Anda di halaman 1dari 19

BISNIS PLAN USAHA BUDIDAYA LARVA/MAGGOT BSF (BLACK

SOLDIER FLY) UNTUK PAKAN TERNAK UNGGAS DAN IKAN

MATA KULIAH : Kewirausahaan


DOSEN PENGAMPU: Muhammad Reza Aulia,S.pt,M.Si

Disusun Oleh:

Nama:Rudi Lumban Gaol NPM


:190430030 Prodi
:Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS St THOMAS MEDAN
-2021-
RINGKASAN Bisnis
plan

Beternak selama ini terkendala mahalnya harga pakan. Sehingga


peternak ikan terutama juga yang berskala kecil seringkali mengalami
kerugian. Budidaya maggot optimis dapat mengatasi permasalahan pakan
tersebut. Output budidaya BSF berupa larva, diproduksi dengan biaya sangat
murah karena bahan baku utamanya sampah organik, yaitu sampah pasar atau
sampah rumah tangga.
Larva BSF adalah pakan berkualitas sangat baik, berharga
murah. Kandungan protein larva BSF (40-50)%, melebihi kadar
protein pelet pabrik terbaik. Prinsip proses produksinya adalah bio-
konversi sampah organik menjadi sumber protein. Maka selain
mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak/petani ikan,
budidaya BSF ini memiliki sisi idealisme, dapat mereduksi volume
sampah pasar dan sampah rumahtangga yang selama ini menjadi
permasalahan sosial tersendiri.

Budidaya BSF yang akan didirikan 12 unit. Kapasitas produksi 4.320


kg larva/tahun. Harga larva dipasaran Rp 6000/kg, Maka nilai total
produksi per unit Rp 64.800.000/tahun. Laba usaha Rp
51.300.000/tahun/unit. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk biaya
investasi sebesar Rp 21.650.000 dan biaya operasional sebesar Rp
13.500.000 Jumlah Rp 35.150.000 (Tiga puluh lima juta seratus
limapuluh ribu rupiah).
LALAT BSF BUKAN VEKTOR PENYAKIT

Larva maggot

Tampilan BSF Tampilan Lalat Hijau Vektor Penyakit


9

DAFTAR ISI

RINGKASAN PROPOSAL .............................................................................. i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1

Latar Belakang ………………………………………………......... 1

Visi dan misi ………………………………………………………. 2


1.1. Alasan Pemilihan Maggot BSF Sebagai Pakan ......................... 2
1.2. Alat dan Bahan ............................................................................ 3
1.3. Proses Produksi .......................................................................... 5
1.4. aspek pasar dan pemasaran …………………………....... 7
1.5. Deskripsi Kelayakan Teknis ....................................................... 7
1.6. Deskripsi Kelayakan Sosial ........................................................ 7
1.7. Deskripsi Kelayakan Finansial .................................................. 7
1.8. Kebutuhan Modal ....................................................................... 10
BAB 2 KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN IKAN NILA .................. 14
3.1. Alasan Pemilihan Ikan Nila ........................................................ 14
3.2. Analisis Kelayakan Finansial Pembesaran Nila ......................... 14
Lampiram 1....................., .......................................................... 19
9

