Anda di halaman 1dari 13

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI

ISU TERORISME INTERNASIONAL1

INDONESIAN FOREIGN POLICY IN DEALING WITH


INTERNATIONAL TERRORISM ISSUE

Ganewati Wuryandari

Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
E-mail: ndari_ganewati@yahoo.com
Diterima: 30 Juli 2014; direvisi: 5 September 2014; disetujui: 22 Oktober 2014

Abstract

Terrorism is not a new issue, however it has become one of the most important issues of Indonesian foreign
policy. The global fight against terrorism has increasingly gained legitimacy and supports among international
community especially after the September 11, 2001 attacks in New York. Indonesia considers that the fight against
terrorism is not merely to be its international obligation to support the global movement to ameliorate the menace,
it is also to serve its national interest. To combat terrorism, Indonesian foreign policy closely cooperates with other
nations-states in terms of bilateral, regional and multilateral. However, these international cooperations are often
dictated by the perspective of the parties concerned. This paper provides an analysis of Indonesian foreign policy
responses to international terrorism. The work assesses its role in various bilateral, regional and multilateral
cooperation in combating international terrorism.

Keywords: Indonesian foreign policy, international terrorism, international cooperation.

Abstrak

Terorisme bukan isu baru namun menjadi salah satu isu yang semakin penting dalam kebijakan luar negeri
Indonesia. Perang global melawan terorisme memperoleh legitimasi dan dukungan yang semakin meluas dari
masyarakat internasional terutama setelah terjadi tragedi 11 September 2001 di New York. Keterlibatan Indone-
sia dalam perang melawan terorisme ini tidak hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian masyarakat
internasional untuk secara bersama-sama memerangi terorisme, melainkan juga demi memenuhi kepentingan
nasionalnya. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan isu ini sangat mengedepankan kerja sama dengan
negara-negara lain baik bilateral, regional dan multilateral. Namun demikian, kerja sama internasional yang terkait
dengan penanganan isu terorisme internasional harus dicermati karena sangat diwarnai oleh perspektif pihak-pihak
yang berkepentingan. Tulisan ini menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia dalam forum bilateral, regional dan
multilateral mengenai isu terorisme internasional.

Kata Kunci: kebijakan luar negeri, terorisme internasional, kerja sama internasional.

1
Tim Peneliti terdiri dari: Ganewati Wuryandari (Koordinator), RR. Emilia Yustiningrum, Nanto Sriyanto, Athiqah Nur Alami.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 71 
Pendahuluan Dilihat dari pernyataan tersebut, dapat
Terorisme bukanlah isu baru namun menjadi dikatakan Indonesia sesungguhnya belum
aktual terutama sejak terjadinya peristiwa menentukan sikap tegasnya dalam kaitannya
serangan terhadap gedung World Trade Centre dengan kebijakan global AS untuk memerangi
(WTC) di New York, Amerika Serikat (AS) terorisme. Namun, hal ini tidak berarti Indonesia
pada 11 September 2001. Tragedi ini mendorong bersikap pasif dalam merespons persoalan
munculnya pemahaman baru tentang terorisme.2 terorisme. Lima belas hari setelah tragedi 9/11,
Terorisme tidak lagi hanya dipahami sebagai aksi Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan
kejahatan luar biasa yang bersifat nasionalistik Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pencegahan
dan teritorial, melainkan aksi tersebut juga Sumber Finansial Terorisme (International
memiliki karakter ideologis yang berkorelasi Convention for the Suppression of the Financing
dengan agama dan bersifat lintas negara. of Terrorism 1999).4 Selain untuk memperkuat
payung hukum isu terorisme di level internasional,
Peristiwa 9/11 di atas juga telah memiliki
penandatangan tersebut dimaksudkan untuk
dampak terhadap perubahan konstelasi politik
menunjukkan sikap Indonesia yang menghormati
internasional dengan kecenderungan semakin
dan mengedepankan mekanisme multilateral
eksisnya hegemoni AS. Tragedi ini berkembang
dalam memerangi terorisme daripada aksi
sebagai isu global sebagai akibat dari kebijakan
unilateral AS. Sikap kritis Indonesia tersebut
yang dilancarkan untuk memerangi terorisme
digarisbawahi oleh pernyataan Megawati yang
yang dikenal dengan Global War against
mengecam tindakan unilateral tersebut sebagai
Terrorism. Dalam implementasinya, AS menuntut
“an act of aggression, which is in contravention
dukungan dari komunitas internasional untuk
of international law”.5
bekerja sama memerangi terorisme. Deklarasi
“either you are with us or against us” yang Kebijakan Indonesia di atas dilandasi
dinyatakan oleh Presiden AS George W. Bush oleh persepsi pemerintah yang saat itu masih
tidak memberikan pilihan lain bagi negara-negara menganggap terorisme bukan menjadi ancaman
di dunia selain hanya untuk bersikap mendukung utama bagi keamanan nasional. Maraknya gejolak
atau tidak ikut dalam aliansi AS dalam perang politik domestik, diantaranya tuntutan merdeka
melawan teroris. dari sejumlah wilayah seperti Papua dan Aceh,
menjadikan persoalan separatisme lebih krusial
Menanggapi tragedi tersebut, Indonesia
bagi Indonesia. Hal ini sebagaimana diakui
bersikap responsif. Tidak lama setelah peristiwa
oleh pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang
tersebut, Presiden RI Megawati Soekarnoputri
menyatakan bahwa separatisme merupakan “the
mengirimkan surat kepada Presiden Bush berisi
most pressing security threat, not terrorism”.6
ekspresi duka cita dan kecaman Indonesia
Keengganan Indonesia untuk turut serta dalam
yang mengutuk serangan tersebut sebagai
tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Hal
yang sama diulangi kembali oleh Megawati Building Worldwide Campaign Against Terrorism: Remarks
by President Bush and President Megawati of Indonesia”, 19
ketika berkunjung ke Washington pada 19 September 2001.
September 2001. Pernyataan tersebut dilandasi
4
Fabiola Desy Unidjaja, “Indonesia Signs UN Convention
sikap Indonesia yang menentang segala bentuk on Terrorism”, The Jakarta Post, 26 September 2001, http://
kekerasan sebagai cara untuk mencapai suatu www.thejakartapost.com/news/2001/09/26/indonesia-signs-un-
tujuan politik, sebagaimana dinyatakan oleh convention-terrorism.html, diakses pada tanggal 12 November
2013.
Presiden Megawati bahwa, “Indonesia has
always been against violence. Anything that 5
Gary LaMoshi, “Indonesia Doth Protest War Too Little”,
Asia Times, 29 Maret 2003, http://www.atimes.com/atimes/
relates to violence, including acts of terrorism,
Southeast_Asia/EC29Ae02.html, diakses pada tanggal 12
we will definitely be against it.”3 November 2013.

2
Matthew J. Morgan, “The Origins of the New Terrorism”,
6
Pernyataan pejabat tinggi pemerintah Indonesia di Jakarta
Parameters, 2004, hlm. 29. pada 20 Juni 2008 dalam Senia Febrica, “Securitizing Terrorism
in Southeast Asia: Accounting for the Varying Responses of
3
Office of the Press Secretary, the U.S. Government, “President Singapore and Indonesia”, Asian Survey, Vol. 50, No. 3, 2001,
hlm. 582.

