Anda di halaman 1dari 5

I Made Agus Brastama Andhiriksa

1862121033

Berjalan dan Membentuk Sudut Pandang di Bali Utara

Nusa Tenggara Timur, kata itu terus terbayang di kepala saya saat pertama mendengar isu-
isu akan keberangkaan kami mahasiswa Kampus Merdeka Universitas Warmadewa ke daerah
tersebut. tidak berhentinya saya membayangkan berapa banyak pelajaran yang saya bisa dapatkan
di daerah tersebut. walaupun tersirat niatan untuk berwisata juga didalamnya. Sebenarnya bukan
hanya Nusa tenggara Timur yang membuat saya penasaran, namun program Kampus Merdeka ini
juga membuat saya penasaran. Bagaimana teknis dari program ini akan berjalan dana apa-apa saja
yang akan saya cari dan saya dapatkan masih belum terbayang di kepala saya, Hari demi hari
terlewat dan saat itu kasus Covid-19 terus meningkat yang membuat keberangkatan kami ke Nusa
Tenggara Timur terancam batal. Saat itu saya bersama dua kawan langsung memastikan
bagaimana keberangkatan kami ke Nusa Tenggara Timur dengan Kprodi Jurusan Arsitektur
Universitas Warmadewa yang kerap kami sapa Pak Mangde. Kami berbincang bagaiamana
keberangkatan kami, dan benar saja Pak Mangde mengatakan Kami dengan team tidak jadi
berangkat ke Nusa Tenggara Timur dan akan tetap berkegiatan di Bali yaitu Bali Utara.

Beberapa pertemuan dengan tim dosen akhirnya dilakukan setelah saya dengan team yang
berjumlah 15 orang ditetapkan. Dijelaskan juga bagaiamana Universitas Warmadewa akan
bermitra dengan Ruman intaran yang merupakan studio arsitektur yang banyak melakukan riset-
riset tentang potensi desa. Benar, Rumah Intaran akan menjadi mentor kami dan akan menjadi
tempat kami belajar di Bali Utara. Setelah diberi tahu tentang Rumah Intaran yang akan menjadi
mentor kami, saya pribadi langsung berpikir bagaiamana tempat disana? Apa yang bisa saya
lakukan? dan bagaiamana kegiatan sehari-hari. pikiran itu terus membayangi sebelum
keberangkatan saya pada awal September.

Awal September yaitu di tanggal 3 kami satu team yang berjumlah 15 orang berangkat ke
Buleleng. Saat itu langit cukup bersahabat. Jadi saya tidak perlu khawatir dengan hujan, karena
tas-tas yang memenuhi motor saya akan aman sampai di tujuan. Sampailah saya di Desa Bakti
Seraga waktu itu, dalam kondisi yang masih beradaptasi dengan cuaca karena setelah dihantam
terik matahari, tiba-tiba di daerah bedugul cuacanya relatif lebih dingin. Saya dengan team
memilih salah satu toko kelontong untuk berdiskusi mencari tempat tinggal yang bisa kami tinggali
selama kurang lebih empat bulan lamanya.

Hari mulai berganti dan saya siap ke Rumah Intaran untuk pertama kalinya, sampailah saya
ditujuan. Pertama saya sangat heran melihat tempat luas dengan banyak pohon besar ini. Sangat-
sangat seperti masa lampau bila dilihat dari segi bangunan. Bagaimana material-material alami
banyak sekali digunakan pada tempat ini. Tidak berhentinya saya terharan, dan diskusi saat itu
tetap berlangsung. Kami yang berjumlah 15 orang ini langsung ditanyakan oleh Pak Gede Kresna
selaku teman belajar kami disana mengenai hal-hal yang sifatnya personal. Saya ingat betul ketika
beliau menanyakan tentang apa hobi saya dan hal-hal apa yang saya sukai. Saya berpikir mengapa
Pak Gede menanyakan kami seperti itu, dan sampai beberapa hari saya akhirnya mengerti.
Bagaimana sata akan ditempatkan nantinya di sesuatu yang saya sukai. Karena ini sangat penting
ketika kita belajar atau bekerja dan tidak tertekan oleh hal yang kita kerjakan tersebut. Dan saya
simpulkan pertanyaan ini lebih mengajak saya mengenali diri sendiri dan mengetahui potensi diri
sendiri.

