Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus  vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematom.1,2,3
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.1,5
Cedera kepala adalah kondisi yang umum secara neurologi dan bedah
saraf dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di kalangan usia
produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas
yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum
benar, rujukan yang terlambat.

1
Kasus terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan mobil dan motor. Di
Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala 200/100.000
penduduk pertahun. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang
hanya 3% - 5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya
dirawat secara konservatif.1,2

1.2 TUJUAN

            Laporan kasus yang berjudul “Epidural Hematoma” ini dibuat untuk
membahas etiologi, gejala klinis, diagnosis, serta prognosis dari penyakit ini.
Dengan itu dapat lebih baik untuk menangani penyakit ini dengan tepat.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur


tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media
yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale.

Perdarahan yang terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh


hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.1,3

Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara


duramater dan tabula interna karena trauma (Gambar-1). Pada penderita traumatic
hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan
berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi fraktur.15

Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah


temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat
robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH
berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai
volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9%
penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama. 8,15,16

3
4
2.2 INSIDEN  DAN EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan


hematoma epidural dan sekitar 10%  mengakibatkan koma. Secara Internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.2,9

60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan


jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka
kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari
55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 4:1.9

Tipe- tipe : 6

1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri


2. Subacute hematoma ( 31 % )

3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

2.3 ANATOMI OTAK

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali  terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.1

5
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat  emmbawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak. 1

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak


memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding
atau tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula
eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang
lebih ringan . tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria
meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang
di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat
yang fatal kecuali  bila di temukan dan diobati dengan segera.

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater 1

1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua
lapisan:
 Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh
periosteum yang membungkus dalam calvaria

6
 Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan dura mater
spinalis yang membungkus medulla spinalis

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-


laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.

2.4 PATOFISIOLOGI

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan


dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.8

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen


spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar. 8

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada


lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.1

Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini

7
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.1

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan


terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.1

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar. 8

Sumber perdarahan : 8

 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )


 Sinus duramatis

 Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.


diploica dan vena   diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah


saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada

8
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala
yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat,
harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)

Arteri meningea media

2.5 ETIOLOGI

           Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja  dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.2,9

Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada
kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur
tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau
vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek
tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara

9
dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut
akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan hematoma
menjadi massa yang mengisi ruang.

Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak
terkontrol,  maka akan mengakibatkan  terjadinya akumulasi yang cepat dari darah
pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang cepat,
herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.1,4,5,6

2.6 GEJALA KLINIS

            Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan


kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen kasus kesadaran pasien membaik dan
adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan
sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai,
dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Epidural
hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada beberapa kasus
dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat kardiorespiratori
pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan mereka yang
terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi biasanya akan mempunyai
prognosis yang lebih buruk.1

            Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil
ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir kesadaran
akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralaterak juga akan mengalami
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi,
yang merupakan tanda kematian.3

Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma :7

10
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun

3. Late hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur daerah temporal

Gejala dan Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior :7

1. Lucid interval tidak jelas


2. Fraktir kranii oksipital

3. Kehilangan kesadaran cepat

4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan

5. Pupil isokor

2.7 DIAGNOSIS

            Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan


penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Adanya garis fraktur
yang menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur terletak ipsilateral
dengan pupil yang melebar garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi
hematoma.3           

Computed tomografi (CT) scan otak akan memberikan gambaran


hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah
temporal dan tampak bikonveks.

11
2.8 DIAGNOSIS BANDING

1. Subdural Hematoma

Perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid, akibat


robeknya vena jembatan.

Gejala klinisnya adalah sakit kepala dan kesadaran menurun + / -

Pada pemeriksaan CT scan otak didapati gambaran hiperdens


(perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya robekan dari
bridging vein dan tampak seperti bulan sabit.7

2. Subarakhnoid hematoma

Gejala klinisnya yaitu kaku kuduk, nyeri kepala dan bisa didapati
gangguan kesadaran

Pada pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di


ruang subarakhnoid.