72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


perang gobal melawan terorisme juga diperkuat Detasemen Khusus 88 atau yang dikenal dengan
oleh pernyataan Wakil Presiden Hamzah Haz Densus 88 pada tahun 2004 dan Badan Nasional
yang pada awalnya menyangkal adanya jaringan Penanggulangan Terorisme yang terbentuk
terorisme di Indonesia.7 Dengan kata lain, pada pada pada 2010.8 Selain melalui upaya legal
saat itu terorisme belum dilihat sebagai ancaman dan kelembagaan, Indonesia juga melakukan
sehingga belum terjadi proses sekuritisasi dalam upaya penegakan hukum melalui aksi-aksi
kebijakan luar negeri Indonesia. penangkapan para tersangka teroris, mengadili
Sikap kritis Indonesia dalam koalisi global dan memenjarakan mereka bila terbukti bersalah
melawan terorisme di atas ternyata tidak di dalam proses pengadilan. Menurut Ansyad
berlangsung lama. Berbagai rentetan aksi Mbay, Kepala BNPT, sampai dengan saat ini
terorisme yang terjadi di Indonesia terutama BNPT telah berhasil menangkap sekitar 810
sejak Bom Bali I pada 2002 telah menyentakkan orang teroris dan membawa 500 orang teroris
Indonesia bahwa aksi terorisme seolah sebagai ke pengadilan.9
bom waktu yang setiap saat bisa terjadi. Rentetan Sedangkan pada lingkup internasional,
peristiwa berikutnya seperti Bom Hotel J.W. komitmen Indonesia untuk penanggulangan ter-
Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), orisme terwujud dalam politik luar negeri yang
Bom Bali II (2005) dan Bom J.W.Marriot-Ritz terus menggunakan berbagai upaya bilateral,
Carlton (2009) semakin menguatkan kesadaran regional dan global untuk mengatasi ancaman
bahwa terorisme menjadi ancaman nyata bagi ini. Secara bilateral, Indonesia menggalang kerja
keamanan nasional Indonesia. sama dengan berbagai negara, antara lain AS dan
Perkembangan isu terorisme di tingkat Australia. Sementara dalam konteks regional,
internasional dan domestik tersebut pada akhirnya Indonesia menempatkan ASEAN sebagai bagian
menjadi titik tolak perubahan orientasi kebijakan penting dalam kerja sama penanganan terorisme.
anti-terorisme Indonesia. Komitmen baru untuk Hal ini dikarenakan terorisme di Indonesia diya-
penanggulangan terorisme tersebut dapat dilihat kini memiliki jaringan internasional, termasuk di
pada lingkup domestik dan internasional. beberapa negara ASEAN. Peristiwa Bom Bali I
Pada lingkup domestik, komitmen Indonesia yang melibatkan jaringan teroris dari Malaysia
tersebut tercermin pada tataran legal-formal, memperkuat keyakinan tersebut.10 Pentingnya
kelembagaan dan praksis. Secara yuridis, kerja sama antar negara ASEAN disampaikan
Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan dalam pidato Presiden RI Megawati pada ulang
perundangan terkait penanganan terorisme, yaitu tahun ASEAN ke-36 di Jakarta pada 2003:
seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang Regional plans of action to tackle such
kemudian diubah menjadi Undang-Undang (UU) problems had long been established as part and
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan parcel of ASEAN’s functional cooperation, but
Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 2 Tahun suddenly these appeared to be inadequate in
the face of the cataclysms like terrorist attacks
2002 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun
in the United States and in Bali. These two
2002 pada peristiwa Bom Bali I, Inpres No. tragedies roused the entire civilized world to
4 Tahun 2002, dan Surat Keputusan Menteri the immense danger of international terrorism
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang 8
Densus 88 ini adalah salah satu dari unit antiteror di
Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen
Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti
Terorisme (DKPT). Teor, Detasemen 81 Kopasus, Detasemen Jalamangkara Korps
Disamping DKPT, pemerintah juga Marinir TNI AL dan Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU.
membangun kelembagaan baru yang dirancang 9
Ansyaad Mbai, “Kebijakan Penanggulangan Terorisme”,
sebagai unit antiteroris. Salah satunya adalah Presentasi disampaikan pada Focus Group Discussion Tim
Polugri P2P LIPI, Jakarta, 14 Mei 2013.
7
Foreign Correspondent, “Hamzah Haz Interview Transcript”, 10
Irfa Puspitasari, “Indonesia’s New Foreign Policy-‘Thousand
23 Oktober 2002, http://www.abc.net.au/foreign/stories/ Friends Zero Enemy’”, IDSA Issue Brief, No. 23, Agustus
s710402.htm, diakses pada tanggal 12 November 2013. 2010, hlm. 4.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 73 
and other transnational crimes. It became clear untuk menanggulangi terorisme harus sesuai
that no single country or group of countries dengan prinsip demokrasi.12
could overcome this threat alone. In Indonesia’s
view, which is shared by the rest of the ASEAN Berdasarkan uraian di atas terlihat terorisme
members, it would take a global coalition masih menjadi ancaman yang perlu diwaspadai.
involving all nations, all societies, religions and Gerakan dan penyebaran terorisme di Indonesia
cultures to defeat this threat.11 tidak dapat dilepaskan dari konteks regional
dan internasional, oleh karena itu, upaya untuk
Dalam lingkup kerja sama multilateral, mengatasinya juga harus melibatkan banyak
Indonesia mendukung langkah-langkah pihak termasuk negara-negara lain. Hanya saja
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berperan kerja sama penanggulangan terorisme melalui
aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan bilateral, regional dan multilateral tidak terlepas
lembaga-lembaga internasional khususnya dalam dari perbedaan kepentingan antar negara yang
rangka penegakan hukum, dan berbagai langkah terlibat. Karakter transnasional yang terdapat
pencegahan, penumpasan, pemberantasan pada aksi terorisme dewasa ini telah menjadi
terorisme serta keamanan internasional. Salah salah satu justifikasi bagi tindakan pelanggaran
satu wujud dukungan itu antara lain dalam norma dasar hubungan internasional, yaitu
Counter-Terrorism Committee (CTC) yang kedaulatan nasional. Kondisi ini menjadi
dibentuk berdasarkan Resolusi DK PBB No. tantangan tersendiri bagi pelaksanaan kebijakan
1373 Tahun 2001. Dalam rangka menindaklajuti luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yaitu
pemenuhan kewajibannya sebagai bagian dari penentuan kebijakan luar negeri yang seimbang
CTC, pemerintah Indonesia membuat laporan diantara tekanan internasional dan sensitivitas
capaian upaya penanggulangan terorisme setiap domestik tanpa mengorbankan kepentingan
tahunnya. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi nasional. Terkait dengan permasalahan tersebut
7 dari 16 konvensi internasional dan protokol ada dua pertanyaan utama perlu diajukan, yaitu:
dalam isu terorisme. pertama, bagaimana signifikansi isu terorisme
Di dalam upaya penanggulangan terorisme dalam kebijakan luar negeri Indonesia; dan kedua,
di atas, kebijakan luar negeri Indonesia bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia di
dilandaskan pada beberapa pilar strategi. tingkat bilateral, regional dan multilateral dalam
Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar isu terorisme internasional?
Negeri RI Marty Natalegawa di Symposium on
International Counter-Terrorism Cooperation Terorisme dalam Perspektif Teoritik
yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal Hubungan Internasional
PBB di New York pada 19 September 2011, Terorisme dapat dipahami dari berbagai disiplin
pilar-pilar strategi tersebut adalah sebagai ilmu seperti kriminologi, politik, hubungan
berikut: pertama, upaya nasional dan regional internasional, keamanan (war and peace
harus sejalan dengan upaya global; kedua, perang studies), komunikasi dan agama. Kondisi ini
melawan terorisme harus diarahkan pada akar menyebabkan tidak ada definisi terorisme yang
terorisme itu sendiri; ketiga, demi mencapai baku dan berlaku universal, sehingga menjadi
upaya jangka panjang, penggunaan soft power salah satu masalah yang mengganjal bagi kajian
menjadi sangat esensial; dan keempat, upaya terorisme.
Berdasarkan sudut pandang multidisipliner
tersebut di atas, tindakan terorisme sendiri dapat
11
Megawati Soekarnoputri, “ASEAN Today: Challenges
and Responses, Remarks by the President of the Republic didefinisikan dari berbagai segi, yaitu antara lain
of Indonesia on the Occasion of the 36th Anniversary of sebagai kriminalitas, sebagai kekerasan politik
the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN),
Jakarta, 8 Agustus 2003, http://www.asean.org/news/ 12
Permanent Mission of The Republic of Indonesia to
asean-statement-communiques/item/asean-today-challenges- The United Nations, “Statement by H.E. DR. R.M. Marty
and-responses-remarks-by-the-president-of-the-republic-of- M. Natalegawa Minister of Foreign Affairs of Republic
indonesia-on-the-occasion-of-the-36th-anniversary-of-the- of Indonesia at The Secretary-General’s Symposium on
association-of-southeast-asian-nations-asean-jakarta, diakses International Counter-Terrorism Cooperation”, New York, 19
pada tanggal 12 November 2013. September 2011.

