Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1.....................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Pembatasan Masalah.................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.4 Pemecahan Masalah..................................................................................4
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................4
1.6 Manfaat Penelitian.....................................................................................4
BAB 2......................................................................................................................6
TINJAUN PUSTAKA.............................................................................................6
2.1 Deskripsi Teori..........................................................................................6
2.1.2 Model Pembelajaran Koperatif..........................................................6
2.1.2 Teknik Paired Story Telling...............................................................9
2.1.3 Kemampuan Bercerita......................................................................14
2.1.4 Pembelajaran Bahasa Indonesia.......................................................20
2.2 Deskripsi Temuan................................................................................24
2.3 Kerangka Berpikir...............................................................................27
2.4 Hipotesis..............................................................................................28
BAB 3....................................................................................................................29
METODE PENELITIAN.......................................................................................29
3.1 Jenis Penelitian dan Desain.....................................................................29
3.2 Subyek Penelitian dan Sample Penelitian...............................................30
3.3 Lokasi Penelitian.....................................................................................30
3.4 Rencana Tindakan...................................................................................31

i
3.5 Teknik Pengumpulan Data......................................................................34
3.5.1 Proses Pengumpulan Data................................................................34
3.5.2 Instrumen Pengumpulan Data..........................................................35
3.6 Analisis Data...........................................................................................36
3.7 Indikator Kinerja.....................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dengan menggunakan
keterampilan berbahasa yang kita miliki. Setiap orang memiliki keterampilan
berbahasa yang berbeda, ada yang memiliki keterampilan berbahasa secara ideal
sehingga tujuan komunikasinya mudah tercapai. Namun, ada pula seseorang yang
tujuan komunikasinya tidak tercapai karena lemahnya tingkat keterampilan dalam
berbahasa.

Dalam berkomunikasi ada pihak yang terlibat yakni pengirim dan penerima
pesan. Pengirim pesan akan memilih pesan yang disampaikan kemudian
memformulasikannya dalam wujud lambang-lambang berupa bunyi/tulisan yang
disebut proses encoding. Sedangkan penerima menerjamahkan lambang-lambang
bunyi/tulisan yang diterima dari pengirim pesan sehingga mempunyai makna
yang disebut proses decoding. Sehingga kedua belah pihak yang terlibat
komunikasi harus sama-sama memiliki keterampilan memilih lambang
(bunyi/tulisan) untuk menyampaikan pesan bagi si pengirim pesan dan si
penerima harus terampil memberi makna terhadap lambang-lambang
(bunyi/tulisan) yang berisi pesan yang disampaikan.

Dalam berbahasa terdiri dari empat aspek keterampilan yaitu keterampilan


menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan
menulis. Keterampilan-keterampilan ini berkaitan antara satu dengan yang lain.
Keterampilan menyimak merupakan dasar utama untuk keterampilan berbicara, di
mana seseorang yang memiliki keterampilan menyimak dengan baik maka
keterampilan berbicaranya juga akan baik. Begitupun dengan keterampilan
membaca dan menulis, seseorang yang rajin dalam membaca akan menjadi dasar
untuk keterampilan menulisnya. Dengan demikian, dalam pembelajaran berbahasa

1
siswa dituntut untuk menggunakan bahasa sebagaimana funginya, tidak hanya
ditekankan pada teori saja.

Salah satu aspek dari keterampilan berbicara yaitu kemampuan bercerita.


Kemampuan bercerita ini merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai
siswa dalam pembelajaran bahasa. Namun, pada kenyataannya kemampuan
bercerita siswa kelas V SD Negeri 1 Watopute masih rendah.

Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru
kelas V SD Negeri 1 Watopute pada tanggal 15 September 2020, diperoleh
informasi bahwa kemampuan bercerita siswa kelas V SD Negeri 1 Watopute
masih rendah. Hal ini terlihat ketika guru meminta siswa untuk bercerita, masih
banyak siswa yang tidak mau maju bercerita kedepan kelas disebabkan rasa malu,
takut salah dan rasa gugup dalam diri siswa. Selain itu berdasarkan data nilai rata-
rata siswa untuk kemampuan bercerita juga masih rendah 2019/2020
menunjukkan dari 29 orang siswa hanya 14 atau 48,27 % siswa yang

mendapatkan nilai 75 dengan nilai rata-rata 70,57. Kriteria Ketuntasan Minimal

Bahasa Indonesia pada SD Negeri 1 Watopute yaitu 75.

Guru kelas V SD Negeri 1 Watopute pada saat peneliti melakukan


wawancara juga memaparkan bahwa faktor penyebab rendahnya keterampilan
menyimak siswa karena siswa lebih bersifat pasif dan acuh, kurang
berkonsentrasi, siswa kurang bersemangat dan tidak termotivasi untuk belajar
dengan sungguh-sungguh selain itu pada proses pembelajaran guru belum
menerapkan model dan teknik pembelajaran yang mendorong siswa untuk
PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V SD Negeri 1 Watopute


diatas menunjukkan bahwa salah satu faktor rendahnya kemampuan bercerita
siswa yaitu pada proses pembelajaran guru belum menggunakan model dan teknik
pembelajaran yang mendorong siswa untuk PAIKEM. Maka untuk mengatasi
permasalahan ini, guru perlu menerapkan model dan teknik pembelajaran yang

2
sesuai yang membuat Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAIKEM). Salah satu teknik yang sesuai yaitu teknik paired
story telling. Maka penelitian ini merujuk bagaimana teknik paired story telling
dapat memengaruhi kemampuan bercerita siswa agar kemampuan berceritanya
bisa lebih tinggi.

Lie menyatakan bahwa teknik Paired Story Telling dikembangkan sebagai


pendekatan interaktif antara siswa, pengejar, dan materi pelajaran. Paired story
telling diterapkan untuk pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun
berbicara. Bahan pelajaran yang paling cocok untuk digunakan dengan teknik ini
adalah bahan-bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, tidak menutup
kemungkinan untuk dipakai pada bahan-bahan ajar yang lainnya. Dalam teknik
Paired story telling guru harus memahami kemampuan dan pengalaman siswa dan
membantu mereka mengaktifkan kemampuan dan pengalaman agar bahan pelajan
menjadi bermakna. Dalam kegitan ini siswa juga dirangsang untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajiasi. Hasil pemikiran mereka
akan dihargai sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar secara berkelanjutan.
(Huda Miftahul 2016)

Selain itu banyak kelebihan pembelajaran dengan teknik paired story telling
menurut Lie sebagai berikut : pembelajaran paired storytelling : 1) dapat
meningkatkan partisipasi siswa. 2) cocok untuk tugas-tugas sederhana. 3) lebih
banyak mendapat kesempatan untuk memberikan atau mendapatkan masukan
pada masing-masing anggota kelompok.

Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan diatas maka peneliti akan
melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Penerapan Model Kooperatif
Teknik Paired Story Telling (Bercerita Berpasangan) untuk Meningkatkan
Kemampuan Bercerita Siswa Kelas V Sd Negeri 1 Watopute”

1.2 Pembatasan Masalah


Agar pembahasan dalam penelitian ini terarah dan tidak menyimpang dari
rumusan masalah maka peneliti membatasi masalah pada

3
1. Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu materi non fiksi
2. Kemampuan yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu kemampuan
berbicara pada materi non fiksi

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah apakah dengan penerapan model kooperatif teknik paired
story telling (bercerita berpasangan) pada pembelajaran Bahasa Indonesia dapat
meningkatkan kemmapuan bercerita siswa kelas V Negeri 1 Watopute?

1.4 Pemecahan Masalah


Untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini maka akan dilakukan
dengan cara :

1. Kemampuan bercerita siswa akan ditingkatkan menggunakan model


pembelajaran kooperatif teknik paired story telling (bercerita berpasangan)
2. Untuk membuat proses belajar menjadi PAIKEM maka digunakan model
pembelajaran kooperatif teknik paired story telling (bercerita berpasangan)
3. Untuk meningkatkan motivasi siswa maka akan diberikan hadiah pada siswa
yang memiliki kemampuan bercerita yang baik.

1.5 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan bercerita siswa kelas V SD Negeri 1 Watopute melalui
model pembelajaran koopertaif teknik paired story telling pada Pembelajaran
Bahasa Indonesia.

1.6 Manfaat Penelitian


Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah penelitian,
tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu

1. Bagi penulis, mendapat temuan atau gambaran mengenai penggunaan


medel pembelajaran kooperatif teknik paired story telling dalam
meningkatkan kemampuan bercerita siswa.

4
2. Bagi siswa, penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan bercerita dalam
pembelajaran bahasa Indonesia dan suatu proses pembelajaran dapat
PAIKEM (Pemeblajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Meneyenangkan) serta lebih bermakna bagi siswa.
3. Bagi guru dapat meningkatkan dan mengoptimalkan penggunaan model
koperatif teknik paired story telling dalam pembelajaran bahasa Indonesia
dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa
4. Bagi sekolah, hasil penelitian dapat memberikan kontribusi positif bagi
sekolah dalam rangka perbaikan kualitas proses pembelajaran yang
tercermin dari peningkatan kemampuan profesional para guru dan dapat
menjaga prestasi belajar siswa dalam meningkatkan muutu pendidikan di
sekolah tersebut.

