Anda di halaman 1dari 10

HUTAN KEAJAIBAN DI UJUNG DUNIA

Oleh: Diajeng Ragil

Tahu kah kamu?

Ada sebuah hutan di ujung dunia ini yang penuh dengan keajaiban. Di
sana, kamu bisa melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap
penghuninya. Pohon-pohon seakan menari, burung-burung indah
bernyanyi, hembusan angin dan aliran airnya terdengar seperti musik
yang mengalun merdu.

Kamu tidak perlu takut berjalan sendirian di sana, kamu tidak akan
tersesat. Akan ada batu yang menuntun kemana kamu pergi. Setiap
batu di sana menunjukkan tanda, dimana tempat yang kering dan
tempat yang sejuk.

Tidak perlu khawatir akan gelap, karena setiap malam bulan akan
bersinar terang untuk setiap penghuni hutan. Di hutan yang terlalu
rimbun, akan ada kunang-kunang yang menerangi setiap langkahmu.

Tidak perlu takut, harimau dan serigala di hutan ini tidak akan
mengejarmu. Mereka bahkan tidak ada di sini. Ya, di hutan ajaib ini,
hanya tinggal makhluk-makhluk herbivora. Mereka hanya memakan
apa yang disediakan alam, tidak menyakiti satu sama lain. Justru,
mereka akan saling berbagi makanan di setiap musimnya.

Di hutan keajaiban, ada beberapa peri kecil yang bertugas menjaga


kedamaian hutan. Mereka di sana untuk setiap penghuni hutan.
Menjaga hutan agar tetap damai dan tentram, menjaga kesuburan
hutan dan kelestarian setiap penghuninya.
Menyenangkan, bukan?

Hutan itu sangat damai dan tentram. Semua penghuni yang ada di sana
hidup rukun dan akur. Siapapun yang berada di sana pasti akan
merasakan hal yang sama.

Sayangnya, kamu tidak bisa ke sana. Tidak ada manusia yang tinggal
di sana.

Para penghuni hutan tidak menerima kedatangan manusia sejak


ratusan tahun yang lalu.

Hutan itu berada di pulau terujung di dunia. Untuk mencapainya,


manusia perlu mengarungi lautan luas dan berakhir di sebuah pulau
tandus tanpa apapun di atasnya. Hanya tumpukkan pasir yang kosong
dan kering. Tidak ada air untuk diminum atau tumbuhan rindang untuk
berlindung. Pulau itu adalah gerbang menuju hutan keajaiban.

Ratusan tahun yang lalu, sebuah kapal besar terombang-ambing di


lautan lepas. Badai dahsyat menerjangnya, menyebabkan kerusakan
parah yang melumpuhkan sebagian besar fungsi kapal itu. Manusia di
atas kapal itu terombang-ambing, terhempas oleh air laut, dan bahkan
termakan ombak yang menyapunya.

“Tolong!” teriak seorang anak laki-laki yang tengah memegangi tiang


kapal.

“Tolong aku! Ayah! Ibu!”

Ia terus berteriak, namun tidak ada yang mendengarnya. Setiap orang


yang berada di atas kapal tengah sibuk menyelamatkan dirinya
masing-masing.
Dengan usahanya sendiri, anak laki-laki itu terus berpegang erat pada
tiang. Berharap dirinya tidak terhanyut oleh ombak kencang. Hujan
dari badai itu membasahi tubuhnya, bercampur dengan air matanya. Ia
terus berteriak, meskipun pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang
datang.

Badai itu terjadi cukup lama. Kapal itu terombang-ambing di tengah


laut lepas. Kerusakan parah membuat kapal itu hancur terbelah,
manusia di atasnya pun terhempas ke laut. Berusaha berenang meraih
benda di sekitarnya untuk tetap terapung. Anak laki-laki itu tetap
berpegang pada tiang, tiang kapal yang terbuat dari kayu itulah yang
membuatnya terapung di laut lepas.

Setelah badai mereda, ombak laut membawa anak itu ke pinggir


daratan. Daratan tanpa apapun di atasnya. Ya, gerbang menuju pulau
dengan hutan keajaiban.

