Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Pedoman Tatalaksana DBD

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan


Stase Ilmu Anak

RSUD dr. Soedono Madiun

Oleh :

Dodi Faras Ilmiawan Sutomo


(16711138)

Pembimbing :

dr. Finari awan SA, M. Kes, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAK


RSUD DR. SOEDONO
MADIUN
2021
PENDAHULUAN

Demam berdarah (DBD) adalah infeksi infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditandai dengan demam 2- 7 hari dengan manifestasi perdarhan, penurunan trombosit
(trombositopenia), adanya hemokonsetrasi yang ditandai dengan adanya kebocoran plasma
(peningkatan hematokrit). Dapat juga disertai gejala tida khas seperti nyeri kepala, nyeri otot, ruam
kulit, nyeri bola mata.

Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukan manifestasi DBD berat. ada
yang bermanifestasi ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang tidak
begejala (asimtomatik). Sebagian lagi akanmenderita demam dengue saja tanpa menimbulkan
kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian.

Penuakit DBD ini meningkat insidennya di berbagai belahan dunia terutama daerah tropis
dan sub tropis. Banyak ditemukan pada wilayah urban atau semi-urban. Penyakit ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes yang mengandung virus dengue.

Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya, dan cenderung semakin meningkat
angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas. Pada tahun 2016, DBD
terjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka kesakitan sebesar 78,13 per 100.000 pendidik.
Namun angka kematian dapat ditekan dibawah 1% yaitu 0,79%. KLB DBD terjadi hampir setiap
tahunnya di tempat yang berbeda-beda.

Pada tahun 2020 kasus DBD tersebar di 472 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Kasus DBD sampai akhir tahun 2020 tercatat terdapat 95.893, sementara jumlah kematian akibat
DBD sebanyak 661. Proporsi kasus DBD per golongan umur antara lain < 1 tahun sebanyak 3,13%,
1-4 tahun 14,88%, 5-14 tahun 33,97%, 15-44 tahun 37,45%, dan > 44 tahun 11,57%. Adapun
proporsi kematian yang terjadi antara lain < 1 tahun 10,32%, 1-4 tahun 28,57%, 5-14 tahun 34,13%,
15-44 tahun 15,87%, dan > 44 tahun 11,11%.

DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan juga meluas sebarannya. Hal ini
karena vektor penularan DBD tersebar luas baik ditempat pemukiman maupun ditempat umum.
Sleain itu kepadatn penduduk, mobilitas penduduk, san urbanisas yang semakin mengingkat sejak
beberapa dekade terakhir.
PEDOMAN DIAGNIOSIS DAN TATALAKSANA DBD

A. Diagnosis
Kriteria untuk mendiagonosis infeksi yang diakibatkan karena dengue ada dua, yaitu
kriteria diagnosis klinis dan diagnosis laboratoris.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis merupakan cara awal untuk mendiagnosis infeksi dengue.
Diagnosis klinis ditegakan melalui anamnesis dan juga pemeriksaan fisik yang
dilakukan kepada pasien. Mengenali dengan dini gejala dengue merupakan cara untuk
mencegah terjadinya gejala yang lebih berat. pada dasarnya gejala dari infeksi dengue
dibagi berdasarkan klasifikasi. Pada saat gejala awal kita sulit untuk membedakan
antara DD (demam dengue) dan DBD (demam berdarah dengue) oleh karena itu perlu
monitoring setiap harinya untuk mengetahui apakah pasien menderita DD atau DBD.
Gejala klinis berdasarkan WHO 1997 adalah sebagai berikut:

1. Demam dengue (DD)


Pada demam dengue demam akan tinggi mendadak (biasanya > 39) dan bersifat
bifasik. Demam bifasik biasa disebut dengan demam yang terus menerus selama 5
– 7 hari lalu demam akan kembali normal. Pola demam ini biasa disebut dengan
camelback fever pattern.Pada fase ini juga susah untuk membedakan antara DD
dan DBD, karena pada fase demam keduanya memiliki manifestasi yang hampir
sama. diagnosis klinis demam dengue adalah, demam yang disertai dengan dua atau
lebih gejala penyerta berikut:
 Sakit kepala
 Nyeri retro-orbital
 Myalgia
 Atralgia
 Gejala gastrointestinal (konstipasi, anoreksia, nyeri tekan abdominal)
 Rash, sering muncul pada leher, dan dada pada 2-3 hari pertama dengan
bentuk makulopapupar dan rubeliform
 Manifestasi perdarahan (test torniket positif, pteki, purpura/ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, BAB berdarah/hitam, hematuria, hypermenorea
 Leukopenia (leukosit < 5000 /mm3)
 Trombositopenia (trombosit < 150.000 / mm3)
2. Demam berdarah dengue (DBD)
Berdasarkan keparahannya DBD memiliki 4 grade, yaitu DBD grade I-IV.
Pada demam berdarah dengue khas dengan terjadinya plasma leakage yang ditandai
dengan hemokonsentrasi >20% diatas normal.Hal ini yang membedakan antara DD
dan DBD. Berdasarkan guideline, DBD didiagnosis apabila terdapat hal berikut:
 Demam akut 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi dan terus menerus.
Pada akhir fase demam yaitu setelah hari ke-3 waspadai gejala masuk ke
fase kritis dan dapat terjadi syok.
 Hepatomegali, dapat diraba sampai 2-4 cm dibawah lengkungan iga kanan
dan dibawah prosesus xyphoideus.
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/µL)
 Terdapat adanya tanda-tanda plasma leakage, yaitu :
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
 Terdapatnya tanda-tanda perdarahan, yaitu satu dari hal berikut:
o Tornikuet positif yaitu dengan cara membendung lengan bawah
bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti)
selama 5 menit dengan tensi. Tes akan positif apabila terdapat > 10
ptekie dalam 2,5 cm persegi.
o Ptekie, ekimosis, purpura dapat terjadi pada awal pertama kali
demam atau hari ke tiga demam
o Perdarahan mukosa (epistaksis atau perdarahan gusi),
gastrointestinal, atau perdarhan di tempat lain
o Hematemesis dan melena
3. Dengue Shock Syndrome (DSS)
DSS merupakan bagian dari DBD (DBD grade III-IV) yang telah mengalami
kegagalan sirkulasi (syok). Gejala dapat ditegakan apabila memenuhi kriteria DBD
dan ditemukan ada tanda shock yang ditandai dengan adanya hal berikut:
 Nadi yang cepat dan juga lemah
 Ditemukan adanya tanda gejala syok hipovolemik baik terkompensasi
maupun dekompensasi (boks B dan Boks C dibawah)
 Terdapat penyempitan nadi (<20 mmhg) yang bermanifestasi menjadi:
o Hipotensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 80
mmgh untuk anak umur < 5 tahun, dan < 90 mmhg untuk anak > 5
tahun.
o Terdapat akral dingin, kulit pucat.
Klasifikasi gejala klinis berdasarkan WHO 2009 memiliki istilah yang berbeda
dengan WHO 1997. Gejala klinis berdasarkan WHO 2009 dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Dengue without warning sign


Dengue without warning sign ini ditegakan apabila pasien pernah riwayat travel ke
daerah endemis yang disertai dengan dua hal berikut:
 Mual muntah
 Rash
 Sakit kepala, sakit bagian mata, myalgia, atralgia
 Leukopenia
 Positive torniquet test
2. Dengue with warning sign
Dengue with warning sign ini ditegakan apabila terdapat gejala berat (warning
sign) yaitu sebagai berikut:
 Sakit perut dan nyeri tekan dibagian perut
 Muntah yang terus menerus
 Akumulasi cairan (pleura, ascites)
 Oliguria
 Perdarahan (epistaksis, tinja berwarna hitam, hematemesis, urin berwarna
gelap, urin berdarah)
 Lethargi
 Hepatomegali > 2-4 cm
 Peningkatan hematokrit yang disertai penurunan trombosit
3. Severe dengue
Severe dengue dapat ditegakan apabila terdapat minimal satu dari tanda berikut:
 kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan shock, dan terdapat
adanya akumulasi cairan di pleura yang menyebabkan distres nafas
 perdarahan berat yang adpat mengganggu kestabilan hemodinamik.
 teradapat adanya tanda kegagalan organ yaitu:
o peningkatan aspartate aminotransferase (AST) atau alanine
transferase (ALT) > 1000 units/L
o gangguan kesadaran
o gagal organ (miokarditis, ensefalitis)
Setelah keluar klasifikasi 2009, maka beberapa negara di Asia Tenggara
mengadakan evaluasi kemungkinan penggunannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009
belum dapat menggantikan klasifikasi WHO 1997 secara sepenuhnya terutama untuk
kasus anak. Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu
spektrum klinis infeksi dengue. Kriteria klasifikasi WHO 2009 terlalu luas, sehingga
dapat menyebabkan overdiagnosis. kriteria WHO 2011 terbaru adalah undifferentiated
fever, DD, DBD, dan expanded dengue syndrome (isolated organophaty dan unusual

manifestation).