74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


(political violence), sebagai bentuk strategi dikaitkan dengan terorisme yang terkait dengan
perang, sebagai bentuk komunikasi, dan sebagai isu nasionalisme tersebut. Namun, perkembangan
perang suci berlandaskan agama.13 Sedangkan pasca Perang Dingin di tahun 1990-an hingga kini
berdasarkan peristilahannya (etimologi), teror menunjukan perubahan dari permulaan sejarah
sendiri berasal dari bahasa Latin “terrere” istilah terorisme ini sendiri. Pada terorisme
yang berarti “menakut-nakuti” yang diserap yang berkembang di tahun 1990-an, keterkaitan
ke dalam bahasa Prancis dan selanjutnya dengan ideologi dan nasionalisme tidak lagi
digunakan pertama kali dalam bahasa Inggris menjadi faktor utama. Saat ini, isu terorisme
pada tahun 1528. Terorisme sendiri memiliki seringkali dikaitkan dengan keyakinan agama
konotasi politis saat digunakan oleh salah satu sebagai motif politik di belakangnya.16 Seperti
faksi dalam Revolusi Perancis. Pada saat itu, dinyatakan oleh Hoffman bahwa “the religious
untuk menanggulangi ancaman kubu monarkis, imperative for terrorism is the most important
Maximilien Robespierre memerintahkan eksekusi characteristic of terrorist activity today.”17
massal 17.000 tahanan untuk memberikan Karakteristik lainnya dari terorisme saat
efek jera kepada lawan politiknya. Dalam ini terkait erat dengan globalisasi. Sebagai
pandangan Robespierre (1794) , teror dipahami fenomena internasional yang tidak bisa dihindari,
sebagai, “nothing else than immediate justice, globalisasi diyakini tidak hanya menjadi motivasi
severe, inflexible; it is therefore an outflow of bagi tindakan terorisme, tapi juga memfasilitasi
virtue, it is not so much a specific principle metode untuk melakukannya. Seperti pernyataan
than a consequence of the general principle berikut, “In today’s globalizing world, terrorists
of democracy applied to the most pressing can reach their targets more easily, their targets
needs of the motherland.“14 Pemerintahan gaya are exposed in more places, and news and
Robespierre ini yang kemudian dikenal dengan ideas that inflame people to resort to terrorism
“rejim teror”. Penggunaan istilah teror kemudian spread more widely and rapidly than in the
berkembang dengan dilekatkan pada kelompok past.”18 Selain kemudahan dalam akses dalam
nonnegara pada saat kelompok anarkis Perancis informasi dan teknologi, fenomena globalisasi
dan Rusia melakukan hal serupa dalam melawan identik dengan penyebaran nilai-nilai Barat
pemerintah yang berkuasa.15 Serapan ini menjadi yang liberal. Masuknya nilai-nilai Barat dan
acuan banyak kajian terorisme dari sudut institusi ke dunia Islam melalui proses globalisasi
pandang ilmu politik yang melihat terorisme dan pasar bebas menjadi penjelasan lain dari
sebagai bagian dari kekerasan guna mencapai latar belakang tumbuhnya terorisme. Proses
tujuan politik (political violence). globalisasi yang melintasi batas-batas negara
Perkembangan yang lebih kekinian dan membawa konsekuensi politik dan ekonomi
menunjukkan penggunaan teror sebagai alat telah mendorong munculnya budaya pasar yang
perlawanan dalam perang kolonial oleh kelompok berorientasi pada kepentingan dan keuntungan
gerilya kemerdekaan pada era antikolonialisme pribadi yang koruptif sehingga meminggirkan
yang merebak pascaPerang Dunia II. Sampai komunitas-komunitas tradisional.19
dengan tahun 1980-an, peristiwa penyanderaan Sementara itu, dalam hal akar penyebab
dan pembajakan pesawat terbang banyak aksi terorisme saat ini relatif beragam. Hal ini
Alex P. Schmid, “Introduction”, dalam Alex P. Schmid (Ed.),
13 tercermin antara lain dalam persidangan Majelis
The Routledge Handbook of Terrorism Research, (New York: Umum PBB pada bulan Oktober 2001. Perwakilan
Routledge, 2011), hlm. 1-2.
14
Joseph J. Easson dan Alex P. Schmid, “Appendix 2.1 250-plus 16
Ibid., hlm. 29.
Academic, Governmental and Intergovernmental Definitions of
Terrorism”, dalam Schmid (Ed.), The Routledge Handbook of Lihat Bruce Hoffman, Inside Terrorism, (New York: Columbia
17