2.9 PENATALAKSANAAN

Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana


 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

12
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang
tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.9

Pengobatan yang lazim  diberikan pada cedera kepala adalah


golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4
mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan
untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih
kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam
pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk
penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-
hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat
masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari
natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial.
Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang
meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan
iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB
dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3
jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.8

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat : 15

 Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)


 Keadaan pasien memburuk

 Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

13
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.8

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

 > 25 cc  desak ruang supra tentorial


 > 10 cc  desak ruang infratentorial

 > 5 cc  desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving  adalah efek masa yang signifikan :

 Penurunan klinis
 Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

 Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan


penurunan klinis yang progresif.

            Penatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara


trepanasi dengan tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan
perdarahan.3

2.10 PROGNOSIS

            Prognosis tergantung pada : 8

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )


 Besarnya

 Kesadaran saat masuk kamar operasi.

14
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar
antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi. 2,14

Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan


epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%. Seperti trauma
hematoma intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur dari
pasien. Resiko terjadinya epilepsi post trauma pada pasien epidural hematoma
diperkirakan sekitar 2%.9

BAB 3

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN DAN ANESTESI

15
3.1 PENANGANAN KEGAWATDARURATAN

1. Penilaian awal kondisi pasien


a. Penilaian neurologis : biasanya hanya terdapat sedikit waktu untuk
menilai kondisi neurologis pasien secara keseluruhan. Namun,
penilaian neurologis yang cepat dapat dilakukan sambil
menstabilkan kondisi pasien untuk mencapai ventilasi yang
adekuat dan stabilisasi hemodinamik.14
 Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang
sederhana dan diterima secara universal untuk menilai tingkat
kesadaran dan status neurologis pasien dengan trauma kepala.
Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
 Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris
ekstremitas harus secepatnya dinilai.
b. Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang
berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama
ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks
atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks
maupun abdomen harus dilakukan segera.14

2. Jalan nafas dan ventilasi

a. Intubasi trakea. Langkah pertama dalam terapi darurat adalah


mengamankan jalan nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah
adekuat. Karena semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki
lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma servikal,
tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal
dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi.15
b. Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita
fraktur basis kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak.

16
Fraktur basis kranii diduga ktika terjadi perdarahan dari kavum
timpani, otorrhea, petekiae pada prosesus mastoideus (Battles’s
sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda sign).15 segera
setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan
dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi
agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali
herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus
diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus
dapat dilakukan.15

3. Stabilisasi kardiovaskular.15

Hipotensi sistemik merupakan salah satu kontributor mayor terhadap


jeleknya prognosa pada pasien trauma kepala.

a. Resusitasi cairan. Hipovolemia sering tertutup oleh tekanan darah


yang relatif stabil sekunder akibat hiperaktivitas simpatis atau
respon refleks terhadap peningkatan TIK. Karena itu, resusitasi
cairan harus dilakukan tidak hanya berdasarkan tekanan darah
namun juga oleh urine output dan CVP.
 Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan
hipertonik dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga
volume intravaskular yang adekuat.
 Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai
hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk
mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya
dipertahankan diatas 30%.
 Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena
hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.
Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani

17
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
b. Inotropik dan vasopresor. Jika tekanan darah dan cardiac output
tidak dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan, pemberian
inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan.
Infus fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga
Cerebral Perfusion Pressure diatas 60 mmHg.

4. Penanganan terhadap peningkatan TIK.15,16

a. Hiperventilasi. Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial


pada pasien dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai
kadar PaCO2 sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan
cepat dan efektif menurunkan TIK.
b. Terapi diuretik. Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan
dalam 10 menit pada pasien dengan sangkaan herniasi
transtentorial. Osmolaritas serum dijaga dan tidak boleh melebihi
320 mOsm/L.
c. Posisi. Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF
dan menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada
kaadaan dimana tekanan darah sistemik menurun.
d. Kortikosteroid. Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan
mempunyai manfaat dalam mengurangi edema otak yang juga
menurunkan TIK pada pasien dengan trauma kepala. Namun,
beberapa laporan terakhir menunjukkan perburukan pada pasien
yang diberikan terapi kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid
tidak berperan dalam penanganan trauma kepala meskipun
bermanfaat pada trauma spinal.