A. Latar Belakang

Maggot merupakan larva black soldier fly atau serangga bunga yang
secara luas dapat ditemukan dimana saja, memiliki tekstur yang kenyal dan
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan enzim , sehingga bahan tersebut
yang akan sebelumnya sulit untuk dicerna dapat disederhanakan dan dapat
dimanfaatkan oleh ikan. Dan maggot juga mempunyai kelebihan yaitu
memiliki kandungan anti jamur dan anti mikroba, sehingga apabila
dikonsumsi oleh ikan akan meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan
penyakit bakterial dan jamur. Maggot bekerja mekanan limbah organik
menjadi biomassa yang lebih sederhana. Pada maggot, salah satu cara untuk
menghambat pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan populasi
maggot adalah dengan meletakkan maggot padamedia yang mengandung
nutrisi yang sesuai. Sampah organik dari limbah pasar merupakan media
pembesaran maggot yang bisa dijadikan pakan.
Limbah yang ada di pasar selama ini menjadi sumber masalah bukan
hanya karena bau yang ditimbulkan tetapi juga karena mempunyai banyak
dampak pada manusia antara lain kesehatan (menjadi sarang/sumber
penyakit), lingkungan, dan sosial ekonomi. Padahal tumpukan sampah dapat
menjadi sumber nutrisi yang berlimpah dan tidak sedikit nilainya, asalkan
kita dapat mengelolanya dengan teknologi yang baik dan benar. Limbah
yang ada di pasar merupakan bahan-bahan hasil sampingan dari kegiatan
manusia yang berada di pasar dan banyak mengandung bahan organik.
Limbah tersebut saat ini bukan hanya digunakan untuk mendukung di
pertanian saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam bidang peternakan dan
perikanan terutama limbah sayuran dan buah-buahan. Limbah buah buahan
dan sayuran merupakan jenis limbah organik yang memiliki kandungan air
yang tinggi
Karena maggot merupakan salah satu alternatif pakan yang memenuhi
persyaratan sebagai sumber protein. Bahan makanan yang mengandung
protein kasar lebih 19%, digolongkan sebagai sumber protein .

VISI
Supaya Indonesia bisa bebas sampah dan bisa mengolah sampah dengan baik
supaya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi,sehingga bisa membantu
perekonomian masyarakat.
9
MISI
Untuk membantu perekonomian masyarakat dengan membudidayakan
maghot