Terrorism Research, (New York: Routledge, 2011), hlm. 99. University Press, 1998).
15
Reuven Young, “Defining Terrorism: The Evolution of 18
Paul R. Pillar, “Terrorism Goes Global: Extremist Group
Terrorism as a Legal Concept in International Law and Its Extend their Reach Worldwide,” The Brookings Review, 19
Influence on Definitions in Domestic Legislation”, Boston (Fall 2001), hlm. 34-37.
College International and Comparative Law Review, Vol. 29,
Issue 1, Article 3, 12-1-200, hlm. 27-28. 19
Morgan, op.cit., hlm. 37.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 75 
negara-negara anggota PBB memberikan menjadi target terorisme transnasional. Negara
berbagai penyebab timbulnya serangan terorisme demokratis lebih mungkin menjadi target teroris
nonnegara yang menghancurkan menara WTC. internasional tidak hanya karena tipe rezimnya
Armenia, misalnya, menyatakan penyebab semata tapi juga karena tipe kebijakan luar
terorisme adalah kemiskinan. Sementara negara negeri yang negara tersebut tunjukkan.23 Savun
lain Benin, Kosta Rika, Republik Dominina, dan Philips lebih lanjut menyatakan bahwa “a
Finlandia, Malaysia, Palestina dan Namibia more active foreign policy should lead to more
menyatakan bahwa terorisme muncul karena transnational terrorism. 24 Untuk mencapai
adanya ketimpangan sosial, marjinalisasi, kesimpulan itu, variabel yang digunakan untuk
penindasan, pelanggaran hak dasar, ketidakadilan, mengukur kiprah politik luar negeri suatu negara
kesengsaraan, kelaparan, narkoba, prasangka meliputi keterlibatan dalam krisis politik luar
sosial, alienasi kaum muda di tengah situasi negeri dengan negara lain, hubungan aliansi
keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik, dengan AS dan frekuensi intervensi di perang
penolakan terhadap Barat dengan segala aspek sipil.25 Jika dilandaskan pada argumen ini, maka
budayanya, ketakutan, dan keputusasaan.20 penyebab Indonesia rentan terhadap serangan
Sementara pendapat dari Benjamin Barber terorisme lintas negara mungkin salah satunya
terkait dengan persoalan keyakinan agama bersumber dari kiprah politik luar negeri
yang menjadi pendorong terorisme, dianggap Indonesia yang asertif.
merupakan persoalan keterasingan identitas Penanganan terorisme internasional
yang berujung pada radikalisme. Amartya saat ini menunjukkan kebaruannya dengan
Sen berpendapat lain atas persoalan identitas mempertimbangkan adanya perubahan karakter
tersebut dengan melihat problem kemiskinan konflik yang asimetris. Aktor yang saling
dan mobilitas sosial sebagai akar radikalisme berkonflik dalam konteks kekinian tidak selalu
yang berkembang menjadi terorisme.21 Cornelia negara yang menjadi aktor utama seperti
Beyer yang mengusung pendapat Johan Galtung paradigma Realisme dalam studi Hubungan
tentang kekerasan sturuktural, menilai bahwa Internasional, namun juga melibatkan aktor
kekerasan struktural yang hadir dalam bentuk non-negara, yaitu seperti teroris yang dalam
baru seperti “invasi” kultural dan interaksi yang versi AS adalah jaringan Al Qaeda. Hanya saja
tidak simetris dengan adanya intervensi politik dalam penanggulangan yang dikedepankan oleh
yang tidak menghormati norma kedaulatan AS, metode yang diajukan masih merupakan
internasional menjadi sebab terorisme menjadi preskripsi kebijakan yang kental nuansa
solusi bagi pelaku tindak teror.22 paradigma Realismenya. Doktrin Pre-emptive
Selain berbagai faktor di atas, pengamat lain Strike dan aksi invasi yang menjadi sendi
menyatakan bahwa kemunculan aksi terorisme utama dalam perang melawan terorisme justru
di satu negara dapat dikaitkan dengan kiprah menempatkan negara dan kedaulatan wilayah
politik luar negeri negara tersebut. Menurut dalam ranah yang dipertanyakan. Tindakan AS
Savun dan Phillips, negara yang memiliki dengan menyerang Afganistan di bawah Taliban
perilaku politik luar negeri tertentu lebih mudah yang dianggap memberi “perlindungan” (safe
menarik terorisme lintas negara (transnational haven) kepada Al Qaeda justru menjadikan
terrorism). Negara-negara yang lebih aktif konflik yang semula dipicu oleh aktor non-negara
terlibat dalam politik internasional lebih mungkin menjadi konflik yang mau tidak mau membawa
negara lain untuk bertanggung jawab. Hal inilah
20
Alex P. Schmid, “Introduction”, dalam Schmid (Ed.), op.cit., yang menjadikan salah satu karakter isu terorisme
hlm. 13-14.
saat ini bercorak “terrorist-sponsored state”,
21
Lihat Amartya Sen, “Violence, Identity, and Poverty”, Journal
of Peace Research, Vol. 45, No. 1, 2008, hlm. 9; Benjamin 23
Burcu Savun dan Brian J. Phillips, “Democray, Foreign Policy
Barber, Jihad vs. McWorld, (New York: Times Books, 1995). and Terrorism”, Journal of Conflict Resolution, Vol. 20, No.
10, 2009, hlm. 2.
22
Cornelia Beyer, “Understanding and Explaining International
Terrorism: On the Interrelation between Human and Global 24
Ibid., hlm. 12.
Security”, Human Security Journal, Vol. 7, Summer 2008,
hlm. 63-67. 25
Ibid.

