Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PANCASILA

OTONOMI DAERAH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5

INDRI YANTO NUGROHO


NENDI SUSANTO
WIRANIA FAYAZZA
KERLY EVILIA SIPAYUNG
FAHRUDIN SOLEH
ROSMAYANTI ASWIN
JUPEN BUTAR-BUTAR
DWI KURNIAWAN

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN DAN BISNIS (FEB)

UNIVERSITAS PELITA BANGSA

TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, Karena berkat rahmat
serta hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul "Otonomi Daerah".
Adapun Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan baik dalam bentuk moral
maupun moril, demi mencapai cita-cita yang penulis harapkan
2. Dosen mata kuliah Pancasila Bapak Maha Putra S.Pd, M.Pd, yang telah banyak
memberikan materi secara teoritik
3. Teman-teman yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyelesaian makalah ini tepat waktu.
Penulis yakin makalah ini masih jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi menjadikan makalah ini
menjadi lebih baik.

Semoga makalah “Otonomi Daerah” memberikan informasi yang berguna serta bermanfaat
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Cikarang, 12 Desember 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................................................................4
HAKIKAT OTONOMI DAERAH.............................................................................................................7
Pengertian Otonomi Daerah..........................................................................................................7
Tujuan Otonomi Daerah................................................................................................................8
Manfaat Otonomi Daerah..............................................................................................................8
Visi Otonomi Daerah......................................................................................................................9
Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia...........................................................................................9
PEMAHAMAN TERHADAP OTONOMI DAERAH..................................................................................9
PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH......................................................................10
Landasan Hukum Otonomi Daerah di Indonesia.............................................................................12
Wewenang Pemerintah Pusat Dan Daerah..................................................................................13
Hak dan Kewajiban Daerah Otonom............................................................................................14
Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah Secara Umum.......................................................14
PEMBAGIAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH.....................................................................15
STUDI KASUS........................................................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kebijakan otonomi daerah lahir di tengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB)
menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah
yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa
menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan
prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan
dilumpuhkan di bawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan
investasi ekonomi(pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Otonomi daerah muncul sebagai
bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru.
Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam
pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga
sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Dimasa
orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke
Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah
(PAD)tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan
tidak bisa cepat bangkit, menunjukkan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal
dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah
pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk
melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika
itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk
komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi.
Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil
hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini,
disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh dari
terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional
tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation,
international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan
waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya
bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika
krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sentralisasi yang
sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan
kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus.
Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik

4
pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Bisa dikatakan
sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan
sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan
kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada
sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah
mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta,
Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan mendukun. Itu menjadi bukti bahwa
pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan
pemerintah pusat, tapi sudah ada sudah sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya
kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah ,kecuali yang dikuatkan oleh UUD
menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat,
asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan
kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan
kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia
dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi
titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan
Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil
Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan
mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan
yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang - Undang Otonomi Daerah
bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah
merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang
sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru. Paling tidak ada dua faktor yang
berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No.
22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan
politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh
dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari
biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Selama lima tahun
pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik
yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa
masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun
juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan
akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa
otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi ,
namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik
(good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi “jalan alternative” bagi
tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah. Namun demikian, otonomi daerah juga
tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya adalah;
(1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang ditandai dengan

5
korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan provinsi atas alasan apapun. Bukan
hanya modus operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis dan nilai yang
dikorupsi juga menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa-masa
sebelum otonomi diberlakukan.
(2) persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan
(atas nama) Pendapatan Asli Daerah(PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk
memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan.
Bukan hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan
berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat juga marak di berbagai daerah.
(3) persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten.
Otonomi daerah yang berada di kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki
kabupaten provinsi berada dalam stagnasi. Akibatnya posisi dan peran pemerintah
provinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat dari kabupaten dalam
menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut hubungan antara
provinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten. Keterpaduan
pembangunan untuk kepentingan satu kawasan sering kali macet akibat dari egoisme
lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau
sumber daya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana
otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial.
(4) persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif terutama
berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali terjadi antara
legislatif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan menyebabkan berbagai
ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi. Legislatif sering dituding
sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik ditingkat lokal. Pada saat rakyat
Indonesia disibukkan dengan pelaksanaan Pemilu 2004,Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No.
22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua cacat yang
dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang
tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar
pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan
menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan
demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada
waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29
September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode
1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan(revisi) terhadap
UU No.22 Tahun 1999 menjadi UU No.32 Tahun 2004. Tanggal 1 Oktober Anggota
DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara defacto DPR pemilu 1999 sudah
kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan
yang sangat krusial. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Diharapkan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses
pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan
kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi
daerahnya.Sementara disisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan
urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan
kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami,
merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.

