sesuai peraturan indonesia dibawah ini.
a) Kecepatan kendaraan yang datang, VEV
10 m/det (Kendaraan Bermotor)
b) Kecepatan kendaraan yang berangkat, VAV
-10 m/det (Kendaraan Bermotor)
-3 m/det (Kendaraan Bermotor)
-1.2 m/det (Pejalan Kaki)
c) Panjang kendaraan yang berangkat, LEV
- 5 m (LV atau HV)
- 2 m (MC atau UM)
Periode allred antara fase harus sama atau lebih besar dari clearence time.
Setelah waktu allred ditentukan, total waktu hilang (LTI) dapat dihitung
sebagai penjumlahan periode waktu antar hijau (IG).
LTI = ∑(allred + amber) i = ∑ IG i
Periode amber untuk sinyal lalulintas daerah perkotaan diambil 3 detik.
70
3. Penentuan Waktu Sinyal
a. Lebar efektif approach
Penghitungan lebar efektif (We) pada tiap approach didasarkan pada
informasi tentang approach (WA), lebar entri (Wentry) dan lebar exit (Wexit)-
1) Untuk approach tanpa belok kiri langsung (LTOR)
Periksa Wexit
Jika WEXIT, We sebaiknya diberi nilai baru yang sama dengan WEXITdan
analisis penentuan waktu sinyal pendekat ini dilakukan hanya untuk
laluintas lurus saya, yakni Q = QST
2) Untuk approach dengan belok kiri langsung (LTOR)
We dapat dihitung untuk pendekat dengan atau tanpa pulau lalulintas,
seperti pada gambar di bawah.
71
perhitungan selanjutnya, yakni Q = QST+ QRT
Tentukan lebar pendekar efektif:
We = Min {
We = min {
72
menggunakan gambar adalah dengan mencari nilai arus dengan lebar
approach yang lebih besar dan lebih kecil dari We aktual dan
kemudian di interpolasi.
2) Untuk tipe approach P (arus terlindung)
So = 600 x We (smp/jam hijau), atau
So = 780 x We (smp/jam hijau).
d. Faktor koreksi
1) Penentuan faktor koreksi untuk nilai arus lalulintas dasar kedua tipe
approach.
a) faktor koreksi ukuran kota (FCS), ditentukan dari tabel dibawah.
b) Faktor koreksi hambatan samping (FSF), merupakan fungsi dari
tipe lingkungan jalan, tingkat hambatan samping dan rasio
kendaraan tak bermotor. Jika gangguan samping tidak diketahui
dapat di asumsikan nilai yang tinggi agar tidak terjadi over
73
estimate untuk kapasitas. Faktor ini dapat ditentukan berdasar
tabel berikut.
c) Faktor koreksi gradien (FG), adalah fungsi dari kelandaian lengan simpang
ditentukan dari gambar berikut ini.
74
d) Faktor koreksi parkir (FP), adalah jarak dari garis henti ke
kendaraan yang parkkir pertama dan lebar approach ditentukan
dari formula di bawah ini atau diperlihatkan dalam gambar tabel
berikut.
Dengan :
LP = jarak antara garis henti dan kendaraan yang parkir
pertama.
WA = lebar approach (m)
g = waktu hijau approach yang bersangkutan (detik)
75
2) Penentuan faktor koreksi untuk nilai arus jenuh dasar hanya untuk
tipe approach P.
a) Faktor koreksi belok kanan (PRT), ditentukan sebagai fungsi
perbandingan kendaraan yang belok kanan (PRT). Faktor ini
hanya untuk tipe approach P, jalan dua lajur dan diperlihatkan
pada gambar 3.12. Untuk jalan dua lajur tanpa median.
Kendaraan yang belok kanan terlindung dengan tipe approach P,
cenderung untuk melewati garis tengah sebelum garis henti
ketika mengakhiri belokannya. Kasus ini akan menambah arus
jenuhdenganperbandingan yang tinggi pada lalulintas belok
kanan.
b) Faktor koreksi belok kiri (FLT), ditentukan sebagai fungsi
perbandingan belok kiri (PLT). Faktor ini hanya untuk tipe
approach tanpa LTOR (gambar 3.13)
76
Gambar 5.10 Faktor koreksi beiok kiri FLT
dengan:
SO = arus jenuh dasar
FCS = faktor koreksi ukuran kota
FSF = faktor koreksi gangguan samping
FG = faktor koreksi kelandaian
FP = faktor koreksi parkir
FRT = faktor koreksi belok kanan
FLT - faktor koreksi belok kiri
77
e. Perbandingan arus dengan arus jenuh
Penghitungan perbandinga arus (Q) dengan arus jenuh (S) untuk tiap
approach dirumuskan di bawah ini.
FR = Q / S
IFR = (FRCRIT)
PR = FRCRIT/IFR
CUA =
dengan :
Cua = waktu siklus sinyal (detik)
LTI = total waktu hilang per siklus (Detik)
IFR = perbandingan arus simpang ∑(FRCRIT)
Jika altematif sinyal yang direncanakan dievaluasi, menghasilkan
78
nilai yang rendah untuk (IFR = LT/c), maka hasil ini akan lebih
efisien.
Waktu siklus yang rendah biasanya pada simpang dengan lebar lebih
kecil dari 10 m, sedangkan pada simpang yang lebarnya lebih dari 10
m, biasanya mempunyai waktu siklus yang lebih besar pula. Waktu
siklus yang lebih rendah dari yang disarankan akan menyebabkan
lebih sulit bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan, hal ini dapat
menjadi pertimbangan. Sedangkan waktu siklus yang lebih besar(>
130 detik) harus dihindarkan, kecuali untuk kasus yang sangat
79
khusus. Waktu siklus ini akan menghasilkan kapasitas simpang yang
cukup besar.
2) Waktu hijau (g)
Penghitungan waktu hijau untuk tiap fase dijelaskan dengan ramus di
bawah ini.
gi= (Cua-LTI)xPR1
dengan :
gi = waktu hijau dalam fase - i (detik)
Cua = waktu siklus yang ditentukan (detik)
LTI = total waktu hilang per siklus
PR1 = perbandingan fase FRCRIT + ∑ (FRCRIT)
Waktu hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindarkan. Hal
ini mungkinmenghasilkan terlalu banyak pengemudiyang
berlawanan setelah lampu merahdan kesulitan bagi pejalan kaki
ketika menyeberang jalan.
3) Waktu siklus yang disesuaikan (c)
Waktu siklus ini berdasar pada pembulatan waktu hijau yang
diperoleh dan waktu hilang (LTI).
c = ∑g + LTI
4. Kapasitas
Kapasitas untuk tiap lengan simpang dihitung dengan formula berikut.
C = Sxg/c
dengan :
C = kapasitas (smp/jam)
S = arus j enuh (smp/j am)
g = waktu hijau (detik)
80
c = waktu siklus yang ditentukan (detik)
Dari hasil penghitungan in dapat dicari nilai derajat jenuh dengan ramus di bawah
ini.
ds = Q/C
dengan:
ds =derajatjenuh
Q = arus lalulintas (smp/jam)
C = kapasitas (smp/jam)
5. Tingkat Perfomasi
Dari data hasil hitungan sebelumnya maka dapat diketahui tingkat
perfomansi suatu simpang, antara lain : panjang antrian, kendaraan terhenti dan
tundaan. Dalam penghitungan ini beberapa persiapan antara lain persiapan waktu
yang semula jam diganti detik dan dihitung nilai perbandingan hijau, GR = g / c,
yang didapat dari penghitungan sebelumnya.
a. panjang antrian
Dari nilai derajat jenuh dapat digunakan untuk menghitung antrian smp
(NQ1) yang merupakan sisa dari fase hijau terdahulu. Didapat formula dan
gambar di bawah ini.
Untuk ds>0.5
Untuk ds < 0
NQ1=0
dengan:
NQ1 = jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
ds = derajat jenuh
81
GR = rasio hijau
C = kapasitas (smp/jam) = Sx GR
Kemudian dihitung jumlah antrian smp yang datang selama fase merah
(NQ2), dengan fonnula berikut :
NQ2 = c x
dengan :
NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah
Q = volume lalulintas yang masuk di luar LTOR (smp/detik)
c = waktu siklus (detik)
ds = derajat jenuh
GR = rasio hijau (detik)
82
perencanaan dan desain disarankan nilai POL< 5%, sedangkan untuk
operasional disarankan POL5 - 10%.
