Anda di halaman 1dari 15

1.

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Pemeriksaan Penyakit Gingiva dan
Jaringan Periodontal
Pemeriksaan Radiografi pada Pasien Kasus Periodontal
 Kasus spesifik periodontal : pasien dengan kedalaman saat probing kurang dari 3-4
mm→ Kedalaman tingkat probing mengindikasikan bahwa periodontal dalam keadaan
sehat. Penggunaan radiografi tidak dianjurkan untuk melihat status tulang alveolar pada
situasi ini.
 Kasus spesifik periodontal : pasien dengan tingkat kedalaman probing 4 – 5 mm.→
Pemeriksaan tingkat kerusakan tulang akan lebih akurat dengan radiografi horizontal
bitewing untuk prosedur pemeriksaan karies, ditambah oleh radiografi periapikal pada
gigi tertentu yang dilihat pada situasi klinis.
 Kasus spesifik periodontal: pasien dengan tingkat kedalaman probing 6 mm→
Menggunakan radiografi vertikal bitewing, ditambah dengan radiografi periapikal untuk
gigi anterior.
 Dicurigai adanya lesi periodontal/ endodontik.→ Indikasi menggunakan radiografi
periapikal
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit periodontal oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan yang teliti dan memerlukan kesabaran bagi setiap praktisi, apabila
ingin melakukan perawatan secara komprehensif dengan hasil yang optimal. Dalam
menegakkan diagnosa, diperlukan hal-hal sebagai berikut :
A. Pemahaman mengenai keluhan
B. Menggunakan alat-alat standar pemeriksaan (probe pe riodontal/probe sonde)
C. Rontgen foto sebagai penunjang
Praktisi dapat mendeteksi penyakit periodontal secara dini, dengan memperhatikan :
- Dalamnya poket
- Adanya resesi
- Adanya perdarahan
- Kegoyangan gigi
- Lebarnya dan tinggi pelekatan
- Warna dan tekstur gingiva
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Klasifikasi Penyakit Gingiva dan
Jaringan Periodontal
A. Penyakit Gingiva
- Dental Plaque-Induced Gingival Disease
Kondisi ini dapat terjadi pada jaringan periodontal yang tidak mengalami attachment
loss ataupun jaringan periodontal yang mengalami attachment loss. Kondisi ini stabil
dan tidak agresif.
o Gingivitis yang hanya berasosiasi dengan dental plak
 Tanpa kontribusi factor local
 Dengan kontribusi factor local
o Penyakit gingiva yang dimodifikasi oleh factor sistemik berhubungan dengan system
endokrin
 Puberty-associated gingivitis
 Menstrual cycle-associated gingivitis
 Berhubungan dengan kehamilan
 Gingivitis yang berhubungan dengan diabetes mellitus
o Berhubungan dengan diskrasia darah
 Leukemia-associated gingivitis
 Lainnya
o Non-Plaque-Induced Gingival Disease
 Penyakit gingiva dengan penyebab bakteri spesifik
 Neisseria gonorrhoeae
 Treponema palladium
 Spesies Streptococcus
 Lainnya
o Penyakit gingiva dengan penyebab virus
 Infeksi herpesvirus
 Primary herpetic gingivostomatitis
 Reccurent oral herpes
 Varicella Zoster
 Lainnya
o Penyakit ginviva dengan penyebab jamur
 Infeksi spesies candida : generalized gingival candidiasis
 Linear gingival erythema
 Histoplasmosis
 Lainnya
o Lesi gingiva dengan penyebab genetic
 Hereditary gingival fibromatosis
 Lainnya
B. Periodontitis Kronis
Karakteristik yang umum pada pasien dengan periodontitis kronis :
a. Prevalensi lebih banyak pada dewasa namun dapat terjadi pada anak-anak
b. Besar destruksi konsisten dengan factor lokal
c. Berhubungan dengan variasi pola microbial
d. Kalkulus subgingiva seringkali ditemukan
e. Perjalanan penyakit lambat sampai sedang, namun ada kemungkinan pada
beberapa periode berjalan cepat.