3.2 MANAJEMEN ANESTESI

18
Tujuan utama dari manajemen anestesi yaitu untuk (a) mengoptimalkan
perfusi dan oksigenasi serebral, (b) menghindari kerusakan sekunder, (c)
membuat kondisi bedah yang baik untuk operator neurosurgery. Anestesi general
di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi.
Induksi obat anestesi. Banyak pasien dengan cedera kepala yang parah sudah
dipasang endotrakeal tube oleh triase selama di bagian gawat darurat untuk
pemeriksaan CT. Pasien yang datang ke ruangan opreasi tanpa adanya endotrakeal
tube di terapi dengan pemberian segera oksigen dan mengamankan jalan nafas.
Seorang anestesiologis harus waspada bahwa pasien ini datang dengan keadaan
perut yang penuh, volume intra vaskular yang menurun, dan potensial cedera pada
servikal.15
Monitoring tekanan arteri secara langsung dilakukan dengan memasukkan
kateter sebelum induksi anestesia dilakukan. Beberapa teknik induksi diperlukan.
Keadaan pasien dan stabilnya hemodinamik menentukan pilihan yang diambil.
Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan hemodinamik sabil, walaupun
prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah dan peningkatan
tekanan intra kranial. Selama pemberian 100% oksigen, dan dosis induksi dari
tiopental, 3-4 mg/kg, atau propofol, 1-2 mg/kg, dan succinylcholine 1,5 mg/kg,
diberikan dan trakea sudah terintubasi. Etomidate, 0,2-0,3 mg/kg, dapat diberikan
pada pasien dengan stetus sirkulasi yang menghawatirkan. Pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, dosis induksi dari obat dapat dikurangi atau
bahkan dihilangkan. Bagaimanapun, depresi kardiovaskular selalu menjadi
perhatian, terutama pada pasien dengan hipovolemi.15,17
Succinylcholine dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Pemberian
muscle relaxan nondepolarisasi dosis kecil mungkin dapat menghindari
peninggian tekanan ini, tetapi tidak dapat diramalkan. Succinylchoil merupakan
pilihan yang baik untuk memfasilitasi masuknya laringoskop dan mengamankan
jalan nafas. Roccuronium 0.6-1 mg/kg merupakan alternaif yang baik karena
onsetnya yang cepat dan sedikit efeknya terhadap peningkatan tekanan intra
kranial.Induksi intravena. Saat pasien stabil dan tidak dengan keadaan perut
penuh, anestesi dapat diinduksi dengan mentitrasi dosis dari tiopental ataupun

19
propofol unutk meminimalkan ketidakstabilan sirkulasi. Dosis intubasi dari
muscle relaxan nondepolarisasi diberikan dengan ataupun tidak dengan priming
untuk memfasilitasi intubasi dengan waktu yang pendek. Sebagai contoh,
rocuronium, 0,6-1mg/kg, memberikan kondisi intubasi yang memuaskanselama
60-90 detik. 15,17
Fentanyl, 1-4 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5mg/kg iv,
diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat membantu untuk mencegah
peningkatan tekanan intra kranial. Gastrik tube ukuran besar dimasukkan setelah
intubasi, dan isi lambung di aspirasi dan kemudian secara pasiv di kosongkan
selama operasi. Penggunaan NGT dihindari karena adanya kemungkinan fraktur
basis kranii. Mempertahankan anestesia. Obat yang ideal dalam mempertahankan
anestesia sebaiknya yang mengurangi tekanan intra kranial, menjaga oksigen
suplai yang adekuat ke jaringan otak, dan melindungi otak dari metabolik-iskemik
yang menganggu. Tidak ada obat anestesi gold standart yang memenuhi syarat ini
pada cedera kepala. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan dari
patologi intrakranial sama seperti kondisi sistemik seperti pada gangguan
kardiopulmoner dan adanya trauma multisistem. 15,17

Obat anestesi

1. Anestesi intravena3,4
a. Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak
(CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP).
Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV dengan
depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital melindungi iskemi otak
fokal pada percobaan binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan
sekuele yang umum.
b. Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF, dan
ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan
enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate
dapat menekan respon adrenokortikal terhadap stress.