5
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teori

2.1.2 Model Pembelajaran Koperatif

2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran


Menurut Isjoni model pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru
untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap belajar di kalangan siswa untuk
mampu berpikir kritis, memiliki keterampilan sosial, dan pencapaian hasil
pembelajaran yang lebih. Sedangkan menurut Rusman model pembelajaran
dilandasi oleh berbagai prinsip dan teori pengetahuan, diantaranya prinsip-prinsip
pembelajaran, teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori lain yang
membantu. Sehubungan dengan itu, model pembelajaran merupakan seperangkat
materi dan prosedur pembelajaran atas dasar landasan teoretis tertentu untuk
tujuan pembelajaran tertentu. (Hanna 2015)

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Model pembelajaran didefinisikan


sebagai gambaran keseluruhan pembelajaran yang kompleks dengan berbagai
teknik dan prosedur yang menjadi bagian pentingnya. Di dalam kompleksitas
model pembelajaran, terdapat metode, teknik, dan prosedur yang saling
bersinggungan satu dengan lainnya. (Huda 2016)

Joyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana
atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan
membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain (Rusman 2013)

Susan Ellis melengkapi pengertian dari model pembelajaran yaitu sebagai


strategi-strategi yang berdasar pada teori-teori dan penelitian yang terdiri dari
rasional, seperangkat langkah-langkah dan tindakan yang dilakukan guru dan
siswa, sistem pendukung pembelajaran dan metode evaluasi atau sistem penilaian
perkembangan belajar siswa. Model pembelajaran hakikatnya menggambarkan

6
keseluruhan yang terjadi dalam pembelajaran dari mulai awal, pada saat, maupun
akhir pembelajaran pada tidak hanya guru namun juga siswa. (Hanna 2015)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan


seperangkat strategi yang berdasarkan landasan teori dan penelitian tertentu yang
meliputi latar belakang, prosedur pembelajaran, sistem pendukung dan evaluasi
pembelajaran yang ditujukan bagi guru dan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu yang dapat diukur.

2.1.1.2 Defenisi Model Pembelajaran Koperatif

Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai defenisi dari


Pembelajaran Koperatif. Roger, dkk. mendefenisikan pembelajaran koperatif
sebagai aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip
dimana pembelajaran didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara
kelompok-kelompok pembelajar dimana setiap pembelajar bertanggung jawab
atas dirinya dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota yang lain.
Sedangkan Parker menyatakan pembelajaran koperatif sebagai suasana
pembelajaran di mana siswa saling berinteraksi dalam kelompok kecil untuk
mengerjakan tugas akdamik demi mencapai tujuan bersama. Beda halnya menurut
Artz and Newman, mendefenisikan pembelajaran kooperatif sebagai kelompok
kecil pembelajar yang bekerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu
masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai suatu tujuan bersama. (Huda
Miftahul 2016)

Abdulhak berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan melalui


sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan pemahaman
bersama diantara peserta belajar itu sendiri. Nurulhayati mengatakan
pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi
siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. (Sanjaya Wina 2015)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


defenisi pembelajaran koperatif yaitu pembelajaran dimana siswa bekerja sama

7
dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran.

2.1.1.3 Ciri-Ciri Model Pembelajaran Koperatif

Anita Lie menyebutkan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif, yaitu: (a)


Siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajar, (b) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah atau pengelompokkan secara heterogen, (c) Penghargaan lebih
berorientasi kelompok ketimbang individu, dan (d) Keuntungan dan Kelemahan
Model pembelajaran kooperatif. (Abdullah 2017)

2.1.1.4 Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif

Menurut Roger dan David Johnson ada lima unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip ketergantungan positif (positive interdependence), yaitu dalam


pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam penyelesain tugas tergantung
pada usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja
kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompok. Oleh
karena itu, semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling
ketergantungan.

2. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability), yaitu keberhasilan


kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh
karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang harus dikerjakan dalam kelompok tersebut.

3. Interkasi tatap muka (face to face promotion interaction), yaitu memberikan


kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka
melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberi dan menerima
informasi dari anggota kelompok lain.

8
4. Partispasi dan komunikasi (participation comuniccation), yaitu melatih siswa
untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan
pembelajaran.

5. Evaluasi proses kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok


untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

2.1.1.5 Manfaat dan Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif


Ada beberapa manfaat menggunakan model pembelajaran koperatif dalam
pembelajaran yaitu : a) meningkatkan hasil belajar pembelajar, b) meningkatkan
hubungan antar kelompok, belajar kooperatif memberi kesempatan kepada setiap
pembelajar untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan teman satu tim untuk
mencerna materi pelajaran. c) meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi
belajar, belajar kooperatif dapat membina sifat kebersamaan, peduli satu sama lain
dan tenggang rasa, serta mempunyai rasa andil terhadap keberhasilan tim. d)
menumbuhkan realisasi kebutuhan pembelajar untuk belajar berpikir, belajar
kooperatif dapat diterapkan untuk berbagai materi ajar, seperti pemahaman yang
rumit, pelaksanaan kajian proyek, dan latihan memecahkan masalah. e)
memadukan dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan. f) meningkatkan
perilaku dan kehadiran di kelas. g) relatif murah karena tidak memerlukan biaya
khusus untuk menerapkannya. (Sri 2017)

Adapun tujuan dari penggunaan model pembelajaran koperatif yaitu 1)


membangun interaksi yang positif antara pembelajar untuk mencapai hasil belajar
yang optimal. 2) menciptakan individu-individu yang berkepribadian dan
memiliki rasa tanggung jawab yang besar. 3) Mempersiapkan pembelajar untuk
menghadapi tugas-tugas selanjutnya yang diselesaikan secara individu.(Huda
Miftahul 2016)

2.1.2 Teknik Paired Story Telling


Lie menyatakan bahwa teknik Paired Story Telling dikembangkan sebagai
pendekatan interaktif antara siswa, pengajar, dan materi pelajaran. Paired story

9
telling diterapkan untuk pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun
berbicara. Bahan pelajaran yang paling cocok untuk digunakan dengan teknik ini
adalah bahan-bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, tidak menutup
kemungkinan untuk dipakai pada bahan-bahan ajar yang lainnya. Dalam teknik
Paired story telling guru harus memahami kemampuan dan pengalaman siswa dan
membantu mereka mengaktifkan kemampuan dan pengalaman agar bahan pelajan
menjadi bermakna. Dalam kegitan ini siswa juga dirangsang untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajiasi. Hasil pemikiran mereka
akan dihargai sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar secara berkelanjutan.
(Huda Miftahul 2016)

2.1.2.1 Proses, dan Tahapan Story Telling


Hal terpenting dalam kegiatan storytelling adalah proses. Dalam proses
storytelling inilah terjadi interaksi antara pendongeng dengan audiencenya.
Melalui proses storytelling inilah dapat terjalin komunikasi antara pendongeng
dengan audiencenya. Karena kegiatan storytelling ini penting bagi anak, maka
kegiatan tersebut harus dikemas sedemikian rupa supaya menarik. Agar kegiatan
storytelling yang disampaikan menarik, maka dibutuhkan adanya tahapan-tahapan
dalam storytelling, teknik yang digunakan dalam storytelling serta siapa saja yang
terlibat dalam kegiatan storytelling turut menentukan lancar tidaknya proses
storytelling ini berjalan.

Ada tiga tahapan dalam storytelling, yaitu persiapan sebelum acara


storytelling dimulai, saat proses storytelling berlangsung, hingga kegiatan
storytelling selesai berdasarkan pendapat Bunanta dalam. Berikut langkah-
langkahnya:

1. Persiapan sebelum story telling.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memilih judul buku yang
menarik dan mudah diingat. Studi linguistik membuktikan bahwa judul
mempunyai kontribusi terhadap memori cerita. Melalui judul, audience maupun
pembaca akan memanfaatkan latar belakang pengetahuan untuk memproses isi

10
cerita secara top down. Menurut Mac Donald dalam memilih cerita yang akan
didongengkan, pendongeng dapat mulai mendongeng dengan cerita yang telah
diketahui. Agar dapat menampilkan karakter tokoh, pendongeng terlebih dahulu
harus dapat menghayati sifat-sifat tokoh dan memahami relevansi antara nama
dan sifat-sifat yang dimilikinya. Ketika memerankan tokoh-tokoh tersebut,
pendongeng diharapkan mampu menghayati bagaimana perasaan, pikiran, dan
emosi tokoh pada saat mendongeng.