f. Dapat dimodifikasi oleh hal seperti
(i) Penyakit sistemik seperti HIV dan diabetes mellitus
(ii) Faktor predisposisi lokal dari periodontitis
(iii) Faktor lingkungan seperti merokok dan stress emosional
Periodontitis kronis dapat disubklasifikasikan kedalam lokalisata dan generalisata serta
dikarakterisasikan sebagai slight, moderate, dan severe berdasarkan :
a. Lokalisata : <30% sites yang terlibat
b. Generalisata : >30% sites yang terlibat
c. Slight : 1 sampai 2 mm clinical attachment loss
d. Moderate : 3 sampai 4 mm clinical attachment loss
e. Severe : ≥5 mm clinical attachment loss
C. Periodontitis Agresif
Karakteristik umum pada pasien periodontitis agresif :
a. Secara umum klinis pasien sehat
b. Kehilangan perlekatan (attachment loss) dan destruksi tulang secara cepat
c. Jumlah deposit mikroba tidak konsisten dengan keparahan penyakit
d. Ada factor keturunan dari individu
Karakteristik yang umum namun tidak universal
a. Penyakit biasanya diinfeksi oleh Actinobacillus actinobacillus
actinomycetemcomitans.
b. Abnormalitas dari fungsi fagosit
c. Hiperresponsive makrofag, peningkatan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan
interleukin-1β
d. Pada beberapa kasus, progresifitasnya self-arresting.
Periodontitis agresif dapat diklasifikasikan kedalam lokalisata dan generalisata seperti
berikut :
a. Lokalisata
ii) Circumpubertal onset
iii) Lokalisasi pada molar pertama atau insisif dengan proksimal attachment loss
pada setidaknya 2 gigi permanen, salah satunya molar pertama.
iv) Respon antibodi kuat terhadap agen infeksi
b. Generalisata
i) Biasanya mengenai pasien usia dibawah 30 tahun
ii) Attachment loss proksimal generalisata mengenai setidaknya 3 gigi lain selain
molar pertama dan insisif.
iii) Pronounced episodic nature dari destruksi periodontal
iv) Respon antibodi serum buruk terhadap agen infeksi.
D. Periodontitis manifestasi penyakit sistemik
Periodontitis dapat berhubungan dengan manifestasi penyakit sistemik seperti :
a. Penyakit hematologi
1. Acquired neutropenia
2. Leukemias
3. Lainnya
b. Kelainan genetic
1. Familial and cyclic neutropenia
2. Down syndrome
3. Leukocyte adhesion deficiency syndrome
4. Papillon-Lefevre syndrome
5. Chediak-Higashi syndrome
6. Histiocytosis syndromes
7. Glycogen storage disease
8. Infantile genetic agranulocytosis
9. Cohen syndromes
10. Ehlers-Danlos Syndrome (Type IV dan VIII AD)
11. Hypophosphatasia
12. Lainnya
c. Lainnya yang tidak spesifik
d. Necrotizing periodontal disease
o Necrotizing ulcerative gingivitis
Karakteristik utama dari NUG adalah etiologinya merupakan bakteri, ada lesi nekrotik,
dan factor predisposisi seperti stress psikologis, merokok, dan immunosupresi. Sebagai
tambahan, malnutrisi dapat menjadi faktor kontribusi. NUG seringkali terlihat sebagai
lesi akut yang mempunyai respon baik terhadap terapi antimikroba yang
dikombinasikan dengan pembersihan plak dan kalkulus serta peningkatan oral hygiene.
o Necrotizing ulcerative periodontitis
Perbedaan antara NUP dan NUG terdapat pada adanya clinical attachment loss dan
resorpsi tulang alveolar, karakteristik lainnya sama. NUP dapat diobservasi pada pasien
HIV dan bermanifestasi sebagai ulserasi lokal dan nekrosis jaringan gingiva dengan
exposure dan destruksi yang cepat dari tulang alveolar, perdarahan spontan, dan rasa
nyeri yang parah.
E. Periodontal Abses
a. Abses gingiva
b. Abses periodontal
c. Abses pericoronal
F. Periodontitis yang berasosiasi dengan lesi endodontic
a. Lesi endodontic-periodontik
b. Lesi Periodontik endodontic
c. Lesi kombinasi
G. Deformitas dapatan atau deformitas perkembangan
a. Kondisi lokal gigi yang berhubungan dengan factor predisposisi penyakit gingiva atau
periodontal yang diinduksi plak.