QL =
b. Kendaraan terhenti
Angka henti (NS) adalah jumlah rata-rata berhenti per smp, termasuk berhenti
berulang dalam antrian. Angka henti pada masing-masing pendekat dapat dihitung
berdasar rumus berikut ini.
NS = 0,9 x x 3600
dengan
c = waktu siklus (detik)
83
Q = arus lalulintas (smp/jam)
Jumlah kendaraan terhenti (NSV) pada masing-masing pendekat dapat
dihitung dengan rumus :
NSTOT =
c. Tundaan
Tundaan lalulintas rata-rata tiap approach ditentukan dengan formula berikut :
DT = c x A +
dengan :
DT = tundaan lalu lintas rata-rata (det/smp)
c = waktu siklus yang disesuaikan (det)
A=
Nilai A merupakan fungsi dari perbandingan hijau (GR) dan derajat jenuh
(ds) yang diperoleh dari Gambar yaitu dengan memasukkan nilai ds pada sumbu
84
horisontal dan memilih green ratio yang sesuai kemudian tarik garis mendatar
maka didapat nilai A pada sumbu vertikal.
85
D1 =
2. Fase
Perlu dilakukan percobaan untuk menetapkan pola fase yang paling
efisien. Semakin sedikit fase yang digunakan, semakin tinggi kapasitas simpang
tersebut, tetapi semakin besar kapasitas simpang tersebut, tetapi semakin besar
kemungkinan konflik yang dapat terjadi (yang dapat menimbulkan kecelakaan).
Biasanya digunakan antara 2 sampai dengan 4 fase. Siklus 2 fase sering digunakan
dengan disertai early cut-off (pemotongan awal) atau lute start (awal yang
terlambat) airil pada suahl Ease, arus lalu lintas pada salah satu lajur dihentikan
lebih dahulu, atau dimulai agak terlambat dibandingkan dengan arus lalulintas
pada lajur yang lain.
3. Lebar Pendekat
Kapasitas tergantung pada arus jenuh yang melewati garis henti (stop line),
yang bila pada belokan tergantung pada lebar pendekat simpang tersebut. Oleh
karna itu, membatasi lebar dapat menaikkan kapasitas simpang. Rambu peringatan
86
dapat digunakan untuk memastikan bahwa garis henti tepat dan dilebarkan,
sementara melebarkan lengan-lengan yang non-kritis tidak memiliki pengaruh
pada kapasitas. Panjang dari pelebaran juga sangat posting untuk diperhatikan.
87
4. Bila pembatasan lebar disediakan khusus untuk lajur belok kiri, panjang
pelebaran harus lebih besar dari panjang antrian terbesar (antisipatif), dengan
perkiraan garis henti yang sesuai dengan lapangan. Sebuah lajur khusus belok
kiri akan menghalangi aturan fasilitas pedestrian crossing.
5. Ketika terdapat sebuah jalur khusus bus, jalur ini dibatasi pada sekitar akhir
dari panjang antrian terpanjang yang diperkirakan pada pendekat. Ini akan
memastikan bahwa kapasitas penuh pada garis henti telah dipenuhi.
6. Ketika muncul sebuah proporsi yang tinggi dari aras lalulintas belok kanan,
jalur khusus belok kanan dapat dibuat dan diseimbangkan dengan tujuan untuk
memaksimalkan efisiensi simpang. Tanda panah dapat dibuat pada jalan untuk
menunjukkan kepada pengemudi bahwa manuver yang terkunci tidak terjadi.
7. Di Indonesia dapat direkomendasikan adanya lampu lalulintas di pusat (di
tengah) yang disediakan pada seluruh pendekat simpang dengan dua lajur atau
lebih, dengan aturan kendaraan yang berbelok ke kanan harus mengitari lampu
tersebut. Ini akan membantu untuk mencegah kendaraan (khususnya sepeda
motor) dari usaha berbelok kanan dengan cepat dan juga untuk memaksa
mereka ke dalam teknik mengemudi yang benar. Ini juga akan memberikan
perlindungan terhadap pejalan kaki yang menggunakan fasilitas
penyeberangan jalan.
Penjelasan dari keterangan di atas dapat dilihat pada gambar-gambar berikut
88
Gambar 5.16 Prinsip-prinsip desain simpang (pada simpang empat)
89
Gambar 5.17 Prinsip-prinsip desain simpang (pada simpang Bentuk T)
90
dapat negatif. Artinya, pada waktu fase sebelumnya masih hijau, fase berikutnya
sudah dapat memulai waktu hijau. Cara pengaturan seperti ini disebut metoda
turbin. Contoh pengaturan metoda turbin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
91
BAB VI
SIMPANG TAK BERSINYAL
6.1 Pendahuluan
Jenis simpang yang paling banyak dijumpai di daerah perkotaan adalah
simpang tak bersinyal. Jenis ini cocok diterapkan apabila arus lalu lintas di jalan
minor dan pergerakan membelok relatif kecil. Namun demikian, apabila arus lalu
lintas di jalan utama sangat tinggi sehingga resiko kecelakaan bagi pengendara di
jalan minor meningkat (akibat terlalu berani mengambil gap yang kecil), maka
perlu dipertimbangkan adanya lampu lalu lintas.
Pada simpang tak bersinyal, arus lalu lintas dari jalan yang tidak
diprioritaskan (minor street) diatur dengan rambu-rambu “STOP” atau “YIELD”
(hati-hati). Rambu-rambu ini mengingatkan pengemudi dari jalan minor agar
berhati-hati dalam memilih celah (gap) untuk memotong arus lalu lintas jalan
utama (major street), sebelum melakukan gerakan-gerakan belok kiri, belok
kanan, atau lurus di simpang tersebut. Contoh denah simpang prioritas dengan
rambu-rambu dan markanya dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Jika kedua jalan mempunyai tingkat yang sama (tidak ada jalan utama
ataupun jalan minor) maka aturan di Indonesia menyebutkan bahwa kendaraan
harus memberikan prioritas kepada kendaraan lain yang datang tegak lurus dari
sebelah kirinya. Untuk bundaran bersinyal, aturan yang berlaku di Indonesia
kebalikan pada simpang biasa, yaitu kendaraan yang akan memasuki bundaran
memberikan prioritas kepada kendaraan yang dekat dengan bundaran.
92
American Highway Capacity Manual 2000 (HCM 2000) membagi analisis
pada simpang ini dalam tiga bagian, yakni Two Way Stop - Controlled (TWSC)
Intersections, All Way Stop - Controlled (AWSC) Intersections, serta
Roundabouts (bundaran).
Analisis kapasitas pada TWSC Intersections tergantung pada suatu clear
description dan pengertian dari interaksi pengenuidi pada jalan minor atau pada
pendekat dengan rambu stop dengan pengemudi pada jalan utama. Sistem
prioritas yang dipakai adalah right of way, yang bila diaplikasikan pada simpang 4
lengan atau simpang T adalah seperti berikut ini (catatan: arus berada di jalur
kanan).
1. Peringkat l : arus lurus dan belok kanan dari jalan utama, serta penyeberang
jalan di jalan utama.
2. Peringkat 2 : arus belok kiri dari jalan utama dan belok kanan dari jalan minor,
93
serta penyeberang jalan di jalan minor.
3. Peringkat 3: arus lurus dari jalan minor (serta belok kiri dari Jalan minor untuk
simpang T).
4. Peringkat 4 : (untuk simpang 4 lengan): arus belok kiri dari jalan minor.
94
Arus lalu lintas yang terkena konflik pada suatu „unsignalised intersection‟
mempunyai tingkah laku yang relatif kompleks. Setiap gerakan baik belok kiri,
belok kanan, ataupun lurus masing-masing menghadapi sekumpulan konflik yang
berbeda yang berhubungan langsung dengan tingkah laku gerakan tersebut.
Adapun bentuk pertemuan kendaraan adalah sebagai berikut:
1. Menggabung (merging),
2. Memisah (diverging),
3. Menyeberang (crossing).
Metodologi yang dipakai dalam perhitungan pada American HCM 2000
didasarkan pada perhitungan waktu celah (gap times) dan tingkat arus lalu lintas
(flow rate), yang digunakan untuk menghitung kapasitas potensial (potential
capacity), kapasitas pergerakan (movement capacity), panjang antrian, tundaan,
serta LOS (numerik A - F berdasarkan tundaan rata-rata dalam detik/kendaraan).
