Anda di halaman 1dari 6

A.

Bunyi Teks Hadist :

ٍ ِ
:‫ال‬
َ َ‫الر ْحمن بْ ُن َس ُم َرةَ ق‬ َّ ‫ْح َس ُن َح َّد َثنَا َع ْب ُد‬ َ ‫ُّع َما َن ُم َح َّم ُد بْ ُن الْ َفاض ِل َح َّد َثنَا َج ِر ْي ٌر بْ ُن َحا ِزم َح َّد َثنَا ال‬ ْ ‫َح َّد َثنَا أ َُب ْو الن‬
‫ك إِ ْن أ ُْوتِْي َـت َها َع ْن َم ْسأَل ٍَة‬ َ َّ‫الر ْحمن بْ ُن َس ُم َرةَ الَ تَ ْسأ َْل ا ِإل َم َارةَ فَِإن‬ َّ ‫ “يَا َع ْب َد‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ق‬
.‫ت غَْي َر َها َخ ْيراً ِم ْن َها‬ َ ْ‫ت َعلَى يَ ِم ْي ٍن َف َرأَي‬ َ ‫ت َعلَْي َها َو إِ َذا َحلَ ْف‬ َ ‫ َو إِ ْن أ ُْوتِْيتَ َـها ِم ْن غَْي ِر َم ْسأَل ٍَة أ ُِع ْن‬،‫ْت إِل َْي َها‬
َ ‫ُوكِل‬
‫ت الَّ ِذي ُه َو َخ ْي ٌر‬ ِ ْ‫ك وأ‬ ِِ
َ َ ‫فَ َك ِّف ْر َع ْن يَم ْين‬
B. Terjemahan :

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya
jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu
(sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan
itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh
Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu
sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang
lebih baik (darinya)”.
C. Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Bukhari No.
6132 Kitab Sumpah dan Nadzar Bab “Allah tidak menyiksa sumpah yang kalian lakukan
dengan main-main”. Penulis juga menemukan pencatuman hadits di atas di dalam berbagai
kitab refrensi hadist sebagaimana berikut:

……………..……………………………………... ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم الَ تَ ْسأ َْل‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ق‬
‫ا ِإل َم َار َة‬
Shahih al-Bukhari, bab karamatu-l-aiman, no hadits: 6227.
………………………............... ‫قال لي النبي صلى اهلل عليه وسلم يا عبد الرحمن بن سمرة الَ تَ ْسأ َْل‬
‫ا ِإل َم َار َة‬
Shahih al-Bukhari, bab al-ahkam, no hadits: 6613.
……...……….…………...... ‫قال لي رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يا عبد الرحمن بن سمرة الَ تَ ْسأ َْل‬
‫ا ِإل َم َار َة‬
Shahih al-Bukhari, bab al-ahkam, no hadits, no hadits: 6614.
………………………………………………… ‫ِذ ْك ُر‬ ِ ‫يث ول َْيس فِي ح ِد‬
‫يث ال ُْم ْعتَ ِم ِر َع ْن أَبِ ِيه‬ ِ ِ ‫َعن النَّبِ ِّي بِ َه َذا ال‬
َ َ َ ‫ْحد‬ َ ْ
‫اإْلِ َم َار ِة‬
Shahih Muslim, bab al-aiman, no hadits: 3120.
……………………………………..………………………………….. ‫الر ْح َم ِن الَ تَ ْسأ َْل‬
َّ ‫يَا َع ْب َد‬
‫اإْلِ َم َارة‬
Shahih Muslim, bab al-imarah, no hadits: 3401.
………………………………………………………….……………… ‫الر ْح َم ِن الَ تَ ْسأ َْل‬
َّ ‫يَا َع ْب َد‬
َ‫اإْلِ َم َارة‬
Sunan at-Turmudzi, bab an-nudzur wa-l-aiman, no hadits: 1449.
……………………….… ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم الَ تَ ْسأ َْل‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
َ َ‫الر ْح َم ِن بْ ِن َس ُم َرةَ ق‬
ُ َ َ َ‫ال ق‬
َ‫اإْلِ َم َارة‬
Sunan An-Nasai, bab al-aiman wan-nudzur, no hadits: 5289.
……………………………….………………………………… ‫الر ْح َم ِن بْ َن َس ُم َر َة الَ تَ ْسأ َْل‬
َّ ‫يَا َع ْب َد‬
‫اإْلِ َم َار َة‬
Sunan Abu Dawud, bab al-khiraj wa-l-imarah wa-l-fa’i, no hadits: 2540.
…………………………………………………………………………. ‫الر ْح َم ِن الَ تَ ْسأ َْل‬
َّ ‫يَا َع ْب َد‬
‫اإْلِ َم َار َة‬
Ahmad, awal musnad al-bashariyin, no hadits: 19702, 19704, 19707, 19711, 19712.
…………………………………………….…………………… ‫الر ْح َم ِن بْ َن َس ُم َر َة الَ تَ ْسأ َْل‬
َّ ‫يَا َع ْب َد‬
‫اإْلِ َم َار َة‬
Ad-Darami, bab an-nudzur, no hadits: 2241.