1. Faktor anatomi gigi
2. Pengaplikasian bahan restorasi
3. Fraktur akar
4. Cervical root resorption dan cemental tears
b. Deformitas mukogingiva dan kondisi sekitar gigi
1. Resesi gingiva atau jaringan lunak
(i) Permuakaan fasial atau lingual
(ii) Interproksimal (papilla)
2. Lack of keratinized gingiva
3. Penurunan ketinggian vestibular
4. Aberrant frenum atau posisi otot
5. Gingival Excess
(i) Pseudopocket
(ii) Gingival margin yang inkonsisten
(iii) Excessive gingival display
(iv) Gingival enlargement
(v) Warna yang abnormal
c. Deformitas mukogingiva dan kondisi dari linggir edentulous
1. Defisiensi linggir secara vertikal atau horizontal
2. Lack of gingiva or keratinized tissue
3. Gingival atau soft tissue enlargement
4. Penurunan ketinggian vestibular
5. Warna abnormal
d. Trauma oklusal
1. Trauma oklusal primer
2. Trauma oklusal sekunder
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Mekanisme Penyakit Gingiva dan
Jaringan Peridontal
Proses terjadinya gingivitis Plak berakumulasi dalam jumlah sangat besar di regio
interdental yang terlindung, inflamasi gingiva cenderung dimulai pada daerah papilla
interdental dan menyebar dari daerah ini ke sekitar leher gigi. Pada lesi awal perubahan
terlihat pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil, di sebelah apikal dari
epithelium fungsional khusus yang merupakan perantara hubungan antara gingiva dan gigi
yang terletak pada dasar leher gingiva), tidak terlihat adanya tanda-tanda klinis dari
perubahan jaringan pada tahap ini. Bila deposit plak masih ada perubahan inflamasi tahap
awal akan berlanjut disertai dengan meningkatnya aliran cairan gingiva. Pada tahap ini tanda-
tanda klinis dari inflamasi makin jelas terlihat. Papilla interdental menjadi sedikit lebih
merah dan bengkak serta mudah berdarah pada sondase, dalam waktu dua sampai seminggu
akan terbentuk gingivitis yang lebih parah. Gingiva sekarang berwarna merah, bengkak dan
mudah berdarah.
Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel
jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi tulang alveolar. Pada
pemeriksaan klinis terdapat peningkatan kedalaman probing, perdarahan saat probing
(ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan perlahan dan perubahan kontur
fisiologis. Dapat juga ditemukan kemerahan, pembengkakan gingiva dan biasanya tidak ada
rasa sakit.
Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat. Dengan
adanya faktor sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres penyakit akan lebih
cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap akumulasi plak.
Periodontitis kronis adalah hasil dari respon host pada agregasi bakteri di permukaan gigi.
Mengakibatkan kerusakan irreversibel pada jaringan perlekatan, yang menghasilkan
pembentukan poket periodontal dan kehilangan tulang alveolar pada akhirnya. Sementara
gingivitis dikenal kondisi yang sangat umum di antara anak-anak dan remaja, periodontitis
jarang terjadi pada anak-anak dan remaja. Terjadinya periodontitis severe pada orang dewasa
muda memiliki dampak buruk terhadap gigi mereka tapi dalam beberapa perawatan kasus
penyakit periodontal dapat berhasil.Diagnosis periodontitis dan identifikasi individu yang
terkena kadang-kadang menjadi sulit karena tidak ada gejala yang dilaporkan. Oleh karena
itu dianjurkan dokter harus memahami kerentanan pasien pada periodontitis dengan
mengevaluasi eksposur mereka terhadap faktor risiko yang terkait sehingga deteksi dini dan
manajemen yang tepat dapat dicapai. Kerusakan periodontitis telah digambarkan sebagai
konsekuensi dari interaksi antara faktor genetik, lingkungan, mikroba dan faktor host.
Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel
jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi tulang alveolar. Pada
pemeriksaan klinis terdapat peningkatan kedalaman probing, perdarahan saat probing
(ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan perlahan dan perubahan kontur
fisiologis. Dapat juga ditemukan kemerahan, pembengkakan gingiva dan biasanya tidak ada
rasa sakit.
Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat. Dengan
adanya faktor sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres penyakit akan lebih
cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap akumulasi plak.
Periodontitis kronis adalah hasil dari respon host pada agregasi bakteri di permukaan gigi.