76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


yaitu teroris yang disponsori negara, misalnya secara multilateral masih membutuhkan peranan
Afghanistan yang dikuasai Taliban. dari negara hegemon yang dapat menegakkan
Sementara itu, dalam sudut pandang norma yang dapat diacu bersama. Namun,
akademik dan norma hubungan internasional, dengan posisi AS yang lebih mengedepankan
isu terorisme mencuatkan kembali pertanyaan aksi unilateral, acuan dari kebanyakan negara-
atas norma mendasar hubungan antara negara, negara yang mendukung kebijakan multilateral
yaitu kedaulatan. Bila pada dasawarsa 1990- adalah norma lain yang mengacu pada upaya
an, kedaulatan versi Westphalia yang sangat penanggulangan terorisme yang sudah mapan.
menekankan pada integritas wilayah sempat Meski tentunya harus mendapatkan modifikasi
dipertanyakan dengan adanya konflik internal dalam pengembangan norma yang akan
akibat dari gagal hadirnya negara dalam dipergunakan mengingat karakter terorisme yang
penyelesaian konflik internal yang berimbas jauh berbeda dari generasi teroris sebelumnya.
pada stabilitas internasional. Diskursus itu Dalam hal ini, pandangan mengenai hubungan
memunculkan konsep human security yang internasional sebagai sebuah interaksi komunitas
meletakkan kedaulatan negara dengan kewajiban internasional menjadi rujukan untuk menilik
negara/pemerintah untuk melindungi hak-hak model yang akan berkembang atau melihat pada
dasar warga negaranya. sisi idealita yang dapat menjadi titik temu dalam
upaya bersama tersebut.28
Selain itu, perkembangan isu terorisme
internasional mutakhir membuka isu masih
lemahnya rejim internasional dalam isu ini.26 Isu Terorisme Global: Kebijakan Luar
Hal ini dapat dicermati dari kesulitan yang Negeri, Implementasi dan Kendala
terjadi saat negara-negara yang secara normatif Isu terorisme telah menjadi tantangan kebijakan
mengutuk aksi teroris untuk dapat bekerja sama luar negeri Indonesia terutama sejak muncul
secara multilateral. Hal itu dapat dilihat dari pertama kali menjadi isu global, yaitu setelah
kesulitan upaya definisi hukum atas terorisme adanya tragedi penyerangan terhadap menara
yang dapat dijadikan rujukan bersama oleh kembar World Trade Center dan gedung Pentagon
banyak negara. Bukan saja definisi akademik di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001.
yang beragam dikarenakan perbedaan sudut Tantangan utamanya terletak pada penentuan
pandang kajian, definisi hukum atas terorisme pilihan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri
oleh banyak negara juga cukup beragam dan yang seimbang di antara tekanan domestik dan
menjadi kendala tersendiri dalam upaya kerja internasional terkait isu terorisme internasional
sama global. Definisi hukum itu yang menjadi tanpa mengorbankankan kepentingan nasional.
landasan normatif dan landasan strategis dalam Adagium “foreign policy begins at home”
menanggulangi ancaman terorisme dan akar yang memang sebuah keniscayaan dalam kebijakan
menjadi penyebab bangkitnya militansi dengan luar negeri, namun demikian Indonesia juga
latar “ideologis” yang terbilang baru ini. sangat memperhitungkan dinamika lingkungan
Berdasarkan paradigma Neo-Liberal eksternalnya.
Institutionalis, 27 kelembagaan yang sedang Tragedi 9/11 terbukti telah memberikan
dibangun dalam penanganan isu terorisme dampak luas pada tataran internasional. Tidak
saja mengubah perspektif global tentang ancaman
26
Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah
terorisme dari era Perang Dingin, peristiwa
“principles, norms, rules, and decision making procedures
around which actor expectations converge in a given issue- tersebut juga menandai lahirnya tatanan politik
area.” Lihat diskusinya dalam Stephen D. Krasner (Ed.), dunia yang bercirikan dengan meningkatnya
International Regimes, (Ithaca, NY: Cornell University Press,
1983).
ancaman keamanan nontradisional yaitu
terorisme. Selain itu, peristiwa tersebut mengubah
27
Lihat Robert O. Keohane, After Hegemony, (Princeton: instrumen yang dibutuhkan untuk mencegahnya,
NJ, Princeton University Press, 1984). Keohane mengusung
ide pembentukan norma dalam hubungan internasional yang
juga sangat ditentukan oleh keberadaan hegemon meski tidak 28
Kedua pandangan terakhir di atas mengacu pada Paradigma
sepenuhnya bergantung pada hegemon pasca-keberlangsungan English School dan Konstruktivisme dalam Hubungan
norma/rezim internasional tersebut. Internasional.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 77 
sekalipun telah ada institusi-institusi regional dan minat investor luar negeri dan pariwisata di dalam
multilateral yang mengaturnya. Tragedi di atas negeri, terutama di Bali.
juga terbukti memiliki dampak yang signifikan Realitas perubahan lingkungan internasional
terhadap perubahan situasi dan percaturan dan domestik di atas pada gilirannya telah
politik dengan kecenderungan semakin eksisnya memunculkan perspektif baru dalam kebijakan
hegemoni AS. Dengan kebijakan “Global War luar negeri Indonesia. Isu terorisme yang
Against Terrorism”, negara adidaya ini mampu sebelumnya tidak menjadi fokus dalam kebijakan
mengubah isu terorisme menjadi isu global luar negeri, pada akhirnya sejak peristiwa
dengan menyeret negara-negara di dunia untuk Bom Bali I 2002 menjadi salah satu agenda
bergabung dalam koalisi internasional melawan penting dalam hubungan luar negeri Indonesia.
terorisme. Komitmen ini diwujudkan dalam pelaksanaan
Tragedi 9/11 dan serangan bom di tanah politik luar negerinya dengan terus menggunakan
air, khususnya setelah peristiwa Bom Bali 2002 berbagai upaya kerja sama dengan negara-negara
telah menjadi titik balik perspektif pemerintah lain secara bilateral, regional dan multilateral
Indonesia akan sekuritisasi isu terorisme untuk mengatasi ancaman terorisme.
yang sebelumnya terabaikan. Maraknya aksi- Untuk memperkuat diplomasi anti terorisme
aksi terorisme yang terjadi di dalam negeri tersebut, pemerintah Indonesia juga melakukan
menegaskan akan realitas nyata ancaman upaya-upaya penanggulangan terorisme di
terorisme bagi kepentingan nasional. Peristiwa dalam negeri, yaitu dengan penguatan legal
tersebut terbukti memiliki dampak yang luas formal, institusional, dan praksis. Secara legal
terhadap seluruh aspek kehidupan nasional. formal, Indonesia telah berupaya memperkuat
Tidak saja mengancam stabilitas sosial ekonomi regulasi nasional dengan membuat berbagai
dan politik keamanan dalam negeri, tetapi peraturan perundangan baru dan meratifikasi
juga mempengaruhi hubungan Indonesia 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) konvenan
dengan negara-negara lain. Isu terorisme dalam internasional terkait terorisme. Sedangkan
realitasnya telah menimbulkan citra negatif secara kelembagaan, Indonesia membentuk
tentang Indonesia di mancanegara, yaitu antara badan khusus untuk menanggulangi terorisme,
lain Indonesia dipandang sebagai negara tidak yaitu antara lain Densus 88 dan Badan Nasional
aman dan dicap sebagai negara “sarang teroris”. Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain
Implikasi-implikasi meluasnya pandangan itu, Indonesia melakukan langkah-langkah
tersebut tercermin melalui kebijakan beberapa praksis untuk melawan terorisme, yaitu
negara, seperti antara lain Amerika Serikat, melalui upaya penegakan hukum secara efektif
Australia dan Jepang, yang mengeluarkan travel terhadap para pelaku terorisme di dalam negeri.
warning dan travel advisory yang ditujukan Mereka ditangkap, diproses di pengadilan dan
kepada warganegaranya yang akan berkunjung dipenjarakan. .
ke Indonesia.
Dengan kombinasi sinergis berbagai upaya
Citra negatif ini tentu merugikan kepentingan internasional dan domestik tersebut, kebijakan
nasional Indonesia yang saat itu tengah berjuang luar negeri Indonesia mengenai terorisme
untuk mendapatkan dukungan internasional diharapkan dapat efektif sehingga mampu
atas upaya pemulihan ekonomi akibat imbas mencapai kepentingan nasional, yaitu pemulihan
krisis moneter tahun 1997. Oleh karena itu, kembali citra dan kredibilitas internasional
Indonesia memiliki kepentingan yang sangat Indonesia. Citra dan kredibilitas Indonesia
besar untuk menanggulangi ancaman terorisme. yang lebih baik pada gilirannya diharapkan
Apalagi maraknya serangan bom teroris di dapat memberikan kemanfaatan baik untuk
dalam negeri pasca Bom Bali 2002 terbukti kepentingan ekonomi dan politik yang lebih luas
memberikan dampak negatif yang signifikan kepada Indonesia.
terhadap pembangunan ekonomi yang salah satu
Kerja sama Indonesia dengan negara-
diantaranya diindikasikan melalui penurunan
negara lain dalam pemberantasan terorisme
dipandang sangat penting. Karakteristik lintas