6
BAB II
ISI
A. HAKIKAT OTONOMI DAERAH
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan
sendiri” (self ruling). Otonomi yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya
sendiri. Ada beberapa pengertian Otonomi Daerah menurut para ahli, yaitu ;

 C.J Franseen Menurut C.J Franseen


Otonomi daerah adalah hak untuk mengatur urusan daerah dan menyesuaikan peraturan
yang sudah dibuat.

 J Wajong
Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan
khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, serta
pemerintahan sendiri.

 Ateng Syarifuddin
Menurut Ateng Syarifuddin, otonomi daerah adalah kebebasan atau kemandirian
tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan tersebut merupakan perwujudan dari
pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.

Dapat disimpulkan otonomi daerah adalah keleluasaan hak dan wewenang serta
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sesuai kemampuan daerah masing - masing. Sedangkan
Desentralisasi adalah pelimbahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia perlu desentralisasi.

Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara hanya terpusat di Jakarta.

Kedua, pembagian kekayaan tidak merata dan tidak adil.

Ketiga, Kesenjangan sosial antar satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.
Pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat. Di antara
argumentasi dalam memilih desentralisasi - otonomi daerah adalah :

a) Untuk terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan


Untuk terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif, pemerintah memiliki
beberapa fungsi, diantaranya adalah pertama, fungsi distributif yaitu fungsi distributif,
pemerintah mengelola dimensi kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, politik,dll.
Kedua, fungsi regulatif menyangkut penyediaan barang dan jasa. Ketiga, fungsi

7
ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan. Keempat, fungsi universal,
menjaga keutuhan negara - bangsa, mempertahankan diri dari serangan lain.

b) Sebagai Sarana pendidikan politik

Pemerintah daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam


sebuah negara. Menurut Filsuf Alexis de Tocqueville, pemda merupakan tempat
kebebasan, dan tempat orang diajari bagaimana kebebasan digunakan serta bagaimana
menikmatinya. Menurut John Stuart Mill, pemda memberikan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka dipilih maupun memilih dalam suatu
jabatan politik.

c) Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.


Pemerintah daerah merupakan wahana penggodokan calon-calon pemimpin nasional,
setelah melalui karir di daerahnya. Proses kaderasi para pemimpin nasional
berlangsung secara akun tabel dan rasional sehingga masyarakat luas dapat
menduduki jabatan baik di pemerintah maupun lembaga perwakilan dan juga dapat
menghapus bahkan menghilangkan tradisi politik yang bertumpu pada garis
keturunan.

d) Stabilitas politik
Menurut Sharpe, stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas nasional pada
tingkat lokal. Beberapa peristiwa karena ketidakstabilan politik diantaranya, di
Indonesia terjadi pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA karena kekuasaan
pemerintah Jakarta lebih dominan. Di Filipina dan Thailand, minoritas muslim
berjuang melepaskan diri dari ketidakadilan ekonomi yang berakibat lahirnya gejolak
disintegrasi yang dilakukan pemerintah pusat di Manila dan Bangkok.

e) Kesetaraan politik
Kesetaraan yang baik akibat kebijakan desentralisasi-otonomi daerah yang baik.
Melalui desentralisasi, akan tercipta kesetaraan politik antara daerah dan pusat.

f) Akuntabilitas politik
Melalui penyelenggaraan pemerintah di daerah akan lebih akun tabel dan profesional,
sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam politik. Jadi, Hakikat Otonomi adalah
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam
rangka memperkuat NKRI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran
dalam tata kehidupan bernegara.

2. Tujuan Otonomi Daerah


Maksud dan tujuan otonomi daerah ialah sebagai berikut:

8
 Supaya tidak terjadi pemusatan dalam kekuasaan pemerintahan pada tingkat pusat
sehingga jalannya pemerintahan dan pembangunan berjalan lancar.
 Supaya pemerintah tidak hanya dijalankan oleh pemerintah pusat, tetapi daerah pun
dapat diberi hak untuk mengurus sendiri kebutuhannya.
 Supaya kepentingan umum suatu daerah dapat diurus lebih baik dengan
memperhatikan sifat dan keadaan daerah yang mempunyai kekhususan sendiri.