20
c. Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan penggunaan
propofol menyerupai obat barbiturat.
d. Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna baink
untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini memiliki
minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat
diberikan untuk menginduksi anestesia dan dapat diulangi jika perlu,
sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan
untuk induksi dan dapat diulangi bila perlu.
e. Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan yang
minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan secara adekuat,
narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek
meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan
dan depat memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi
yang lebih sedikit

2. Anestesi inhalasi15,17
a. isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit
efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan.
Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin
memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan
konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena
dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.
b. Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”, peningkatan
ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis, walaupun efek pada
hemodinamik serbral sevoflurane mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak
menguntungkan pada sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun
pada konsenterasi yang tinggi.
c. Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat meningkatkan
ICP.

21
d. Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena itu
dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial sebaiknya
tidak menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada pneumochepalus
atau pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga udara lebih cepat
dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan
volume di dalam rongga udara.

3. Anestesi lokal. Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau


tidak dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin
head holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial terhadap
rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu dari anestesi
dalam.16

4. Muscle relaxant. Muscle relaxan yang adekuat memfasilitasi mekanikal


ventilasi dan mengurangi ICP. Batuk dan peregangan dihindari karena
keduanya dapat mengakibatkan meningkatnya pengisisan vena serebral.6,8
a. Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP, tekanan
darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan trauma kepala.
Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg diikuti pemberian
infus 1-1,7 mcg/kg/menit
b. Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat
menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya, oleh
karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien.
c. Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang cepat
dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan
pemberian melalui infus 4-10mcg/kg/menit diberikan dengan monitoring
dari neuromuskular blok.
d. Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan sedikit
efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat dengan durasi lebih
lama dibutuhkan.

22
3.3 PENANGANAN SIRKULASI DAN RESPIRASI INTRAOPERATIF

a. Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai


PaCO2 sekitar 35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2)
diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio
pulmoner, aspirasi, atau edema paru neurogenik, membutuhkan
Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi
yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya dihindari, karena
peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase
vena sentral dan meningkatkan TIK. 15,17
b. Penanganan sirkulasi. CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika
hipotensi bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat,
ventilasi, dan pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan
menggunakan inotropic atau vasopresor. 15,17
c. Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).17

3.4 PENANGANAN PENINGKATAN TIK INTRAOPERATIF 4,6

a. Posisi pasien. Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP


mungkin tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik
menurun secara substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau
fleksi dari kepala dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi
venous return.
b. Ventilasi. Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg.
Hiperventilasi dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi
otak adekuat.
c. Sirkulasi. Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi
(tekanan sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.

23
d. Diuretik. Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK.
Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih
berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e. Drainase CSF. Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF
merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK.

3.5 MONITORING 6,8

a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran


noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu
badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA,
hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai
secara periodik.
b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan
menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan
bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.
c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb
oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan
Transcranial Doppler (TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat
digunakan.

3.6 PROTEKSI SEREBRAL

Hipotermi, penurunan suhu tubuh hingga 33-35 oC dapat merubah proteksi


serebral. Mekanisme protektif termasuk menurunkan kebutuhan metabolik,
eksitotoksisitas, pembentukan radikal mbebas, dan pembentukan edema. Pada
hewan model iskemia, hipotermia ringan menjadi sekitar 34-36 oC terlihat dapat
mengurangi resiko terjadinya cedera akibat iskemia jaringan.14,15
Ketika induksi hipotermia dilakukan, pengawasan yang ketat harus
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi, aritmia jantung, koagulopati, dan
infeksi. P;enghangatan kembali harus dilakukan secara perlahan. Monitoring suhu

24
badan sebaiknya dilakukan di dua tempat atau lebih antara lain pada membran
timpani, area nasofaringeal, esofagus dan darah.13

3.7 PENANGANAN POST OPERATIF

Perawatan Pascabedah19:

1. Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring
ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
2. Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari
PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
3. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan
arteri rerata > 130 mmHg.
4. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.
Hematokrit pertahankan 33%.
5. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin
terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb)
perlahan –lahan selama 1-2 menit.