Di Indonesia, metoda analisis dengan prioritas yang disusun dalam Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 tidak berdasarkan celah (gap acceptance),
melainkan didasarkan pada kapasitas jalan yang didapatkan dari data empiris yang
dikumpulkan. Untuk nilai derajat jenuh (ds = degree of saturation) di bawah 0,8 -
0,9, analisis simpang ini lebih dapat diandalkan bila dibandingkan dengan nilai ds
di atasnya. Karena pada keadaan tersebut pengemudi lebih agresif untuk berebut
menguasai setiap ruang jalan yang mungkin diperolehnya di daerah konflik. Hal
ini mengandung resiko yang cukup tinggi untuk terjadi saling menutup dan saling
mengunci sehingga terjadi keadaan macet total. Sehingga model „give way‟ dan
„stop way‟ yang diterapkan di negara Barat yang berdasarkan suatu pendekatan
„gap acceptance‟, seperti dalam prosedur penghitungan dalam American HCM
2000, tidak dapat diterapkan dengan baik.
Alasan lain disusunnya MKJI 1997 adalah:
1. Tidak jelasnya prioritas penggunaan jalan yang berakibat gangguan yang
rumit di simpang, khususnya antara arus belok kanan dan arus lurus. Penilaian
arus jenuh khususnya untuk tipe pengaturan „opposed‟ sangat berbeda dengan
pendekatan dari negara Barat. Volume arus belok kanan merupakan faktor
penentu yang dominan dalam penghitungan anus jenuh di Indonesia.
95
2. Hambatan samping merupakan analisis yang kompleks di ruas jalan di
Indonesia. Di negara Barat hambatan samping hanya cukup diperhitungkan
berdasarkan lebar bahu atau jarak gangguan dari tepi perkerasan. Hal ini tidak
cukup untuk keadaan ruas jalan di Indonesia, khususnya di perkotaan, karena
faktor tersebut perlu ditambah dengan jumlah pejalan kaki baik yang sejajar
jalan atau yang menyeberang jalan, frekuensi angkutan penumpang umum
yang berhenti di sembarang tempat, dan frekuensi kendaraan keluar atau
masuk dari ruas jalan tersebut.
3. Selain faktor perbedaan karakteristik penggunaan lahan di dalam kota, dalam
manual Indonesia juga dikenalkan karakteristik perbedaan besaran kota yang
dalam manual negara lain belum muncul.
Pada umumnya konsep analisis kapasitas dalam manual Indonesia
berdasarkan konsep manual yang sudah ada, yaitu menciptakan keadaan ideal
sebagai kapasitas baku dan selanjutnya diadakan koreksi yang sesuai dengan
keadaan lapangan.
Analisis pada simpang tak bersinyal didasarkan pada Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Analisis dititik beratkan pada : kapasitas (smp/jam),
derajat jenuh (ds), serta tundaan (detik/smp).
Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua hal:
1. Tundaan Lalu Lintas (DT); yakni akibat interaksi lalu lintas dengan gerakan
yang lain dalam simpang.
2. Tundaan Geometrik (DG); yakni akibat perlambatan dan percepatan
kendaraan yang terganggu dan tak terganggu.
Tundaan lalu lintas terdiri atas:
1. Tundaan seluruh simpang (DT1), yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang.
2. Tundaan pada jalan minor (DTMB) yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan minor.
3. Tundaan pada jalan utama (DTMA), yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan utama.
96
Tundaan lalu lintas seluruh simpang (DT 1), pada jalan minor (DTMB) dan
pada jalan utama (DTMA), ditentukan dari kurva tundaan empiris dengan derajat
jenuh sebagai variabel bebas.
Tundaan simpang (D) adalah hasil penjumlahan DG dan DT 1.
Tundaan lalu lintas simpang dalam MKJI didasarkan pada asumsi-asumsi
berikut :
1. Kecepatan kendaraan dalam kota 40 km/jam,
2. Kecepatan belok kendaraan tak terhenti 10 km/jam,
3. Tingkat percepatan dan perlambatan 1,5 m/det2,
4. Kendaraan terhenti mengurangi kecepatan untuk menghindari tundaan
perlambatan, sehingga hanya menimbulkan tundaan percepatan.
97
4. Pulau lalu lintas dapat dibuat namun sebaiknya digunakan bila lebar jalan
lebih dari 10 meter untuk keselamatan pejalan kaki serta meminimalisasi
konflik.
5. Lebar median di jalan utama sebaiknya minimal 3 - 4 meter untuk
memudahkan kendaraan dari jalan minor melewati jalan utama dalam 2 (dua)
tahap. Hal ini akan meningkatkan kapasitas serta keselamatan.
6. Peningkatan fisik dapat dilakukan pada ruas jalan dengan beban lalu lintas
yang berat serta kemungkinan perubahan tata guna lahan yang cepat.
98
semua persimpangan. Untuk approach yang digunakan untuk parkir
dengan jarak kurang dari 20 meter dari garis henti (stop line), maka lebar
entry approach harus dikurangi 2 meter.
Lebar entry persimpangan (rata-rata approach) harus dirumuskan seperti di
bawah ini :
b c d
WE
2 2 2
3
Lebar entry jalan dirumuskan sebagai berikut.
b d
WBD
2 2
2
c
WAC
2
99
Tabel 6.1 Tipe-tipe Persimpangan
Jumlah Lengan Jumlah Jalur Jumlah Jalur
Kode IT
Persimpangan Jalan Minor Jalan Mayor
322 3 2 2
324 3 2 4
342 3 4 2
422 4 2 2
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan
Umum, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia
Jumlah lengan adalah jumlah lengan yang digunakan untuk entry atau exit
lalu lintas atau keduanya. Jumlah jalur ditentukan dari rata-rata lebar entry
WE, jika:
WBD < 5,5 2 jalur
WAC ≥ 5,5 4 jalur
100
2. Kondisi lingkungan
Berikut ini data lingkungan yang dibutuhkan dalam perhitungan.
a. Tipe lingkungan jalan (road environtment, RE)
Kelas tipe lingkungan jalan menggambarkan tata guna lahan dan
aksesibilitas dari seluruh aktivitas jalan. Nilai-nilai ini ditetapkan secara
kualitatif dengan pertimbangan teknik lalu lintas.
Komersial (commercial) yaitu penggunaan lahan untuk kegiatan
komersial dengan akses samping jalan langsung untuk kendaraan dan
pejalan kaki.
Pemukiman (residential) yaitu penggunaan lahan untuk pemukiman
dengan akses samping jalan langsung untuk kendaraan dan pejalan
kaki.
Akses Terbatas (restricted access) yaitu tidak atau dibatasi untuk akses
samping jalan langsung (contoh adanya pagar pembatas jalan, tebing
jalan).
b. Kelas gangguan samping (side friction, FR)
Gangguan samping digambarkan sebagai adanya pengaruh dari aktivitas
samping jalan dalam daerah persimpangan untuk lalu lintas yang melintas.