2. Tahap selanjutnya adalah pada saat story telling berlangsung.

Saat terpenting dalam proses storytelling adalah pada tahap storytelling


berlangsung. Saat akan memasuki sesi acara storytelling, pendongeng harus
menunggu kondisi hingga audience siap untuk menyimak dongeng yang akan
disampaikan. Pada saat mendongeng ada beberapa factor yang dapat menunjang
berlangsungnya proses storytelling agar menjadi menarik untuk disimak, antara
lain:

a. Kontak mata. Saat storytelling berlangsung, pendongeng harus melakukan


kontak mata dengan audience. Pandanglah audience dan diam sejenak.
Dengan melalukan kontak mata audience akan merasa dirinya diperhatikan
dan diajak untuk berinteraksi. Selain itu, dengan melakukan kontak mata
kita dapat melihat apakah audience menyimak jalan cerita yang
didongengkan. Dengan begitu, pendongeng dapat mengetahui reaksi dari
audience.
b. Mimik Wajah. Pada waktu storytelling sedang berlangsung, mimik wajah
pendongeng dapat menunjang hidup atau tidaknya sebuah cerita yang
disampaikan. Pendongeng harus dapat mengekspresikan wajahnya yang
sesuai dengan situasi yang didongengkan.Untuk menampilkan mimik
wajah yang menggambarkan perasaan tokoh tidaklah mudah untuk
dilakukan.
c. Gerak Tubuh. Gerak tubuh pendongeng waktu proses storytelling berjalan
dapat pula mendukung menggambarkan jalan cerita yang lebih menarik.

11
Cerita yang didongengkan akan terasa berbeda jika pendongeng
melakukan gerakan-gerakan yang merefleksikan apa yang dilakukan
tokoh-tokoh yang didongengkannya.
d. Suara. Tidak rendahnya suara yang diperdengarkan dapat digunakan
pendongeng untuk membawa audience merasakan situasi dari cerita yang
didongengkan. Pendongeng biasanya akan meninggikan intonasi suaranya
untuk merefleksikan cerita yang mulai memasuki tahap yang
menegangkan.
e. Kecepatan. Pendongeng harus dapat menjaga kecepatan atau tempo pada
saat storytelling.
f. Alat Peraga. Untuk menarik minat anak-anak dalam proses storytelling,
perlu adanya alat peraga misalnya boneka kecil yang dipakai di tangan
untuk mewakili tokoh yang sedang menjadi materi dongeng.

3. Tahapan selanjutnya adalah sesudah kegiatan story telling selesai.

Ketika proses storytelling selesai dilaksanakan, tibalah saatnya bagi


pendongeng untuk mengevaluasi cerita. Maksudnya, pendongeng menanyakan
kepada audience tentang inti cerita yang telah disampaikan dan nilai-nilai yang
dapat diambil.

2.1.2.2 Manfaat Story Telling


Menurut Haryadi dan Zamzadi manfaat dari bercerita yaitu sebagai
hiburan, mengajarkan dan memberikan keteladanan atau model. Menurut
Tadzkirotun Musfiroh menyebutkan beberapa manfaat dari bercerita adalah,
sebagi berikut: 1) membantu pembentukan pribadi dan moral anak, 2)
menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi, 3) Mengacu kemampuan verbal
anak 4) merangsang minat menulis anak, 5) merangsang minat baca anak, 6)
membuka cakrawala pengetahuan anak. Sedangkan Menurut Saleh Abbas bahwa
bercerita sebagai suatu sarana komunikasi lingistik yang kuat, menghibur dan
memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengenal ritme, intonasi, dan
pengimajinasian serta nuansa bahasa.

12
2.1.2.3 Langkah- Langkah Teknik Paired Story Telling
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran dengan menggunakan
teknik paired story telling

a. Guru membagi bahan/topik pelajaran menjadi dua bagian


b. Sebelum subtopik-subtopik itu diberikan, guru memberikan pengenalan
mengenai topik yang kan dibahas pada pertemuan hari itu. Guru bisa
menuliskan topik ini di papan tulis dan bertanya kepada siswa apa yang
mereka ketahui mengenai topik tersebut. Kegitan brainstorming ini
dimaksudkan untuk mengaktifkan kemampuan siswa agar lebih siap
menghadapi bahan pelajaran yang baru.
c. Dalam kegitan ini, guru perlu menekankna bahwa siswa tidak perlu
memeberikan prediksi yanng benar-benar tepat. Yang lebih penting adalah
kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberikan
hari itu.
d. Siswa berkelompok secara berpasangan
e. Bagian/subtopik pertama diberikan kepada siswa 1, sedangkan siswa yang ke
2 menerima bagian/subtopik yang kedua
f. Siswa diminta membaca/mendengarkan, siswa diminta mencatat dan
mendaftar beberapa kata/frasa kunci yang terdapat dalam bagian mereka
masing-masing. Jumlah kata/frasa bisa disesuaikan dengan panjangnya teks
bacaan.
g. Setalah selesai membaca, siswa saling menukar daftar kata/frasa kunci
dengan pasangan masing-masing.
h. .Setelah selesai membaca, siswa saling menukar daftar kata/frasa kunci
dengan pasangan masing-masing
i. Sambil mengingat-ingat/memerhatikan bagian yang telah di baca/didengarkan
sendiri, masing-masing berusaha mengarang bagian lain yang belum di
baca/didengarkan (atau yang sudah dibaca/didengarkan pasangannya)
berdasarkan kata-kata/frasa-frasa kunci dari pasangannya.
j. Siswa yang telah membaca/mendengarkan bagaian yang pertama berusaha

13
memprediksikan dan menulis apa yang terjadi selanjutnya, sedangkan siswa
yang membaca/mendengarkan bagian yang kedua menulis apa yang terjadi
sebelumnya.
k. Tentu saja, versi karangan masing-masing siswa ini tidak harus sama dengan
bahan yang sebenarnya. Tujuan kegitan ini buka untuk mendapatkan jawaban
yang benar, melainkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
memprediksi suatu kisah/bacaan. Setelah selesai menulis, beberapa siswa
bisa diberikkan kesempatan untuk membacakan hasil karangan mereka.
l. Kemudian, guru membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada
masing-masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut.
m. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik pembelajaran pada
pertemuan hari itu. Diskusi ini bisa dilakukan antarpasangan atau bersama
seluruh siswa

2.1.2.4 Kekurangan dan Kelebihan Teknik Paired Story Telling


Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran paired storytelling
menurut Lie sebagai berikut : Kelebihan Model pembelajaran paired storytelling :
1) dapat meningkatkan partisipasi siswa. 2) cocok untuk tugas-tugas sederhana. 3)
lebih banyak mendapat kesempatan untuk memberikan atau mendapatkan
masukan pada masingmasing anggota kelompok. Kekurangan dari model
Pembelajaran paired storytelling yaitu : 1) banyak kelompok yang melapor dan
dimonitor sehingga guru harus lebih dapat membagi kesempatan pada kelompok-
kelompok tersebut. (Oktaviarini 2019)

2.1.3 Kemampuan Bercerita

2.1.3.1 Pengertian Bercerita


Keterampilan berbahasa yang berkembang pada siswa salah satunya yaitu
berbicara dalam aspek bercerita. Bercerita menurut Bachri (dalam Ningsih, S,
2014,hlm.246) mengemukakan bahwa ‘bercerita adalah menuturkan suatu
kejadian yang mengisahkan tentang perbuatan yang dilakukan secara lisan kepada
orang lain untuk membagikan suatu pengalaman dan pengetahuan’. Andayani

14
(2015, hlm.25) mengemukakan bahwa “Bercerita merupakan salah satu
kompetensi berbicara yang harus di capai dalam kegiatan pembelajaran siswa
Sekolah Dasar”. Menurut Nurbiana Dhieni (2006:6.4) bercerita adalah suatu
kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat atau
tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi atau
sebuah dongeng yang untuk didengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh karena
itu yang menyajikan cerita tersebut menyampaikannya dengan menarik.

Subyantoro menjelaskan bahwa bercerita adalah serangkaian strategi yang


sistematis berisi aktivitas pemindahan cerita dari pencerita kepada penyimak atau
pendengar.12 Pengertian atau pengetahuan yang terbentuk pada anak-anak didik
mengenai bentuk, atau karakter dari berbagai tokoh dapat dihasilkan dari
mendengarkan cerita yang dituturkan oleh pencerita. Keterampilan bercerita yang
baik memerlukan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan berpikir yang
memadai (Hasan, 2001). Selain itu dalam bercerita juga diperlukan penguasaan
beberapa keterampilan, yaitu ketepatan tatabahasa sehingga hubungan antar kata
dan kalimat menjadi jelas. Ketepatan kata dan kalimat sangat perlu dikuasai dalam
bercerita, sebab dengan menggunakan kata dan kalimat yang tepat dalam bercerita
akan memudahkan pendengar memahami isi cerita yang dikemukakan oleh
pembicara. Isi cerita yang mudah dipahami akan menunjang dalam penyampaian
maksud yang sama antara pembicara dan pendengar, sehingga tujuan
penyampaian makna cerita juga dapat tercapai. Selain itu dalam bercerita
diperlukan kelancaran dalam menyampaikan kalimat per kalimat.