78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


batas dan bahkan global dari isu terorisme saat namun tekanan domestik yang kuat pada
ini mengingatkan bahwa solusi hanya dapat akhirnya membuat pemerintahannya mengkritik
diupayakan melalui kerja sama internasional. tindakan unilateral AS dalam perang Afghanistan
Bahkan, negara adidaya pun tidak akan mampu atas nama kebijakan perang melawan terorisme.
menangani berbagai tantangan tersebut sendiri, Tekanan domestik tersebut nampak lebih kuat
mengingat karakter tantangan yang tidak pengaruhnya dalam hubungan bilateral Indonesia
dilandaskan pada batas negara. Dalam konteks dengan AS dibandingkan dengan hubungan
ini, Indonesia secara bilateral melakukan kerja bilateral Indonesia-Australia. Berbeda dengan
sama kontraterorisme dengan banyak negara pemerintahan sebelumnya, semasa kepemimpinan
dan salah satu diantaranya adalah dengan AS SBY tidak terlihat tekanan domestik yang
dan Australia. Meskipun kerja sama bilateral signifikan yang mempengaruhi kebijakan luar
Indonesia dengan AS dan Australia ini tidak bisa negeri Indonesia dalam penanganan terorisme.
dipisahkan keterkaitannya dengan kepentingan Kebijakan perang melawan terorisme yang
nasional masing-masing negara, namun kerja tidak hanya menyasar para pelaku terorisme
sama tersebut dapat dikatakan cukup unik tetapi juga negara-negara yang memfasilitasi
dibandingkan dengan kerja sama bilateral lainnya aksi tersebut telah memberikan tekanan pada
yang digalang Indonesia dalam pemberantasan pemerintahan Megawati dan SBY. Namun,
terorisme. Hal ini karena Indonesia, AS dan kedua pemerintahan tersebut nampak mengambil
Australia merupakan ketiga negara yang sama- respons yang berbeda terhadap AS. Pada periode
sama pernah menjadi korban aksi-aksi terorisme. kepemimpinan Megawati, respons terhadap
Dalam perspektif Indonesia, kerja sama bilateral AS telah mendorong Indonesia mengambil
terutama dengan AS dan Australia dilihat kebijakan luar negeri yang berorientasi pada
sebagai instrumen penting dalam diplomasi strategic hedging yaitu Indonesia mendukung
untuk mencapai pemenuhan sasaran kepentingan AS dalam war against terrorism, tetapi dukungan
politik dan ekonomi nasional. Sedangkan, AS Indonesia tetap mempertimbangkan kepentingan
dan Australia juga memandang penting kerja nasional yang menentang aksi sepihak kekuatan
sama bilateral mereka dengan Indonesia dalam negara-negara besar dalam penanganan terorisme
upaya memerangi terorisme. Ini antara lain terkait global. Dukungan itu tetap memberi ruang gerak
dengan fakta bahwa aksi-aksi terorisme saat ini kepada Indonesia untuk bersikap otonom dalam
melibatkan jaringan global melalui sel-sel yang mengambil langkah-langkah taktis-strategis
diduga juga beroperasi di Indonesia. melawan terorisme termasuk dalam menentukan
Dalam rangka kerja sama bilateral dengan sikapnya atas kebijakan terorisme AS. Kondisi
AS dan Australia di atas, Indonesia sering demikian nampak berbeda ketika SBY berkuasa
kali secara keras berhadapan pada tekanan dimana kebijakan luar negerinya nampak selalu
domestik dan internasional yang mempengaruhi menunjukkan komitmen yang konsisten dalam
kebijakan luar negeri-nya. Hanya saja, tekanan mendukung kebijakan AS.
domestik ini terlihat lebih terasa pada masa Berbagai bentuk kerja sama bilateral Indonesia
pemerintahan Presiden Republik Indonesia dengan Australia dan AS dalam memerangi
(RI) Megawati Soekarnoputri dibandingkan terorisme pada gilirannya menumbuhkan rasa
pada masa pemerintahan Susilo Bambang saling percaya dan meningkatkan intensitas
Yudhoyono (SBY). Koalisi antara partai hubungan mereka. Kedua negara tersebut
nasionalis dan partai Islam yang lemah secara semakin menaruh perhatian kepada Indonesia
ideologis dalam mendukung pemerintahan dalam upayanya melawan terorisme. Ini terlihat
Megawati dan Hamzah Haz merupakan salah dari kebijakan kedua negara untuk memberi
satu faktor yang menyulitkan sikap pemerintah bantuan-bantuan yang sifatnya teknis, seperti
terhadap tekanan isu terorisme internasional. kerja sama di bidang pertukaran informasi dan
Ini tercermin melalui sikap pemerintah yang intelijen, di bidang pendidikan dan pelatihan,
awalnya memberikan dukungan moral terhadap dan kerja sama di bidang pembangunan kapasitas
AS dalam kebijakannya melawan terorisme, kelembagaan.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 79 
Hubungan yang terjalin semakin kuat wadah ASEAN, seperti di Thailand, Filipina
melalui kerja sama bilateral tersebut pada dan Malaysia.
akhirnya dapat dimanfaatkan Indonesia, untuk Terorisme sebenarnya bukan merupakan
mencapai kepentingan nasionalnya yang lebih isu baru di kawasan Asia Tenggara. Persoalan
luas, yaitu menormalisasi hubungan militer ini pada awalnya hanya dianggap sebagai
dengan negara adidaya ini. Upaya diplomasi salah satu bentuk kejahatan transnasional,
panjang yang diupayakan oleh pemerintah seperti halnya penyelundupan obat-obatan dan
Indonesia terutama di kalangan Kongres AS pada penjualan senjata ilegal. Namun, dua isu yang
akhirnya membuahkan hasil pada tahun 2005 terakhir tersebut selama ini dipandang sebagai
yaitu dengan dicabutnya embargo suku cadang persoalan yang lebih krusial bagi negara-negara
dan alutsista Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Asia Tenggara dibandingkan isu terorisme.
oleh AS, termasuk pemulihan keikutsertaan Pandangan tersebut pada akhirnya berubah
Indonesia dalam program IMET (International total sejak tragedi 9/11 dan Bom Bom I 2002,
Military Education and Training). dimana isu terorisme ini mulai menjadi perhatian
Berbeda dengan kebijakan luar negeri negara-negara di kawasan. Sejak peristiwa
Indonesia terhadap AS dalam soal kontraterorisme tersebut, negara-negara ASEAN memiliki
di atas, tekanan internal dan eksternal dalam kepentingan besar dalam persoalan terorisme,
kebijakan luar negeri Indonesia terhadap mengingat sejumlah negara anggota ASEAN
Australia terkait dengan kontra terorisme tidak memiliki akar gerakan terorisme domestik dan
begitu kuat. Yang terjadi adalah Australia yang diyakini merupakan negara asal para pelaku
dianggap sebagai sekutu kuat AS justru menjadi terorisme yang berafiliasi dengan jaringan
sasaran dalam berbagai serangan bom di tanah terorisme internasional. Pentingnya isu teorisme
air. Kerja sama antara Indonesia dan Australia bagi ASEAN ditandai dengan mulai adanya
dilakukan baik pada masa Megawati dan SBY. pembahasan secara tersendiri soal terorisme
Hanya saja, dalam beberapa kerja sama yang dalam sejumlah forum ASEAN. ASEAN juga
dilakukan oleh kedua negara mengindikasikan mengeluarkan Deklarasi Bersama terkait isu
kurang terwujudnya kesetaraan antar keduanya. tersebut pada November 2001. Sementara usaha
Ketergantungan Indonesia atas bantuan dana dari yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
Australia untuk program-program terkait dalam menanggulangi terorisme di lingkup regional
upayanya melawan terorisme, salah satunya antara lain melalui forum ASEAN Chiefs of
melalui JCLEC, telah menyebabkan munculnya National Police. Untuk lebih memperkuat
efek psikologis yang tidak kondusif, terutama dalam upayanya memerangi terorisme, ASEAN
ketika Indonesia bekerja sama dengan pihak juga mengembangkan pola kerja sama dengan
negara donor, Australia. Dalam kondisi demikian, menjalin kerja sama kontraterorisme dengan
dapat dipahami jika kerja sama bilateral RI- negara-negara mitra dialog seperti AS, Australia,
Australia dalam perang melawan terorisme tidak Cina, dan Rusia. Dalam konteks ini, Polri juga
dapat memberikan keuntungan optimal untuk menjalin kerja sama internasional di berbagai
kepentingan nasional Indonesia. forum ASEAN, seperti ARF dan AMMTC
Dalam konteks kerja sama regional, (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational
pemerintah Indonesia telah menempatkan Crime). Selain itu, kerja sama intraanggota
ASEAN sebagai bagian penting dalam upaya ASEAN dalam penanggulangan terorisme juga
penanggulangannya terhadap ancaman terorisme. dilakukan, misalnya antara Indonesia-Thailand
Karakteristik transnasional dari terorisme atau Indonesia-Filipina yang berada dalam
menyebabkan ancaman terorisme di Indonesia payung ASEAN.
diyakini tidak berdiri sendiri, melainkan Sekalipun ada komitmen bersama di ASEAN
memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme untuk menanggulangi terorisme melalui kerja
internasional, termasuk jaringan terorisme yang sama regional, faktanya ASEAN masih memiliki
ada di beberapa negara yang tergabung dalam sejumlah kendala dalam pelaksanaan kerja
sama tersebut. Salah satunya adalah ketiadaan