Sebagai contoh adalah pejalan kaki yang berjalan sepanjang jalan atau
menyeberang, angkutan kota, pemberhentian bus untuk naik turun
penumpang, kendaraan yang masuk dan meninggalkan persimpangan dan
ruang parkir di samping jalan. Gangguan samping ditentukan secara
kualitatif dengan pert imbangan teknik lalu lintas yang dinyatakan dalam
ukuran tinggi, sedang dan rendah.
c. Ukuran kelas kota (city size, Cs)
Ukuran kota diklasifikasikan dalam jumlah penduduk pada kota yang
bersangkutan. Maksud dimasukkannya ukuran kota sebagai salah satu
faktor yang mempengaruhi kapasitas, karena dianggap ada korelasi antara
ukuran kota dengan sifat pengemudi semakin besar ukuran kota semakin
agresif pengemudi di jalan raya sehingga semakin tinggi kapasitas
jalan/simpang. Klasifkasi ukuran kota dapat dilihat pada tabel ini :
101
Tabel 6.3 Kelas Ukuran Kota
CS Jumlah Penduduk
Sangat kecil <0
Kecil 0,1 -0,5
Sedang 0,5- 1,0
Besar 1,0-3,0
Sangat Besar > 3,0
3. Kondisilalu lintas
Data masukan kondisi lalu lintas terdiri dari tiga bagian antara lain
menggambarkan situasi lalu lintas, sketsa arus lalu lintas dan variabel-variabel
masukan lalu lintas. Sketsa situasi lalu lintas harus menerangkan gerakan arus
lalu lintas (kend/jam) pada tiap approach yang dibagi dalam arah gerakan
belok kanan, belok kiri dan lurus. Jenis kendaraan dalam perhitungan ini
dijelaskan di bawah ini.
a. Kendaraan ringan (light vehicles, LV), yaitu indeks untuk kendaraan
bermotor dengan roda 4 (yang termasuk mobil penumpang, oplet, bus
mikro, pick-up, station wagon, colt, jeep, dan mikrolet yang sesuai
klasifikasi Bina Marga) dengan nilai smp adalah 1,0.
b. Kendaraan berat (heavy vehicles, HV) yaitu indeks untuk kendaraan
bermotor dengan roda 4 atau lebih (yang termasuk adalah: bus, truk 2
gandar, truk 3 gandar, dan kombinasi yang sesuai dengan klasifikasi Bina
Marga) dengan nilai smp adalah 1,3.
c. Sepeda motor (motor cycles, MC) yaitu indeks untuk kendaraan bermotor
dengan 2 atau 3 roda (termasuk sepeda motor dan kendaraan roda yang
memenuhi syarat klasifikasi Bina Marga) dengan nilai smp 0,5.
d. Kendaraan tak bermotor (Unmotorised, UM) yaitu kendaraan tak bermotor
dengan roda (termasuk sepeda, becak, dokar, kereta dorong yang sesuai
klasifikasi Bina Marga). Dalam perhitungan MKJI 1997 jenis kendaraan
ini dianggap sebagai hambatan samping.
102
Berikut gambaran variabel arus lalu lintas yang dibutuhkan dalam
perhitungan. Variabel-variabel lain yang digunakan dalam penghitungan
adalah sebagai berikut ini.
a. QMI (kend/jam) : total lalu lintas yang masuk dari jalan minor, untuk
perhitungan nilai split - %.
b. QMA (kend/jam) : total lalu lintas yang masuk dari jalan mayor, untuk
penghitungan lalu lintas total.
c. QIT (kend/jam) : total lalu lintas belok kiri, untuk penghitungan -LT%.
d. QRT (kend/jam) : total lalu lintas belok kanan, untuk penghitungan -
RT%.
e. QV (kend/jam) : total lalu lintas masuk.
f. LT% : persentase seluruh gerakan lalu lintas yang belok kiri
pada persimpangan.
QLT
LT% 100 x
QV
g. RT% : persentase seluruh gerakan lalu lintas yang belok
kanan pada persimpangan.
QRT
RT% 100 x
QV
h. SP% : persentase arus jalan minor yang datang pada
persimpangan.
QML
SP% 100 x
QV
i. LV% : persentase total arus kendaraan ringan.
j. HV% : persentase total arus kendaraan berat.
k. MC% : persentase total arus sepeda motor.
l. UM% : persentase total arus kendaraan tak bermotor.
m. Faktor smp : penohitungan dari nilai snip dan komposisi arus.
103
B CLT
LT% 100 x LT
BC D
C DRT
RT% 100 x RT
BC D
C
SP% 100 x
BC D
QBC D
B,C, dan D adalah volume arus lalu
lintas (kend/jam)
6.3.2 Kapasitas
Nilai kapasitas aktual, C(smp/jam) dapat dihitung dengan rumus di bawah
ini :
C CO x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FSP
Dengan :
Co = nilai kapasitas dasar
FW = faktor koreksi lebar entry
FM = faktor koreksi median pada jalan mayor
FCS = faktor koreksi ukuran kota
FRSU = faktor koreksi tipe lingkungan jalan dan gangguan samping
FLT = faktor koreksi belok kiri
FRT = faktor koreksi belok kanan .
FMI = faktor koreksi rasio arus jalan minor
104
Penghitungan dilakukan sesuai prosedur di bawah ini.
1. Penghitungan kapasitas dasar Co
Nilai kapasitas dasar ditentukan berdasarkan tipe persimpangan yang akan
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
105
3. Faktor koreksi median jalan mayor, FM
Faktor koreksi ini hanya digunakan untuk jalan mayor 4 jalur, yang akan
diterangkan dalam tabel di bawah ini.
106
Tabel 6.7 Faktor Koreksi Tipe Lingkungan, Hambatan Samping dan
Kelas Tipe Kelas Kendaraan Tak Bermotor
Lingkungan Hambatan Rasio Kendaraan tak Bermotor, PUM
Jalan RE Samping 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 ≥ 0,25
Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
Komersial Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
Tinggi 0,96 0,91 0,87 0,82 0,77 0,72
Sedang 0,97 0,92 0,88 0,82 0,77 0,73
Permukiman Rendah 0,98 0,93 0,89 0,83 0,78 0,74
Tinggi/
Akses
sedang/ 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Terbatas
rendah
Tabel di atas diambil dengan asumsi bahwa pengaruh kendaraan tak bermotor
terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan ringan, yaitu smp UM = 1,0.
Persamaan di bawah ini dapat dipakai bila terdapat bukti bahwa smpUM ≠ 1,0
yang dapat saja terjadi bila kendaraan tak bermotor tersebut terutama berupa
sepeda.
FRSU (PUM sesungguhnya) = FRSU (PUM = 0) x (l – PUM x smpUM)
6. Faktor koreksi belok kiri, FRT
Faktor ini merupakan koreksi dari persentase seluruh gerakan lalu lintas yang
belok kiri pada persimpangan. Faktor ini dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
107
Gambar 6.3 Faktor Koreksi Belok Kiri
7. Faktor koreksi belok kanan, FRT
Faktor ini merupakan koreksi dan persentase seluruh gerakan lalu lintas yang
belok kanan pada persimpangan. Faktor ini dapat dilihat pada Gambar ini :
108
Gambar 6.5 Faktor Koreksi arus jalan minor
ds
Qr x P
C
Q
ds P
C
Dengan:
QP = total arus aktual (smp/jam)
QV = total lalu lintas yang masuk (kend/jam)
P = faktor snip
C = kapasitas aktual
6.3.4 Tundaan
Tundaan (D) adalah rata-rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk
dalam approach.
Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua hal:
1. Tundaan Lalu Lintas (DT); yakni akibat interaksi lalu lintas den-an gerakan
yang lain dalam simpang.
2. Tundaan Geometrik (DG); yakni akibat perlambatan dan percepatan
109
kendaraan yang terganggu dan tak terganggu.
Tundaan lalu lintas terdiri atas:
1. Tundaan seluruh simpang (DT1), yakni tundaan lalu lintas rata-ata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang.
2. Tundaan pada jalan minor (DTMI)yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bennotor yang masuk simpang dari jalan minor.
3. Tundaan pada jalan mayor (DTMA), yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan mayor.
Tundaan lalu lintas seluruh simpang (DT 1), pada jalan minor (DTMI) dan
pada jalan utama (DTMA), ditentukan dari kurva tundaan empiris dengan derajat
kejenuhan sebagai variabel bebas (lihat MKJI 1997 halaman 3-40 dan 3-41).
Tundaan simpang (D) adalah hasil penjumlahan DG dan DT 1. Tundaan
lalu lintas simpang dalam MKJI didasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini.
1. Kecepatan referensi 40 km/jam,
2. Kecepatan belok kendaraan tak terhenti 10 km/jam,
3. Tingkat percepatan dan perlambatan 1,5 m/det2,
Kendaraan terhenti mengurangi kecepatan untuk menghindari tundaan
perlambatan, sehingga hanya menimbulkan tundaan percepatan. Langkah-langkah
yang terdapat pada MKJI 1997 adalah sebagai berikut ini.
1. Hitung tundaan lalu lintas simpang ( DT1 ) berdasar kurva empiris.
2. Hitung tundaan lalu lintas jalan utama (DT MA ) berdasar kurva empiris.
3. Tundaan lalu lintas Plan minor ( DT1 ) adalah:
DTMI (QTOT x DTI - QMA x DTMA ) QMI
110
Gambar 6.6 Nilai Range Probabilitas Antrian QP% vs ds
111
Contoh gambar bundaran tak bersinyal dapat dilihat pada Gambar berikut
ini.
