Anda di halaman 1dari 11

Nama : Meriyani

NIM : 11901148

Kelas : PAI 2G

Tema : Makna Karakter, Nilai-nilai Karakter, dan Konsep Pendidikan Karakter

A. Pengertian karakter dan Pendidikan Karakter


Karakter adalah bentuk watak, tabiat, akhlak yang melekat pada pribadi sese-
orang yang terbentuk dari hasil internalisasi yang digunakan sebagai landasan un-
tuk berpikir dan berperilaku sehingga menimbulkan suatu ciri khas pada individu
tersebut (Tim Penyusun, 2008:682). Karakter individu akan berkembang dengan baik,
apabila memperoleh penguatan yang tepat, yaitu berupa pendidikan. Pengertian secara
khusus, karakter adalah nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat
baik, nyata berkehidupan baik, dan berdamak baik terhadap lingkungan) yang terpatri
dalam diri dan terwujud dalam perilaku. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
siswa untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan
dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah yang memban-

tu siswa dalam perkembangan etika, tanggung jawab melalui model, dan pengajaran
karakter yang baik melalui nilai-nilai universal (Berkowitz & Bier, 2005:7). Nilai-ni-
lai karakter ini sudah seharusnya ditanamkan kepada siswa sehingga mereka mam-
pu menerapkan dalam kehidupannya baik di keluarga, sekolah, masyarakat, dan ne-
gara sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama
yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah,
keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan.
B. Paradigma Pendidikan Dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mengemban dua tugas, yaitu mengembangkan
kemampuan intelektual dan mengembangkan kemampuan moral. Pengembangan
kemampuan intelektual berorientasi pada terciptanya siswa yang memiliki kecerdasan
dan ketajaman intelektual, sedangkan pengembangan kemampuan moral berorientasi
pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat (Koesoema,
2007:118). Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (tt:79) yang menyatakan bahwa
perkembangan moral bergantung pada perkembangan kecerdasan (intelektual).
Menurutnya, perubahan kemampuan anak dalam menangkap dan mengerti akan
menggerakkan anak pada tingkat perkembangan moral yang tinggi. Karena itu,
pengembangan kemampuan intelektual dan moral merupakan dua tugas yang selalu
berjalan beriringan dan tidak bisa dipisahkan.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menyusun undang-undang baru tentang
pendidikan bermuatan karakter yakni Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional BAB I Pasal 1 ayat 1 berbunyi: “Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
demikian, dapat disederhanakan muatan pendidikan bahasa Indonesia adalah (a)
pengetahuan, (b) keterampilan, (c) pemikiran dan (d) karakter. David Brooks dan
Mark Kann dalam Arthur (2003) menjelaskan pendidikan karakter memiliki berbaai
elemen. Mereka percaya bahwa harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak,
untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan dengan nama mereka harus
mendengar dan melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang
tepat dan menerapkannya dalam praktik.
Berdasarkan pemahaman diatas, dapat dijelaskan paradigma pendidikan
karakter dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Pendidikan dalam hal mengenai bahasa perlu dikategorikan menjadi dua yaitu
pendidikan bahasa dan pendidikan berbahasa. Pendidikan bahasa akan terkait
dengan pengetahuan tentang sistem (internal-eksternal) bahasa itu sendiri.
Sementara itu, pendidikan berbahasa akan terkait dengan hal bagaimana
penggunaan bahasa itu.
2. Poin (a) di atas harus diajarkan kepada masyarakat bahasa khususnya peserta
didik secara komprehensif dan maksimal. Dengan demikian dua hal yang dirujuk
dalam poin (a) tersebut akan membentuk kompetensi dan performansi bahasa.
3. Kompetensi dan performansi bahasa yang terbentuk melalui pendidikan bahasa
dan berbahasa tersebut akan melahirkan loyalitas (sikap positif) dalam bahasa dan
berbahasa.
4. Dengan demikian, loyalitas (sikap positif) bahasa dan berbahasa itu akan
direpersentasikan dalam ranah menjaga sekaligus mengembangkan eksistensi
bahasa daerah sebagai akar budaya yang membentuk bahasa nasional (bahasa
Indonesia) sebagai budaya nasional.