Bab 1
KELAYAKAN PER UNIT USAHA BUDIDAYA
MAGGOT BSF

1.1. Alasan Pemilihan Maggot BSF Sebagai Pakan


Tantangan terbesar usaha perikanan air tawar dan usaha ternak yang dilakukan dalam
sekala kecil dan skala rumah tangga adalah efisiensi dan biaya pakan. Rata-rata biaya
pakan mencapai (70-80)% dari total biaya usaha peternakan unggas atau perikanan.
Permasalahannya harga pakan (pabrikan) buat petani ikan atau peternak terlalu mahal
sehingga margin harga input dengan harga ouput terlalu kecil, sehingga membayangi
usaha petani ikan/peternak diambang kerugian.
Larva yang pada pase prepupa dan pupa dari lalat Black Soldier Fly merupakan salah
satu alternatif sumber pakan yang memenuhi persyaratan sebagai sumber protein.
Larva BSF merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki kadar protein
tinggi, melebihi kadar protein pakan pelet pabrikan. Larva BSF mengandung (41% )
protein kasar, 30-35% ekstrak eter, 15% abu, 4.85.1% kalsium, dan 0.60-0.63%
fosfor. Padahal kadar protein pakan pelet buatan pabrik yang beredar dipasaran
selama ini hanya berkisar antara (32-35)%.
Maka berdasarkan kandungan nutrisi seperti tersebut di atas, larva BSF layak
dijadikan pakan ikan ataupun ternak unggas. Karena kandungan proteinnya yang
tinggi, larva BSF dapat digunakan untuk mensubstitusi penggunaan tepung ikan yang
harganya relatif mahal. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini masih harus
impor untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan sebagai bahan baku pakan pelet untuk
ternak mapun usaha perikanan.
Sebagian kecil peternak dan petani ikan terutama pengusaha yang berskala kecil dan
menengah sudah banyak yang menggunakan larva BSF sebagai pakan. Maka
sekarang ini larva BSF laku dijual dengan kisaran harga Rp 6000–Rp 8000 per
kilogram. Bandingkan dengan harga pakan pelet buatan pabrik dengan kualitas
terbaik yang mencapai harga dengan kisaran Rp (10.000–15.000) per kilogram.
Harga pakan dengan larva BSF jauh lebih murah dari harga pakan buatan pabrik,
padahal kualitas larva BSF jauh labih baik kualitasnya sebagai pakan ternak maupun
pakan ikan.
Pengadaan atau proses produksi larva BSF ini sangat mudah dan dapat
kesinambungannya. Produksi larva BSF pada dasarnya merupakan proses
9
biokonversi sampah organik menjadi sumber protein pakan ternak/ikan. Di negara-
negara maju teknologi biokonversi dengan pengembang biakan BSF ini sudah
menjadi industri besar dan dilakukan secara masal, di Indonesia belum terlalu banyak,
kalaupun ada para pelaku pengembang biakan larva BSF masih dalam skala kecil.
Berdasarkan alasan-alasan seperti yang telah diuraikan kami memberanikan diri untuk
mengembangkan Usaha Budidaya Larva BSF yang sedang dijalani untuk ditingkatkan
skala usahanya. Peningkatan usaha tidak hanya semata-mata skalanya namun juga
bermaksud “menduplikasi” agar lebih banyak teman-teman sejawat yang dapat
dilibatkan. Dengan duplikasi ini diharapkan akan lebih banyak teman-teman yang
belum beruntung memiliki pekerjaan tetap menjadi punya pekerjaan penghasilan yang
tetap. Hasil analisis kandungan nutrisi tepung BSF sangat menjanjikan dan terbukti
memiliki kandungan nutrisi yang mirip dengan tepung ikan. Penggunaan tepung BSF
pada campuran pakan ayam broiler hingga 100% tidak menimbulkan efek negatif
kecernaan bahan kering (57,96 – 60,42%), energi (62,03 – 64,77%) dan protein
(64,59 – 75,32%), walaupun hasil yang terbaik diperoleh dari penggunaan BSF 25%
atau 11,25% dalam pakan.
Penggunaan tepung larva BSF hingga 50% juga dilaporkan mampu meningkatkan
tingkat konsumsi pakan burung puyuh dengan berat telur berkisar 9,25 – 10,12 g,
termasuk meningkatkan poduksi telur sampai 3,39%. Penggantian tepung ikan dengan
tepung larva BSF sebanyak 75% dan 100% menghasilkan tingkat konsumsi pakan dan
berat telur yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Penggantian tepung
ikan dengan 50% tepung BSF pada pakan ayam pedaging mampu meningkatkan
performa ayam yang siap panen dan lebih ekonomis.
Pemanfaatan lalat BSF sebagai agen biokonversi sekaligus penyedia sumber protein
alternatif memiliki beberapa keuntungan. Lalat BSF bukan merupakan vektor
penyakit, sehingga tidak menyebarkan penyakit seperti lalat rumah Musca domestica
atau lalat hijau. Menariknya, lalat ini mampu mengurangi populasi lalat rumah M.
domestica dengan cara mengeluarkan sinyal kimia dilingkungan sekitarnya untuk
mencegah lalat rumah bertelur didaerah tersebut.
Disamping itu, ekstrak etanol larva BSF juga bersifat antibakteri untuk bakteri gram
positif, seperti Klebsiella pneumonia, Neisseria gonorrhoeae dan Shigella sonnei,
tetapi tidak efektif untuk bakteri gram positif, seperti Bacillus subtilis, Streptococcus
mutans dan Sarcina lutea. Laporan lain juga menyebutkan bahwa larva BSF mampu
menurunkan populasi Salmonella spp hingga 6 log10 pada feses manusia selama 8 hari,
termasuk menurunkan populasi Erechia coli O157:H7 dan Salmonella enterica
serovar Enteritidis pada kotoran unggas dan E. coli pada kotoran sapi perah. Studi
terbaru juga menunjukkan bahwa larva ini bersifat antivirus pada golongan
enterovirus dan adenovirus serta menurunkan populasi telur cacing Ascaris suum.
Melihat banyaknya keuntungan dari larva BSF, maka perlu dipikirkan teknik
budidayanya yang praktis dan aplikatif sehingga para peternak dapat
mengembangbiakan lalat ini dengan memanfaatkan limbah rumah tangga,
limbah kandang atau limbah pasar di sekitar rumahnya.
9
Setidaknya, permasalahan sampah organik disekitar kita dapat diselesaikan dengan
agen biokonversi lalat BSF untuk menghasilkan produk lain yang lebih bermanfaat
dan memiliki nilai ekonomis. Secara tidak langsung, dengan menggunakan tepung
BSF maka biaya pengadaan pakan dalam produksi ternak dapat ditekan tanpa
harus mengurangi kualitas dan kuantitas atau performa produk ternak.
1.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang diperlukan untuk budidaya maggot BSF ini adalah:

a. Kandang insek (lalat) adalah tempat kawin dan bertelurnya lalat BSF yang
kemudian telur tersebut diambil oleh pembudidaya untuk dibesarnya menjadi
bentuk prepupa dan pupa;
b. Baskom plastik diperlukan untuk tempat penetasan telur BFS yang dipanen di
kandang lalat;

c. Biopond adalah “kolam” tempat pembesaran larva terbuat dari kayu. Agar
kapasitas nya besar dibuat tiga tingkat. Telur yang sudah menetas dalam
baskom dipindahkan ke biopond yang sudah disiapkan dengan medianya;
d. Timbangan diperlukan untuk menimbang hasil (larva) atau input (sampah) yang
dimasukkan dalam proses produksi;
e. Timbangan mikro diperlukan untuk pengamatan dalam menimbang telur atau
larva yang masih sangt kecil;
f. Termometer digunakan untuk pengamatan suhu lingkungan instalasi produksi
dan media dalam biopond.
g. Barometer digunakan untuk mengukur kelembaban media dan atau kelembaban
udara sekitar.

Contoh Instalasi Kandang Insek tempat bertelur BSF


9

Contoh Instalasi Biopond Budidaya Larva BSF

Sedangkan bahan yang digunakan terdiri dari :

a. Media hidup larva: dapat berupa serbuk gergaji, dedak, ampas kelapa, ampas
tahu dll;
b. Pakan untuk larva: yaitu bahan pokok utama berupa sampah organik rumah
tangga, sampah organik pasar, sisa rumah makan dll.
9

Sampah organik pakan untuk Larva Serbuk Gergaji Media hidup


Larva

1.3. Proses Produksi/Biokonversi


Proses produksi larva BSF mengikuti alur perkembangan dari siklus hidup lalat BSF.
Lalat BSF kawin dalam kandangndan bertelur. Telur BSF diambil dan dipelihara
hingga menetas menjadi Bayi Larva. Dalam waktu 18 s/d 21 hari bayi larva ini akan
lanjadi Larva Dewasa. Pada hari ke 21 Larva Dewasa ini akan berubah warna
menjadi Prepupa yang berwarna hitam, dan usia yang ke 27s/d28 hari Prepupa akan
manjadi Pupa. Selanjutnya pupa akan berubah menjadi lalat.
Dari tahapan siklus hidup BSF tersebut pada tahapan Larva Dewasa dan atau Prepupa
merupakan tahapan siklus hidup lalat yang optimal untuk dijadikan pakan ternak atau
ikan. Pemberian pakan dapat diberikan langsung pada ternak atau ikan dalam bentuk
Larva atau Prepupa. Apabila produksinya melimpah Prepupa/Larva dapat diolah
terlebih dahulu menjadi pelet.
Untuk tujuan regenerasi agar kegiatan usaha berkesinambungan, sebagian Prepupa
dipelihara berlanjut siklus hidupnya menjadi Pupa. Selanjutnya Pupa akan manjadi
lalat BSF kembali.
9

Kondisi Optimal untuk Pakan


10

1.4. Aspek Pasar dan Pemasaran

Dalam hal pemasaran akan di mulai dengan memasarkan ke peternak ikan


dan unggas dalam bentuk larva kering atau dalam bentuk pelet. Dan bisa pesan melalui
sosial media seperti olshop, instagram, facebook dll untuk memesan maggot kering ini.
1.5. Deskripsi Kelayakan Teknis

Beberapa catatan yang berkaitan dengan aspek teknis budidaya larva BSF ini antara
lain:

a. Budidaya larva BSF mudah, dapat dilakukan oleh banyak orang, tidak
memerlukan pendidikan khusus, hanya memerlukan keterampilan yang dapat
dilatihkan dalam waktu singkat. Maka budidaya BSF mudah diduplilaski.
b. Satu siklus produksi dalam budidaya lalat BSF cukup pendek, sehingga memiliki
kesesuaian untuk dijadikan penghasilan yang berkesinambungan bagi yang belum
mempunyai pekerjaan;
c. Lalat BSF memiliki tolerasi yang cukup luas terhadap berbagai kondisi iklim
sehingga mudah beradaptasi terhadap kondisi iklim tempat dimana budidaya BSF
dilaksanakan.
1.6. Deskripsi Kelayakan Sosial
Beberapa catatan yang berkaitan dengan aspek sosial budidaya larva BSF ini antara
lain:
a. Larva BSF adalah pengurai biomasa organik, dapat membantu mereduksi
volume sampah organik yang menjadi masalah sosial selama ini di perkotaan
atau permukiman;
b. Lalat pada umumnya adalah vektor penyakit, namun jenis lalat BSF bukan
termasuk vektor penyakit, sehingga aman untuk dibudidayakan;
c. Usaha budidaya BSF dapat menjadi solusi untuk menciptakan lapangan
pekerjaan dan sumber pendapatan yang layak bagi yang belum memiliki
pekerjaan.
13
1.7. Deskripsi Kelayakan Finansial
Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan usaha biokonversi sampah pasar
manjdi larva BSF siap saji untuk pakan ini diuraikan sebagai berikut:

Kegiatan usaha budidaya maggot atau larva BSF ini dapat mengkonversi biomasa
sampah organik hingga lebih dari 50%. Sehingga apabila memiliki sampah organik
seberat 1000 kg, akan dikonversi menjadi material larva seberat lebih dari 500 kg.
Satu siklus biokonvesri sampah organik pasar menjadi larva diperkirakan mencapai
(20-21) hari. Dengan kata lain siklus produksi mulai dari input produksi sampah pasar
menjadi larva yang dapat dijadikan pakan ternak/ikan memerlukan waktu kurang
lebih 3 minggu. Sehingga dalam satu tahun bisa mencapai 18 kali siklus proses
produksi.
1. Biaya Tetap/Biaya Investasi. Biaya investasi untuk produksi Rp 21.650.000 yang
diperuntukkan bagi :

a. Bangunan 60 m2 @ Rp 200.000 = Rp 12.000.000


b. Pembuatan Biopond 12 Unit @ Rp 600.000 = Rp 7.200.000
c. Kandang Insek (lalat) 1 unit @ Rp 900.000 = Rp 900.000
d. Peralatan baskom plastik, timbangan dll (1 paket) = Rp 1.550.000.
Jumlah Rp 21.650.000
2. Biaya Variabel/Biaya Operasional. Biaya operasional untuk intalasi produksi
maggot Rp 13.500.00 /tahun, terdiri dari:
a. Angkutan sampah pasar 18 periode prod @ Rp 100.000 = Rp 1.800.000
b. Upah tenaga kerja 18 periode @ Rp 200.000 =Rp 3.600.000
c. Media larva (dedak kasar) 18 periode @ Rp 450.000 =Rp 8.100.000
Jumlah = Rp 13.500.000
3. Biaya Total. Biaya total adalah biaya investasi ditambah biaya operasional yaitu :
a. Biaya investasi Rp 21.650.000
b. Biaya operasional Rp 13.500.000
Biaya Total Rp 35.150.000 (Tigapuluh lima juta seratus
limapuluh ribu rupiah).
Pada tahun kedua tidak ada lagi biaya investasi sehingga mulai tahun ke 2 dan
seterusnya hanya ada pengeluaran untuk biaya operasional untuk setiap
periode produksi sebesar Rp 13.150.000
13
4. Penerimaan. Penerimaan dari usaha produksi maggot ini adalah larva yang siap
untuk dijadikan pakan ikan atau ternak. Produksi per biopond 20 kg, sehingga total
produksi seluruhnya per periode produksi 12 biopond @ 20 kg = 240 kg
maggot/periode produksi, sehingga total produksi dalam satu tahun 18 priode
produksi adalah sebesar 18 @ 240 kg = 4.320 kg/tahun. Sedangkan harga maggot
@ Rp 6000/kg Sehingga total penerimaan dari hasil penjualan maggot 4.320 kg @
Rp 6000/kg = Rp 25.920.000

5. Laba Usaha. Usaha produksi maggot ini mendapatkan laba Rp 2.850.000/20 hari.
Sehingga sampai akhir tahun pertama laba usaha mencapai Rp 29.650.000 Pada
akhir tahun pertama usaha produksi sudah mencapai pay back periode. Kembali
modal akan dicapai pada periode produksi ke delapan yaitu pada hari ke 160. Pada
tahun kedua dan seterusnya usaha produksi maggot mendapatkan laba sebesar Rp
51.300.000/tahun.
Untuk lebih jelasnya rincian biaya, dan penerimaan tersebut disajikan dalam Tabel 11
berikut.