112
BAB VII
PARKIR
113
4. Indeks parkir, adalah ukuran untuk menyatakan penggunaan panjang jalan dan
dinyatakan dalam persentase ruang yang ditempati oleh kendaraan parkir.
Besarnya indeks parkir diperoleh dengan persamaan ;
Akumulasi Parkir x 100%
Indeks parkir 7.5
Ruang Parkir Tersedia
Rumus pendekatan analitis yang dipergunakan dalam perhitungan kapasitas
parkir adalah sebagai berikut ini (Hobbs, 1979).
5. Rata-rata durasi parkir :
n
di
D i n
7.6
n
Dengan :
D = Rata-rata durasi parkir kendaraan
di = durasi kendaraan ke – i ( i dari kendaraan ke-i hingga ke-n)
6. Jumlah ruang parkir yang dibutuhkan :
Y xD
Z 7.7
T
Dengan :
Z = Ruang parkir yang dibutuhkan
Y = Jumlah kendaraan parkir dalam satu waktu
D = Rata-rata durasi (jam)
T = Lama survey (jam)
114
Becak
2. Berdasarkan lokasi parkir
a. Parkir di badan jalan
b. Parkir di luar badan jalan baik berupa pelataran atau taman atau gedung
parkir
115
4. Komplek Perkantoran
Pada umumnya kompleks perkantoran sudah menyediakan fasilitas parkir,
namun ada kantor-kantor tertentu yang bangkitan parkirnya cukup besar,
sehingga tidak tertampung oleh fasilitas yang ada.
5. Tempat Ibadah
Pada umumnya tempat-tempat ibadah tidak tersedia fasilitas parkir untuk
kendaraan roda 4 yang memadai sehingga pada hari-hari tertentu sering terjadi
lonjakan bangkitan parkir yang besar sehingga tidak tertampung oleh fasilitas
parkir yang ada (bersifat insidental).
6. Permukiman di Daerah Kota
Pada umumnya permukiman di dalam kota tidak tersedia fasilitas parkir untuk
tamu sehingga menimbulkan bangkitan parkir di badan jalan.
116
Tabel 7.1 Kebutuhan Ruang Parkir yang Bersifat Tetap
a. Pusat Perdagangan
Luas Area Total (100m2) 10 20 50 100 500 1000 1500 2000
Kebutuhan (SRP) 59 67 88 125 415 777 1140 1502
b. Pusat Perkantoran
Jumlah Karyawan 1000 1250 1500 1750 2000 2500
Kebutuhan Administrasi 235 236 237 237 239 240
(SRP) Pelayanan Umum 288 289 290 291 292 293
Jumlah Karyawan 3000 4000 5000
Kebutuhan Administrasi 242 246 249
(SRP) Pelayanan Umum 295 298 302
c. Pasar Swalayan
Luas Area Total (100m2) 50 75 100 150 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 225 250 270 310 350 440 520 600 1050
d. Pasar
Luas Area Total (100m2) 40 50 75 100 200 300 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1200 1050
e. Sekolah/Perguruan Tinggi
Jumlah Mahasiswa (orang) 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Kebutuhan (SRP) 60 80 100 120 140 160
Jumlah Mahasiswa (orang) 9000 10000 11000 12000
Kebutuhan (SRP) 180 200 220 240
f. Tempat Rekreasi
Luas Area Total (100m2) 50 100 150 200 400 800 1600 3200 6400
Kebutuhan (SRP) 103 109 115 122 146 196 295 494 892
117
h. Rumah Sakit
Jumlah Tempat Tidur (buah) 50 75 100 150 200 300
Kebutuhan (SRP) 97 100 104 111 118 132
Jumlah Tempat Tidur (buah) 400 500 1000
Kebutuhan (SRP) 146 160 120
118
Jalan kolektor : fungsi utama dari pemanfaatan ruang jalan khususnya
perkerasan jalan adalah untuk pergerakan arus lalu lintas kendaraan tetapi
masih dimungkinkan parkir kendaraan di badan jalan.
Jalan lokal : pelayanan parkir kendaraan lebih diutamakan, namun demikian
kelancaran arus lalu lintas juga harus diperhatikan.
Dari Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan (1992),
penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotaan dikaitkan dengan
persyaratan adalah sebagai berikut :
119
Pengaturan pola (konfigurasi) parkir untuk masing-masing ruas jalan
didasarkan pada :
Besar arus lalu lintas yang dikaitkan dengan volume/kapasitas jalan untuk
menjamin kelancaran arus lalu lintas di ruas yang bersangkutan.
Sistem jaringan jalan baik menyangkut fungsi dan letak pertemuan jalan yang
berkaitan dengan kelancaran arus lalu lintas dan kemungkinan terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
b. Konsep dasar penyediaan fasilitas parkir di luar badan jalan
Penyediaan fasilitas parkir di luar badan jalan dapat berupa :
Pelataran/taman parkir
Gedung parkir
Yang dalam perencanaan dan perancangan fasilitas parkir tersebut, harus
dipertimbangkan dari aspek lokasi, tapak (site) dan akses dari fasilitas parkir
tersebut.
Pertimbangan aspek lokasi, berkaitan dengan kemudahan dan kenyamanan
dari pengguna parkir untuk mencapai fasilitas parkir dan dari fasilitas parkir
menuju ke tujuan dan sebaliknya.
Jarak jangkauan tersebut sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh :
Fasilitas pejalan kaki (trotoar)
Jenis kegiatan dan lingkungan di sepanjang fasilitas pejalan kaki
Dari hasil analisis data yang ada jangkauan berjalan kaki berkisar antara 100
– 300 m.
Sedangkan aspek tapak berkaitan dengan luasan dan daya tampung
(konfigurasi parkir) serta pola arus didalam fasilitas parkir. Untuk akses,
sebaiknya dikaitkan dengan system jaringan jalan dan pola arus lalu lintas yang
pada ruas jalan terkait.
120
kebutuhan ruang untuk parkir suatu kendaraan dengan nyaman dan aman dengan
besaran ruang yang seefisien mungkin.
Dalam perancangan suatu fasilitas parkir, masukan utama adalah dimensi
kendaraan dan perilaku dari pemakai kendaraan kaitannya dengan besaran satuan
ruang parkir (SRP), lebar jalur gang yang diperlukan dan konfigurasi parkir.
Penentuan besarnya SRP tergantung beberapa hal :
SRP4 = f (D, Ls, Lm, Lp) 7.8
SRP2 = f (D, Ls, Lm) 7.9
Dengan :
SRP4 = satuan ruang parkir untuk kendaraan roda 4
SRP2 = satuan ruang parkir untuk kendaraan roda 2
D = dimensi kendaraan standar
Ls = ruang bebas samping arah lateral
Lm = ruang bebas samping arah membujur
Lp = lebar bukaan pintu
Di Indonesia, penentuan besar SRP didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan berikut ini (Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas
Parkir, Dirjen Perhubungan Darat, 1998).
1. Dimensi Kendaraan Standar
121
2. Ruang Bebas dan Lebar Bukaan Pintu
Dalam kaitan keamanan kendaraan terhadap benturan/goresan dari
kendaraan lain atau benda statis/bangunan (pilar, kolom atau. dinding) maka
diperlukan ruang bebas arah lateral dan longitudinal. Ruang bebas arah lateral
ditetapkan pada saat posisi pintu kendaraan dibuka, diukur dari ujung paling luar
pintu ke badan kendaraan parkir yang ada di sampingnya. Jarak bebas arah lateral
diambil sebesar 5 cm dan jarak bebas arah longitudinal sebesar 30 cm (Pedoman
Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir, Dirjen Perhubungan Darat,
1998). Untuk sepeda motor tidak diatur secara jelas, namun biasanya ruang bebas
arah samping diambil 2 cm dan arah memanjang 20 cm karena pada saat proses
parkir kendaraan dapat diatur dengan mudah.