Mengakibatkan kerusakan irreversibel pada jaringan perlekatan, yang menghasilkan
pembentukan poket periodontal dan kehilangan tulang alveolar pada akhirnya. Sementara
gingivitis dikenal kondisi yang sangat umum di antara anak-anak dan remaja, periodontitis
jarang terjadi pada anak-anak dan remaja. Terjadinya periodontitis severe pada orang dewasa
muda memiliki dampak buruk terhadap gigi mereka tapi dalam beberapa perawatan kasus
penyakit periodontal dapat berhasil.Diagnosis periodontitis dan identifikasi individu yang
terkena kadang-kadang menjadi sulit karena tidak ada gejala yang dilaporkan. Oleh karena
itu dianjurkan dokter harus memahami kerentanan pasien pada periodontitis dengan
mengevaluasi eksposur mereka terhadap faktor risiko yang terkait sehingga deteksi dini dan
manajemen yang tepat dapat dicapai. Kerusakan periodontitis telah digambarkan sebagai
konsekuensi dari interaksi antara faktor genetik, lingkungan, mikroba dan faktor host.

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Manifestasi Penyakit Sistemik Pada
Jaringan Periodontal
A. Manifestasi HIV pada periodontal
o HIV-G ( Linear Gingival Erythematous )
Berpotensi menjadi NUP apabila tidak dirawat. Tanda klinis berupa daerah
eritema pada margin gingiva yang berbentuk pita kira kira 2-3mm dari free gingival
margin, terkadang meluas ke mukosa alveolar. Etiologinya yaitu bakteri oportunistik
pada penderita AIDS dan biasanya tidak beruhubungan dengan akumulasi plak.
o HIV - NUG ( Necrotizing Ulcerative Gingivitis )
Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG) adalah bentuk penyakit periodontal yang
berbeda dan spesifik. Karakteristik khas timbulnya nyeri gingiva yang berat, nekrosis
gingiva interdental, dan perdarahan. Dalam keadaan yang parah juga memicu
terjadinya destruksi tulang.
o HIV-NS ( Necrotizing Stomatitis )
Mirip dengan NUP namu tidak separah NUP. Biasanya terjadi pada pasien dengan
penekanan sistem imun CD4. tanda klinis berupa rasa sakit yang akut dan terjadi
nekrosis jaringan lunak serta tulang. Dan biasanya terjadi secara terlokalisasi.
o HIV- NUP ( Necrotizing Ulcerative Periodontitis)
Terjadi pada pasien dengan CD kurang dari 100mm dan prevalensi terjadi pada
pasien AIDS sekitar 5%. Biasanya tidak terbentuk poket periodontal pada pasien dan
terjadi ulserasi yang meluas ke attached gingiva bahkan ke tulang.
B. Manifestasi diabetes melitus di rongga mulut
Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga mulut
diantaranya adalah terjadinya gingivitis dan periodontitis, kehilangan perlekatan gingiva,
peningkatan derajat kegoyangan gigi,xerostomia, burning tongue, sakit saat perkusi,
resorpsi tulang alveolar dan tanggalnya gigi.Pada penderita DM tidak terkontrol kadar
glukosa didalam cairan krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang
terkontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa
selain GCF, kadar glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva. Peningkatan
glukosa ini juga berakibat pada kandungan pada lapisan biofilm dan plak pada
permukaan gigi yang berfungsi sebagai tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam
bakteri akan lebih banyak berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang
cukup sehingga menyebabkan terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal.
Diabetes melitus menyebabkan suatu kondisi disfungsi sekresi kelenjar saliva
yang disebut xerostomia, dimana kualitas dan kuantitas produksi saliva dirongga mulut
menurun. Xerostomia yang terjadi pada penderita DM menyebabkan mikroorganisme
opotunistik seperti Candida albican lebihbanyak tumbuh yang berakibat terjadinya
candidiasis. Oleh karena itu penderita cenderung memiliki oral hygiene yang buruk,
apabila tidak dilakukan pembersihan gigsecara adekuat.
Pemeriksaan secara radiografis juga memperlihatkan adanyaresorpsi tulang
alveolar yang cukup besar pada penderita DM dibanding pada penderita non DM. Pada
penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi sehingga lebihmudah terjadi periodontitis
yang selanjutnya merupakan faktor etiologi resorpsi tulangalveolar secara patologis.