1. Expanded Dengue syndrome


Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi
apalagi pada kasus anak. Unusual manifestation pada umunya berhubungan dengan
keterlibatan beberapa organ seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis
pada pasien dengue. Kasus unusual manifestation ini dapat juga terjadi pada kasus
infeksi dengue tanpa disertai dengan kebocoran plasma.
Pada umumnya unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi,
komorbiditas atau komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged syok) yang
disertai dengan kegagalan organ. Pada ensefalopati seringkali dijumpai gejala
kejang, penurunan kesadaran, dan transient paresis. Ensefalopati ini disebabkan
karena terdapat perdarahan atau oklusi pembuluh darah otak. Selain itu terdapat
laporan bahwa infeksi virus dengue dapat menembus sawar darah otak sehingga
menyebabkan ensefalitis.
Infeksi yang berat dapat disebabkan karena komorbid, seperti usia
anak/bayi, obesitas, lansia, ibu hamil, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan,
penyakit kronis (DM, hipertensi, asma, gagal ginjal, sirosis)

B. Fase Klinis
setelah manifestasi klinis, kita harus mengetahui fase-fase klinis pada pasien yang
terinfeksi dengue, karena fase ini sangat berhubungan dengan tatalaksana yang diberikan
serta pencegahan agar tidakterjadi gejala yang lebih berat. Fase klinis dengue ada 3 yaitu
fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Selain itu fase klinis ini yang dapat
membedakan apakah pasien mengalami DD atau DBD.

1. Fase demam
Karakteristik pasien pada fase demam adalah adanya demam tinggi (>= 38.5)
yang bisa disertai dengan adanya gejala sakit kepala, muntah, myalgia, atralgia dan
rash. Pada fase demam gejala pada anak-anak cenderung asimtomatik dari pada orang
dewasa. Fase demam ini biasanya terjadi selama 2-7 hari.
Gejala sakit kepala, nyeri retroorbital, dan nyeri sendi merupakan gejala yang
paling sering terjadi yaitu sekitar 60-70%. Gejala rash dapat muncul sekitar 2-5 hari
setelah terjadinya demam. Tipe rash ini sendiri adalah makular atau makulopapular.
Predileksi rash biasa terdapat pada wajah, dada, perut, dan ektremitas. Selain itu dapat
juga disertai gejala gastrointestinal dan gejala pernafasan. Gejala gastrointetinal berupa
anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare. Gejala pernafasannya berupa batuk, sakit
tenggorokan, dan hidung tersumbat.
Gejala perdarahan dapat ditemukan juga pada fase ini, namun pada anak jarang
terjadi. Perdarahan yang dapat terjadi adalah pteki/ekimosis, melena, hematemesis,
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik juga bisa didapatkan injeksi konjungtiva, eritema
faring, limfadenopati, dan hepatomegali.
Pada fase ini juga dapat terjadi leukopenia dan trombositopenia. Selain itu
dapat juga ditemukan peningkatan serum aspartate 2-5 kali dari batas normal.
Peningkatan enzim hati ini biasa ditemukan pada fase demam yang disebabkan karena
terjadinya disfungsi kerja hati (peningkatan APTT).
Setelah hari ke tiga demam pasien harus dipantau hingga hari ke tujuh, karena
bisa terjadi kebocoran plasma pada pasien. kebocoran plasma terjadi ketika memasuki
fase kritis. Hal yang membedakan pasien DD dan DBD adalah pada fase kritis, dimana
kebanyakan pada penderita DD setelah fase demam akan memasuki fase penyembuhan,
sedangkan pada pasien DBD setelah fase demam akan memasuki fase kritis. Kebocoran
plasma yang terjadi dapat menyebabkan penurunan cairan intravaskular dan
menurunkan perfusi ke organ-organ.
2. Fase kritis
fase kritis merupakan fase dimana terjadinya kebocoran plasma, dan dapat
menyebabkan syok apabila tidak diatasi dengan cepat. Fase kritis ini dapat berlangsung
selama 24-48 jam. saat awal terjadinya kebocoran plasma, tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan cara kompensasi fisiologi yang menyebabkan takikardi dan
penyempitan tekanan darah (sistolik – diastolik <= 20 mmhg). Namun lama-kelamaan
apabila tidak tangani dengan cepat tubuh sudah tidak dapat mengkompensasi lagi,
sehingga dapat terjadi tanda-tanda syok yaitu hipotensi, nadi lemah dan cepat.
Manifestasi perdarahan juga dapat terjadi pada fase ini.
Gejala dari kebocoran plasma yang dapat sering terjadi adalah efusi pleura dan
ascites, selain itu penebalan dinding kandung kemih juga dapat ditemukan. Pada fase
ini dapat ditemukan trombositopenia yang berat yaitu platelet ≤20,000 cells/mm3,
peningkatan APTT, dan juga penurunan kadar fibrinogen.
3. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan merupakan fase terakhir. Kebocoran plasma dan gejala
perdarahan akan membaik pada fase ini, plasma akan kembali ke pembuluh darah. Vital
sign juga sudah mulai membaik. Trombosit dan leukosit mulai meningkat, serta
hematokrit yang semula meningkat mulai menurun. Pada fase ini akan terdapat
manifestasi rash yang disebut rash confluent (white island in the sea of red). Fase ini
akan berlangsung selama 2 – 4 hari. Pemberian cairan intravena harus diberikan dengan
hati-hati pada fase ini, karena dapat terjadi kelebihan cairan. Nafsu makan anak akan
kembali seperti semula serta anak sudah tidak rewel dn mulai aktif kembali.