Tabel 1-1 Biaya, Penerimaan Usaha Produksi Maggot Dalam 3 Tahun


BIAYA Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
INVESTASI Harga
Sat Rp Rp Rp
Vol Satuan
Bangunan 60 m2 200.000 12.000.000

Biopond Unit 12 Unit 600.000 7.200.000

Kandang lalat 1 Unit 900.000 900.000

Peralatan 1 paket 1.550.00 1.550.000


0
Biaya 21.650.000
Investasi
B.
OPERSIONAL
Angkutan 18 periode 100.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000
Sampah
13
Media maggot 18 periode 200.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000

Tenaga Kerja 18 HOK/prod 450.000 8.100.000 8.100.000 8.100.000

Biaya 13.500.000 13.500.000


Operasional 13.500.000
Biaya Total 35.150.000 23.400.000
23.400.000
Hasil Magot 4.320 kg 6.000 25.920.000 25.920.000
25.920.000
Laba Usaha (9.230.000) 12.420.000
Maggot 12.420.000
Laba (9.230.000) 3.190.000 15.610.000
Akumulasi

1.7. Kebutuhan Modal

Modal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini adalah untuk biaya investasi
atau biaya tetap (fixed cost) dan biaya operasional atau variabel (variable cost) yang
dikeluarkan selama dalam satu tahun pertama adalah 35.150.000. Berdasarkan hasil
analisis Cash Flow yang direncanakan, kegiatan usaha ini akan kembali modal pada
periode produksi ke 15 tahun kedua.
13

BAB 2

KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN IKAN

Sekerdar ilustrasi, pada usaha “Larvamina Bintang” unit usaha budidaya BSF yang
sudah berjalan, larva yang dihasilkan digunakan untuk usaha perikanan sendiri. Larva
tidak dijual keluar namun digunakan untuk usaha perikanan. Untuk sepuluh unit usaha
yang akan dibangun untuk sementara tidak diintegrasikan dengan usaha perikanan. Hal ini
disebabkan tidak semua tempat memiliki kondisi ideal untuk usaha perikanan.
3.1. Alasan Pemilihan Jenis Ikan Nila
Nila adalah ikan air tawar yang sangat populer di kalangan masyarakat. Permintaan pasar
ikan nilan yang tinggi, terus memacu peningkatan produksi budidaya ikan nila.
Beberapa alasan pemilihan jenis ikan yang diusahakan diantaranya adalah:

a. Ikan nila sangat mudah untuk dikembangbiakan. Jenis ikan ini sering kali “mijah”
dengan sendirinya. Maka usaha pengelolaan hatchery tidak akan mengalami kendala
teknis yang berarti.
b. Jenis ikan nila tahan terhadap hama dan penyakit, serta memiliki toleransi yang cukup
luas terhadap berbagai variasi kondisi perairan. Maka kegiatan usaha ini tidak
menanggung beban risiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi agroklimat.
c. Ikan nila merupakan sumber protein hewani yang terbilang murah, dibandingkan
sumber protein hewani lainnya. Sehingga terjangkau oleh semua tingkatan ekonomi
konsumen, sehingga segmen pasarnya luas.
d. Pasar ikan nila cukup potensial, banyak masyarakat yang menyukai jenis ikan ini. 3.2.
Analisis Kelayakan Finansial Pembesaran Nila

Usaha pembesaran adalah usaha membesarkan deder nila berukuran “koral”, kira-kira
sebesar ibu jari, dan dipanen setelah layak konsumsi. Ikan nila layak konsumsi bobotnya
mencapai (5 – 10) ekor/kg. Untuk mencapai ukuran tersebut dari benih sebesar ibu jari
diperlukan waktu ± lebih 4 bulan.

1. Biaya Tetap (Fixed Cost). Biaya tetap yang dibutuhkan untuk merealisasikan
pembesaran ini Rp 8.950.000 Rincian komponen biaya tetap dimaksud diuraikan sebagai
berikut.

a. Penyiapan kolam. Persiapan kolam membereskan pematang dan aktivitas lainnya.