Resorpsi tulang secara fisiologis dapat terjadi pada individusehat, namun resorpsi yang
terjadi pada DM disebabkan karena adanya gangguan vaskularisasi jaringan periodontal
sertagangguan metabolisme mineral.
Periodontitis merupakan salah satu dari enam komplikasi DM. Pada sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa keparahan penyakit periodontal meningkat pada penderita
diabetes dibandingkan pada individu yang sehat. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
keparahan penyakit periodontal pada penderita DM dipengaruhi oleh penurunan respon
imun. Kondisi tersebut ditandai terjadinya sejumlah perubahan jaringan yang
menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Perubahan vaskuler yang terjadi
menunjukkan adanya peningkatan aktivitas kolagen serta perubahan respon dan
kemotaksis dari PMN terhadap antigen plak, sehingga menyebabkan fagositosis
terhambat.\
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) pada penderita DM
menyebabkan komplikasi berupa mikrovaskuler yang ditandai dengan peningkatan AGE
pada plasma dan jaringan. Sekresi dan sintesis sitokin yang diperantarai oleh adanya
infeksi periodontal, memperkuat besarnya respon sitokin yang dimediasi AGEs atau
sebaliknya.yang terbentuk dapat terjadi pada protein, lipid dan asam nukleat.
Pembentukan AGE Pada protein, Menyebabkan rantai silang Antara polipeptida Kolagen
dan menangkap Plasma non glikosilasi atau protein interstitial. Pengendapan low density
lipoprotein (LDL) terjadi pda pembuluh darah besar dan deposit kolesterol di intima.
Advanced glycation end-product menyebabkan terbentuknya rantai silang kolagen tipe IV
membran basalis, berakibat melemahnya interaksi kolagen dan komponen matriks lain
(laminin, proteoglikan), menghasilkan jejas struktur dan fungsimembran basalis.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Kerusakan Tulang
A. Pola kerusakan tulang secara horizontal
Pola kerusakan tulang secara horizontal ini merupakan pola yang paling sering muncul
pada penyakit periodontal. Pada pola ini mengalami penurunan terhadap tinggi tulang,
namun margin dari tulang tersebut kira – kira tetap tegak lurus pada permukaan gigi.
Namun, pada tulang bagian interdental, labial/facial, dan lingual derajat kerusakannya
tidak sama pada setiap bagian. Kehilangan tulang secara horizontal ini dapat
diklasifikasikan dengan ringan, sedang, atau berat tergantung dengan luasnya kerusakan
yang terjadi. Pada klasifikasi kehilangan tulang horizontal ringan, kehilangan tulang yang
terjadi sekitar 1-2 mm pada tulang pendukung, untuk klasifikasi sedang kehilangan tulang
yang terjadi lebih besar dari 2 mm sampai dengan hilangnya setengah tinggi tulang
pendukung, dan untuk klasifikasi berat kehilangan tulang yang terjadi melebihi dari
klasifikasi ringan dan sedang.

B. Pola kerusakan tulang secara vertikal


Kehilangan tulang secara vertikal merupakan sebuah lesi tunggal yang terlokalisir pada
satu gigi. Bentuk tulang yang tersisa pada pola kerusakan tulang secara vertikal ini
biasanya menampilkan angulasi miring ke garis khayal yang menghubungkan CEJ gigi
yang rusak ke gigi tetangganya. Pada awal terbentuknya pola kerusakan secara vertikal
ini, akan terlihat pelebaran abnormal dari ruang ligamen periodontal di puncak tulang
alveolar. Seringkali kerusakan vertikal sulit atau tidak mungkin untuk dikenali pada
gambaran radiografi karena satu atau kedua lapisan tulang kortikal superimpose dengan
kerusakan.
Penyakit periodontal dapat marubah gambaran morfologi tulang alveolar sehingga terjadi
penurunan ketinggian tulang. Patogenesis perubahan ini penting untuk penegakan diagnosa
dan perawatan.
A. Resorpsi Tulang Horizontal
Resorpsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang paling sering
ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar mengalami penurunan,
tetapi margin tulang yang tersisa tegak lurus terhadap permukaan gigi. Septum interdental
serta bagian facial dan lingual juga mengalami kerusakan, tetapi derajat kerusakan
disekeliling gigi berbeda-beda.