3. Manfaat Otonomi Daerah


Adapun manfaat-manfaat yang diberlakukannya otonomi daerah yang diantaranya yaitu:

 Otonomi daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Oleh karenanya diharapkan otonomi daerah dapat menjadi media agar rakyat mampu
menyalurkan partisipasinya dalam mewujudkan kesejahteraan daerah.
 Memangkas prosedur birokasi yang rumit dan sangat terstruktur dari pemerintah
pusat.
 Penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih efisien sebab para pejabat pemerintah
pusat tidak lagi diwajibkan untuk turun ke daerah tiap bulannya untuk memantau
jalannya pemerintahan di daerah.
 Pemerintah pusat dapat memantau kegiatan yang dilakukan para pejabat di daerah
yang kurang menunjukkan keseriusannya sebagai wakil pemerintah di daerah.
 Kewajiban pemerintah pusat dalam memenuhi kebutuhan daerah menjadi lebih ringan
sebab kewajiban tersebut sudah dilimpahkan pada pemerintah daerah.

4. Visi Otonomi Daerah


Visi otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yaitu politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang politik, untuk melahirkan pemerintah daerah yang
dipilih secara demokrasi, penyelenggaraan pemerintah yang yang responsif terhadap
masyarakat luas, dan lain-lain. Di bidang ekonomi, menjamin lancarnya pelaksanaan
ekonomi nasional di daerah, pemerintah daerah dapat mengembangkan kebijakan lokal
kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya,
lahirnya prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan
perizinan usaha dan lain-lain. Di bidang sosial dan budaya, memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal
untuk merespon positif dinamika kehidupan disekitarnya dan kehidupan global.

5. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia


Peraturan perundang-undangan pertama yang mengatur pemerintahan daerah pasca
proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 tahun 1945. Undang-undang ini menekankan
aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga daerah otonom yaitu
keresidenan ,kabupaten dan kota. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 22 tahun
1948.UU ini mengatur tentang susunan pemerintah daerah yang demokratis. Dalam UU
ini ditetapkan dua jenis daerah otonomi, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah istimewa,
serata tiga tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota. Pasca UU ini,
muncul beberapa UU tentang pemerintah daerah, yaitu UU No.1 tahun 1957, UU No.18
Tahun 1965 dan UU No. 5 Tahun 1974 prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi
kepada daerah adalah nyata dan bertanggung jawab. UU ini paling lama, yaitu 25 tahun,

9
dan baru diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.Kehadiran
UU No.22 Tahun 1999 pada masa lengsernya orde baru dan munculnya kehendak rakyat
untuk melakukan reformasi dalam segala aspek kehidupan. Berdasarkan kehendak
reformasi itu, ditetapkan Ketetapan MPR No. XV / MPR / 1998 tentang penyelenggaraan
otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka
NKRI. Tiga tahun setelah implementasi UU No.22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan
revisi terhadap UU yang berakhir pada lahirnya UU No.32 Tahun 2004 juga mengatur
tentang pemerintah daerah.

B. PEMAHAMAN TERHADAP OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengelola urusan dan kepentingan masyarakat lokal mereka sendiri sesuai dengan undang-
undang. Secara harfiah, berasal dari otonomi daerah dan otonomi daerah. Dalam bahasa
Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti
aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur
diri sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan untuk mengurus rumah tangganya
sendiri. Sementara wilayah kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas.

Pelaksanaan otonomi daerah selain berdasarkan acuan hukum, serta implementasi tuntutan
globalisasi yang harus diberdayakan dengan memberikan otoritas lokal yang lebih luas, lebih
nyata dan bertanggung jawab, terutama di set, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber
potensi di daerah masing-masing.

1. Pengertian Otonomi Daerah Secara Etimologi :


Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yang berarti auto, dan nomous.
Auto berarti sendiri, dan nomous berarti hukum atau peraturan. jadi, pengertian
otonomi daerah adalah aturan yang mengatur daerahnya sendiri. 

2. Otonomi Daerah Menurut Encyclopedia of Social Scince : 


Pengertian otonomi daerah menurut Encyclopedia of social scince adalah hak
sebuah organisasi sosial untuk mencukupi diri sendiri dan kebebasan aktualnya. 