BAB 3
LAPORAN KASUS

25
1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tuan M
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Diagnosis Pre-Op : HI GCS 13(E4V3M6)+ Epidural hematoma
Temporal dextra
Operasi : Craniotomy Evakuasi EDH
Anestesi : General Anesthesia-Endo Tracheal Tube
Tanggal Masuk : 01 Februari 2012
Tanggal Operasi : 02 Februari 2012

2 PEMERIKSAAAN PRA ANESTESI


2.1 Anamnesa

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran


 Telaah : Hal ini dialami os sejak 1 jam yang lalu sebelum masuk
RSHAM. Pasien mengendarai sepeda motor yang didorong sepeda motor
lain dan terjatuh dengan mekanisme trauma tidak jelas, saat itu os tidak
menggunakan helm, Riwayat kejang(-), mual (+), muntah (+).

2.2 Pemeriksaan Fisik

26
 B1 : Airway clear, RR: 24 x/mnt, Sp: Vesikuler, ST: -,
Snoring/Crowing/gurgling:-/-/-
 B2 : Akral : H/M/K, TD: 140/80 mmHg, HR: 71 x/ mnt,reg, T/V:
kuat/cukup, T: afebris
 B3: Sens: GCS 13 (E4V3M6), Pupil isokor,Ѳ 3mm/3mm,RC: +/+, bloody
otorrhea (+), bloody rhinorrhea (+)
 B4 : UOP (+), Vol: 150 cc, warna kuning
 B5: Abdomen soepel, peristaltik(+), MMT Pukul 16.oo WIB, mual (+),
muntah (+)
 B6: excoriated wound pada lengan kanan

2.3 Pemeriksaan Laboratorium

 Hb/Ht/L/Tb: 14,6/39.6/12.340/238.000
 SGOT/SGPT : 22/15
 Ur/Cr : 35/0,8
 KGD AR : 132,9
 Na/K/Cl : 139/3,1/103
 PT/aPTT/TT/INR :21,4(14)/27,5(30,5)/15,5(12)/1,81
 FiO2 35%
 PH/P O2 /PCO2/Tot CO2/BE/HCO3/Sat O2 : 7,407/34,1/194,8/21/22,1/-
2,9/99,6

2.4 Tindakan di IGD

 O2 2 L/mnt nasal canulàFace mask 8-10 rebreathing l/mnt

 Posisi kepala Head up 30˚

 Pasang IV line dengan abocathe bore besar àpastikan lancar

 diganti dengan cairan NaCL 0.9%:1000 ml (2 Fls)

 Osm: 2(Na + K) + BUN/2,8 + Glukosa/18

27
2(139 + 3.1) + 24,6/2,8 + 132,9/ 18 = 300.36 mOsm/l

 Cross macth dan sedia darah PRC 1 bag

 Transport pasien ke COTà Pastikan hemodinamik stabil,, monitoring ketat

 Persiapan alat dan obat anestesi

 IVFD RL 20 gtt/I

 AntibiotikàInj. Ceftriaxon 1gr/12 jam

 ATS 3000 IU

 Phenytoin 100 mg

 Ketorolac 30 mg

 Ranitidine 50 mg

 Diagnosis Pre-Op : HI GCS 13(E4V3M6)+ Epidural hematoma


Temporal dextra
 Operasi : Craniotomy Evakuasi EDH
 PS-ASA :2E
 Teknik anestesi : GA-ETT
 Posisi : Supine

3.2.5. Problem List


 Pasien Head Injury :

Cegah secondary brain injury

28
 Pertahankan normovolemik, cegah hipoksia, cegah hiperkarbia,
cegah nyeri, head up 30⁰
 Observasi terhadap vital sign dan GCS

 Operasi daerah kepala, ETT tertutup doek : fiksasi kuat, pasang prekordial,
perhatikan pressure manometer dan SpO2.