C. Diagnosis laboratoris
jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi dengue yaitu pemeriksaan
hematologi, radiologi, dan juga pemeriksaan untuk menentukan etiologi dari infeksi
(serotipe virus). Untuk menentukan etiologi infeksi dapat menggunakan isolasi virus,
asam nukleat, antigen virus, IgM dan IgG dengue. Pemeriksaan yang paling bagus
untuk menentukan serotipe virus adalah asam nukleat dan isolasi virus namun
pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang cukup mahal. Pada fase akhir dapat
menggunakan test imunologi untuk mendiagnosis. Pemeriksaannya adalah sebagai
berikut :
1. hematologi
 Leukosit
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya dapat menurun (<5000/ul)
dan didominasi dengan neutrofil. peningkatan limfosit juga dapat terjadi
(limfosit atipikal atau limfosit plasma) dan dapat dijumpai pada hari sakit
ketiga sampai hari ke tujuh.
 Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
semi kuantitatif (apusan darah), langsung (Rees-Ecker), atau dengan
kemajuan teknologi yaitu jumlah trombosit ≤100.000/μl biasa ditemukan
antara hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan trombosit ini dapat dilakukan setiap
4-6 jam sampai terbukti bahwa trombosit dalam batas normal atau keadan
klinis pasien sudah membaik.
 Hematokrit
Peningkatan kadar hematokrit merupakan tanda adanya kebocoran
plasma pada penderita DBD. Pada awalnya penurunan trombosit
mendahului terjadinya peningkatan hematokrit. Hemokonsetrasi dengan
peningkatan hematokrit > 20% (misalnya awalnya 35% menjadi 42%) .
pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki alat pemeriksaan Hmt, dapat
menggunakan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. Penilaian hematokrit ini
dapat dipengaruhi oleh dua hal yaitu penggantian cairan, atau perdarahan
 Faktor pembekuan
Pada faktor pembekuan dapat ditemukan adanya penurunan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. Peningkatan PTT
juga dapat ditemukan karena terdapat adanya disfungsi pada hati yang
menyebabkan adanya gangguan pada vitamin K. gangguan vitamin K ini
dapat pengaruhi faktor pembekuan darah, seperti faktor V, VII, IX, dan X.
 Temuan lain
Pada pemeriksaan darah juga dapat ditemukan hyponatremia/albuminemia
(karena terjadi kebocoran plasma). Metabolik asidosis dapat ditemukan
pada kasus syok berat. Selain itu dapat juga ditemukan peningkatan serum
aspartat (≤ 200 U/L)
2. Radiologi
Pada radiologi dapat menggunakan foto toraks (right lateral decubitus)
untuk mendeteksi adanya efusi pleura pada paru kanan. Pada syok yang berat dapat
terjadi efusi pada kedua paru, Sedangkan ascites dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
3. asam nukleat
RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction assay). RT-PCR
merupakan salah satu cara metode deteksi asam nukleat virus.Pemeriksaan ini
dapat dilakukan pada lima hari pertama sakit. RT-PCR ini dapat mengetahui serotip
virus yang menginfeksi.
4. Antigen virus
NS 1 (nonstructural protein 1). NS1 merupakan metode diagnosis dengan deteksi
antigen dari virus dengue. NS1 adalah salah satu produk glikoprotein yang
diproduksi oleh semua jenis flavivirus. NS1 ini digunakan untuk replikasi dan
kelangsungan hidup virus. Pemeriksaan ini dapat positif pada hari tujuh hari
pertama sakit. Pemerisksaan ini tidak dapat membedakan serotype dari virus yang
menginfeksi.
5. Isolasi virus
Dapat dilakukan saat tujuh hari pertama sakit. Pengambilan spesimen untuk isolasi
virus yaitu 6 hari pertama sejak sakit.
6. IgM dan IgG dengue
Pada infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah pada hari ke-3 sampai hari ke-
5 dan akan bertahan selama 60-90 hari (3 bulan), setelah itu akan diikuti
peningkatan IgG dan akan ada terus di darah. Apabila ditemukan IgG dan IgM
negatif namun gejala masih merujuk pada infeksi dengue, maka ambil lagi sampel
kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer, dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder.
7. Hemaglutinin inhibition test
Tes ini dahulu sering digunakan untuk diagnostik serologi iuntuk infeksi dengue,
namun kekurangan dari tes ini adalah memiliki spesifisitas yang rendah, oleh
karena itu sampai sekarang sudah jarang dipakai.
D. Manajemen dan tatalaksana
1. Triase pasien dengue
Triase ini dilakukan untuk memilah pasien mana yang layak untuk rawat jalan dan
rawat inap. Triase yang dilakukan adalah :