Pelajaran di Rumah Intaran pun berlanjut sebagaimana mestinya saat masa inisiasi kami,
bagaimana saya harus datang jam 7 pagi dan membersihkan apa yang harus dibersihkan saat itu.
Setelah itu akan ada sesi diskusi mengenai hal apapun, dan Pak Gede mengajarkan tentang
bagaiamana membentuk sudut pandang saya untuk melihat suatu hal yang ada disekitar kita.
Menggali setiap potensi yang kita miliki dan yang terakhir paling membekas adalah belejar
mengenai metode saat pendokumentasian Desa. Hal ini sangatlah penting karena jika saya ingat
dulu saat mencari data ke desa, saya akan bingung karena tidak memiliki arah yang jelas untuk
mencari data. Dan setelah diajarkan bagaimana metode pendokumentasian dan apa-apa saja yang
harus kita cari serta bagaiama memberdayakan diri sendiri saat bertemu orang-orang desa.

Babi hitam, benar sekali saya baru mengetahui jika babi hitam memiliki nilai jual yang
lebih tinggi. Kali ini saya diperkenalkan dengan babi hitam oleh Pak Gede. Walaupun sebenarnya
sudah mengetahui ada babi yang berwarna hitam, namun tidak mengetahui bila babi ini lebih baik
secara pakan dan lebih enak bila dikonsumsi. Saat itu Rumah Intaran akan kedatangan tamu
penting. Seingat saya tamu itu adalah rombongan keluarga Puspayoga. Saya dan beberapa kawan
menyiapkan segala kesiapan yang diperlukan. Proses pemotongan babi saya perhatikan betul.
Bagaiaman alat yang digunakan masih sangat tradisional. Proses pemotongan juga terlihat sangat
berhati-hati karena jika kurang teliti akan membuat babi stress dan berdampak dengan cita rasa
daging nantinya. Hal-hal semacam ini juga yang baru saya ketahui bagaiama keterkaitan dari
proses awal hingga akhir sangat menentukan rasa dari daging. Waktu yang dibutuhkan saat
mengguling kurang lebih 3-4 jam saat itu dan semua selesai sebagaiaman awal direncanakan. Babi
matang dengan sempurna dan bila dilihat warnanya sangat mengguirkan. Tibalah dimana kami
diberi wakru untuk mencoba, iya memang benar, daging terasa lembut dan lebih manis di lidah
saya. Suatu experience yang belum tahu bisa saya dapatkan dimana lagi. Lagi-lagi kita diajak
dengan pangan. Benar, pangan-pangan yang masih organik tentunya.

Pembelajaran sangatlah cair karena kita tidak mengerjakan 1-2 hal, namun banyak hal yang
kita kerjakan disini. Dan di hari-hari berikutnya sampailah saya di Desa Tembok. Desa Ini menjadi
desa pertama yang kita dengan team dokumentasikan. Bagaimana saya melihat bentang alamnya,
material-material lokal yang banyak digunakan di desa ini, dan keseharian masyarakatnya yang
masih menggunakan cara-cara tradisional untuk melakukan sesuatu. Hal yang paling menarik
disini, saya melihat langsung bagaimana proses penyulingan arak. Dahulu saya hanya meminum
tanpa berpikir bagaimana arak ini di proses dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk
memprosesnya. Kini semua terjawab , bagaimana proses berlangsung dan berapa lama proses yang
diperlukan untuk mengahsilkan satu botol arak yang siap konsumsi. Saya seperti diberi
pengetahuan baru lagi yang sebenarnya hal-hal semacam ini sangat dekat dengan keseharian.
Proses dari awal menunggu tuak terisi penuh dipohon, diambil saat sudah penuh, dan disuling
dengan waktu yang cukup lama, serta tenaga yang dihabiskan petani dari awal hingga akhir. Saya
berpikir inilah kejeniusan orang-orang desa yang kita miliki. Mengapresiasi hal-hal semacam ini
dan menghargainya dengan nilai tinggi tidak berlebihan rasanya jika kita mengetahui prosesnya
dari awal hingga akhir.

Sejarah, Pak Gede selalu mengkaitkan apapun dengan sejarah. Karena apapun hal yang
kita kerjakan saat ini adalah hasil dari sejarah masa lampau. Saat itu saya ingat ketika diajarkan
sejarah menggunakan metode peta. Karena kata Pak Gede, akan sangat sulit membayangkan
dimana lokasi kejadian daerah tersebut tanpa menggunakan peta. Kali ini saya diajarkan
bagaiamana konstelasi atau keterkaitan di setiap kejadian yang menjadi sejarah. Bagaiamana
Inggris bisa berkuasa hingga hari ini, mengapa Thailand tidak pernah terjajah, dan apa yang
menyebabkan mayoritas negara di Benua Amerika Latin menggunakan Bahasa Spanyol. Semua
diajarkan secara sangat mendetail, pembelajaran seperti inilah yang benar-benar membuat saya
mudah membayangkan dan mudah sekali diingat. Dan tentunya cara Pak Gede menceritakan juga
tidak kalah asiknya untuk didengarkan. Sekali lagi, ketika materi telah selesai kami dibiasakan
untuk berpendapat atau bertanya mengenai penjelasan yang telah diceritakan oleh Pak Gede.