 Potensial terjadi infeksi àantibiotik yang adekwat

 Nyeri Peri Operative à pemberian analgetik kuat

 Posisi head up 30 derajat, airway bebas.

 Monitoring cairan à hematokrit dipertahankan >33% dan prod.urin. 0,5-1


cc/kg bb/jam

 Pertahankan normokapni 30-35mmHg

 Pertahankan CPP à dimana MAP > 90.

 Apabila diberikan diuresis osmotik, manitol, hati-hati dapat menyebabkan


hipovolemi dan ggn elektrolit à pantau urin output, cek elektrolit..

 Hindari kejang dgn pemberian phenitoin 10-15mg/kgBB.

 Potensial terjadi infeksi àantibiotik yang adekuat

 Nyeri post Operative à pemberian analgetik kuat

 Evaluasi GCS

29
3.2.6. Teknik Anestesi

 Head up 30o

 Premedikasi dengan midazolam 5 mg, Inj. Fenthanyl 100 mg, Inj.


Lidocain 80 mg à preoksigenasi 8lpm

 Induksi propofol 100 mg titrasi .

 Inj. Rocuronium 50 mg,

 Intubasi ETT 7.5, cuff (+), SP kanan = kiri à fiksasi

 Inhalasi Anestesi dengan sevoflurane 1 %-2%, O2 2l/mnt/ Air 2l/mnt

 Maintenance Rocuronium 10 mg/20 menit, fentanyl 50 mcg/60 mnt


(monitoring)

3.2.7. Durante Operasi

Durante operasi : 2 jam 15 mnt

TD: 110-130/58-78 mmHg

Hr: 52-84 x/mnt

Penguapan+Maintenance:(2+4)x70=580ml/jam

UOP: 200 cc/2 jam

Perdarahan: 750 ml

Cairan PO : 1000 ml

DO :Rsol 1500ml

30
PRC 175 cc

3.2.8. Post Operatif

 B1 : Airway clear, RR: 20 x/mnt, Sp: Vesikuler, ST: -,


 B2 : Akral : H/M/K, TD: 118/61 mmHg, HR: 54x/ mnt,reg, T/V:
kuat/cukup

 B3: GCS 13(E4,V3,M6), Pupil anisokor, Ѳ ka 4mm/ ki 2mm,RC: +/+

 B4 : UOP (+), Vol: 200 cc/2jam, warna kuning

 B5: Abdomen soepel, peristaltik(+)

 B6: Luka Operasi Tertutup Verban, excoriated wound pada lengan kanan

3.2.9. Terapi post op

 Bed rest head up 30 derajatO2 Sungkup 8 liter/I


 Diet SV dengan Kalori 1500 Kcal

 IVFD Rsol 20 gtt/I

 Inj. Ketorolac 30 mg / 8jam IV

 Inj. Ceftriakson 1gr/12 jam IV

 Inj Ranitidin 50 mg/12 jam IV

31
BAB 4

KESIMPULAN

           

Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur


tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media
yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale.

            Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma :7

1. Lucid interval (+)


2. Kesadaran makin menurun

3. Late hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur daerah temporal

Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan


penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Prognosis epidural
hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang telah
dievakuasi mulai dari 16% - 32%.
Evaluasi awal secara cepat dengan manajemen ABCD “airway, breathing
dan circulation, disability”, dengan melihat secara keseluruhan mulai dari kepala