Anak laki-laki itu membuka matanya, melihat sinar matahari yang


terang menyilaukan. Ia melepas pelukannya dari tiang kayu yang
menyelamatkan hidupnya itu, lalu melihat ke sekitar. Tidak ada apa-
apa dan siapa-siapa di sana, selain dirinya dan tiang kayu yang
dibawanya.

Ia berjalan menyusuri pulau itu, terus berjalan dan terus berjalan


dengan harapan akan menemukan sebuah pohon untuk berlindung.
Namun, ia tetap tidak menemukan apapun di sana. Alam semesta
memang penuh dengan tanda tanya. Bagaimana bisa sebuah pulau
terbentuk tanpa apa-apa di atasnya.

Hari mulai gelap, anak itu mulai ketakutan. Ia memutuskan untuk


berhenti berjalan dan duduk di bibir pantai. Memeluk lututnya sembari
berdoa agar seseorang datang dan menyelamatkannya.
Saat bulan mulai menaiki singgasananya dan memancarkan cahaya,
sebuah jalan terbuka. Ya, jalan berupa tapakan batu-batu karang yang
tersusun rapih dari bibir pantai yang terbentang membelah laut di
depannya.

Anak itu tertegun. Takjub akan apa yang baru saja dilihatnya. Matanya
mulai berlinang dan tanpa mengerti kemana jalan itu akan berujung,
ia melangkah menyusurinya. Jalan itu hanya cukup untuk satu orang,
membelah lautan yang penuh ombak. Jalan itu sangat panjang, cukup
panjang hingga membuat Anak itu kelelahan saat menyusurinya.

Setelah berjalan cukup lama, anak itu berhenti dan terpatung seketika.
Bukan, bukan karena ia tidak menemukan ujung dari jalan ini. Tapi
karena ia terkejut bukan main saat melihat sebuah gerbang yang
terbuat dari tanaman merambat yang dipenuhi dengan bunga.

“Wahh..” takjubnya.

Anak itu melangkah hingga pijakan batu terakhir, lalu membawa


dirinya masuk melewati gerbang tersebut. Angin sejuk menyambut
Anak itu. Pohon rindang mengiringi setiap jalannya, desir angin yang
menyentuh dedaunan terdengar sangat menenangkan. Ada berbagai
jenis pohon di sana, ada yang berbuah dan ada juga yang berbunga.

Dengan riangnya anak itu berlari, menikmati suasana sejuk dan indah.
Tentu saja, pulau ini sangat berbeda dengan pulau yang sebelumnya.
Anak itu tertawa riang saat melihat tupai berlari dari satu dahan ke
dahan yang lain. Ia pun berlari mengikuti tupai itu dengan tawa
riangnya.

Langkah anak itu berhenti saat peri kecil terbang dan berhenti di
hadapannya. Ia sangat terkejut. Selama ini anak itu tidak pernah
melihat seorang peri.
Peri itu terbang mengitari si anak. Ya, ia mencoba mencari tahu dari
mana kedatangan anak manusia itu. Sejak hutan keajaiban diciptakan,
tidak pernah ada manusia yang datang kemari.

“Siapa namamu wahai anak Adam?”

Anak itu tersentak. Ia tidak tahu bahwa seorang peri dapat bicara.

“G-Gerald..” katanya terbata.

“Apa ombak membawamu kemari??” tanya peri itu lagi.

Gerald, si anak kecil itu, mengangguk.

“Dimana Ayah dan Ibumu?”

Gerald terdiam. Matanya mulai menitihkan air mata mengingat bahwa


kini ia hanya sendirian.

Menyadari hal itu, peri kecil pun meraih tangan Gerald dengan tangan
kecilnya.

“Ikutlah denganku..” Katanya seraya menuntun anak itu masuk ke


dalam hutan keajaiban lebih dalam.

“Ombak telah membawamu kemari. Maka, kau boleh tinggal di sini.”

