PENDAHULUAN
1
Kasus terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan mobil dan motor. Di
Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala 200/100.000
penduduk pertahun. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang
hanya 3% - 5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya
dirawat secara konservatif.1,2
1.2 TUJUAN
Laporan kasus yang berjudul “Epidural Hematoma” ini dibuat untuk
membahas etiologi, gejala klinis, diagnosis, serta prognosis dari penyakit ini.
Dengan itu dapat lebih baik untuk menangani penyakit ini dengan tepat.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
3
4
2.2 INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Tipe- tipe : 6
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.1
5
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak. 1
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater 1
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua
lapisan:
Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh
periosteum yang membungkus dalam calvaria
6
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater
spinalis yang membungkus medulla spinalis
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.
2.4 PATOFISIOLOGI
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
7
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.1
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar. 8
Sumber perdarahan : 8
8
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala
yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,
harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)
2.5 ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.2,9
Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada
kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur
tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau
vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek
tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara
9
dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut
akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan hematoma
menjadi massa yang mengisi ruang.
Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak
terkontrol, maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi yang cepat dari darah
pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang cepat,
herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.1,4,5,6
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil
ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir kesadaran
akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralaterak juga akan mengalami
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi,
yang merupakan tanda kematian.3
10
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
4. Pupil anisokor
5. Pupil isokor
2.7 DIAGNOSIS
11
2.8 DIAGNOSIS BANDING
1. Subdural Hematoma
2. Subarakhnoid hematoma
Gejala klinisnya yaitu kaku kuduk, nyeri kepala dan bisa didapati
gangguan kesadaran
2.9 PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Terapi medikamentosa
12
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang
tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.9
Terapi Operatif
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
13
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.8
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
2.10 PROGNOSIS
14
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar
antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi. 2,14
BAB 3
15
3.1 PENANGANAN KEGAWATDARURATAN
16
Fraktur basis kranii diduga ktika terjadi perdarahan dari kavum
timpani, otorrhea, petekiae pada prosesus mastoideus (Battles’s
sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda sign).15 segera
setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan
dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi
agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali
herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus
diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus
dapat dilakukan.15
3. Stabilisasi kardiovaskular.15
17
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
b. Inotropik dan vasopresor. Jika tekanan darah dan cardiac output
tidak dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan, pemberian
inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan.
Infus fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga
Cerebral Perfusion Pressure diatas 60 mmHg.
18
Tujuan utama dari manajemen anestesi yaitu untuk (a) mengoptimalkan
perfusi dan oksigenasi serebral, (b) menghindari kerusakan sekunder, (c)
membuat kondisi bedah yang baik untuk operator neurosurgery. Anestesi general
di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi.
Induksi obat anestesi. Banyak pasien dengan cedera kepala yang parah sudah
dipasang endotrakeal tube oleh triase selama di bagian gawat darurat untuk
pemeriksaan CT. Pasien yang datang ke ruangan opreasi tanpa adanya endotrakeal
tube di terapi dengan pemberian segera oksigen dan mengamankan jalan nafas.
Seorang anestesiologis harus waspada bahwa pasien ini datang dengan keadaan
perut yang penuh, volume intra vaskular yang menurun, dan potensial cedera pada
servikal.15
Monitoring tekanan arteri secara langsung dilakukan dengan memasukkan
kateter sebelum induksi anestesia dilakukan. Beberapa teknik induksi diperlukan.
Keadaan pasien dan stabilnya hemodinamik menentukan pilihan yang diambil.
Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan hemodinamik sabil, walaupun
prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah dan peningkatan
tekanan intra kranial. Selama pemberian 100% oksigen, dan dosis induksi dari
tiopental, 3-4 mg/kg, atau propofol, 1-2 mg/kg, dan succinylcholine 1,5 mg/kg,
diberikan dan trakea sudah terintubasi. Etomidate, 0,2-0,3 mg/kg, dapat diberikan
pada pasien dengan stetus sirkulasi yang menghawatirkan. Pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, dosis induksi dari obat dapat dikurangi atau
bahkan dihilangkan. Bagaimanapun, depresi kardiovaskular selalu menjadi
perhatian, terutama pada pasien dengan hipovolemi.15,17
Succinylcholine dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Pemberian
muscle relaxan nondepolarisasi dosis kecil mungkin dapat menghindari
peninggian tekanan ini, tetapi tidak dapat diramalkan. Succinylchoil merupakan
pilihan yang baik untuk memfasilitasi masuknya laringoskop dan mengamankan
jalan nafas. Roccuronium 0.6-1 mg/kg merupakan alternaif yang baik karena
onsetnya yang cepat dan sedikit efeknya terhadap peningkatan tekanan intra
kranial.Induksi intravena. Saat pasien stabil dan tidak dengan keadaan perut
penuh, anestesi dapat diinduksi dengan mentitrasi dosis dari tiopental ataupun
19
propofol unutk meminimalkan ketidakstabilan sirkulasi. Dosis intubasi dari
muscle relaxan nondepolarisasi diberikan dengan ataupun tidak dengan priming
untuk memfasilitasi intubasi dengan waktu yang pendek. Sebagai contoh,
rocuronium, 0,6-1mg/kg, memberikan kondisi intubasi yang memuaskanselama
60-90 detik. 15,17
Fentanyl, 1-4 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5mg/kg iv,
diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat membantu untuk mencegah
peningkatan tekanan intra kranial. Gastrik tube ukuran besar dimasukkan setelah
intubasi, dan isi lambung di aspirasi dan kemudian secara pasiv di kosongkan
selama operasi. Penggunaan NGT dihindari karena adanya kemungkinan fraktur
basis kranii. Mempertahankan anestesia. Obat yang ideal dalam mempertahankan
anestesia sebaiknya yang mengurangi tekanan intra kranial, menjaga oksigen
suplai yang adekuat ke jaringan otak, dan melindungi otak dari metabolik-iskemik
yang menganggu. Tidak ada obat anestesi gold standart yang memenuhi syarat ini
pada cedera kepala. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan dari
patologi intrakranial sama seperti kondisi sistemik seperti pada gangguan
kardiopulmoner dan adanya trauma multisistem. 15,17
Obat anestesi
1. Anestesi intravena3,4
a. Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak
(CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP).
Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV dengan
depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital melindungi iskemi otak
fokal pada percobaan binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan
sekuele yang umum.
b. Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF, dan
ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan
enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate
dapat menekan respon adrenokortikal terhadap stress.
20
c. Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan penggunaan
propofol menyerupai obat barbiturat.
d. Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna baink
untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini memiliki
minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat
diberikan untuk menginduksi anestesia dan dapat diulangi jika perlu,
sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan
untuk induksi dan dapat diulangi bila perlu.
e. Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan yang
minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan secara adekuat,
narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek
meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan
dan depat memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi
yang lebih sedikit
2. Anestesi inhalasi15,17
a. isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit
efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan.
Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin
memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan
konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena
dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.
b. Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”, peningkatan
ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis, walaupun efek pada
hemodinamik serbral sevoflurane mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak
menguntungkan pada sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun
pada konsenterasi yang tinggi.
c. Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat meningkatkan
ICP.
21
d. Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena itu
dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial sebaiknya
tidak menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada pneumochepalus
atau pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga udara lebih cepat
dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan
volume di dalam rongga udara.
22
3.3 PENANGANAN SIRKULASI DAN RESPIRASI INTRAOPERATIF
23
d. Diuretik. Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK.
Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih
berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e. Drainase CSF. Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF
merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK.
24
badan sebaiknya dilakukan di dua tempat atau lebih antara lain pada membran
timpani, area nasofaringeal, esofagus dan darah.13
Perawatan Pascabedah19:
1. Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring
ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
2. Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari
PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
3. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan
arteri rerata > 130 mmHg.
4. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.
Hematokrit pertahankan 33%.
5. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin
terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb)
perlahan –lahan selama 1-2 menit.
BAB 3
LAPORAN KASUS
25
1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tuan M
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Diagnosis Pre-Op : HI GCS 13(E4V3M6)+ Epidural hematoma
Temporal dextra
Operasi : Craniotomy Evakuasi EDH
Anestesi : General Anesthesia-Endo Tracheal Tube
Tanggal Masuk : 01 Februari 2012
Tanggal Operasi : 02 Februari 2012
26
B1 : Airway clear, RR: 24 x/mnt, Sp: Vesikuler, ST: -,
Snoring/Crowing/gurgling:-/-/-
B2 : Akral : H/M/K, TD: 140/80 mmHg, HR: 71 x/ mnt,reg, T/V:
kuat/cukup, T: afebris
B3: Sens: GCS 13 (E4V3M6), Pupil isokor,Ѳ 3mm/3mm,RC: +/+, bloody
otorrhea (+), bloody rhinorrhea (+)
B4 : UOP (+), Vol: 150 cc, warna kuning
B5: Abdomen soepel, peristaltik(+), MMT Pukul 16.oo WIB, mual (+),
muntah (+)
B6: excoriated wound pada lengan kanan
Hb/Ht/L/Tb: 14,6/39.6/12.340/238.000
SGOT/SGPT : 22/15
Ur/Cr : 35/0,8
KGD AR : 132,9
Na/K/Cl : 139/3,1/103
PT/aPTT/TT/INR :21,4(14)/27,5(30,5)/15,5(12)/1,81
FiO2 35%
PH/P O2 /PCO2/Tot CO2/BE/HCO3/Sat O2 : 7,407/34,1/194,8/21/22,1/-
2,9/99,6
27
2(139 + 3.1) + 24,6/2,8 + 132,9/ 18 = 300.36 mOsm/l
IVFD RL 20 gtt/I
ATS 3000 IU
Phenytoin 100 mg
Ketorolac 30 mg
Ranitidine 50 mg
28
Pertahankan normovolemik, cegah hipoksia, cegah hiperkarbia,
cegah nyeri, head up 30⁰
Observasi terhadap vital sign dan GCS
Operasi daerah kepala, ETT tertutup doek : fiksasi kuat, pasang prekordial,
perhatikan pressure manometer dan SpO2.