13

Jumlah kolam 7 unit @ Rp 250.000 = Rp 1.750.000/tahun.


b. Tenaga Kerja. Upah tenaga kerja untuk kegaiatan usaha Rp 1000.000/bulan, namun
sebagian telah dibebankan pada usaha maggot, sehingga biaya tenaga kerja yang
dibebankan pada unit usaha pembesaran ikan Rp 500.000/bulan, sehingga total biaya
tenaga kerja dalam satu tahun Rp 6.000.000
c. Pemeliharan Kolam.Pemeliharaan kolam dianggarkan sebesar Rp
100.000/bulan sehingga total dalam satu tahun Rp 1.200.000
2. Biaya Variabel (Variabel Cost). Besarnya biaya variabel Rp 51.000 terdiri dari biaya
untuk pembelian deder/benih ikan, dan pakan.

a. Benih /deder Ikan. Benih ikan yang ditanam dalam satu periode produksi (selama 4
bulan) sebanyak 200 kg. Dalam satu tahun 3 periode produksi, sehingga jumlah deder
yang diperlukan untuk satu tahun 600 kg @ Rp 45.000 = 27.000.000.
b. Pakan. Kabutuhan pakan 3%-5% dari bobot ikan/hari. Maka total pakan yang
dibutuhkan untuk periode satu tahun = 4000 kg @ Rp 6000.000 adalah Rp
24.000.000. Pakan yang diberikan berupa maggot yang “dibeli” dari unit usaha Maggot.
Sehingga biaya pakan pada usaha pembesaran nila menjadi penerimaan pada usaha
produksi maggot.
3. Biaya Total
Biaya total adalah biaya tetap Rp 8.950.000 ditambah biaya variabel atau biaya operasional
sebesar : Rp Rp 51.000.000 = Rp 59.950.000
4. Penerimaan
Output yang dihasilkan dari usaha pembesaran ikan nila adalah ikan nila konsumsi.
Dengan FCR 0,75, dari jumlah pakan 4000 kg akan menambah bobot produksi
ikan sebesar 0,75 @ 4000 = 3000 kg/tahun.
Harga ikan Nila konsumsi Rp 25.000/kg maka besarnya penerimaan usaha pembesran ikan
nila adalah 3000 kg @ 25.000/kg = Rp 75.000.000.

5. Laba Usaha
Laba usaha adalah besarnya penerimaan Rp 75.000.000 dikurangi Biaya Total, yaitu
Rp 59,950.000 adalah Rp 15.050.000/tahun, sehingga pada akhir tahun ketiga
terakumulasi laba sebesar Rp 45.150.000.
Tabel Biaya, Penerimaan Usaha Pembesaran Ikan Nila Dalam 3 Tahun
URAIAN Vol Satuan Harga Tahun 1 Tahun 2 Tanun 3
sat
BIAYA TETAP
13

Penyiapan Kolam 7 Unit 250.000 1.750.000 1.750.000 1.750.000

Tenaga Kerja/bulan 12 HOK/bl 500.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000

Pemeliharaan Kolam 12 Unit /bln 100.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Jumlah Biaya 8.950.000 8.950.000 8.950.000


Tetap
BIAYA VARIABEL

Benih Ikan 3 Periode 600 kg 45.000 27.000.00 27.000.000


Prod 0 27.000.000

Pakan 4.000 kg 6.000 24.000.00 24.000.000


0 24.000.000
Jumlah Biaya 51.000.00 51.000.000
Variabel 0 51.000.000
BIAYA TOTAL 59.950.00 59.950.000
0 59.950.000
PENERIMAAN

Hasil Panen ikan


(FCR = 0,75)
3.000kg 25.000 75.000.00 75.000.000 75.000.000
0
LABA KOTOR 15.050.00 15.050.000
0 15.050.000
AKUMULASI 15.050.00 45.150.000
LABA 0 30.100.000
Lampiran 1
13

Tampilan Maggot BSF siap digunakan pakan

Tampilan Benih Ikan Nila Tampilan Nila Konsumsi

Kolam Pembesaran Ikan “dengan pakan pelet maggot”

Anda mungkin juga menyukai