Menurut Yeti Mulyati (2009: 64) mengatakan bahwa kelancaran dalam


menyampaikan isi cerita akan menunjang pembicara dalam menyampaikan isi
cerita secara runtut dan lancar sehingga penyimak/pendengar yang mendengarkan
dapat antusias dan tertarik mendengarkan cerita. Bercerita merupakan salah satu
keterampilan berbahasa yang bersifat produktif yang berarti menghasilkan ide,
gagasan, dan buah pikiran ide, gagasan, dan pikiran seorang pembicara memiliki
hikmah atau dapat dimanfaaatkan oleh penyimak/pendengar, misalnya seorang
guru berbicara dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sehingga ilmu

15
tersebut dapat dipraktikkan dan dimanfaatkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-
hari.

Pengembangan keterampilan bercerita seseorang harus mampu


memperhatikan tatabahasa yang digunakan termasuk ketepatan kata dan kalimat.
Selain itu perlu diperhatikan kelancaran dalam penyampaian kalimat dalam cerita
dan ada keterampilan bercerita yang merupakan perpaduan antara keterampilan
berbahasa dan pengalaman menceritakan sesuatu kepada orang lain berdasarkan
ide, gagasan dan pikiran agar yang mendengarkan dapat memahami dan tertarik
untuk mendengarkannya.

2.1.3.2 Manfaat Cerita Bagi Anak


Cerita merupakan kebutuhan universal manusia, dari anak-anak hingga
orang dewasa. Bagi anak-anak, cerita tidak sekedar memberi manfaat emotif
tetapi juga membantu pertumbuhan mereka dalam berbagai aspek. Oleh karena
itu, perlu diyakini bahwa bercerita merupakan aktivitas penting dan tidak
terpisahkan dalam program pendidikan untuk anak usia dini. Musfiroh
mengemukakan manfaat tersebut ditinjau dari berbagai aspek, diuraikan sebagai
berikut :

1. Membantu pembentuka pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif untuk
mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak karena mereka senang
mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang-ulang.
Pengulangan, imajinasi anak, dan nilai kedekatan antara guru atau orang tua
membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara berpikir mereka.
Hal itu dibuktikan oleh psikolog Joseph Strayhorn, Jr dalam bukunya The
Competent Child. Ia menulis tentang kisah keteladanan positif yang berkaitan
dengan masalah anak dalam dunia nyata. Anak yang terbiasa memperoleh
kebahagiaan melalui berbagai kegiatan, termasuk saat-saat menyimak
dongeng, akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih hangat, kompromis, dan
memiliki kecerdasan interpersonal lebih tinggi daripada anakanak yang tidak
memperoleh kesempatan semacam itu. Guru atau orang tua yang berperan

16
sebagai pencerita memiliki posisi sentral sebagai tempat bertanya bahkan
tempat berbagi. Hubungan psikologis ini membuka peluang bagi orang tua
dan guru untuk mentransmisikan ajaran moral dan keteladanan pada anak.
Peran guru sangat penting untuk mampu memaparkan cerita dengan baik,
serta dengan penuh kesabaran menjawab setiap pertanyaan dan tanggapan
dari anak, untuk membanu pembentukan kepribadian dan moral anak.

2. Membantu Kebutuhan Imajinasi dan Fantasi. Anak-anak membutuhkan


penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai hal yang selalu muncul
dalam pikiran anak. Masa usia pra sekolah merupakan masa-masa aktif anak-
anak berimajinasi. Tidak jarang anak mengarang suatu cerita sehingga oleh
sebagian orang tua dianggap sebagai kebohongan. Hal ini menunjukkan
bahwa sebenarnya, imajinasi anak-anak sedang membutuhkan penyaluran.
Salah satu tempat yang tepat adalah cerita. Anak-anak terkadang berkhayal
atau berfantasi tentang sesuatu yang menyenangkan seperti memiliki rumah
bagus, naik mobil balap, bermain ditaman yang indah dan lain sebagainya,
melalui dongeng anak dapat berhenti sejenak dari fantasi mereka dan
menghadapi fantasi yang disuguhkan guru. Anak memperoleh dunia baru
yang sama-sama membutuhkan daya khayal secara tidak langsung, cerita
guru berhasil mewadahi khayalan anak, sehingga lebih terarah. Imajinasi
yang dibangun anak saat menyimak cerita memberikan pengaruh positif
terhadap kemampuan anak menyelesaikan masalah secara kreatif, imajinasi
juga mempengaruhi cara anak menghadapi kehidupan. Melalui berbagai
imajinasi yang anak-anak bayangkan saat menyimak cerita yang disampaikan
guru, anak-anak belajar mengenai berbagai cara menghadapi berbagai
permasalahan dan menemukan solusi yang tepat atas berbagai persoalan yang
ia hadapi.

3. Memacu Kemampuan Verbal Anak. Cerita yang baik tidak hanya sekedar
menghibur tetapi juga mendidik, sekaligus merangsang berkembangnya
komponen kecerdasan linguistik yang paling penting, yakni kemampuan
menggunakan bahasa. Menyimak cerita yang baik bagi anak, sama artinya

17
dengan melakukan serangkaian kegiatan fonologis, sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Selama menyimak cerita, anak belajar bagaimana bunyibunyi
yang bermakna diajarkan dengan benar, bagaimana kata-kata disusun secara
logis dan mudah dipahami, bagaimana konteks berfungsi dalam makna. Hal
yang lebih penting, anak juga belajar bagaimana mengambil “pelajaran”
gramatika bahasa tentang bagaimana mengambil pola pergiliran bicara (turn
taking) yang tepat. Ini berarti, secara tidak langsung, anak telah menajamkan
kecerdasan linguistiknya. Dalam periode perkembangan pra operasional anak
mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu
mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Kemempuan verbal
anak lebih terstimulasi secara efektif pada saat guru melakukan semacam tes
pada anak untuk menceritakan kembali isi cerita. Dari sini anak belajar
berbicara, menuangkan kembali gagasan yang didengarnya dengan gayanya
sendiri. Anak menyusun kata-kata menjadi kalimat dan menyampaikannya
dengan segenap kemampuan. Anak memiliki kemampuan mengucapkan kata
dan menceritakan isi cerita dengan bahasanya sendiri. Anak yang menyadari
kekuatan kata-kata akan berusaha memperbaiki apabila kurang tepat dan
meningkatkannya apabila memperoleh kekuatan. Cerita membuat anak
menyadari arti pentingnya berdialog dan menuangkan gagasan dengan kata-
kata yang baik. Metode ini menjadi solusi belajar bahasa yang menyenangkan
melalui bercerita di dalam kelas.

4. Merangsang minat membaca dan menulis anak. Pengaruh cerita terhadap


kecerdasan bahasa anak diakui oleh Leonhardt. Menurutnya, cerita
memancing rasa kebahasaan anak. Anak yang gemar mendengar dan
membaca cerita akan memiliki kemampuan berbicara, menulis dan
memahami gagasan rumit secara lebih baik. Ini berarti, selain memacu
kemampuan berbicara, menyimak cerita juga merangsang minat menulis
anak. Cerita juga membantu menumbuhkan kemampuan tulis (emergent
writing) anak. Cerita dapat menumbuhkan inspirasi anak untuk membuat
cerita. Dengan kata lain, cerita dapat menstimulasi anak membuat cerita

18
sendiri. Anak terpacu menggunakan kata-kata yang diperolehnya, dan terpacu
menyusun kata-kata dalam kalimat dengan perspektif dongengnya sendiri.
Dari menyimak cer- ita anak terinspirasi untuk menulis dan mengkreasikan
ceritanya dan imajinasinya sendiri. Bercerita dengan media buku, menjadi
stimulasi yang efektif bagi anak-anak, karena pada waktu itu minat baca pada
anak mulai tumbuh. Minat itulah yang harus diberi lahan yang tepat, antara
lain melalui bercerita. Membacakan cerita dapat menjadi contoh yang efektif
bagi anak bagaimana aktivitas membaca harus dilakukan. Secara tidak
langsung anak memperoleh contoh tentang orang yang gemar dan pintar
membaca dari apa yang dilihatnya. Apabila sering memperoleh contoh, minat
baca anak akan tumbuh dengan sendirinya. Memberikan buku cerita yang
bergambar merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan minat baca anak.
Mula-mula anak dibacakan cerita dengan media buku, lama-kelamaan anak
akan dengan sendirinya tertarik untuk membaca buku cerita itu sendiri.