Peri kecil membawa anak itu mengelilingi hutan untuk bertemu


dengan penghuni hutan yang lain. Menunjukkan bahwa akan ada anak
manusia yang tinggal bersama dengan mereka.

“Kau boleh tinggal selama kau berlaku baik dan tidak merusak.”

Gerald mengangguk. Berjanji akan terus berlaku baik dan tidak


merusak hutan keajaiban.
“Tinggal lah dengan damai bersama para penghuni keajaiban.”

Peri kecil itu lalu pergi meninggalkan Gerald yang mulai dihampiri
oleh para penghuni hutan. Tupai, kelinci, kancil, hingga kupu-kupu
menghampiri Gerald si anak manusia itu. Mereka berkenalan satu
sama lain. Seperti yang peri kecil katakan, mulai hari ini mereka akan
hidup bersama di hutan keajaiban.

Hari demi hari berlalu, Gerald menjalani setiap harinya tinggal di


hutan keajaiban. Gerald tidak pernah mengeluh, ia selalu tersenyum
dan bahagia menjalani hari-harinya bersama dengan penghuni hutan
keajaiban. Ia tinggal bersama dengan tupai di atas pohon, saat hujan
tiba ia akan pergi berlindung di lubang batu milik kelinci, jika
kelaparan ia akan mengambil satu atau dua buah apel dari pohon untuk
dimakan.

Anak itu tetap berlaku baik dan tidak merusak. Semakin hari, ia
semakin terbiasa. Tinggal dengan damai bersama dengan para
penghuni hutan keajaiban yang lain tanpa merasa kekurangan.

Namun seiring berjalannya waktu. Gerald, si anak manusia itu, mulai


beranjak besar. Ia membutuhkan lebih banyak makanan, ia tidak bisa
lagi hinggap di dahan bersama dengan tupai, atau berlindung di dalam
lubang kelinci. Semua itu terlalu kecil dan sempit untuknya.

Gerald terduduk diam di pinggir sungai. Masalah itu mulai


mengganggu pikirannya. Ia sudah tidak lagi kecil. Ia membutuhkan
tempat yang lebih besar untuknya, agar ia bisa berlindung di kala
hujan dan juga bersantai di kala siang.

Anak manusia itu pun mulai memikirkan sesuatu yang dapat menjadi
tempatnya tinggal. Sebuah rumah, pikirnya. Ia mengingat bagaimana
bentuk dari rumahnya di waktu kecil. Ya, tempat dimana ia tinggal
bersama dengan Ayah dan Ibunya dulu.

“Rumah! rumah! Aku akan membuat rumah!” serunya.

Ia lalu kembali masuk ke dalam hutan, melihat ke sekelilingnya.


Gerald mengambil dua belah batu lalu menempakannya satu sama
lain. Membuat salah satunya memilih sisi yang lebih pipih dan tajam.
Lalu, ia mencari sebatang dahan pohon yang sudah berada di tanah
dan mencabut akar pohon yang merumbai. Diikatkannya batu itu pada
batang pohon menggunakan akar.

Setelah selesai membuat perkakasnya. Gerald mengarahkan perkakas


itu ke arah sebuah pohon.

“Gerald.. Apa yang akan kau lakukan?” tanya kelinci

“Aku akan membuat rumah.” jawab Gerald.

“Dengan menebang pohon?” tanya kelinci lagi

“Ya. Dengan ini aku akan membuat rumahku.”

“Tapi ini rumahku, Gerald. Kau tidak boleh merusak hutan keajaiban.”
ucap tupai di atas pohon yang hendak Gerald tebang.

“Lalu bagaimana aku akan tinggal? Aku butuh rumah!”

Gerald terlihat sangat marah. Ia tetap melanjutkan kegiatannya,


memukulkan perkakasnya ke arah pohon di depannya. Membuat
pohon itu terkikis sedikit demi sedikit. Tupai pun berpindah ke pohon
yang lain karena merasakan pohon itu mulai goyang dan hendak
rubuh.
Gerald semakin kuat memukulkan perkakasnya hingga pohon itu
benar-benar jatuh ke tanah. Ia tidak lagi menerima untuk tinggal
seadanya tanpa merusak hutan keajaiban.