 Saat pasien pertama datang dengan gejala berat atau fase kritis, maka
pasien harus ditangani oleh tenaga medis yang kompeten (pada poin 3).
 Pada pasien dengan gejala ringan, dapat dilakukan :
(1) Menanyakan durasi, selama berapa hari pasien mengalami demam,
dan apakah ada tanda-tanda kegawatan. Hal ini dapat dilakukan
oleh perawat.
(2) Lakukan tornikuet test untuk melihat tanda-tanda ptekie
(3) Pemerisksaan fisik pada pasien meliputi vital sign berupa suhu,
tekanan darah, nadi, nafas, dan perfusi perifer. Perfusi perifer
dilakukan dengan menilai nadi, suhu, warna kulit ekstremitas, dan
waktu pengisian kapiler. Hal ini dilakukan kepada setiap pasien.
keadaan yang harus diperhatikan adalah apabila terdapat pasien
tidak demam namun takikardi, dan penurunan perfusi perifer.
Pasien ini harus diberikan tatalaksana segera. Selain itu lakukan
pemeriksaan darah lengkap serta gula darah anak.
(4) Rekomendasi untuk pemeriksaan darah lengkap adalah :
 Pasien demam pada kunjungan pertama untuk melihat
kadar HMT, WBC, PLT
 Pasien dengan gejala warning sign
 Pasien yang demam lebih dari 3 hari
 Pasien yang alami syok (harus disertai dengan pengecekan
glukosa)
(5) Konsultasi medis, direkomendasikan pada pasien dengan syok dan
gejala kegawat daruratan (pasien yang sakit > 4 hari)
(6) Indikasi untuk melakukan observasi dan tatalaksana :
 Pasien syok
 Pasien hipoglikemia tanpa leukopenia dan atau
trombositopenia harus segera diberikan infus glukosa iv.
Pasien ini harus diobservasi selama 8-24 jam. pastikan
keadaan klinis membaik sebelum pasien dipulangkan.
 Pasien dengan gejala warning sign
 Pasien dengan leukopenia dan trombositopenia
(7) Pasien dan keluarga diberikan edukasi ketat sebelum dipulangkan.
Terutama terkait edukasi tentang gejala waning sing. edukasi dapar
dilihat pada gambar dibawah.
(8) Pasien harus melakukan follow up visit setiap hari.
2. Manajemen di rumah sakit
 Monitor
pasien yang dindikasikan untuk rawat inap adalah pasien dengan gejala
kegawat daruratan. Gejala kegawat daruratan adalah tanda-tanda memasuki
fase kritis. Hal yang harus kita lakukan adalah memonitor keadaan pasie. Hal
yang harus di monitor adalah:
(1) Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan gejala lain
(2) Perfusi perifer juga bisa dilakukan untuk pasien indikasi syok
karena sangat mudah untuk di lakukan.
(3) Pemeriksaan vital sign seperti suhu, nafu, laju nafas, dan tekanan
darah di cek setiap 2-4 jam untuk pasien non syok, dan untuk
pasien syok setiap 1-2 jam.
(4) Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam sekali pada kasus
yang stabil, dan lebih sering lagi untuk pasien yang tidak stabil
(suspek perdarahan). pemeriksaan lab hematokrit harus dilakukan
sebelum melakukan resusitasi.
(5) Monitor urin output setiap 8-12 jam pada pasien yang tak memiliki
komplikasim dan setiap jam pada pasien dengan syok berat atau
pada pasien dengan kelebihan cairan. Target urin output adalah 0,5
ml/kg/h (tergantung pada berat badan).

