Anda di halaman 1dari 17

reaksi 

hipersensitivitas
Posted: December 2, 2009 by filzahazny in imunologi virologi, kesehatan
Tags: definisi kanker, Hipersensitivitas, mekanisme
0

6 Votes

1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1

Memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

v     Rx hipersensitivitas tipe cepat.

v     Ig yang berperan : Ig E.

v     Contoh : asma, rinitis, dermatitis atopi, urtikaria, anafilaksis.

v     Mekanisme: Antigen merangsang sel B untuk membentuk Ig E dengan bantuan sel Th. Ig E kemudian diikat oleh

mastosit melalui reseptor Fc.

Bila terpajan ulang dengan Ag yang sama, maka Ag tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada pada permukaan mastosit.

Ikatan ag – Ig E mencetuskan degranulasi mastosit dan mengeluarkan mediator, contohnya histamin.

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula

diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama

kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini

allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan

basofil.

2. Fase Aktivasi

Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang

menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor

Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi

farmakologik.

IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan

mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang

alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.

Reaksi yang tejadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan edem

(pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi selama 10-15 menit.

Dalam fase aktivasi terjadi perubahan dalam membrane sel seabagai akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca2+.

Dalam fase ini energi dilepaskan akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke

permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan menghambat

sedang peningkatan cGMP membantu degranulasi. Pelepasan granul itu adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau

matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai fungsinya lagi.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen biasanya adalah asma bronchial, rintis,

urtikaria (kaligata), dan dermatitis atopi.

Reaksi antara IgE pada permukaan sel mastosit dan antigen menimbulkan influks Ca2+ yang menimbulkan degranulasi sel

dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi sel mastosit dapat pula terjadi atas pengaruh anakfilaktosin, C3a dan C5a.

Disamping histamine, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang dihasilkan dari metabolisme

asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2.


2. Hipersensitivitas Tipe II

Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya

Dengan adanya suatu proses penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan pada

1. sel tumor

2. sel terinfeksi virus

3. sel yang terinduksi mutagen

Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor lingkungan sel tersebut

mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan

melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang

menjadi klon baru yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.

Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus. Mekanisme reaksinya

ada 3 macam yaitu` :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya Antigen yang

merupakan bagian sel pejamu,menyebab

kan dibentuknya Antbodi Ig G / Ig M sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

1. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen  sehingga

menyebabkan lisis.

Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;

1. Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)


Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya Antigen yang merupakan

bagian sel pejamu,menyebab

kan dibentuknya Antbodi Ig G / Ig M sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

2. Melalui aktivitas sistem komplemen

Reaksi yang timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe 2 yaitu;

a. Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa

golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B

mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak

mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat

mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik

terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling

berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane

sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

b. Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh

yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan

melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk

anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta.

IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang

ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah

merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
c. Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri.

Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin

panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

d. Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan

sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan

menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah

merah.

e. Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi

tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya sering fatal. Dalam

penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan

transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom

ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.

f. Myasthenia gravis

Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh

autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.

g. Pempigus

Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis

dan gelembung-gelembung.
3. Reaksi hipersensitivitas Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan

dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis

IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang

ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini

juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim

proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.

Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora

jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai

dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :

1. Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

2. Autoimunitas

Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

3. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah

paru.

Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan

reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini

akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga

dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun.
Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni

berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-

protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas.

Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.

Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya

dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber

yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.

Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :

1. Aktivasi komplemen

a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine

b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim

polikationik

2. Menimbulkan agregasi trombosit

a. Menimbulkan mikrotrombi

b. Melepas amin vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag

Melepas IL-1 dan produk lainnya

Komplex Ag.AB (Ig G / Ig M) yang tertimbun dalam jaringan  mengaktifkan komplemen lalu  melepaskan MCF. Kemudian

melepaskan makrofag ke daerah tsb, enzim dilepaskan lalu merusak jaringan.

4. Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity

(DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel

T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang

sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti

limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan

jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra

seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang

berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel

di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas

terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini

ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi

jamur (candidiasis, histoplasmosis,measles) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis, pneumocystis).

Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel

limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan

antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:

a. Macrophage inhibition factor (MIF)

Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat

ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi

lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel

makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming Factor (SMAF).

b. Monocyte chemotactic factor

Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.

c. Skin reactive factor

Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.

d. Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.

Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik

untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan

menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.

1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1

Memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

v     Rx hipersensitivitas tipe cepat.

v     Ig yang berperan : Ig E.

v     Contoh : asma, rinitis, dermatitis atopi, urtikaria, anafilaksis.

v     Mekanisme: Antigen merangsang sel B untuk membentuk Ig E dengan bantuan sel Th. Ig E kemudian diikat oleh

mastosit melalui reseptor Fc.

Bila terpajan ulang dengan Ag yang sama, maka Ag tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada pada permukaan mastosit.

Ikatan ag – Ig E mencetuskan degranulasi mastosit dan mengeluarkan mediator, contohnya histamin.

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula

diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama

kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini

allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan

basofil.

2. Fase Aktivasi

Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang

menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor

Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi

farmakologik.

IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan

mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang

alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.

Reaksi yang tejadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan edem

(pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi selama 10-15 menit.

Dalam fase aktivasi terjadi perubahan dalam membrane sel seabagai akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca2+.

Dalam fase ini energi dilepaskan akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke

permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan menghambat

sedang peningkatan cGMP membantu degranulasi. Pelepasan granul itu adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau

matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai fungsinya lagi.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen biasanya adalah asma bronchial, rintis,

urtikaria (kaligata), dan dermatitis atopi.

Reaksi antara IgE pada permukaan sel mastosit dan antigen menimbulkan influks Ca2+ yang menimbulkan degranulasi sel

dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi sel mastosit dapat pula terjadi atas pengaruh anakfilaktosin, C3a dan C5a.

Disamping histamine, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang dihasilkan dari metabolisme

asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2.


2. Hipersensitivitas Tipe II

Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya

Dengan adanya suatu proses penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan pada

1. sel tumor

2. sel terinfeksi virus

3. sel yang terinduksi mutagen

Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor lingkungan sel tersebut

mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan

melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang

menjadi klon baru yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.

Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus. Mekanisme reaksinya

ada 3 macam yaitu` :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya Antigen yang

merupakan bagian sel pejamu,menyebab

kan dibentuknya Antbodi Ig G / Ig M sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

1. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen  sehingga

menyebabkan lisis.

Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;

1. Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)


Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya Antigen yang merupakan

bagian sel pejamu,menyebab

kan dibentuknya Antbodi Ig G / Ig M sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

2. Melalui aktivitas sistem komplemen

Reaksi yang timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe 2 yaitu;

a. Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa

golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B

mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak

mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat

mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik

terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling

berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane

sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

b. Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh

yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan

melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk

anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta.

IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang

ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah

merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
c. Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri.

Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin

panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

d. Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan

sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan

menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah

merah.

e. Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi

tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya sering fatal. Dalam

penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan

transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom

ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.

f. Myasthenia gravis

Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh

autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.

g. Pempigus

Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis

dan gelembung-gelembung.
3. Reaksi hipersensitivitas Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan

dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis

IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang

ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini

juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim

proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.

Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora

jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai

dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :

1. Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

2. Autoimunitas

Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

3. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah

paru.

Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan

reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini

akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga

dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun.
Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni

berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-

protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas.

Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.

Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya

dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber

yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.

Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :

1. Aktivasi komplemen

a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine

b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim

polikationik

2. Menimbulkan agregasi trombosit

a. Menimbulkan mikrotrombi

b. Melepas amin vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag

Melepas IL-1 dan produk lainnya

Komplex Ag.AB (Ig G / Ig M) yang tertimbun dalam jaringan  mengaktifkan komplemen lalu  melepaskan MCF. Kemudian

melepaskan makrofag ke daerah tsb, enzim dilepaskan lalu merusak jaringan.

4. Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity

(DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel

T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang

sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti

limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan

jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra

seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang

berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel

di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas

terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini

ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi

jamur (candidiasis, histoplasmosis,measles) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis, pneumocystis).

Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel

limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan

antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:

a. Macrophage inhibition factor (MIF)

Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat

ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi

lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel

makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming Factor (SMAF).

b. Monocyte chemotactic factor

Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.

c. Skin reactive factor

Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.

d. Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.

Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik

untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan

menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.

Anda mungkin juga menyukai