Sedangkan ukuran lebar bukaan pintu adalah merupakan fungsi karakteristik
pemakai kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir. Sebagai contoh lebar
bukaan pintu kendaraan dari karyawan kantor akan berbeda dengan lebar bukaan
pintu kendaraan dari pengunjung suatu pusat kegiatan pertokoan/perbelanjaan.
Karakteristik pengguna kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir dipilih
menjadi 3 (tiga) seperti pada tabel berikut ini.
122
3. Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP)
Penentuap SRP dibagi atas 3 (tiga) jenis kendaraan dan berdasarkan
penentuan untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan seperti
pada tabel berikut ini.
123
Gol II : B = 170 al = 10 Bp = 250 = B + O + R
O = 75 L = 470 Lp = 500 = L + al + a2
K=5 a2 = 20
Gol III : B = 170 al = 10 Bp = 300 = B + O + R
O = 80 L = 470 Lp = 500 = L + al + a2
R = 50 a2 = 20
124
Dimensi dari gambar di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
125
Sifat peruntuka lahan sekitarnya dan peranan jalan yang bersangkutan
Tabel 7.7 Lebar Minimum Jalan Lokasi Primer Satu Arah untuk Parkir
pada Badan Jalan
Kriteria Parkir Satu Lajur Dua Lajur
Lebar Ruang D+ Lebar Lebar Lebar Lebar
Sudut Ruang D+M
Ruang Parkir M+- Jalan Total Jalan Total
Parkir Manuver (E)
Parkir Efektif J Efektif Jalan Efektif Jalan
(n) M (m) (m)
A (m) D (m) (m) L (m) W(m) L (m) W (m)
0 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 3 5,8 6,0 8,8
30 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 3 7,9 6,0 10,9
45 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 3 9,3 6,0 12,3
60 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 3 10,4 6,0 13,4
90 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 3 11,3 6,0 14,3
Ket : J = lebar pengurangan ruang manuver (2,5 meter)
Tabel 7.8 Lebar Minimum Jalan Lokal Sekunder Satu Arah untuk Parkir
pada Badan Jalan
Kriteria Parkir Satu Lajur Dua Lajur
Lebar Ruang D+ Lebar Lebar Lebar Lebar
Sudut Ruang D+M
Ruang Parkir M+- Jalan Total Jalan Total
Parkir Manuver (E)
Parkir Efektif J Efektif Jalan Efektif Jalan
(n) M (m) (m)
A (m) D (m) (m) L (m) W(m) L (m) W (m)
0 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 2,5 5,3 5,0 7,8
30 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 2,5 7,4 5,0 9,9
45 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 2,5 8,8 5,0 11,3
60 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 2,5 9,9 5,0 12,4
90 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 2,5 10,8 5,0 13,3
Ket : J = lebar pengurangan ruang manuver (2,5 meter)
Tabel 7.9 Lebar Minimum Jalan Lokasi Kolektor Satu Arah untuk Parkir
pada Badan Jalan
Kriteria Parkir Satu Lajur Dua Lajur
Lebar Ruang D+ Lebar Lebar Lebar Lebar
Sudut Ruang D+M
Ruang Parkir M+- Jalan Total Jalan Total
Parkir Manuver (E)
Parkir Efektif J Efektif Jalan Efektif Jalan
(n) M (m) (m)
A (m) D (m) (m) L (m) W(m) L (m) W (m)
0 2,3 2,3 3,0 5,3 2,8 3,5 6,3 7,0 9,8
30 2,5 4,5 2,9 7,4 4,9 3,5 8,4 7,0 11,9
45 2,5 5,1 3,7 8,8 6,3 3,5 9,8 7,0 13,3
60 2,5 5,3 4,6 9,9 7,4 3,5 10,9 7,0 14,4
90 2,5 5,0 5,8 10,8 8,3 3,5 11,8 7,0 15,3
Ket : J = lebar pengurangan ruang manuver (2,5 meter)
126
Gambar 7.5 Ruang Parkir pada Badan Jalan
2. Pola Parkir
Pola parkir paralel
a. Pada daerah datar
127
c. Pada daerah turunan
Golongan A B C D E
Golongan I 2,3 4,6 3,45 4,70 7,6
Golongan II 2,5 5,0 4,30 4,85 7,75
Golongan III 3,0 6,0 5,35 5,0 7,9
128
- Sudut = 450
Golongan A B C D E
Golongan I 2,3 3,5 2,5 5,6 9,3
Golongan II 2,5 3,5 2,6 5,65 9,35
Golongan III 3,0 4,5 3,2 5,75 9,45
- Sudut 600
Golongan A B C D E
Golongan I 2,3 2,9 1,45 5,95 10,55
Golongan II 2,5 3,0 1,5 5,95 10,55
Golongan III 3,0 3,7 1,85 6,0 10,6
- Sudut = 900
129
Golongan A B C D E
Golongan I 2,3 2,3 - 5,4 11,2
Golongan II 2,5 2,5 - 5,4 11,2
Golongan III 3,0 3,0 - 5,4 11,2
Keterangan :
A = lebar ruang parkir (m)
B = lebar kaki ruang parkir (m)
C = selisih panjang ruang parkir (m)
D = ruang parkir efektif (m)
M = ruang manuver (m)
F = ruang parkir efektif ditambah ruang manuver (m)
3. Larangan Parkir
a. Sepanjang 6 meter, sebelum dan sesudah tempat penyeberangan pejalan
kaki atau tempat penyeberangan sepeda motor yang telah ditentukan.
130
Gambar 7.15 Larangan Parkir pada Daerah Sekitar Penyeberangan
131
d. 1. Sepanjang 100 m sebelum dan sesudah perlintasan sebidang diagonal
132
f. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah akses bangunan gedung
133
Pola parkir ini mempunyai daya tampung lebih banyak jika
dibandingkan dengan pola parkir paralel, namun kemudahan
dan kenyamanan pengemudi melakukan manuver masuk dan
keluar ke ruangan parkir lebih sedikit jika dibandingkan dengan
pola parkir dengan sudut yang lebih kecil dari 900.
Gambar 7.22 Pola Parkir Mobil Penumpang Satu Sisi Sudut 900
Gambar 7.23 Pola Parkir Mobil Penumpang Satu Sisi Sudut 450
134
Pada pola parkir ini, arah gerakan lalu lintas kendaraan dapat
satu arah atau dua arah.
Gambar 7.24 Pola Parkir Mobil Penumpang Dua Sisi Sudut 900
Gambar 7.25 Pola Parkir Mobil Penumpang Dua Sisi Sudut 450
135
Membentuk sudut 450
Bentuk tulang ikan tipe A
Gambar 7.27 Pola Parkir Pulau Sudut 450 Bentuk Tulang Ikan Tipe A
Gambar 7.28 Pola Parkir Pulau Sudut 450 Bentuk Tulang Ikan Tipe B
Bentuk tulang ikan tipe C
Gambar 7.29 Pola Parkir Pulau Sudut 450 Bentuk Tulang Ikan Tipe C
136
Pola parkir bus/truk
Posisi kendaraan dapat dibuat menyudut 60 0 ataupun 900, tergantung
dari luas area parkir. Dari segi efektivitas ruang, posisi sudut 90 0 lebih
menguntungkan.
- Pola parkir satu sisi
137
- Pola parkir dua sisi
Pola ini diterapkan bila ketersediaan ruang cukup memadai (lebar
ruas > 5,6 m).
Keterangan :
h = jarak terjauh antara tepi luar satuan ruang parkir
w = lebar terjauh satuan ruang parkir pulau
b = lebar jalur gang
138
- Panjang sebuah jalur gang lebih dari 100 meter
- Jalur gang yang dimaksudkan untuk melayani lebih dari 50
kendaraan dianggap sebagai jalur sirkulasi.
Lebar minimum jalur sirkulasi :
Untuk jalan satu arah = 3,5 meter
Untuk jalan dua arah = 6,5 meter
Gambar 7.35 Dimensi Jalur Gang untuk Pola Parkir Sudut 900
Gambar 7.36 Dimensi Jalur Gang untuk Pola Parkir Sudut 450
139
penumpang 3.5 ** 6.5 ** 3.5 ** 6.5 ** 4.6 ** 6.5 ** 6.5 ** 8.0 **
(2.5 x 5.0 m)
c. SRP sepeda 1.6 *
motor 1.6 **
(0.75 x 3.0 m)
d. SRP bus/truk 9.5
(3.4 x 12.5 m)
Keterangan : * = lokasi parkir tanpa fasilitas pejalan kaki
** = lokasi parkir dengan fasilitas pejalan kaki
140
- Pintu masuk dan keluar menjadi satu
141
jumlahnya tergantung pada luas tanah yang tersedia dan lokasi
jalan masuk ataupun keluarnya
Kriteria tata letak area parkir
Tata letak area parkir kendaraan dapat dibuat bervariasi, tergantung
pada ketersediaan bentuk dan ukuran tempat serta jumlah dan letak
pintu masuk dan keluar. Tata letak area parkir dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut ini.