 Pemeriksaan tambahan
Selain itu terdapat pemeriksaan tambahan pada pasien yang menderita
obesitas, diabetes melitus, dan pasien yang mengalami syok berat.
pemeriksaan ini biasa dilakukan pada penderita yang mengalami
hipoglikemia, hipokalsemia dan metabolik asidosis yang tidak berespon
terhadap resusitasi cairan. Pada pasien yang PTT memanjang, dapat diberikan
vitamin K1 iv. Metabolik asidosis dapat dikoreksi dengan pemberian
NaHCO3 bila pH < 7.35 dan serum bikarbonat < mEq/L

 Terapi cairan pada pasien DHF


indikasi pasien diberikan cairan iv adalah sebagai berikut :
(1) Ketika pasien tidak dapat makan/minum dan muntah
(2) Ketika hematokrit meningkat 10-20% saat rehidrasi oral
(3) Pada saat pasien syok
Jenis cairan yang digunakan :
(1) Kristaloid : Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA),Larutan
garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer, laktat (D5/RL),
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam
1/2 larutan garam faali (D5/ 1/2LGF) (Catatan: Untuk resusitasi syok
dipergunakan larutan RL atau RA, tidak boleh larutan yang mengandung
dekstosa).
(2) Koloid : Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%,
gelafundin

Pemberian terapi cairan pada DHF, tergantung pada derajat berapa. Berikut ini
merupakan pemberian terapi cairan pada DHF :

(1) DHF derajat I, II


Pada umumnya pemberian DHF pada derajat I dan II memiliki
kesamaan. Menurut WHO 2011 pemberian cairan pada derajat ini memiliki
rumus : kebutuhan cairan per hari + 5% defisit, yang diberikan selama 48
jam. Kecepatan pemberian cairan pada pasien non syok adalah sebagai
berikut :

(2) DHF derajat III


DHF derajat III disebut juga dengan DSS, karena pada derajat ini
pasien sudah mengalami syok yang ditandai dengan peningkatan resistensi
vaskular, tekanan darah yang sempit, dan hipotensi. Ketika terjadi
hipotensi, kita harus berfikir bahwa dapat terjadi perdarahan tertutup
terutama pada gastrointestinal.
Pemberian resusitasi cairan pada derajat ini berbeda dengan derajat
I dan II. Pada kebanyakan kasus, DSS akan berespon pada pemberian awal
10 ml/kg pada anak-anak. Pemberian cairan pada derajat III adalah sebagai
berikut :
Pada pasien syok dan non syok harus selalu diperiksa ABCS ketika tidak
terdapat perbaikan gejala setelah pemberian cairan.