C. Kualitas Sanad Hadits

Al-Bukhary, Muslim, at-Tirmidzy, an-Nasa’i, dalam kitab-kitab hadits mereka


menyatakan derajat hadits ini adalah marfu’. Hadits ini secara jalur periwayatan memiliki
yang riwayat unik, sebab merupakan jawaban Nabi atas pertanyaan Abdurrahman bin
Samurah dan hadits ini diperoleh sebagai jawaban dari permohonannya untuk menempati
jabatan Gubernur Qufah.
Seluruh sanad di atas, mulai dari awal hingga Abdurrahman bin Samurah, maka
dapat dipastikan bahwa sanadnya bersambung kepada Nabi Saw. Dapat dipastikan bahwa
seluruh periwayat dalam sanad antara satu dengan lainnya, benar-benar telah terjadi
hubungan periwayatan hadits, hal itu dikarenakan semua perawi menggunakan kata
Haddatsana, ini berarti periwayatannya dilakukan secara Al-Asma’, yaitu dari periwayat
terakhir mendengar langsung dari gurunya, demikian seterusnya hingga sampai pada
Abdurrahman bin Samurah yang mendengar langsung dari Rasulullah.

D. Kualitas Matan Hadist

Validitas matan dari hadits ini hanya diketahu dari Abdurrahman bin Samurah, dan
Abdurrahman bin Samurah sendiri diakui sebagai shahabat yang memiliki kehalihan dan
dinyatakan shaduq lagi tsiqqah dalam periwayatan. Maka kalangan jumhur ulama
menyatakan hadits ini marfu’. Ibnu Taimiyah dalam hal ini menegaskan, bahwa urusan
penegakan Imarah/Kepemimpinan adalah menjadi kemutlakan dan beragama, bahkan ia
menyebandingkan urusan ini dengan ibadah mahdlah yang lain atas kewajiban
pelaksanaannya. Di sisi lain al-Qardlawi memandang bahwa kepemimpinan atau imarah
menjadi kewajiban kolektif yang harus didukung oleh masyrakat muslim untuk
menggolkan jagonya agar mampu merebut tampuk kekuasaan (diketahui bahwa al-
Qardlawi adalah salah satu tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yang menyepakati demokrasi
sebagai jalan tengah pemerintahan Islam, bila jalur khilafah belum mungkin untuk
ditempuh). Sebab dengan kekuasaan, Islam bisa melanggengkan syari’at Allah dengan
meminimalisir tabrakan kepentingan dengan non-muslim.