Tata letak pelataran parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
- Pintu masuk dan keluar terpisah dan terletak pada satu ruas jalan
Gambar 7.39 Tata Letak Pelataran Parkir dengan Posisi Pintu Masuk dan
Keluar Terpisah dan Terletak pada Satu Ruas Jalan
- Pintu masuk dan keluar terpisah dan tidak terletak pada satu ruas
Gambar 7.40 Tata Letak Pelataran Parkir dengan Posisi Pintu Masuk dan
Keluar Terpisah dan Terletak Tidak pada Satu Ruas Jalan
142
- Pintu masuk dan keluar menjadi satu dan terletak pada satu ruas
jalan
Gambar 7.41 Tata Letak Pelataran Parkir dengan Posisi Pintu Masuk dan
Keluar Menyatu dan Terletak pada Satu Ruas Jalan
- Pintu masuk dan keluar yang menjadi satu terletak pada satu ruas
jalan yang berbeda
143
Gambar 7.42 Tata Letak Pelataran Parkir dengan Posisi Pintu Masuk dan
Keluar Menyatu dan Terletak pada Satu Ruas Jalan yang Berbeda
b. Gedung Parkir
Kriteria
- Tersedianya tata guna lahan
- Memenuhi persyaratan konstruksi dan perundang-undangan yang
berlaku
- Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan
- Memberikan kemudahan bagi pengguna jasa
Tata letak gedung parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Lantai datar dengan jalur landai luar (external ramp)
- Lantai terpisah
- Lantai gedung yang berfungsi sebagai ramp
- Tinggi minimum ruang bebas lantai gedung parkir adalah 2,5 meter
144
(misalnya tiap 15 menit, 30 menit, atau 1 jam). Pencatatan dilakukan secara
manual (mencatat nomor kendaraan pada saat pertama kali terlihat dan memberi
tanda bila terlihat pada interval waktu berikutnya), dengan data loggers, atau
dengan tape recorder.
145
7.9 Manajemen Pengelolaan Parkir
1. Umum
Fasilitas tempat parkir merupakan fasilitas pelayanan umum, yang
merupakan faktor yang sangat penting dalam sistem transportasi di daerah
perkotaan. Dipandang dari sisi teknik lalu lintas, aktivitas parkir yang ada saat ini
sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas, mengingat sebagian besar
kegiatan parkir dilakukan di badan jalan.
Pengaturan aktivitas parkir di badan jalan akan membawa konsekuensi
penyediaan fasilitas parkir di luar badan jalan; dengan pengelolaan fasilitas parkir
di luar jalan tersebut dapat diusahakan oleh pemerintah daerah atau pihak swasta.
Di sisi lain aktivitas parkir, baik yang berada di badan jalan dan di luar badan
jalan dapat merupakan sumber pendapatan daerah yang potensial apabila dikelola
secara baik.
146
- Pemerintah daerah bekerja sama dengan swasta
3. Retribusi Parkir
Besaran retribusi parkir untuk tiap jenis kendaraan dan fasilitas parkir pada
prinsipnya harus berbeda. Besaran tersebut akan mempengaruhi besar pendapatan
asli daerah yang akan diterima. Mengingat pengadaan fasilitas diluar badan jalan
banyak mengalami kendala dalam kaitannya dengan keterbatasan dana dari
pemerintah daerah dan keterbatasan lahan, maka untuk memberi rangsangan pihak
swasta untuk menginvestasikan atau menyediakan fasilitas parkir di lingkungan
pusat kegiatannya yang cukup memadai, penentuan tarif parkir untuk fasilitas
parkir yang dikelola swasta dilakukan tanpa campur tangan pemerintah daerah,
tetapi pihak pengelola diwajibkan membayar retribusi ke pemerintah daerah
dengan besarannya merupakan persentase dari tarif parkir yang diterapkan.
Sedangkan untuk pusat-pusat kegiatan yang membebaskan biaya parkir
khususnya pusat kegiatan yang bersifat bisnis, besarnya retribusi sebaiknya diatur
oleh pemerintah daerah dengan pengelola pusat kegiatan yang bersangkutan.
147
BAB VIII
MANAJEMEN LALU LINTAS
148
jalan yang dapat dibalik arahnya untuk jalan-jalan yang mengalami puncak lalu
lintas pada arah tertentu dan pembatasan gerak membelok pada simpang-simpang
jalan.
Sasaran manajemen lalu lintas sesuai dengan tujuan diatas :
a. Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan
terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk menimumkan
gangguan terhadap lalu lintas.
b. Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikan kapasitas atau
mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan dengan menentukan fungsi
jalan dan kontrol terhadap aktifitas-aktifitas yang tidak cocok dengan fungsi
jalan tersebut harus di kontrol.
149
Pola Arus Lalu Permintaan akan
Sistem Jalan
Lintas Pergerakan
150
9. Pembuatan taman dipinggir jalan, perubahan alinemen jalan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan
151
8.2.4 Sistem pentarifan
Sistem pentarifan diterapkan pada penggunaan fasilitas parkir, pemakaian
angkutan umum, dan penggunaan suatu jalan atau jembatan khusus.
Dalam kaitannya dengan manajemen lalu lintas sistem pentarifan
diterapkan sedemikian rupa, sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan
angkutan umum, masalah parkir berkurang, dan masyarakat memilih rute yang
benar. Ini semua bertujuan untuk meningkatkan kelancaran arus, keselamatan lalu
lintas, peningkatan kualitas lingkungan dan kemudahan akses.
152
2. Manajemen Prioritas
Terdapat beberapa pilihan yang dapat dilakukan dalam manajemen prioritas
terutama adalah prioritas bagi kendaraan penumpang umum yang
menggunakan angkutan masal karena kendaraan tersebut bergerak dengan
jumlah yang banyak dengan demikian efisiensi penggunaan ruas jalan dapat
dicapai. Teknik yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan penggunaan :
a. Jalur khusus bus
b. Prioritas persimpangan
c. Jalur bus
d. Jalur khusus sepeda
e. Prioritas bagi angkutan jalan
3. Manajemen Demand (permintaan)
Dalam strategi ini yang dapat dilakukan adalah :
a. Merubah rute kendaraan pada jaringan dengan tujuan untuk memindahkan
kendaraan dari daerah macet ke daerah tidak macet
b. Merubah moda perjalanan dari angkutan pribadi ke angkutan umum pada
jam sibuk yang berarti penyediaan prioritas bagi angkutan umum
c. Kontrol terhadap penggunaan tata guna lahan
Teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen demand ini antara lain adalah
dengan melakukan :
a. Kebijakan parkir
b. Penutupan jalan
c. Area dan cordon lincesing
d. Batasan fisik
153
tempat penyeberangan pada lalu lintas kendaraan dapat dipilih dan kemudian
aturan dilaksanakan untuk mengendalikan, mewadahi arus dan memisahkan
tempat-tempat konflik terjadi antara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis
fasilitas yang diperlukan didasarkan pada ada tidaknya ruang-ruang antara pada
arus lalu lintas dan waktu tunda yang mungkin ditimbulkan oleh penyeberangan
jalan oleh pejalan kaki. (lihat gambar 8.2).
Gambar 8.2 Proporsi Pejalan Kaki yang Tertunda dan Rerata Penundaan
Pejalan Kaki di Persimpangan Jalan
(Sumber : Perencanaan Teknik Lalu Lintas, F. D. Hobbs)
154
peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum. Yang diperlukan bukan hanya
meningkatkan pelayanan tetapi juga memberikan fasilitas tambahan bagi
pelancong yang dipindahkan atau menunggu pemakaian jenis angkutan lain.