Evaluasi GCS
29
3.2.6. Teknik Anestesi
Head up 30o
Penguapan+Maintenance:(2+4)x70=580ml/jam
Perdarahan: 750 ml
Cairan PO : 1000 ml
DO :Rsol 1500ml
30
PRC 175 cc
B6: Luka Operasi Tertutup Verban, excoriated wound pada lengan kanan
31
BAB 4
KESIMPULAN
4. Pupil anisokor
32
ke kaki, depan dan belakang, dengan melakukan mobilisasi in-line. Pemeriksaan
Glasgow Coma Scale (GCS), dapat menjadi parameter untuk evaluasi penting
terhadap kemajuan klinis. Pada pasien ini telah dilakukan evaluasi awal dan
penanganan secara cepat dimana pada pasien ini jalan nafasnya bebas (clear),
untuk sirkulasi dipasang iv line 18G serta dilakukan pemeriksaan GCS dengan
nilai 15 (E4 V5 M6) dan dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien ini
telah melewati masa golden period untuk itu kita harus mencegah secondary brain
injury dengan mengambil langkah-langkah pertahankan normovolemik, mencegah
hipoksia, mencegah nyeri, mencegah infeksi, dan lakukan observasi terhadap vital
sign dan GCS.
Pasien ini dari awal hingga pasca operasi dilakukan head up 30o sebab
posisi kepala head-up 10-30o dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan jalan memperbaiki drainase vena serebral. Posisi kepala yang tidak netral
akan mengganggu aliran darah serebral, sehingga TIK dapat meningkat. Yang
perlu diperhatikan adalah pasien dengan hipotensi, hipovolemia, dapat
menurunkan MAP, CPP dan terjadinya iskemia.
Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan
untuk menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular yang
stabil. Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan pilihan adalah
cairan kristaloid yang hiperosmolar dibanding dengan osmolaritas tubuh. Pada
pasien ini diberikan RSol yaitu cairan kristaloid yang hyperosmolar, untuk
mencukupi kebutuhan perhari dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil
dengan memantau nadi dan tekanan darah serta MAP dalam kisaran 75mmHg.
Pasien cedera otak membutuhkan nutrisi tinggi (dalam 24 jam) tujuannya
mengganti 140 % dari REE (resting energy expenditure) dengan 15 % protein
selama 7 hari paska trauma. Enteral nutrisi berhubungan dengan rendahnya
insiden hiperglikemia serta proteksi terjadinya ulkus gaster. Waktu pengosongan
lambung akan memanjang maka perlu diberikan obat-obatan prokinetik.
Penggunaan parenteral nutrisi disarankan bersama dengan propilaksis ulkus gaster
(H2 antagonis atau sukralfate), kontrol gula darah dan CO2 yang merupakan hasil
33
metabolism karbohidrat. Hal ini sesuai dengan yang diberikan pada pasien yaitu
7,5 gram protein yaitu 15% dari total kalori serta pemberian ranitidine untuk
mencegah terjadinya ulkus gaster.
DAFTAR PUSTAKA
3. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC,
2003. p. 818-9
34
8. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2006. p.
359-65, 382-87
10. Stoelting RK, Miller RD. Basics of ANESTESIA. Fifth edition .Kalamas
AG, Chapter 23. Fluid Management. Churchill Livingstone,
Elsevier.Philadelphia ; 2007: 347-52
11. Yao FS, Malhotra MD, Fontes ML. Anesthesiology : Problem Oriented
Patient Management. Sixth Edition. Section III. Lippincot Williams &
Wilkins. Philadelphia ; 2008 :471-514
12. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. Fifth edition.
Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2006 :1054-60
13. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In:
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston
Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.
14. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds.
Oxford Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000
15. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4 th ed.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.
16. Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship
of Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain
Injury. Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.
17. Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical
Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical
Strategies Publishing, USA. 2004.
35
18. Meier U, Grawe A, Konig A. The Importance of Major Extracranial
Injuries by the Decompressive Craniectomy in Severe Head Injuries. Acta
Neurochir, 2005; 95: 55-57.
19. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008
36