Berikutnya saya membahas tentang pangan, benar sekali keterkaitan antara arsitektur dan
pangan sangatlah dekat dan nyaris tidak bisa dipisahkan. Jika berbicara apa yang paling penting
bagi kehidupan untuk saat ini adalah oksigen, air, dan tentunya pangan. Saya ingat sekali pemilihan
Pak Gede mengenai bahan-bahan pangan yang baik untuk dikonsumsi. Sedemikian pula beliau
mengajarkan untuk memakan makanan yang bersumber dari tempat yang organik atau non
pestisida. Seberbahaya dan seburuk apa dampaknya bagi kesehatan kita, diberitahu juga oleh Pak
Gede. Bagaimana makanan-makanan yang telah terindustrialisasi sedemikian rupa sangatlah tidak
baik untuk kesehatan. Dan apa-apa saja yang terkandung dalam komposisi makanan tersebut
sangatlah tidak baik untuk dikonsumsi. Dampak yang kita terima mungkin belum kita rasakan
untuk saat ini, namun berpuluh-puluh tahun kemudian aka nada kerusakan-kerusakan yang terjadi
didalam organ tubuh kita.

Momen berikutnya adalah momen yang sangat-sangat saya tunggu, karena percis dengan
yang menjadi judul kami untuk mengikuti Program Kampus Merdeka ini yaitu pendokumentasisan
“Den Bukit” atau kerjasama 8 desa untuk menjaga kehutanan dan aliran air dari hulu ke hilir. Desa-
desa yang saya maksud adalah Wanagiri, Selat, Tegal Linggah, Panji Anom, Panji, Ambengan,
Sambangan, dan Bakti Seraga. Pendokumentasian ini terlihat menarik karena terkadang kita
melakukan penyisiran di desa yang relative dingin dan nantinya bisa menyisir desa yang relative
panas. Karena letak dari 8 desa yang dimaksud ini terletak dari bukit hingga ke pesisir. Jadi
terkadang kami mendokumentasikan di desa yang benar-benar masih alami secara geografis atau
sudah sangat urban secara tata bangunan. Disinilah kami sangat banyak belajar, bagaiamana desa
yang tidak memiliki potensi hutan yang melimpah bisa hidup dari hasil-hasil lainnya. Contohnya
pariwisata itu sendiri. Dan contoh lain yang kami lihat yaitu sebaliknya jika desa memiliki potensi
hutan yang melimpah, maka potensi tersebut bisa menjadi sumber kehidupan masyarakat desa.
Dengan contoh masyarakat akan bisa bercocok tanam, mengurus kebun dan menjual hasil tersebut
ke pengepul-pengepul. Tidak lupa disimpan pula untuk dijadikan konsumsi untuk sehari-hari.
Tibalah dimana waktu akan berakhir untuk perjalanan saya kurang lebih salama 4 bulan di
Bali Utara ini. Sedih dan senang seakan silih berganti menemani hari-hari kami ber15 orang ini.
Yang diawal dipikir akan sangat lama, ketika dijalani ini adalah waktu yang sangat singkat. Karena
pertemuan adalah lawan kata dari perpisahan. Dan pasti semua orang tidak menyukai kata itu
“perpisahan”. Berpisah dari apa yang telah kami mulai, kami bangun, dan kami rawat. Pergi
meninggalkan kamar kos kami, tempat kos kami, dan tentu meninggalkan banyak sekali cerita di
Rumah Intaran. Di hari itu kami tampak kurang bahagia dan beberapa kawan terlihat berkaca-kaca
matanya. Sudah cukup menjelaskan situasinya bukan. Namun hidup akan terus berjalan dan kita
tidak boleh larut dengan kesedihan. Pencapaian ini sangat membanggakan bagi saya pribadi dan
bagi team yang berjumlah 15 orang ini. Kami sangat banyak belajar disini. Mengapresiasi diri
sendiri sangatlah penting ketika kita dapat menyelesaikan suatu hal atau tantangan. Terlepas akan
menjadi hal yang memuaskan atau tidak, tidak ada salahnya kita mengapresiasi karena telah berani
mencoba. Saya ingin berterimasih kepada Bapak Dosen di Kampus, kawan-kawan yang banyak
menuntun saya, teman-teman Rumah Intaran, dan tidak lupa Bapak Gede Kresna yang telah
memberi saya banyak sekali pelajaran tentang kehidupan bukan saja arsitektur. Terakhir, saya
sangat mengingat Statement Pak Gede Kresna karena langsung menyadarkan saya ketika itu
“Sederhana adalah puncak pencapaian. Karena menjadi sederhana adalah hal yang paling susah.”

Anda mungkin juga menyukai