Setelah tujuan-tujuan spesifik ditetapkan untuk area-area penting dalam hal
kebutuhan gerak maka metode studi lalu lintas baku dapat dipakai pada sejumlah
studi kasus. Ini mencakup lokasi pergantian moda transportasi penting, pada
sistem bis dan kereta api, dan penempatan serta ukuran taman parkir yang
memadai. Estimasi lalu lintas sekarang dan yang akan datang diperlukan untuk
menentukan lalu lintas yang terbangkitkan dan yang terdistribusikan. Karena
tempat-tempat tujuan mungkin berubah dan pola-pola rute dapat terpengaruh,
khususnya untuk beberapa sopir lainnya, maka perubahan pada jaringan jalan
dibuat. Pada kebanyakan kota besar dan kecil jenis angkutan umum yang penting
adalah bis dan kebanyakan peningkatan diarahkan pada peningkatan prioritasnya
terhadap kendaraan lainnya.
155
tingkat kerawanan yang tinggi. Dari segi umur anak-anak dan remaja mempunyai
tingkat kerawanan yang lebih tinggi.
Penanganan di daerah kecelakaan dapat dilakukan dengan 4 cara :
1. Penanganan di titik rawan kecelakaan (blackspot)
Penanganan jenis ini paling sering dilakukan karena dianggap langsung
mengenai sasaran dan murah. Penanganan dilakukan di tempat-tempat yang
paling sering terjadi kecelakaan dan yang diharapkan pengurangan kecelakaan
yang signifikan.
2. Penanganan secara massal
Biasanya penanganan ini dilakukan untuk jenis tertentu, misalnya perbaikan
kekasaran permukaan jalan. Penerapannya dilakukan pada lokasi-lokasi
terpilih.
3. Penanganan rute kecelakaan
Penanganan ini dilakukan apabila sering terjadi kecelakaan di sepanjang jalan
utama (misalnya : ruas jalan tol Jagorawi). Yang sering dilakukan adalah
penambahan lampu penerangan, perbaikan marka jalan, pengaturan parkir,
pengaturan kecepatan, dan pengaturan pergerakan kendaraan (arus
membelok).
156
keluarnya. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan
sesudah penerapan. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperkirakan pola
arus lalu lintas yang akan dating dan pengaruh penerapan manajemen lalu lintas
terhadap kelancaran arus, keselamatan lalu lintas, kualitas lingkungan dan
aksesibilitas manusia dan barang.
157
Tabel 8.1 Keuntungan dan Kerugian Jalan Satu Arah
No KEUNTUNGAN KERUGIAN
1 Menambah kapasitas pada dan Jarak perjalanan lebih panjang dan
antara simpang-simpang jalan volume lalu lintas lebih besar di
distribusi lalu lintas mungkin beberapa jaringan yang dapat
menjadi lebih baik menimbulkan berbeloknya lalu
lintas lebih banyak pada ujung-ujung
jalan
2 Berkurangnya konflik pejalan kaki Kesulitan pengatur rute lalu lintas
dan kendaraan, biasanya mengurangi pada suatu kawasan, khusus
jumlah kecelakaan dan tabrakan pendatang. Hilangnya kenyaman-an
yang lebih parah bagi penduduk di area-area jalan
satu arah dan rusaknya lingkungan
yang mungkin dapat terjadi
3 Semakin membaiknya kondisi- Beralihnya titik-titik muatan
kondisi parkir ditepi trotoar dan transportasi umum dan akibat pada
berkurangnya gangguan pember- jangkauan rute dan penjadwalan bis
hentian bis dan kendaraan yang
sedang bongkar muat
4 Peningkatan pemanfaatan jalan Penambahan jarak pejalan kaki
dengan jumlah jalur untuk penumpang transportasi
umum
5 Lebih memudahkan pemakaian Pertentangan kepentingan sepanjang
sistem pengaturan rambu lalu lintas rute jalan satu arah
modern
6 Jalan-jalan penghubung yang lebih Pengendara dan pejalan kaki selama
ke dan dari jalan tanjakan pada tahap awal mengalami kesulitan
tempat-tempat persimpangan jalan pengenalan
di kota dan lebih sederhananya
distribusi lalu lintas pada jalan lokal
(Sumber : Perencanaan Teknik Lalu Lintas, F. D. Hobbs)
158
Sistem jalan satu arah dapat dilihat pada gambar 8.3.
159
Menunjukkan rute alternatif
Tanda dilarang belok kanan
Gambar 8.4 Macam bentuk belokan ke kanan
(Sumber : Perencanaan Teknik Lalu Lintas, F. D. Hobbs)
160
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, I., Yani, A., dan Sutiono, E., 1995, Menuju Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang Tertib, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta.
Asian Development Bank, Road Safety Guideliness for The Asian and Pacific
Region, TRL Overseas Centre, Newcastle.
Brilon, W., Grobmann, M., Blanke, H., 1993, Deutsches HCM : Entwurf Eines
Handbuchs, Lehrstuhl fur Verkehrswesen, Ruhn-Universitat Bochum.
Confederation of British Road Passenger Transport, 1981, Urban Planning and
Design for Road Public Transport, U.K.
Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota, Dirjen Perhubungan Darat,
Departemen Perhubungan RI, 1998, Pedoman Perencanaan dan
Pengoperasian Fasilitas Parkir, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1992, Standar
Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1999,
Pedoman Perencanaan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki pada Jalan
Umum, PT. Media Saptakarya, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan RI, 1996,
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir, Jakarta.
Evans, L., 1991, Traffict Safety and The Driver, Van Nostrand Reinhold, New
York.
Giannopoulos, 1989, Bus Planning and Operation in Urban Areas : a Practical
Guide, Avebury, Sidney.
Hill, B., Elliot G., Clark, D., 1994, Microcomputer Accident Analysis Package v
5.0 User Guide, Overseas Centre, Transport Research Laboratory,
Crowthorne, Berkshire.
Hobbs, F. D., 1979, Traffic Planning and Engineering, Second Edition, Pergamon
Press, England.
161
Institute of Traffic Engineers (ITE), 1976, Transportation and Traffic
Engineering Handbook, Prentice Hall, New Jersey.
Iskandar, H., 1996, Laporan Pengembangan Teknologi Keselamatan Pemakai
Jalan, Puslitbang Jalan, Bandung.
Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 61
Tahun 1993 tentang Rambu-rambu Lalu Lintas di Jalan, Jakarta.
Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 60
Tahun 1993 tentang Marka Jalan, Jakarta.
Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 66
Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Jakarta.
Menteri/Sekretaris Negara RI, 1992, Undang-undang Republik Indonesia No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta.
162
Munawar, Ahmad, dkk, 1986, design for Road and Car Parks in Shopping Areas
by Using Multi Constraint Approach System, Proceedings,
International Symposium on Urban Transportation in Taipei, R.O.C.
Munawar, Ahmad, dkk, 2003, Evaluasi Penggunaan Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI) 1997 untuk Simpang Bersinyal, Makalah pada
Simposium VI FSTPT Universitas Hasanuddin, Makasar.
NATO CCMS Report No. 45, 1976, Bus Priority System, Transport and Road
Research Laboratory, Department of Environtment, United Kingdom.
Ogden, K. W., Taylor, S. Y., 1999, Traffic Engineering and Management,
Institute of Transport Studies, Monash University, Australia.
Oglesby, C. H., Hicks, R. G., 1982, Higway Engineering, Fourth Edition, John
Wiley and Sons, Inc, New York.
Pignataro, L. J., 1973, Traffic Engineering Theory and Practice, Prentice Hall,
Englewood.
Salter, R. J., Hounsell, N. B., 1996, Higway Traffic Analysis and Design, Third
Edition, Mac Millan Press LTD, London.
Transportation Research Board, National Research Council, 2000, Higway
Capacity Manual, Washington D.C.
Vuchic, V. R., 1981, Urban Transportation System and Technology, Prentice
Hall, New Jersey.
Webster, P. V., 1988, Traffic Signal Settings, Road Research Technical Paper No.
39, HMSO, London.
Widodo, W., 1997, Perbandingan Antara Metoda MKJI 1996 dengan Program
Oscady pada Simpang Bersinyal (Studi Kasus Simpang Empat Jetis
Yogyakarta), Tesis S2, Magister Sistem dan Teknik Transportasi
(MSTT), FT-JTS, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
163