Mendengar kemarahan dan keserakahan Gerald si anak manusia, peri


kecil pun datang dan menghampirinya.

“Wahai anak Adam! Kenapa kau melakukan hal itu?” tanyanya pada
Gerald.

“Aku membutuhkan rumah untuk berlindung. Aku akan membuat


rumah.”

“Kebutuhanmu sudah tersedia di hutan ini. Pohon rindang ini akan


melindungimu dari sinar matahari, daunnya akan melindungimu dari
derasnya hujan, dan buahnya dapat melepaskan rasa laparmu. Lantas
kenapa kau berbuat kerusakan dan melukainya?”

“Aku menginginkan rumah!” seru Gerald

Keserakahan si anak manusia itu semakin terlihat jelas. Para penghuni


hutan keajaiban terkejut melihat sikap Gerald yang sudah berubah. Ia
bukan lagi anak kecil yang cukup dengan apa yang disediakan hutan
keajaiban. Ia menginginkan lebih, lebih dari apa yang diberikan
padanya.

Peri kecil mendekat pada Gerald lalu membisikan sesuatu di telinga


anak itu.

“Baiklah. Aku akan membawamu pulang ke rumah.”


Dengan kedua tangan kecilnya, peri itu meniupkan serbuk ajaib pada
Gerald. Serbuk penuh dengan sihir keajaiban itu pun lantas membuat
Gerald tertidur lelap seketika.

Mata anak manusia itu masih tertutup, namun telinganya mulai


mendengar desiran ombak membasahi bibir pantai. Perlahan, ia
membuka matanya dan terkejut menyadari keberadaannya.

“Ini.. Pulau ini..” bingungnya saat melihat ke sekitar.

Ya. Gerald, si anak manusia itu, kini terduduk di bibir pantai sebuah
pulau tandus tanpa apapun di atasnya. Gerald mulai ketakutan. Ia
kembali ke pulau tempat dirinya terdampar setelah kapal yang
ditumpanginya diterpa oleh badai dahsyat.

Ia menggulirkan pandangannya ke arah lain lalu melihat sebuah


perahu kecil. Gerald bangkit dan mendekati perahu itu. Perahu itu
ditempatkan terbalik, dengan sehelai daun yang menempel di atasnya.
Daun hijau itu bertuliskan sesuatu.

“Naiki lah perahu ini dan arungi lautan luas, maka kau akan
menemukan rumah yang kau inginkan, Gerald..”

Gerald, si anak manusia itu, menaiki perahu yang diperuntukan


untuknya. Dengan dayung yang tersedia, ia mengayuh perahunya
menuju ke laut luas di hadapannya. Semakin jauh dirinya dari bibir
pantai, ingatannya mengenai hutan keajaiban pun semakin memudar.
Tidak ada keinginan untuk menoleh kembali. Gerald, si anak manusia
itu, terus mengayuh perahunya agar ia segera menemukan rumah.

Sejak ombak laut membawa ingatan hutan keajaiban dari seorang anak
manusia, tidak ada lagi manusia yang menginjakkan kakinya di pulau
tandus tanpa apapun yang menjadi gerbang hutan keajaiban.
Penghuni hutan keajaiban kembali pada kehidupan mereka. Ya.
Kehidupan damai dan tentram tanpa keributan atau kerusakan yang
disengaja. Mereka hidup dengan menjaga alam alami hutan keajaiban
dan mengambil manfaat dari kelestarian hutan itu.

Tidak ada yang menebang pohon di sana, atau mengasah batu untuk
dijadikan perkakas. Tidak ada keinginan. Tidak ada keserakahan.
Semua penghuni hidup dengan kebutuhan yang tercukupi tanpa
menginginkan sesuatu yang lebih. Menerima dan memanfaatkan apa
yang disediakan alam untuk mereka tanpa keinginan berlebih yang
mengakibatkan kerusakan alam.

Anda mungkin juga menyukai