Oleh karena itu, jika paradigma di atas dapat diaplikasikan (ditransformasikan)


maka pendidikan karakter dalam bahasa berbahasa Indonesia dapat diwujudkan secara
maksimal. Hal ini juga akan membantu pengimplementasian dari undang-undang
bahasa.

dapat dijelaskan juga bahwa paradigma pendidikan karakter dalam sastra


Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra dapat dikategorikan menjadi dua


yaitu pendidikan sastra dan pendidikan bersastra. Pendidikan sastra terkait dengan
aspek filosofisnya (ontologis, epistemologis, dan aksiologis). Sementara itu,
pendidikan bersastra terkait dengan bagaimana mengapresiasi, menikmati,
memaknai, menilai hingga mencipta suatu karya sastra.
2. Pendidikan sastra dan pendidikan bersastra inilah yang akan membentuk
kreativitas dan pemahaman. Kreativitas itu terkait dengan creating (mencipta)
suatu karya sastra sebagai refleksi atas pandangan dunia. Sementara itu,
pemahaman akan berkaitan dengan apa aspek aksiologis dari suatu karya sastra.
3. Ketika kreativitas dan pemahaman itu terbentuk maka sejumlah atau semua tulisan

yang termasuk kategori sastra dapat dipahami dan dikreasikan.


4. Berdasarkan aspek kreativitas dan pemahaman terhadap karya sastra secara tidak
langsung sejumlah atau tulisan yang termasuk dalam kategori sastra dapat
dijadikan sebagai pandangan hidup dalam berkehidupan dan berkebudayaan.
5. Pandangan hidup dalam berkehidupan dan berkebudayaan yang diperoleh dari
karya sastra tentu yang memiliki nilai-nilai estetika. Nilai estetika yang dimaksud
ialah nilai yang terkait dengan nilai agama, sosial (estetika moral) yang mewujud
dalam konsep dan berimplementasi dalam praksis.

Dengan demikian, berdasarkan paradigma diatas dapat disimpulkan bahwa


sesungguhnya dalam esensi yang paling fundamental karya sastra merepresentasikan
berbagai nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai pandangan hidup. Hal ini dipertegas
oleh Wilcox (2013:174) yang menjelaskan bahwa “yang esensial dalam suatu karya
seni adalah bahwa ia jauh melampaui dunia kehidupan personal; seorang sastrawan
berbicara dari semangat dan hati sebagai manusia sampai pada semangat dan hati
kemanusiaan”.

C. Tujuan Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter mempunyai tujuan penanaman nilai dalam diri siswa dan
pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Selain
itu, pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar
kompetensi lulusan (Samani dan Hariyanto, 2011: 42-43).
Tujuan pendidikan karakter yang diharapkan Kementerian Pendidikan
Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) adalah seperti berikut.
Pertama, mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif siswa sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Kedua,
mengembangkan kebiasaan dan perilaku siswa yang terpuji dan sejalan dengan nilai-
nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerusbangsa. Keempat,
mengembangkan kemampuan siswa menjadi ma- nusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan,
serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity) (Kemdiknas,
2010: 9).
Adapun tujuan dari pendidikan karakter yang sesungguhnya jika dihubungkan
dengan falsafah Negara Republik Indonesia adalah mengembangkan karakter peserta
didik agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur pancasila. Fungsi pendidikan karakter
adalah sebagai berikut.
1. Pengembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik.
2. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik.
3. Penyaringan budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.

D. Landasan/Dasar Pendidikan Karakter


pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran,
perasaan, dan perilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif un- tuk membangun
karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang mempunyai kepedulian.
5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik.
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang
menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu untuk
sukses.
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa.
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral
yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar
yang sama.
9. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha
membangun karakter.
10. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter
dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.

E. 18 Nilai-nilai Karakter
Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu karakter akan melekat
dengan nilai dari perilaku seseorang. Karena itu, dalam perspektif pendidikan
karakter, tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai (Kesuma, dkk., 2011:2).
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan ada 18 karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Adapun 18 nilai tersebut yaitu:
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,

toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk

agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan. Jadi dengan peirlaku tertib ini dapat membangun karakter siswa
dalam kehidupan nyata.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan di dengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa

dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air


Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa

dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.


12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki. Hal ini
sangat penting mengingat bahwa siswa seringkali berinteraksi dengan masyarakat
sekitar.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Delapan belas nilai-nilai karakter diatas dapat menjadi fokus bagi guru
untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran yang ada di
sekolah. Setiap nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan kepada siswa, ada
indikasi-indikasi yang harus diperhatikan, seperti contoh sikap peduli social,
indiaksinya siswa dengan kesadaran sendiri membantuk temannya ketika
mengalami permasalahan.
Dilihat dari segi komponennya, pendidikan karakter lebih menekankan
pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character)
yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan
tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral (Lickona, 1991:21).