B. Defek Vertikal atau Angular
Defek vertikal atau angular terjadi dalam arah oblique, membuat lubang yang
menembus ke dalam tulang di sepanjang akar; dasar defek terletak ke arah apikal di
sekitar tulang. Defek angular disertai poket infrabony yang mendasari defek angular.
Defek angular diklasilikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus. Defek angular dapat
memiliki satu, dua, atau tiga dinding. Jumlah dinding pada bagian apikal defek lebih
besar daripada bagian oklusal yang disebut dengan combined osseus defect.
Defek vertikal terjadi pada interdental yang dapat terlihat secara jelas
padagambaran radiografis, walaupun kadang tertutup oleh kepingan tulang yang tebal.
Defek angular juga terdapat pada permukaan facial dan lingual atau palatal, tetapi defek
ini tidak terlihat pada gambaran radiografis. Pembedahan merupakan carayang pasti
untuk rnengetahui adanya bentuk defek tulang vertikal.
Defek tulang diklasifikasikan menjadi :
- Defek tulang 3 dinding yang dibatasi oleh 1 permukaan gigi dan 3 permukaan tulang.
- Defek tulang 2 dinding (crater interdental) yang dibatasi oleh 2 permukaan gigi dan 2
permukaan tulang.
- Defek tulang 1 dinding dibatasi oleh 2 permukaan gigi dan 1 permukaan tulang serta
jaringan lunak.
- Defek tulang kombinasi (Cup-shaped defect) dibatasi oleh beberapa permukaan gigi dan
beberapa permukaan tulang (Klaus dkk, 1989).

Defek vertikal meningkat sesuai dengan usia. Hampir 60% orang dengan defek
angular interdental hanya mempunyai satu defek. Defek vertikal dapat dideteksi dengan
pemeriksaan radiografi yang telah dilaporkan bahwa banyak terlihat pada permukaan
distal dan mesial, akan tetapi defak dengan tiga dinding lebih sering diternukan pada
permukaan mesial molar atas dan bawah. Defek vertikal dengan tiga dinding biasa
disebut dengan defek intrabony.Defek ini paling sering terdapat pada bagian rnesial dari
molar kedua dan ketigarahang atas dan bawah. Defek vertikal dengan satu dinding
disebut juga henniseptum.

6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Lesi Endo-Perio


Pada tahun 2012, klasifikasi lesi endoperio dibaharui dan dilengkapi oleh Ahmed et al
menjadi 7 kelas, yaitu
- Kelas I: Lesi endoperio simultan
Kelas I: Lesi Endoperio Simultan Lesi endoperio simultan didefinisikan sebagai
keterlibatan jaringan pulpa dan periodontal secara bersamaan akibat faktor etiologi yang
sama yang tidak berasal dari kedua jaringan tersebut dan tidak bersifat iatrogenik. Faktor
etiologi tersebut meliputi: avulsi, intrusi, fraktur mahkota akar (vertikal dan horisontal),
luksasi, karies proksimal, impaksi molar ketiga (terutama mesioanguler dan horisontal),
serta tumor (odontogenik dan non odontogenik seperti central giant-cell granuloma).
- Kelas II: Lesi endo dengan keterlibatan perio
Kelas II: Lesi Endo dengan Keterlibatan Perio Kelas ini memiliki 2 jalur patogenesis,
yaitu jalur patogenesis lokal dan patogenesis distribusi unilateral. Jalur patogenesis lokal
meliputi rarefaksi periodontal akibat inflamasi pulpa. Faktor etiologi inflamasi pulpa dapat
bersifat developmental (misal: dens invaginatus) atau non developmental (misal: karies).
Keterlibatan perio dapat bersifat tertutup (tidak ada komunikasi dengan rongga mulut)
atau terbuka (terdapat komunikasi berupa fistula atau sinus tract) dengan atau tanpa
akumulasi plak dan kalkulus.