80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


definisi yang disepakati bersama mengenai Dalam lingkup kerja sama multilateral,
terorisme. Setiap negara anggota ASEAN kebijakan luar negeri Indonesia dalam
memiliki perspektif masing-masing terhadap penanggulangan terorisme tidak lepas dari
terorisme. Kondisi ini mungkin sebagai akibat dinamika yang terjadi akibat diadopsinya
dari perbedaan latar belakang pengalaman Resolusi 1269 (1999) dan Resolusi 1373 (2001)
yang mempengaruhi cara pandang masing- yang menggerakkan banyak negara untuk
masing negara anggota dalam memahami menjadi penandatangan. Resolusi tersebut turut
terorisme. Meskipun demikian, sensitivitas mendorong Indonesia untuk meningkatkan
domestik atas kiprah Indonesia dalam kerja sama kapabilitas nasional dalam menghadapi terorisme.
regional dengan ASEAN dalam penanggulangan Namun, peningkatan kapabilitas tersebut, selain
terorisme tidak terlalu mengemuka dibandingkan didorong oleh resolusi DK PBB tersebut juga
ketika Indonesia melakukan kerja sama bilateral didorong oleh peristiwa terorisme yang merebak
terutama dengan AS. Rendahnya sensitivitas di Indonesia sejak tahun 2002.
ini terlihat dengan relatif rendahnya gejolak di Indonesia terus mendukung langkah-
dalam negeri dalam merespons kebijakan luar langkah PBB dan berperan aktif dalam berbagai
negeri Indonesia di tingkat ASEAN. Sikap ini bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga
kemungkinan dilatarbelakangi oleh beberapa internasional khususnya dalam rangka
faktor, diantaranya adalah realitas masih eratnya pencegahan, penumpasan, dan pemberantasan
hubungan serumpun antar beberapa negara terorisme. Salah satu wujud dukungan itu antara
anggota ASEAN, keinginan untuk menghindari lain keanggotaan Indonesia dalam Komite Kontra
perpecahan di internal ASEAN, dan implementasi Terorisme (Counter Terrorism Committee/CTC)
prinsip ASEAN non-intervention. yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan
Kendala lain dalam kerja sama regional Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001.
ASEAN untuk penanggulangan terorisme terletak Dalam rangka menindaklanjuti komitmen dan
pada belum efektifnya mekanisme Komunitas memenuhi kewajiban sebagai bagian dari CTC
Politik Keamanan ASEAN sebagai bagian dari tersebut, pemerintah Indonesia setiap tahunnya
pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Hal ini telah menyusun dan menyerahkan Laporan
terlihat dari ketidakmampuan ASEAN dalam Tertulis kepada komite tersebut mengenai
merespons penangkapan tersangka teroris perkembangan-perkembangan yang dicapai
Hambali oleh AS. ASEAN seakan tidak berdaya dan tengah dilakukan dalam penanggulangan
ketika AS langsung membawa Hambali ke terorisme. Indonesia juga ikut mendukung
Guantanamo, kendati Hambali merupakan warga berbagai produk hukum internasional dalam
negara Indonesia yang tinggal di Malaysia dan penanggulangan terorisme, antara lain Resolusi
ditangkap di Thailand. DK PBB dan Resolusi MU PBB, seperti Resolusi
Selain itu, kendala dalam kerja sama regional tentang Measures to Eliminate International
ASEAN untuk penanggulangan terorisme Terrorism, Resolusi UN Global Counter Terrorism
terletak pada karakteristik kerja sama regional Strategy). Kesungguhan Indonesia memerangi
yang lebih bersifat teknis dan fungsional serta terorisme dalam segala bentuknya merupakan
bukan norm-setting. Prinsip-prinsip dan substansi salah satu bentuk tanggung jawab sebagai
yang digunakan dalam kerja sama regional anggota PBB, khususnya dalam melaksanakan
ASEAN dalam penanggulangan terorisme ini resolusi DK-PBB No. 1267 (1999), 1333 (2000)
harus selalu mengacu pada kesepakatan di tingkat dan 1390 (2002). Untuk itu, pada 23 Oktober
internasional. Ini yang menjadi salah satu faktor 2002 pemerintah RI juga telah mengirimkan
pembentukan norm-setting di level regional surat kepada Ketua Komite Sanksi PBB yang
sulit terwujud, tiap-tiap negara anggota harus pada intinya berisi dukungan pemerintah untuk
mencari kombinasi sinergis antara norm-setting memasukkan Jemaah Islamiyah (JI) ke dalam
internasional yang sudah ada dengan kepentingan New Consolidated List Pursuant to Security
regional serta nasional mereka masing-masing. Council Resolutions 1267 (1999), 1333 (2000)
and 1390 (2002).