32
ke kaki, depan dan belakang, dengan melakukan mobilisasi in-line. Pemeriksaan
Glasgow Coma Scale (GCS), dapat menjadi parameter untuk evaluasi penting
terhadap kemajuan klinis. Pada pasien ini telah dilakukan evaluasi awal dan
penanganan secara cepat dimana pada pasien ini jalan nafasnya bebas (clear),
untuk sirkulasi dipasang iv line 18G serta dilakukan pemeriksaan GCS dengan
nilai 15 (E4 V5 M6) dan dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien ini
telah melewati masa golden period untuk itu kita harus mencegah secondary brain
injury dengan mengambil langkah-langkah pertahankan normovolemik, mencegah
hipoksia, mencegah nyeri, mencegah infeksi, dan lakukan observasi terhadap vital
sign dan GCS.
Pasien ini dari awal hingga pasca operasi dilakukan head up 30o sebab
posisi kepala head-up 10-30o dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan jalan memperbaiki drainase vena serebral. Posisi kepala yang tidak netral
akan mengganggu aliran darah serebral, sehingga TIK dapat meningkat. Yang
perlu diperhatikan adalah pasien dengan hipotensi, hipovolemia, dapat
menurunkan MAP, CPP dan terjadinya iskemia.
Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan
untuk menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular yang
stabil. Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan pilihan adalah
cairan kristaloid yang hiperosmolar dibanding dengan osmolaritas tubuh. Pada
pasien ini diberikan RSol yaitu cairan kristaloid yang hyperosmolar, untuk
mencukupi kebutuhan perhari dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil
dengan memantau nadi dan tekanan darah serta MAP dalam kisaran 75mmHg.
Pasien cedera otak membutuhkan nutrisi tinggi (dalam 24 jam) tujuannya
mengganti 140 % dari REE (resting energy expenditure) dengan 15 % protein
selama 7 hari paska trauma. Enteral nutrisi berhubungan dengan rendahnya
insiden hiperglikemia serta proteksi terjadinya ulkus gaster. Waktu pengosongan
lambung akan memanjang maka perlu diberikan obat-obatan prokinetik.
Penggunaan parenteral nutrisi disarankan bersama dengan propilaksis ulkus gaster
(H2 antagonis atau sukralfate), kontrol gula darah dan CO2 yang merupakan hasil

33
metabolism karbohidrat. Hal ini sesuai dengan yang diberikan pada pasien yaitu
7,5 gram protein yaitu 15% dari total kalori serta pemberian ranitidine untuk
mencegah terjadinya ulkus gaster.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy J. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill, 2000. p. 553-5


2. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran USU. [serial online] 2004. [cited 20 Mei 2008].
Didapat dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar
%20japardi61.pdf

3. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC,
2003. p. 818-9

4. Waxman SG. Correlative Neuroanatomy. USA: Lange Medical Books,


2000. p. 183-5

5. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.


Jakarta: EGC, 1994. p. 329-30

6. Agamanolis DP. Traumatic Brain Injury and Increased Intracranial


Pressure. Northeastern Ohio Universities College of Medicine. [serial
online] 2003. [cited 20 Mei 2008]. Didapat dari :
http://www.neuropathologyweb.org/chapter4/chapter4aSubduralepidural.h
tml

7. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma


Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2006. p. 9-11

34
8. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2006. p.
359-65, 382-87

9. Evans RW. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders


Company, 1996. p. 144-5

10. Stoelting RK, Miller RD. Basics of ANESTESIA. Fifth edition .Kalamas
AG, Chapter 23. Fluid Management. Churchill Livingstone,
Elsevier.Philadelphia ; 2007: 347-52

11. Yao FS, Malhotra MD, Fontes ML. Anesthesiology : Problem Oriented
Patient Management. Sixth Edition. Section III. Lippincot Williams &
Wilkins. Philadelphia ; 2008 :471-514
12. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. Fifth edition.
Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2006 :1054-60
13. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In:
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston
Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.
14. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds.
Oxford Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000
15. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4 th ed.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.
16. Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship
of Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain
Injury. Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.
17. Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical
Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical
Strategies Publishing, USA. 2004.

35
18. Meier U, Grawe A, Konig A. The Importance of Major Extracranial
Injuries by the Decompressive Craniectomy in Severe Head Injuries. Acta
Neurochir, 2005; 95: 55-57.
19. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008

36

Anda mungkin juga menyukai