5. Membuka cakrawala pengetahuan anak. Menyimak cerita mampu


meninggalkan kesan yang mendalam dan mampu menggugah semangat anak
untuk belajar lebih mendalam. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan lenox
dalam artikelnya “Storrytelling for Young Children in a Multicultural Word”,
bahwa bercerita dapat dimanfaatkan unruk menarik minat belajar anak
disamping memperluas kesadaran dan pengetahuan tentang keberagaman
lingkungan. Cerita juga dapat membantu mengatasi kendala kultural (budaya)
disamping juga membangun jembatan pemahaman. Baker dan Greene,
menyatakan bahwa cerita dapat membawa anak pada sikap yang lebih baik,
mempertinggi rasa ingin tahu, misteri, dan sikap menghargai kehidupan.
Dengan kata lain, bercerita memberikan jalan bagaimana memahami diri
sendiri dan memahami orang lain, serta bagaimana memahami cerita itu
sendiri/ Membuka cakrawala anak dapat dilakukan degan metode bercerita,
salah satunya ketika kita ingin mengenalkan budaya daerah yang beragam,
kita dapat membawakannya dengan cerita-cerita daerah yang kita kemas
dengan bahasa dan metode yang mengasyikkan. (Nugroho Yekti 2018)

19
2.1.3.3 Tujuan dan Manfaat Bercerita
1. Tujuan

Pada dasarnya, tujuan utama dari bercerita adalah untuk berkomunikasi


atau bertukar informasi dengan orang lain. Agar dapat menyampaikan pikiran
secara efektif, seorang yang bercerita harus memahami makna segala sesuatu yang
ingin dikomunikasikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro
dalam (Gea Tonazaro 2018) mengatakan bahwa tujuan bercerita adalah untuk
mengemukakan sesuatu kepada orang lain. Sementara itu, Tarigan dalam (Gea
Tonazaro 2018) mengatakan bahwa mengungkapkan tiga tujuan umum dari
kegiatan bercerita yaitu sebagai berikut: a. Memberitahukan dan melaporkan (to
inform), b. Menjamu dan menghibur (to entertain), c. Membujuk, mengajak,
mendesak, dan meyakinkan (to persuade).

2. Manfaat

Manfaat Bercerita Tadkiroatun Musfiroh ditinjau dari beberapa aspek,


menyatakan bahwa manfaat bercerita, adalah: membantu pembentukan pribadi
dan moral anak; menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi; memacu
kemampuan verbal anak; merangsang minat menulis anak; membuka cakrawala
pengetahuan anak. Pendapat Bachtiar tentang manfaat bercerita adalah dapat
memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak
mendapat tambahanpengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya.
Kebutuhan imajinasi dan fantasi sehingga dapat memperluas wawasan dan cara
berfikir anak. Jadi, melalui kegiatan bercerita, siswa dapat terlatih dalam berbicara
untuk menyampaikan gagasan secara langsung. (Gea Tonazaro 2018)

2.1.4 Pembelajaran Bahasa Indonesia

2.1.4.1 Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20


Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Menurut Oemar Hamalik dalam

20
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi (siswa dan guru), material (buku, papan tulis, kapur dan alat belajar),
fasilitas (ruang, kelas audio visual), dan proses yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran (Fakhrurrazi 2018). Berdasarkan dua pengertian ini
penulis menarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang
direncanakan sebagai proses belajar yang direncanakan oleh guru untuk
mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah membelajarkan


peserta didik tentang keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar
sesuai tujuan dan fungsinya. Menurut Atmazaki, mata pelajaran Bahasa Indonesia
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif
dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis,
menghargai dan bangga menggunakan bahasaIndonesia sebagai bahasa persatuan
dan bahasa negara, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan
tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial,
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia (Khair 2018)

Dari pendapat diatas maka dapat dipaparkan bahwa bahasa memiliki peran
penting dalam membentuk karakter manusia. Peran bahasa Indonesia adalah
sebagai cerminan pembentuk karakter bangsa. Bahasa Indonesia harus digunakan
sesuai konteks dan kedudukannya secara baik dan benar. Dengan penggunaan
bahasa Indonesia secara baik dan benar, orang-orang di sekitar kita termasuk
orang asing akan menilai bahwa karakter orang Indonesia adalah berkarakter
sopan-santun. Selain itu, dengan mempelajari bahasa secara baik dan benar,
manusia diharapkan dapat belajar tentang apa itu karakter positif maupun karakter

21
negatif lainnya dalam kehidupannya. Ketika manusia sudah bisa memilah mana
karakter yang positif dan karakter yang negatif, diharapkan karakter tersebut
dapat diintegrasikan dalam kehidupannya sehari-hari.

2.1.4.2 Pentingnya Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa SD

Dalam kurikulum 2013 secara umum digambarkan sangat pentingnya


pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia peserta didik mampu mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara,
dan menulis. Berdasarkan gambaran pentingnya pembelajaran Bahasa Indonesia
dalam kurikulum 2013 tersebut, penulis memaparkan lebih jauh pentingnya
pembelajaran bahasa Indonesia seperti lebih mudah berkomunkiasi menggunakan
Bahasa Indonesia dan menerapkannya dalam kehidupan sehar-hari, dengan
Bahasa Indonesia siswa dapat dengan mudah menerjemahkan informasi yang di
dapatkan, bahasa Indonesia dapat mengembangkan intelektual siswa dan semakin
cinta akan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia.

2.1.4.3 Implementasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD


Ada beberapa karakteristik dan kebutuhan anak SD terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang berkaitan dengan pembelajaran:

1) Anak SD/MI adalah anak yang senang bermain. Karakteristik ini menuntun
guru SD/MI untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan
permainan, lebih-lebih bagi siswa kelas rendah. Guru SD seyogyanya
merancang model pembelajaran yang memungkin adanya unsur permainan
di dalamnya. Implementasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia yakni
guru mengajak siswa untuk bermain di luar, lalu siswa disuruh mengamati
apa saja yang terjadi dan ada di lingkungan tersebut, lalu guru menyuruh
siswa untuk menceritakan. Dalam pelajaran bahasa Indonesia hal ini
berkaitan dengan kemampuan bahasa lisan yang dilakukan oleh siswa.
2) Anak SD/MI adalah anak yang senang bergerak. Orang dewasa dapat duduk
berjam-jam, sedangkan anak anak SD/MI dapat duduk dengan tenang paling
lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model

22
pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak.
Implementasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia yakni apabila guru
mengetahui siswanya sudah merasa bosan dan jenuh maka hendaknya guru
menyuruh siswa untuk melakukan olah raga refleksi yang dimana hal ini
bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan pada siswa.
3) Anak SD/MI adalah anak yang senang bekerja dalam kelompok.
Karakteristik ini membawa implementasi bahwa guru harus merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja dan belajar
dalam kelompok. Implementasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yakni guru meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan
anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelasaikan suatu tugas secara
kelompok, dimana dalam hal ini akan mendorong siswa untuk belajar
berkomunikasi dengan baik bersama kelompoknya.
4) Anak SD/MI adalah anak yang senang merasakan atau melakukan/
meragakan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari dari teori perkembangan
kognitif, anak SD/MI memasuki tahap operasi konkret. Dari apa yang
dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan
konsep lama berdasarkan pengalaman. (Farhrohman 2017)

Untuk implementasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia yakni guru


menyuruh siswa untuk melihat keadaan di sekitar lingkungan sekolah, lalu guru
menyuruh siswa mendeskripsikan apa yang dilihatnya menggunakan kalimat
induktif dan deduktif. Pengajaran bahasa dan satra Indonesia diarahkan untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Melalui pengajaran bahasa, murid SD diharapkan
dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komuniksi yang tepat dan
berguna. Pembelajaran bahasa Indonesia SD diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan baik, baik secara lisan
maupun tulisan. Di samping itu, dengan pembelajaran Bahasa Indonesia juga
diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi siswa terhadap hasil karya sastra
Indonesia.

23
2.1.4.4 Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang terdapat dalam kurikulum 2013 dengan


pembelajaran berbasis teks bertujuan agar dapat membawa peserta didik sesuai
perkembangan mentalnya, dan menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan
berpikir kritis. Dalam penerapannya, pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki
prinsip, yaitu sebagai berikut. a. Bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan
semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan. b. Penggunaan bahasa
merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasan untuk mengungkapkan
makna. c. Bahasa bersifat fungsional, artinya penggunaan bahasa yang tidak
pernah dapat dipisahkan dari konteks, karena bentuk bahasa yang digunakan
mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi pemakai/penggunanya. d. Bahasa
merupakan sarana pembentukan berpikir manusia. (Khair 2018)

2.2 Deskripsi Temuan

Penelitian yang dilakukan Yufrinalis (2019) dengan judul “Penggunaan


Teknik Paired Story Telling untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara pada
Siswa Kelas V SD Katolik HABI” Penelitian ini didasarkan pada rendahnya hasil
belajar siswa kelas V di SD Katolik Habi, sehingga peneliti terdorong untuk
melakukan penelitian dengan mengacu pada prosedur Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas
mengajar guru dari rata-rata skor 91,07% pada Siklus I menjadi 91.96% pada
Siklus II. Selain itu, aktivitas belajar siswa juga mengalami peningkatan dari rata-
rata skor 78.12% menjadi 90.65%. Hasil belajar siswa juga mengalami
peningkatan dari rata- rata nilai 75.65 menjadi 85.21.