(3) DHF derajat IV


Pada pasien DHF derajat IV pemberian cairan dilakukan dengan
cepat, untuk memperbaiki tekanan darah, serta pemeriksaan ABCS secara
dini juga harus dilakukan. Pemberian cairan DHF derajat IV dapat dimulai
dengan dosis cairan 10 ml/kg selama 10-15 menit. Apabila tekanan darah
kembali normal, pemberian cairan iv menggunakan petunjuk terapi cairan
DHF derajat III. Saat pemberian 10 ml/kg pertama pasien belum membaik,
maka dapat diulang untuk pemberian bolus ke dua disertai dengan
pemeriksaan lab. Bila pemberian cairan kedua masih belum menunjukan
perbaikan (belum terdapat peningkatan hematokrit), maka dapat dilakukan
transfusi darah. Selanjutnya dapat dilakukan pemasangan kateter urin untuk
evaluasi urin output dan kateter vena.
Hal yang harus diperhatikan adalah pada syok yang berat,
pemberian cairan adalah yang paling utama, karena sangat mempengaruhi
prognosis. Pemberian obat inotropik dapat digunakan untuk mendukung
tekanan darah, apabila volume sudah dianggap memadai saat pada
kardiomegali dan kontraktilitas jantung yang buruk.
Pada pasien dengan DHF derajat IV, apabila pemberian cairan
secara iv tidak/belum tersedia, bias dipertimbangkan pemberian cairan
elektrolit oral apabila pasien sadar, atau dapat juga diberikan secara
intraoseus. Pemberian secara io harus dilakukan 2-5 menit setelah
pemberian secara oral dan iv tidak bisa dilakukan.
 Manajemen perdarahan
o apabila ditemukan penyebab perdarahan, harus segera lakukan
intervensi untuk menghentikan perdarahan. contohnya pada pasien
epistaksis, dapat diberikan tampon pada hidung. Pemberian transfusi
darah harus segera diberikan sampai hematokrit turun. Transfusi dapat
dilakukan menggunakan 10 ml/kg whole blood atau 5 ml/kg PRC.
Pasien dapat diberikan 1 kolf lebih, sesuai keadaan.
o pada perdarahan gastrointestinal, dapat diberikan H-2 antagonis dan
PPI, namun belum terdapat studi yang menyatakan efikasi dari
pemberian obat tersebut sebagai penanganan perdarhan
gastrointestinal.
o Dapat diberikan rekombinan faktor 7 pada pasien tanpa gagal organ,
namun obat ini sangat mahal dan pada umumnya tidak tersedia pada
beberapa daerah.
o Tidak direkomendasiken transfusi plasma dan platelet, karena dapat
sebabkan kelebihan cairan.
 Manajemen Kelebihan cairan
Tanda-tanda bahwa seseorang mengalami hipervolemi atau kelebihan
cairan adalah terdapat pembengkakan pada kelopak mata, ascites, takipnea, dan
dispnea ringan. Selain itu dapat terjadi wheezing (bukan karena asma) yang
merupakan tanda-tanda terjadi edema paru. Gelisah dan agitasi merupakan
tanda-tanda terjadi hipoksia.Manajemen tahap awal apabila terjadi kelebihan
cairan adalah Ganti pemberian kristaloid menjadi cairan koloid. Cairan koloid
yang idsarankan adalah dekstran 40 dengan dosis 10 ml/kg bolus, dan
maksimal 30 ml/kg/hari kare memiliki efek pada ginjal. Dekstran dapat
berpengaruh pada osmolaritas urin. Voluven memiliki efektifitas lebih karena
memiliki osmolaritas yang lebih rendah daripada desktran 40. Pemberian
perhari yaitu 50 ml/kg/ hari.
Apabila dengan pemberiam cairan masih belum mengatasi kelebihan
cairan, dapat diberikan obat diuretik (ex: furosemide) apabila tekanan darah
pasien stabil. Apabila pasien mengalami syok berikan bersamaan dengan
pemberian cairan dekstran 10 ml/kg/jam. Bila tekanan darah stabil, maka
berikan furosemide iv 1 mg/kg/dose yang dilanjutkan dengan pemberian infus
dekstran. Turunkan cairan 1 ml/kg/h sampai hematokrit turun menjadi normal.
Hal yang harus dilakukan pada pasien kelebihan cairan adalah :
o Pasien harus menggunakan kateter urin untuk memonitor urin output
o Furosemid harus diberikan saat pemberian dextran, karena sifat
hipertonik dekstran akan maintain cairan intravaskular, selagi
furosemide bekerja.
o Pantau vital sign tiap 15 menit selama 1 jam
o Bila tidak terdapat urin output pada saat pemberian furosemide maka
cek volume intravaskular. Bila ternyata normal, maka gagal ginjal
dapat di eksklusi. Pasien harus diberikan suport ventilasi segera. Bila
volume intravaskular tidak adekuat, dan tekanan darah menurun segera
cek ABCS dan serum elektrolit.
o Bila tidak berefek dengan pemberian furosemide, maka dosis dapat
dilipat gandakan. Bila ternyata terdapat gagal ginjal maka harus segera
beri tatalaksana sesuai, dan kasusu ini memiliki prognosis yang buruk.
 Penanganan fase penyembuhan
o fase penyembuhan ditandai dengan terdapat perbaikan klinis pasien,
yaitu :
 nadi, tekanan darah, dan laju nafas stabil
 suhu tubuh normal