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 81 
Hal lain yang penting untuk dicatat dalam sebagaimana diindikasikan dengan keberhasilan
kerja sama multilateral di atas, Indonesia diplomasi Indonesia untuk menormalisasi
mendukung penuh peran Majelis Umum (MU) hubungan militer dengan AS pada tahun 2004.
yang secara kelembagaan merupakan norm- Keberhasilan Indonesia dalam penanganan
setting PBB. Ini terutama terkait ketika MU terorisme ini juga sering dipergunakan sebagai
mendapatkan momentum untuk menyuarakan benchmark oleh negara-negara lain.
persoalan-persoalan yang lebih mendasar di Selain itu, kiprah aktif Indonesia
dalam penanganan terorisme yang sebelumnya membuktikan bahwa mekanisme kerja sama
lebih menekankan pada faktor kekuatan militer. bilateral, regional dan multilateral yang telah
Pasca tragedi 9/11 DK PBB sempat memimpin ditata sebelumnya melalui proses diplomasi
langkah penanggulangan terorisme dengan ternyata telah mendatangkan manfaat yang besar
resolusi-resolusinya yang sekalipun banyak . Oleh karena itu, kerja sama antar negara melalui
mengubah norma dasar internasional, namun mekanisme tersebut tetap terus perlu dilakukan.
harus mendapat dukungan legitimasi dari Hanya saja, kerja sama tersebut sebaiknya tidak
mayoritas anggota PBB. Peran norm-setting yang hanya terfokus pada kegiatan-kegiatan yang
berhasil diraih kembali oleh MU- PBB dengan sifatnya bantuan teknis dan fungsional, melainkan
adanya Global Counter Terrorism Strategy juga harus diarahkan pada tindakan penumpasan
(GCTS) 2006 membuat diskusi mendasar teroris dengan lebih memperhatikan akar
kembali ke permukaan untuk melengkapi dan permasalahan munculnya terorisme itu sendiri.
mengimbangi langkah DK PBB sebelumnya. Sebagaimana dipahami formulasi kebijakan
Di Majelis Umum, Indonesia dapat lebih leluasa dalam menangani terorisme tidak terlepas dari
merumuskan kebijakan yang sesuai dengan aspek ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu,
identitas Indonesia sebagai negara demokrasi belakangan ini muncul pemikiran agar terorisme
dengan mayoritas berpenduduk muslim melalui dapat dihadapi secara lebih humanis. Kebijakan
pendekatan soft power. luar negeri Indonesia dalam kontraterorisme
pun lebih diarahkan pada soft power. Upaya
Penutup penanggulangan terorisme secara efektif dapat
Kiprah kebijakan luar negeri Indonesia dalam dilakukan melalui penciptaan kesejahteraan,
isu terorisme telah menorehkan sejumlah pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik dan
catatan keberhasilan. Sekalipun masih ada perwujudan dialog umat beragama yang lebih
sejumlah kendala di dalam pelaksanaan kerja konstruktif. Hal-hal tersebut sudah seharusnya
sama bilateral, regional dan multilateral, namun menjadi kebijakan di dalam politik luar negeri
kesungguhan dan kerja keras pemerintah dalam Indonesia terutama ketika menjalin kerja sama
upaya mengatasi ancaman dan bahaya terorisme penanggulangan terorisme baik secara bilateral,
telah membuahkan hasil yang positif. Hal ini regional dan multilateral.
ditandai dengan adanya apresiasi tinggi dari
masyarakat internasional terhadap Indonesia, Daftar Pustaka
yang antara lain ditunjang oleh pihak keamanan
Indonesia, misalnya, yang dalam waktu relatif
singkat berhasil menangkap tokoh-tokoh kunci Buku
dibalik berbagai serangan bom tanah air dan Barber, Benjamin. 1995. “Jihad vs. McWorld”. New
York: Times Books.
mengungkap jaringan terorisme yang berkembang
di Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam Easson, Joseph J. dan Alex P. Schmid. 2011. “Appen-
dix 2.1 250-plus Academic, Governmental and
kiprahnya menangani terorisme tersebut mampu
Intergovernmental Definitions of Terrorism”,
memperkuat postur politik luar negeri Republik dalam Schmid (Ed.), The Routledge Handbook
Indonesia. Penguatan postur tersebut digunakan of Terrorism Research. New York: Routledge.
Indonesia untuk didalam meningkatkan daya Hoffman, Bruce. 1998. “Inside Terrorism”. New York:
tawar dalam hubungannya dengan negara lain Columbia University Press.
untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Ini

82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 11 No. 2 Desember 2014 | 71–83  


Krasner, Stephen D. (Ed.). 1983. International Re- Surat Kabar dan Website
gimes. Ithaca, NY: Cornell University Press. “ASEAN Today: Challenges and Responses”. Remarks
Keohane, Robert O. 1984. After Hegemony. Princeton: by the President of the Republic of Indonesia
NJ, Princeton University Press. on the Occasion of the 36th Anniversary of the
Schmid, Alex P. 2011. “Introduction”, dalam Alex P. Association of Southeast Asian Nations (ASE-
Schmid (Ed.). The Routledge Handbook of Ter- AN). Jakarta. 8 Agustus 2003. http://www.ase-
rorism Research. New York: Routledge. an.org/news/asean-statement-communiques/
item/asean-today-challenges-and-responses-
remarks-by-the-president-of-the-republic-of-
Jurnal indonesia-on-the-occasion-of-the-36th-anni-
Beyer, Cornelia. 2008. “Understanding and Explain- versary-of-the-association-of-southeast-asian-
ing International Terrorism: On the Interrelation nations-asean-jakarta.
between Human and Global Security”. Human Foreign Correspondent. “Hamzah Haz Interview Tran-
Security Journal. Vol. 7. script”. 23 Oktober 2002. http://www.abc.net.
Febrica, Senia. 2001. “Securitizing Terrorism in au/foreign/stories/s710402.htm.
Southeast Asia: Accounting for the Varying LaMoshi, Gary. “Indonesia Doth Protest War Too Lit-
Responses of Singapore and Indonesia”, Asian tle”. Asia Times, 29 Maret 2003, http://www.
Survey 50(3). atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EC29Ae02.
Morgan, Matthew J. 2004. “The Origins of the New html.
Terrorism”, Parameters. Office of the Press Secretary, the U.S. Government.
Pillar, Paul R. 2001. “Terrorism Goes Global: Extrem- “President Building Worldwide Campaign
ist Group Extend their Reach Worldwide”. The Against Terrorism: Remarks by President Bush
Brookings Review 19 (Fall). and President Megawati of Indonesia”. 19 Sep-
Puspitasari, Irfa. 2010. “Indonesia’s New Foreign tember 2001.
Policy-‘Thousand Friends Zero Enemy’”. IDSA Unidjaja, Fabiola Desy. “Indonesia Signs UN Conven-
Issue Brief No. 23. tion on Terrorism”. The Jakarta Post. 26 Sep-
Savun, Burcu dan Brian J. Phillips. 2009. “Democray, tember 2001. http://www.thejakartapost.com/
Foreign Policy and Terrorism”. Journal of Con- news/2001/09/26/indonesia-signs-un-conven-
flict Resolution 20 (10). tion-terrorism.html.
Sen, Amartya. 2008. “Violence, Identity, and Poverty”.
Journal of Peace Research 45 (1).
Young, Reuven. 2000. “Defining Terrorism: The Evo-
lution of Terrorism as a Legal Concept in Inter-
national Law and Its Influence on Definitions in
Domestic Legislation”, Boston College Interna-
tional and Comparative Law Review 29 (1), 3.

Laporan dan Makalah


Ansyaad Mbai. “Kebijakan Penanggulangan Ter-
orisme”. Presentasi disampaikan pada Focus
Group Discussion Tim Polugri P2P LIPI. Ja-
karta. 14 Mei 2013.
Permanent Mission of The Republic of Indonesia to
The United Nations. “Statement by H.E. DR.
R.M. Marty M. Natalegawa Minister of For-
eign Affairs of Republic of Indonesia at The
Secretary-General’s Symposium on Interna-
tional Counter-Terrorism Cooperation”. New
York. 19 September 2011.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi ... | Ganewati Wuryandari | 83 

Anda mungkin juga menyukai