F. Tahap Perkembangan Pendidikan Karakter


Secara Etimologis, tahap-tahap adalah kata ulang dari tahap yang berarti
tahapan dari perkembangan (pertumbuhan), bagian dari sesuatu yang ada awal
berakhirannya dari rurutan (menegak atau menyamping) tingkat.1
Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema A. adalah “dinamika
pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk
mengadakan internalisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam
individu.2 Disisi yang lain ia menambahkan bahwa pendidikan karakter melibatkan di
dalamnya berbagai macam komposisi nilai, seperti nilai agama, nilai moral, nilai-nilai
umum, dan nilai-nilai kewarganegaraan.3 Termasuk di dalamnya adalah tahap-tahap
pendidikan karakter.
Setiap tahap memiliki nilai tertentu. Nilai, menurut Steeman dalam Sjarwi,
adalah sesuatu yang dijunjung tinggi yang mewarnai dan menjiwai tindakan
seseorang.4 Untuk kriteria nilai dalam pendidikan karakterdi sekolah, menurut Doni
Koesoema A, meliputi 8 macam yaitu : nilai keutamaan, nilai keindahan, nilai kerja,
nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai moral, dan nilai-
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 990
2
Ibid, hlm. 104
3
Ibid, hlm. 205
4
Sjarwi, Pembentukan Kepribadian Anak, Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud
Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 29
nilai kemanusiaan.5 Sementara itu, karakter menurut Suyanto memiliki sembilan pilar
(yang berasal dari nilai-nilai luhur universal), yaitu: karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaannya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran atau amanah; diplomatis;
hormat dan santun; dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong atau kerja
sama; percaya diri dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah
hati; dan karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan6

G. Restorasi Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Agama Dan Budaya


Sekolah sebagai organisasi pendidikan memiliki budaya dan karakteristik yang
dianut dan diyakini sebagai pegangan bertindak dan berperilaku. Dalam budaya
sekolah terdapat tiga komponen utama, yaitu nilai, sikap dan evaluasi. Budaya
sekolah dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan harian warga sekolah, selanjutnya
kebiasaan harian tersebut membentuk budaya sekolah yang dianut sebagai suatu nilai
yang menjadi tradisi sekolah. Kebiasaan yang dijalankan oleh warga sekolah secara
berulang-ulang tersebut menjadi ritual kemudian menjadi budaya sekolah yang
akan dipertahankan anggotanya secara terus menerus. Budaya sekolah itu bersifat
dinamis, karena pada dasarnya budaya sekolah menggambarkan cara berpikir
warga sekolah dalam melakukan perubahan. Budaya sekolah merupakan
pengejawantahan visi dan misi oleh semua warga sekolah dalam mengembangkan
kebiasaan positif sehingga membentuk karakter sekolah tersebut. Pembentukan
karakter yang diharapkan tercermin dari budaya sekolah yang diciptakan, termasuk
budaya sekolah religius sebagai implementasi visi dan misi sekolah yang
berasaskan nilai-nilai ajaran agama.
Budaya sekolah religius pada hakikatnya adalah terwujudnya nilai-nilai
ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti
oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam budaya
sekolah, maka secara sadar atau tidak ketika seluruh warga sekolah mengikuti budaya
yang telah tertanam tersebut, sebenarnya mereka sudah melakukan ajaran agama
dalam kesehariannya. Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai-nilai keberagamaan

(religius) dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: merumuskan visi dan
misi yang religius, penciptaan suasana religius serta tradisi dan perilaku religius

5
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter, hlm. 208-212.
6
Uyanto, Urgensi Pendidikan (02 Mei 2011)
secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religious cuture tersebut dalam
lingkungan sekolah (Sahlan, 2012: 51). Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius
dalam rangka mewujudkan budaya sekolah religius dihadapkan pada berbagai
tantangan, baik secara internal maupun eksternal.
Dengan menjadikan agama sebagai tradisi di sekolah, maka pada dasarnya
seluruh warga sekolah telah mengamalkan ajaran agama. Membudayakan nilai-nilai
religius di sekolah dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, di antaranya: melalui
kebijakan pimpinan sekolah; pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di
kelas; kegiatan ekstra kurikuler di luar kelas, serta tradisi dan perilaku seluruh pihak
di sekolah secara kontinyu dan konsisten melalui budaya sekolah yang ada,
menjadi budaya sekolah religius.
REFERENSI

Binti Maunah, Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembentukan Kepribadian


Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, Nomor 1, April 2015

Nanda Ayu Setiawati, Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Pembentukan Karakter


Bangsa, ISSN : 2598-3237 (Media Cetak) ISSN : 2598-2796 (Media Online)

Adi Syahputra Manurung, Agusman, Junifer Siregar, Paradigma Pendidikan


Karakter Melalui Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Era Global, PS
PBSI FKIP Universitas Jember.

Sumedi, Tahap-Tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng


Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012/1434.

Anda mungkin juga menyukai