 tidak ada bukti perdarahan luar atau dalam
 nafsu makan kembali normal
 tidak terdapat muntah dan nyeri perut
 urin output bagus
 hematokrit pada kadar normal
 terdapat ras atau rasa gatal, terutama pada ekstremitas
o Keadaan hemodinamik stabil, seperti perfusi perifer dan vital sign baik.
o Penurunan hematokrit pada keadaan normal, dan disertai diuresis yang
adekuat
o Cairan iv harus dihentikan
o Pasien dengan efusi dan ascites berat, dapat terjadi hipervolemi dan
dapat diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma.
o Hipokalemia bisa terjadi karena stres dan diuresis, hal ini dapat di
koreksi dengan cairan yang mengandung kalium tinggi atau suplemen
o Bradikardi biasa terjadi, dan ini harus dilakukan monitoring terlebih
dahulu karena bisa akibat komplikasi AV blok atau ventricular
premature contraction (VPC)
o Dapat ditemukan rash konvalesens sebanyak 20-30% kasus.
 Kriteria pasien dipulangkan
o Tidak terdapat demam setidaknya 24 jam tanpa pemberian obat demam
o Kembalinya nafsu makan
o Terlihat perbaikan gejala klinis
o Urin output maksimal
o Minimal 2-3 hari setelah pasien keluar dari fase syok
o Tidak terdapat sesak nafas karena efusi pleura dan tidak ada ascites
o Hitung trombosit > 50.000/mm3. Pasien bisa diedukasi untuk
menghindari aktivitas selama minimal 1-2 minggu untuk
mengembalikan kadar platelet. Pada kasus normal, trombosit pasien
akan kembali normal setelah 3-5 hari.
 Manajemen Ensefalopati
Pada pasien yang mendeita infeksi dengue, akan menderita gejala yang tidak
biasa yaitu kejang dan juga penurunan kesadaran (koma). Hal ini sangat
berhubungan dengan ensefalopati dengue. Pasien ensefalopato disranakn untuk
dilakukan terapi suportive yaitu :
o Berikan oksigen adekuat. Cegah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dengan :
 Pmberian cairan iv minimal untuk memenuhi kebutuhan
volume intravaskular, idealnya tidak boleh >80% maintenance
cairan
 Ganti cairan menggunakan koloid, bila hematokrit terus
meningkat dan butuh pemberian cairan dalam junlah besar.
 Berikan diuretik bila terdapat kelebihan cairan
 Pasien diposisikan dengan kepala lebih tinggi 30 derajat
 Intubasi segera untuk mencegah terjadinya hiperkarbia dan
menjafa jalan nafas.
 Bisa berikan sterois untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Dexamethasone 0.15 mg/kg/ dosis iv diberikan 6-8 jam
o Cegah peningkatan amonia dengan cara :
 Berikan laktulose 5-10 ml tiap 6 jam untuk induksi diare
osmotik.
 Berikan antibiotik untuk menghilangkan flora normal usus.
o Pertahankan kadar gula darah 80-100 mg/dl. Kecepatan infus 4-6
mg/kg/ jam
o Koreksi asam basa dan keseimbangan elektroliy (hipo/hipernatremia,
hipo/hiperkalemia, hypokalsemia, dan asidosis.
o Vitamin K1 diberikan secara iv, 3 mg untuk usia < 1 tahun, 5 mg usia
1-5 tahun, 10 mg usia > 5 tahun.
o Berikan antikejang untuk mengendalikan kejang (fenobarbital, dilantin,
dan diazepam)
o Transfusi darah PRC bila ada indikasi. platelet dan plasma dingin tidak
boleh diberikan karena dapat meningkatkan ICP
o Berikan terapi antibiotik bila terdapat tanda-tanda infeksi
o Brikan H-2 bloker atau PPI untuk mengatasi perdarahan
gastrointestinal.
o Hindari pemberian obat yang tidak perlu, karena dapat memperbesar
kerja hati.
o Bila terdapat adanya ganggual ginjal, bisa pertimbangkan hemodialisis.
E. Pencegahan DBD

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi adanya kejadin DBD adalah :

1. Pemberantasan vektor, yaitu dengan cara :


 Penyemprotan insektisida
 Pemberantasan sarang jentik/nyamuk
 Larvasidasi
2. Penyuluhan tentang DBD yang dapat dilakuakn oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan
kader jumantik (juru pemantau jentik) yang dapat dikoordinasikan dengan dinas kesehatan
kabupaten atau kota setempat.
DAFTAR PUSTAKAXKementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Pedoman
pengendalian demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pudjiadi et al, 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Thomas, S.J., Rothman, A.L., Srikiatkhachorn, A., Kalayanarooj, S., n.d. Dengue virus
infection: Clinical manifestations and diagnosis 24.
Thomas, S.J., Rothman, A.L., Srikiatkhachorn, A., Kalayanarooj, S., n.d. Dengue virus
infection: Prevention and treatment 20.
World Health Organization (Ed.), 2011. Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever, Rev. and expanded. ed. ed,
SEARO Technical publication series. World Health Organization Regional Office for
South-East Asia, New Delhi, India.

Anda mungkin juga menyukai