- Kelas III: Lesi perio dengan keterlibatan endo,
Kelas III: Lesi Perio dengan Keterlibatan Endo Kelas ini terbagi menjadi 2 subkelas,
yaitu developmental dan non developmental. Subklas developmental meliputi kelainan
periodontal diikuti inflamasi pulpa irreversible karena anomali perkembangan. Anomali
perkembangan yang paling sering ditemukaN adalah groove patologis. Groove patologis
memungkinkan transmisi iritan mikroba dari periodontal ke pulpa. Anomali
perkembangan lain meliputi enamel pearl, akar tambahan, dan intermediate bifurcation
ridges. Subklas non developmental, kelainan periodontal dapat memicu inflamasi pulpa
irreversible melalui foramen apikal dan kanal aksesoris. Faktor etiologi dapat berupa iritan
mikroba atau trauma luksasi yang mengakibatkan inflamasisi periodontal dan resorpi
eksternal akar. Bila dibiarkan, resorpsi eksterna akan meluas dan melibatkan jaringan
pulpa dalam saluran akar.
- Kelas IV: Lesi endoperio independen,
Kelas IV: Lesi Endo – Perio Independen Lesi endoperio independen didefinisikan sebagai
kelainan pulpa dan periodontal yang disebabkan oleh faktor etiologi berbeda. Kelainan
pulpa hanya terbatas pada saluran akar dan tidak mengakibatkan kelainan periapikal.
Faktor etiologi lesi ini dapat bersifat developmental atau non developmental. Lesi kelas IV
biasa ditemukan pada pasien dengan periodontitis marginalis menyeluruh.
- Kelas V: Lesi endoperio iatrogenik,
Kelas V: Lesi Endoperio Iatrogenik Kelas ini terbagi menjadi 3 subkelas, yaitu a)
Perawatan endodontic menyebabkan lesi periodontal. Kesalahan perawatan endodontik
yang menyebabkan lesi periodontal, misalnya perforasi akar, debridement dan obturasi
saluran akar inadekuat, kesalahan prosedur bedah endodontik, preparasi pasak pasca endo
mengakibatkan fraktur akar, serta kesalahan prosedur internal/walking bleach b) lesi
endodontik akibat perawatan periodontal seperti penghalusan akar yang luas atau bedah
periodontal dapat berakibat terbukanya kanal lateral atau tubulus dentin. Hal ini
mengakibatkan masuknya iritan mikroba ke pulpa dan memicu inflamasi pulpa
irreversible dan c) perawatan non-endodontik/non-periodontal berakibat lesi endo-perio.
- Kelas VI: Lesi endoperio lanjut,
Kelas VI: Lesi Endoperio Lanjut Kelas ini terbagi menjadi 2 subkelas, yaitu a) Lesi
endoperio lanjut dengan penyakit periodontal independen. Subkelas ini meliputi hubungan
antara keterlibatan periodontal dependen (kelas I, kelas II, kelas V subkelas 1 dan 3) dan
penyakit periodontal independen. Contoh subkelas ini adalah inflamasi pulpa yang
mengakibatkan kelainan periapikal yang telah menderita periodontitis kronis menyeluruh.
b) lesi endoperio lanjut dengan penyakit periodontal dependen. Subkelas ini meliputi
hubungan antara keterlibatan periodontal dependen (kelas I, kelas II, kelas V subkelas 1
dan 3) dan penyakit periodontal dependen akibat inflamasi pulpa. Hubungan subkelas ini
dapat diidentifikasi secara klinis melalui probing.
- Kelas VII: Lesi endoperio tidak diketahui.
Kelas VII: Lesi Endoperio Tidak Diketahui Kelas ini meliputi lesi endo – perio yang
faktor etiologinya tidak dapat diidentifikasi selama pemeriksaan klinis dan radiografis
preoperatif. Diagnosis definitif baru dapat ditegakkan setelah perawatan. Sebagai contoh
adalah kasus retreatment pada gigi pasca endo dengan obturasi yang terlihat baik namun
memiliki kelainan periapikal yang terhubung dengan penyakit periodontal independen.
Penyembuhan jaringan periapikal setelah retreatment mengindikasikan adanya peran
faktor iatrogenik dalam pembentukan lesi sehingga diklasifikasikan sebagai lesi endoperio
lanjut (kelas VI). Dengan demikian disimpulkan bahwa lesi endoperio kelas VII meliputi
lesi pada jaringan endodontik-jaringan periodontal yang diagnosis definitifnya dapat
ditegakkan pascaoperatif.

Anda mungkin juga menyukai