E. Penilaian terhadap rawi


Salah satu aspek penilaian kevalidan kualitas hadits adalah proses penilaian kualitas
rawi atau yang biasa dikenal dengan jarh wa ta’dil. Penulis menelusuri jarh wa ta’dil para
perawi hadits di atas dan mendapatkan hasil sebagai berikut:
Versi Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif:
1. Abu an-Nu’man menurut tokoh-tokoh hadits:
a. Adz-Dzahaby : Tsiqqah.
b. Abu Hatim ar-Razi : Tsiqqah, hafalannya bercampur di akhir usianya.
c. An-Nasa’i : Termasuk kelompok periwayat yang tsiqqah hafalannya
sebelum bercampur di akhir usianya.
d. Al-‘Ijly : Tsiqqah.
e. Ad-Daruqutny : Tsiqqah, berubah ketsiqqahannya di akhir usianya.
f. Al-Bukhary : Berubah ketsiqqahan di akhir usianya. Penulis menyimpulkan
bahwa Abu Nu’man adalah perawi yang tsiqqah tsubut, namun ketsiqqahannya
berubah di akhir usianya.
2. Jarir bin Hazim
a. Yahya bin Mu’in : Ia tidak memiliki cacat, namun jalur periwayatannya dari
Qatadah dinilai lemah.
b. An-Nasa’i : Ia perawi yang tidak memiliki cacat.
c. Al-‘Ijly : Tsiqqah.
d. Abu Hatim ar-Razi : Ia perawi yang terpercaya dan shalih.
e. As-Saji : Tsiqqah.
f. Adz-Dzahaby : Ia termasuk perawi yang tsiqqah walaupun disaat tercampur
penghujjahannya bersama putranya. Penulis menyimpulkan, bahwa Jarir bin Hazim
adalah perawi yang tsiqqah.
3. al-Hasan
a. Al-‘Ijly : Tsiqqah
b. Muhammad bin Said : Tsiqqah terpercaya.
c. Ibn Hibban : Ia menyebut al- Hasan dalam daftar perawi yang Tsiqqah
dalam kitabnya ats-Tsiqqah, tapi memberinya catatan sebagai sosok perawi mudallis.
Penulis menyimpulkan, bahwa al-Hasan adalah perawi yang tsiqqah mursal dan
namun mudallis.
4. ’Abdurrahman bin Samurah.
Berbagai refrensi yang penulis gali, semua mengatakan bahwa sosok yang satu ini ada
dalam kategori sosok yang adil dan tsiqqah
F. Perbandingan hadits dengan hadits.

‫النبي صلّى‬ ٍ ‫ ح ّدثنا ابن أبي‬،‫ح ّدثنا أحمد بن يونس‬


ّ ‫المقروي عن أبي هريرة رضي اهلل عنه عن‬ ّ ‫ذئب عن سعيد‬
ِ ‫ فَنِ ْعم الْمرصعةُ و بِْئس‬،‫ “إِنَّ ُكم ستَ ْحرصو َن َعلَى ا ِإلمار ِة و ستَ ُكو ُن نَ َدامةً يوم ال ِْقيام ِة‬:‫اهلل عليه وسلّم قال‬
‫ت‬ َ َ ََ ُْ َ َ َ َ َْ َ ْ َ َ ََ ُْ ُ َ ْ
ِ ‫”الْ َف‬
ُ‫اط َمة‬

Terjemahannya : “Kami diberitahu Ahmad bin Yusuf, dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Sa’id bin al-
Maqruwy dari Abu Hurairah r.a. Nabi bersabda: “Sesungguhnya kalian (kaum muslimin)
akan rakus dalam mendapatkan jabatan kepemimpinan, dan akan menjadikan penyesalan
bagi kalian kelak di hari kiamat (karena beratnya tanggung jawab pemimpin). Maka saat itu
orang yang memiliki mahkota (jabatan) dianggap mulia, dan orang yang kehilangan
mahkota (jabatan) menjadi hina.”

Pernyataan Nabi Muhammad SAW pada kedua hadits, yakni larangan


memperbutkan jabatan kepemimpinan dan peringatannya agar kaum muslimin berhati-
hati agar tidak rakus dalam mengejar tampuk kekuasaan memiliki kontek yang tidak jauh
berbeda. Keduanya berada pada domain posisi seseorang dalam
mempertanggungjawabkan amanah kekuasaan yang ia emban. Tidak bisa diingkari, bahwa
kedatangan Islam di muka bumi adalah sebagai upaya pemakmuran bumi ini dengan
konsep yang ia tawarkan, dan ummat Islam dituntut untuk memiliki kredibilitas
kepimpinan yang mumpuni hingga mampu menjadi penengah segala urusan manusia
dengan hukum Allah.

Anda mungkin juga menyukai