Penelitian yang dilakukan oleh Lizawati (2017) dengan judul penelitian


“Peningkatan Kemampuan Bercerita Menggunakan Teknik Paired Story Telling”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses dan hasil sebagai upaya
meningkatkan kemampuan bercerita menggunakan teknik paired story telling
pada siswa kelas X.3 SMA Shalom Bengkayang Kabupaten Bengkayang. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif dengan bentuk penelitian tindakan kelas

24
(PTK). Teknik analisis data yang digunakan teknik deskriptif komperatif dan
teknik analisis kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunaan teknik
paired story telling dapat meningkatkan kemampuan bercerita siswa kelas X3
SMA Shalom Bengkayang Kabupaten Bengkayang. Hasil belajar siswa dalam
materi kemampuan bercerita mengunakan teknik paired story telling pada siswa
kelas X3 SMA Shalom Bengkayang pada siklusnya semakin meningkat dan
mencapai nilai KKM yang telah ditentukan oleh sekolah yaitu 72. Peningkatan ini
dapat dilihat dari perbandingan nilai rata-rata dan persentase peningkatan siswa
sebelum dan sesudah penelitian. Sebelum dilakukan penelitian KKM bercerita
nilai rata-rata siswa adalah 17,86% dengan persentase ketuntasan siswa 19,44%.
setelah dilakukan penelitian mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata siswa
24,91% dengan persentase ketuntasan 33,33% untuk siklus I dan pada siklus II
nilai ratarata siswa adalah 27,41% dengan ketuntasan 86.11 sehingga dapat
dikatakan bahwa pembelajaran bercerita menggunakan teknik paired story telling
pada siswa kelas X3 SMA Shalom Kabupaten Bengkayang mengalami
peningkatan.

Penelitian Hermawan et al. (2016) dengan judul “Penerapan Model


Pembelajaran Paired Storytelling untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara
pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas V semester II SD Negeri 4 Tejakula Kabupaten Buleleng setelah penerapan
model pembelajaran paired storytelling tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini
merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa
kelas V di SD Negeri 4 Tejakula sebanyak 17 orang. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik observasi. Penelitian ini dilaksanakan selama dua siklus.
Hasil penelitian pada siklus I menunjukkan bahwa rata-rata klasikal keterampilan
berbicara siswa mencapai 78,5 serta ketuntasan klasikal mencapai 64,7%. Pada
siklus II rata-rata klasikal keterampilan berbicara mencapai 87,2 serta ketuntasan
klasikal mencapai 82,4%. Data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas V di SD Negeri 4 Tejakula

25
setelah diterapkan model pembelajaran paired storytelling. Berdasarkan data hasil
observasi dalam penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran paired storytelling dapat meningkatkan
keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V
semester II SD Negeri 4 Tejakula Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2015/2016.

Penelitian yang dilakukan oleh Krishna (2017) dengan judul “Peningkatan


Kemampuan Bercerita Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Bercerita
Berpasangan (Paired Story Telling) Pada Siswa Kelas VII-A Smp Negeri 1
Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah”. Jenis penelitian ini adalah
penelitian Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Data dalam penelitian ini adalah nilai
tes uji kerja bercerita yang dilakukan Siswa Kelas VII-A SMP Negeri 1 Karang
Tinggi sedangkan sumber datanya ada Siswa Kelas VII-A SMP Negeri 1 Karang
Tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan
bercerita menggunakan model pembelajaran kooperatif bercerita berpasangan
(Paired Storytelling) pada siswa kelas VII-A SMP Negeri 1 Karang Tinggi
kabupaten Bengkulu Tengah setelah diterapkan penggunaan model pembelajaran
kooperatif bercerita berpasangan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dengan
perolehan nilai rata-rata kelas pada siklus I 66,26 yang masuk pada kategori
cukup, meningkat menjadi 73,33 pada siklus II yang masuk pada kategori baik,
meningkat lagi menjadi 77,60 di siklus III masuk pada kategori baik. Berdasarkan
hasil yang diperoleh dari ketiga siklus tersebut maka kemampuan menyimak
siswa pada pembelajaran dikatakan berhasil. Hal ini terlihat dari peningkatan
ketuntasan belajar siswa.

Penelitian yang dilakukan Yufrinalis (2019) dengan judul “Penggunaan


Teknik Paired Story Telling untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara pada
Siswa Kelas V SD Katolik HABI” Penelitian ini didasarkan pada rendahnya hasil
belajar siswa kelas V di SD Katolik Habi, sehingga peneliti terdorong untuk
melakukan penelitian dengan mengacu pada prosedur Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas
mengajar guru dari rata-rata skor 91,07% pada Siklus I menjadi 91.96% pada

26
Siklus II. Selain itu, aktivitas belajar siswa juga mengalami peningkatan dari rata-
rata skor 78.12% menjadi 90.65%. Hasil belajar siswa juga mengalami
peningkatan dari rata – rata nilai 75.65 menjadi 85.21.

2.3 Kerangka Berpikir

Penelitian ini untuk melihat ada peningkatan kemampuan bercerita siswa


kelas V SD Negeri 1 Watopute pada pembelajaran Bahasa Indonesia. Kondisi
awal siswa kelas V SD Negeri 1 Watopute memiliki nilai rata-rata yang rendah
untuk pembelajaran yang dilakukan dengan cara berbicara. Hal ini terjadi
sebelum melakukan pembelajaran bercerita dengan model koperatif teknik paired
story telling. Untuk mengatasi nilai yang rendah ini dalam kemampuan bercerita,
maka peneliti menggunakan model koperatif teknik paired story telling untuk
mengetahui adanya peningkatan pada nilai rata-rata siswa atau tidak. Peneliti
menggunakan dua siklus pembelajaran yaitu siklus I dan siklus II. Dari dua siklus
ini maka akan mendapatkan hasil akhir untuk melihat adanya peningkatan nilai
rata-rata siswa terhadap kemampuan bercerita atau tidak dengan
menggunakanmodel pembelajaran koperatif teknik paired story telling. Hal ini
seperti tampak pada bagan dibawah ini :

27
Kondisi Awal

Belum menggunakan
model pembelajaran Kemampuan bercerita
kooperatif teknik masih rendah
paired story telling

Tindakan

Menggunakan model Siklus I


kooperatif teknik paired
story telling Siklus II

Kondisi akhir

kemampuan bercerita dapat


meningkat melalui model
kooperatif teknik paired story
telling

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis

Hipotesis adalah sebagai rumusan jawaban sementara atau dugaan


sehingga untuk membuktikan benar tidaknya dugaan tersebut perlu di uji terlebih
dahulu. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, makan dapat diajukan sebuah
hipotesis penelitian yakni terdapat peningkatan hasil belajar bahasa Indonesia
dengan mengunakan model koperatif teknik paired story telling Di Kelas V Sd
Negeri 1 Watopute.

28
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Desain

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Menurut Kemdikbud (2015:1)
“penelitian tindakan kelas adalah penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru
dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya”. Sedangkan
menuliskan PTK adalah penelitian yang dilaksanakan dan dikembangkan dengan
tujuan dasar untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan tindakan dalam
pembelajaran di kelas.

Beberapa karakteristik PTK diantaranya yaitu:

a. Bersifat siklis, artinya PTK terlihat siklis-siklis (perencanaan, pemberian


tindakan, pengamatan dan refleksi), sebagai prosedur baku penelitian.
b. Bersifat longitudinal, artinya PTK harus berlangsung dalam jangka waktu
tertentu (misalnya 2-3 bulan) secara kontinyu untuk memperoleh data yang
diperlukan, bukan "sekali tembak" selesai pelaksanaannya.
c. Bersifat partikular-spesifik jadi tidak bermaksud melakukan generalisasi
dalam rangka mendapatkan dalil-dalil. Hasilnyapun tidak untuk digenaralisasi
meskipun mungkin diterapkan oleh orang lain dan di tempat lain yang
konteksnya mirip.
d. Bersifat partisipatoris, dalam arti guru sebagai peneliti sekali gus pelaku
perubahan dan sasaran yang perlu diubah. Ini berarti guru berperan ganda,
yakni sebagai orang yang meneliti sekaligus yang diteliti pula.
e. Bersifat emik (bukan etik), artinya PTK memandang pembelajaran menurut
sudut pandang orang dalam yang tidak berjarak dengan yang diteliti; bukan
menurut sudut pandang orang luar yang berjarak dengan hal yang diteliti.
f. Bersifat kaloboratif atau kooperatif, artinya dalam pelaksanaan PTK selalu
terjadi kerja sama atau kerja bersama antara peneliti (guru) dan pihak lain
demi keabsahan dan tercapainya tujuan penelitian.

29
g. Bersifat kasuistik, artinya PTK menggarap kasus-kasus spesifik atau tertentu
dalam pembelajaran yang sifatnya nyata dan terjangkau oleh guru; menggarap
masalah-masalah besar.
h. Menggunakan konteks alamiah kelas, artinya kelas sebagai ajang pelaksanaan
PTK tidak perlu dimanipulasi dan atau direkayasa demi kebutuhan,
kepentingan dan tercapainya tujuan penelitian.
i. Mengutamakan adanya kecukupan data yang diperlukan untuk mencapai
tujuan penelitian, bukan kerepresentasifan (keterwakilan jumlah) sampel
secara kuantitatif. Sebab itu, PTK hanya menuntut penggunaan statistik yang
sederhana, bukan yang rumit.
j. Bermaksud mengubah kenyataan, dan situasi pembelajaran menjadi lebih
baik dan memenuhi harapan, bukan bermaksud membangun teori dan
menguji hipotesis. (Ani Widayati 2018)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan deskriptif. Artinya,


data yang dikumpulkan bukan berupa data angka, melainkan data yang berasal
dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan peneliti dan
dokumen resmi lain yang mendukung.

3.2 Subyek Penelitian dan Sample Penelitian

Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas V SD Negeri 1


Watopute Semester I (ganjil) tahun ajaran 2020/2021 sebanyak 29 orang yang
terdiri atas 14 orang laki-laki dan 15 orang perempuan. Alasan peneliti memilih
subyek penelitian pada kelas V SD yaitu selain kemampuan siswa dalam hal
bercerita masih rendah juga keadaan pandemi covid-19 yang mengharuskan sosial
distancing sehingga saya memilih guru kelas V SD yang paling terjangkau
rumahnya untuk melakukan wawancara terkait dengan penelitian yang akan
diteliti.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Negeri 1 watopute. Pelaksanaan


penelitian dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2020/2021. Penelitian

30
ini akan dilalukan sebanyak 2 siklus dan tiap siklus terdiri dari dua kali
pertemuan. Alasan peneliti memilih SD Negeri 1 Watopute sebagai tempat
penelitian karena di lokasi ini masih ada kendala terkait keterampilan siswa dalam
menyimak. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V pada
tanggal 15 September 2020. Selain itu karena SD Negeri 1 Watopute merupakan
satu dari beberapa sekolah yang masih beroperasi ditengah pandemi covid-19
karena berada di zona hijau.

3.4 Rencana Tindakan

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang


dilaksanakan dalam dua siklus, tiap siklus terdiri dari: (1) perencanaan (planning)
Yang temasuk dalam kegiatan planning adalah sebagai berikut: Identifikasi
masalah, perumusan masalah, dan analisis penyebab masalah dan pengembangan
intervensi (action/ solution). (2) pelaksanaan tindakan (action) yaitu dilaksanakan
peneliti untuk memperbaiki masalah. Langkah-langkah praktis tindakan. Pada saat
pelaksanaan ini (acting), guru harus mengambil peran dalam pemberdayaan siswa
sehingga mereka menjadi agen of change bagi diri dan kelas. Kelas diciptakan
sebagai komunitas belajar (learnning community) daripada laboratorium tindakan.
(3) observasi dan evaluasi (observation and evaluation) pada penelitian tindakan
kelas dimanfaatkan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi: perubahan
pada kinerja guru, hasil prestasi siswa, perubahan kinerja siswa, dan perubahan
suasana kelas. (4) refleksi (reflection) Reflekting/Reflection adalah kegiatan
mengulas secara kritis (reflective) tentang perubahan yang terjadi (i) pada siswa,
(ii) suasana kelas, (iii) guru. Pada tahap ini, guru sebagai peneliti menjawab
pertanyaan mengapa (why), bagaimana (how), dan sejauh mana (to what extent)
intervensi/ tindakan telah menghasilkan perubahan secara signifikan/ meyakinkan.
(Susilowati 2018)

Secara rinci prosedur penelitian tindakan kelas setiap siklus adalah sebagai
berikut:

1. Siklus 1

31
Rincian pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

a. Perencanaan

Adapun yang dilakukan pada tahap ini adalah:

1. Melakukan pertemuan awal dengan guru kelas untuk membicarakan


persiapan tindakan dan waktu tindakan.
2. Menentukan pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian.
3. Mengembangkan skenario pembelajaran.
4. Menyusun Rencana Perbaikan Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan
model koopratif teknik paired story telling.
5. Menyiapkan soal berupa tes uraian untuk mengukur kemampuan untuk
menyukur kemampuan bercerita siswa.
6. Membentuk kelompok siswa

b. Pelaksanaan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pelaksanaan rencana


skenario pembelajaran yang telah dirancang oleh peneliti serta mengadakan
evaluasi diakhir pertemuan siklus. Proses pembelajaran dilakukan dengan teknik
paired story telling

c. Observasi dan Evaluasi

Kegiatan observasi dan evaluasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan


tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan
tindakan dan rencana yang telah dibuat, serta dampaknya terhadap keterampilan
menyimak siswa dalam pembelajaran. Ada dua hal yang diobservasi oleh
pengamat, yaitu pengamatan terhadap aktivitas guru dan siswa dalam
melaksanakan pembelajaran. Kekurangan peneliti pada tahap ini menjadi bahan
perbaikan pelaksanaan pembelajaran pada siklus berikutnya. Adapun penilaian
hasil belajar yang dilakukan dalam pembelajaran ini adalah hasil jawaban siswa
terhadap soal yang diberikan guru berupa tes kemampuan bercerita yang
berhubungan dengan materi (materi non fiksi)

32
d. Refleksi

Peneliti melaksanakan diskusi dengan pengamat untuk merefleksi hasil


observasi dan evaluasi yang dilakukan. Refleksi dilakukan untuk mengkaji hasil
yang telah dan belum dicapai dan melanjutkan ke siklus II. Hasil data dikaji
keberhasilan dan kegagalannya untuk mencapai tujuan sementara penelitian serta
direfleksi untuk menentukan tindakan pada siklus kedua dalam rangka mencapai
tujuan akhir penelitian.

2. Siklus II

Setelah melakukan siklus I maka dilakukan siklus II, untuk tahapannya


tetap sama dengan siklus I, namun pada siklus II dilakukan refleksi untuk
memperbaiki kegagalan di siklus I.

Rincian pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

a. Perencanaan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan yaitu

1. Melakukan pertemuan awal dengan guru kelas untuk membicarakan


persiapan tindakan dan waktu tindakan.
2. Menentukan pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian.
3. Mengembangkan skenario pembelajaran.
4. Menyusun Rencana Perbaikan Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan
model kooperatif teknik paired story telling.
5. Menyiapkan soal berupa tes uraian untuk mengukur kemampuan untuk
menyukur kemampuan bercerita siswa.
6. Membentuk kelompok siswa

b. Pelaksanaan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pelaksanaan rencana


skenario pembelajaran yang telah dirancang oleh peneliti serta mengadakan

33
evaluasi diakhir pertemuan diakhir siklus. Proses pembelajaran dilaksanakan
sesuai RPP dengan menerapkan teknik paired story.

c. Observasi dan Evaluasi

Kegiatan observasi dan evaluasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan


tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan
tindakan dan rencana yang telah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran. Ada dua hal yang
diobservasi oleh pengamat, yaitu pengamatan terhadap aktivitas guru dan siswa
dalam melaksanakan pembelajaran. Adapun penilaian hasil belajar yang dilakukan
dalam pembelajaran ini adalah hasil jawaban siswa terhadap soal yang diberikan
guru berupa tes kemampuan berpikir kritis yang berhubungan dengan peristiwa
pemuaian dan penyusutan dan macammacam perpindahan panas.

d. Refleksi

Dari tiap akhir siklus dilihat apakah target penelitian sudah tercapai atau
belum. Refleksi inilah yang dijadikan acuan untuk menentukan langkah-langkah
dalam siklus berikutnya bila target belum tercapai dalam siklus II. Untuk itu perlu
melakukan analisis data yang diperoleh dan melakukan refleksi. Dari pengamatan
melalui lembar pengamatan bagi peserta didik, hasilnya difokuskan kearah tujuan
penelitian. Data yang berkenaan dengan peserta didik dikelompokkan dalam satu
data pendukung penelitian tindakan kelas.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Proses Pengumpulan Data


Data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kualitatifnya yaitu berupa data yang menggambarkan aktivitas belajar siswa dan
mengajar guru. Data kuantitatif yaitu nilai hasil belajar siswa yang diperoleh
setelah proses pembelajaran ditiap akhir siklus. Data dalam penelitian ini
bersumber dari siswa dan guru kelas V SD Negeri 1 Watopute. Adapun proses
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan :

34
1. Observasi

Pengisisan lembar observasi dengan cara melihat bagaimana aktivitas belajar


siswa dan aktivitas mengajar guru pada saat pembelajaran berlangsung dari
pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir. Observasi dilaksanakan dengan
menggunakan lembar observasi aktivitas mengajar guru dan lembar observasi
aktivitas belajar siswa. Observasi dilakukan dengan memberikan tanda check ()
atau kata ya jika hal yang diamati muncul atau mendiskripsikan hasil observasi
menggunakan kata-kata. Lembar pengamatan ini digunakan untuk melihat
aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar bahasa indonesia
dengan menggunakan teknik paired story telling.

2. Tes

Tes diberikan kepada siswa kelas V SD Negeri 1 Watopute untuk


mengetahui hasil belajar siswa setelah melakukan proses pembelajaran pada setiap
akhir siklusnya. Hal ini untuk melihat adanya peningkatan kemampuan siswa
dalam bercerita menggunakan model koperatif teknik paired story telling atau
tidak dalam setiap siklusnya.

Alasan memilih teknik pengumpulan data berupa Observasi dan Tes yaitu
karena penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas jadi harus
mengetahui kondisi siswa terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian.

3.5.2 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan
menggunakan Lembar panduan atau pedoman wawancara dan Lembar instrumen
berupa tes ini berisi soal-soal terdiri atas butir-butir soal. Setiap butir soal
mewakili variabel yang diukur.

3.5.2.1 Tes Hasil Belajar

Instrumen yang digunakan berupa tes hasil belajar yang berbentuk soal
essay atau uraian sebanyak 10 soal, hal ini untuk mengetahui tingkat keefektifan
penggunaan model kooperatif teknik paired story telling dalam meningkatkan

35
keterampilan pembelajaran setelah dilakukan kegiatan pembelajaran. Tes hasil
belajar akan dilakukan setiap siklus selesai. Hal ini untuk melihat pengaruh model
kooperatif teknik paired story telling terhadap kemampuan berbicara siswa kelas
V SD Negeri 1 Watopute.

3.6 Analisis Data

Teknik analisis data disesuaikan dengan jenis penelitian yang dilakukan.


Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk
menghitung rata-rata perolehan nilai siswa, presentase ketuntasan belajar,
presentase ketuntasan klasikal, presentase aktivitas guru dan presentase aktivitas
siswa yang dicapai setelah proses pembelajaran berlangsung, hal ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran hasil belajar siswa dalam keterampilan menyimak
pelajaran Bahasa Indonesia setalah menggunakan teknik paired story telling.

Adapun rumus yang akan digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai siswa ditentukan skor yang diperoleh siswa pada tes
yang dilakukan dengan rumus:

Nilai Siswa = x 100

b. Menentukan rata-rata nilai siswa

Nilai rata-rata siswa (x = )

Keterangan : x = Nilai rata-rata siswa.


∑X = Jumlah nilai siswa.
N = Jumlah siswa.
c. Menentukan ketuntasan aktivitas belajar siswa

% KABS = x 100%

Keterangan :
KABS = Persentase ketuntasan belajar siswa.
NS = Jumlah siswa yang mendapat nilai 75 keatas.

36
N = Jumlah siswa.

d. Menentukan ketuntasan aktivitas mengajar guru

% KAMG = x 100

Keterangan: % KAMG = Presentase ketuntasan aktivitas mengajar guru


e. Menentukan Nilai Ketuntasan Belajar

KB = x 100%

Katerangan:
KB = Ketuntasan Belajar
T = Jumlah skor yang diperoleh anak
Tt = Jumlah skor total

3.7 Indikator Kinerja

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu indikator tentang
keterlaksanaan kegiatan pembelajaran yang termuat dalam lembar observasi dan
indikator pemahaman belajar siswa dalam proses pembelajaran.

1. Kegiatan pembelajaran dikatakan terlaksana dengan baik apabila capaian


minimal 80% kegiatan pembelajaran terlaksana dengan sempurna.
2. Siswa yang menjadi subjek dalam penelitian ini dikatakan memahami
konsep yang diajarkan apabila minimal 80% jumlah siswa telah
memperoleh nilai ≥ 75 (ketentuan dari sekolah bersangkutan).

37
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ramli. 2017. “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif


Tipe Jigsaw Pada Mata Pelajaran Kimia Di Madrasah Aliyah.” Lantanida
Journal 5(1):13.
Ani Widayati. 2018. “Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Akuntansi – Universitas
Negeri Yogyakarta 87.” JURNAL PENDIDIKAN AKUNTANSI INDONESIA
Vol. VI No. 1 – Tahun 2018 Hal. 87 - 93 PENELITIAN VI(1):87–93.
Fakhrurrazi, Fakhrurrazi. 2018. “Hakikat Pembelajaran Yang Efektif.” At-Tafkir
11(1):85.
Farhrohman, Oman. 2017. “Implementasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SD /
MI.” Jurnal Primary 09(1):24.
Gea Tonazaro. 2018. “Kemampuan Siswa Dalam Mengekspresikan Pikiran Dan
Perasaan Melalui Kegiatan Bercerita Dengan Metode Artikulasi Di Kelas VII
SMP Negeri 1 Tuhemberua Tahun Pembelajaran 2015/2016.” Penelitian
Pendidikan Bahasa Dan Sastra 3(1):258–67.
Hanna, Sundari. 2015. “Model-Model Pembelajaran Dan Pemerolehan Bahasa
Kedua/Asing.” Jurnal Pemerolehan Bahasa 1(2):1–12.
Hermawan, Yoga, Luh Putu, Putrini Mahadewi, Ndara Tanggu Renda, and
Universitas Pendidikan Ganesha. 2016. “PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN PAIRED STORYTELLING.” PGSD 4:1–10.
Huda Miftahul. 2016. Cooperative Learning. XI. edited by S. Z. Qudsy.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khair, Ummul. 2018. “Pembelajaran Bahasa Indonesia Dan Sastra (BASASTRA)
Di SD Dan MI.” AR-RIAYAH : Jurnal Pendidikan Dasar 2(1):81.
Krishna, Dewi Shinta. 2017. “No Title.” Penelitian Bahasa, Sastra, Dan
Pengajarannya 15:172–84.
Lizawati. 2017. “Peningkatan Kemampuan Bercerita Menggunakan Teknik Paired
Story Telling.” Edukasi 15(2):223–32.

38
Nugroho Yekti. 2018. “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Yang
Menyenangkan Dengan Mendongeng.” XI:35–50.
Oktaviarini, Nourma. Wiratama Angga Novialita. 2019. “Seminar Nasional PGSD
UNIKAMA Https://Conference.Unikama.Ac.Id/Artikel/ Vol. 3, November
2019.” 3(November):408–17.
Rusman. 2013. Model Model Pembelajaran. ke-6. Depok: PT RajaGrafindo
Persada.
Sanjaya Wina. 2015. Penelitian Pendidikan Jenis Metode Dan Prosedur. 3rd ed.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Sri, Hayati. 2017. Belajar Dan Pembelajaran Berbasis Kooperatif Learning.
Magelang: Graha Cendekia.
Susilowati, Dwi. 2018. “Penelitian Tindakan Kelas (Ptk) Solusi Alternatif
Problematika Pembelajaran.” Jurnal Ilmiah Edunomika 2(01):36–46.
Yufrinalis, Marianus, Veronika Fedia, and Ebe Gleko. 2019. “Penggunaan Teknik
Paired Story Telling Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Pada
Siswa Kelas V SD Katolik HABI.” VI(1):1–10.

39

Anda mungkin juga menyukai

  • Wa0014
    Wa0014
    Dokumen26 halaman
    Wa0014
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Halaman 33-35
    Halaman 33-35
    Dokumen4 halaman
    Halaman 33-35
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Ajar Hitung
    Ajar Hitung
    Dokumen17 halaman
    Ajar Hitung
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Inovasi 8
    Inovasi 8
    Dokumen23 halaman
    Inovasi 8
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Tugas Presektif Global
    Tugas Presektif Global
    Dokumen1 halaman
    Tugas Presektif Global
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Materi Online-5 PLH PDF
    Materi Online-5 PLH PDF
    Dokumen5 halaman
    Materi Online-5 PLH PDF
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Dokumen3 halaman
    Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Cerpen
    Cerpen
    Dokumen47 halaman
    Cerpen
    Yusniawati Yusniawati
    100% (1)
  • Imunisasi
    Imunisasi
    Dokumen14 halaman
    Imunisasi
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Dokumen3 halaman
    Kisah Raja Haluoleo Kendari
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • Dick and Carey
    Dick and Carey
    Dokumen5 halaman
    Dick and Carey
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat
  • 4.1 Kubus Dan Balok
    4.1 Kubus Dan Balok
    Dokumen3 halaman
    4.1 Kubus Dan Balok
    Yusniawati Yusniawati
    Belum ada peringkat