3. Pengertian Otonomi Daerah Menurut Undang – undang :


Menurut UU No.32 Tahun 2004, Definisi Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban dari daerah untuk mengurus dan mengatur sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan dari masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Menurut UU No.32 Tahun 2004, Definisi Daerah Otonom adalah kesatuan dari
masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah kewenangan untuk
mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan dari masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri dengan berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem NKRI.

C. PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

10
Prinsip - Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip
- prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek


demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten
dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Provinsi merupakan Otonomi Terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita,
Kawasan Pelabuan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan
Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan
Daerah Otonom.
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Provinsi dalam kedudukannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan
tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan
konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-
daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami
berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis
sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan - perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam
aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU
berikut ini:

1. UU No. 1 tahun 1945 Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan
pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948 Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala
daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat
pemerintah pusat.

11
3. UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga
masih alat pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih
menekankan dekonsentrasi. Melalui penpers ini kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 8 tahun 1965 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6. UU No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi
kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai
dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru, maka
pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral
dibanding dengan politik. Pada penerapannya, terasa seolah-olah telah terjadi proses
depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran
pembangunan yang menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 Tahun 1999. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Landasan Hukum Otonomi Daerah di Indonesia
Ada tiga landasan hukum yaitu Undang-undang dasar (UUD), Ketetapan MPR-RI, dan
Undang-Undang (UU). Berikut penjelasannya:

a) Undang – undang Dasar

Acuan hukum otonomi daerah terdapat pada pasal UUD 1945. Pasal 18 UUD ayat (1)
dan (2) menyebutkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atasprovinsi,
kabupaten, dan kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

b) Ketetapan MPR-RI

Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 menjelaskan Penyelenggaraan Otonomi Daerah


antara lain Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

c) Undang-Undang (UU)

Ada dua UU yang mengatur yaitu UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. PAda
prinsipnya penyelenggaraan pemerintah daerah mengutamakan pelaksanaan asas
desentralisasi. Dalam UU Nomor 12 tahun 2008 adalah mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Adapun isi Undang – undang
terhadap otonomi daerah, yaitu ;

 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di

12
Daerah
 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
 Pemerintahan Daerah
 Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

a. WEWENANG PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH


1. KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT

a.     politik luar negeri


b.     pertahanan
c.     keamanan
d.     yustisi
e.     moneter dan fiskal nasional
f.      agama

Selain itu juga meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi
tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. lebih banyak pada pengaturan,
pembinaan dan pengawasan, berkisar pada pembuatan kebijakan, penetapan
norma,standarisasi dan pembinaan & pengawasan
           
2. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah.
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas.
d. urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai sumber pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang
didesentralisasikan
           

Berikut kewenangan/urusan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


Tentang Pemerintahan Daerah :

Pasal 7 ayat (1) :


1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan
keamanan,peradilan,moneter dan fiskal,agama, serta kewenangan bidang lain.

13
2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan,sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
           

Sedangkan kewenangan/urusan daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


Tentang Pemerintahan Daerah :

Pasal 10 ayat (1) :

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi


kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam
melakukan pendistribusian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah,
membedakan urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat
concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan
ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan juga ada urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada kabupaten / kota

b. HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM


Hak Daerah Otonomi

1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;


2) memilih pimpinan daerah;
3) mengelola aparatur daerah;
4) mengelola kekayaan daerah;
5) memungut pajak daerah dan retribusi daerah;mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
a) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
b) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kewajiban Daerah Otonomi

1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta


keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3) mengembangkan kehidupan demokrasi
4) mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6) menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8) mengembangkan sistem jaminan sosial;

14
9) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10) mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11) melestarikan lingkungan hidup;

c) DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF OTONOMI DAERAH SECARA UMUM

a. Dampak Positif

1. Setiap daerah bisa memaksimalkan potensi masing-masing.


2. Pembangunan untuk daerah yang punya pendapatan tinggi akan lebih cepat
berkembang.
3. Daerah punya kewenangan untuk mengatur dan memberikan kebijakan
tertentu.
4. Adanya desentralisasi kekuasaan.
5. Daerah yang lebih tau apa yang lebih dibutuhkan di daerah itu, maka
diharapkan dengan otonomi daerah menjadi lebih maju.
6. Pemerintah daerah akan lebih mudah mengelola sumber daya alam yang
dimilikinya, jika SDA yang dimiliki daerah telah dikelola secara optimal maka
PAD dan pendapatan masyarakat akan meningkat.
7. Dengan diterapkannya sistem otonomi daerah, biaya birokrasi menjadi lebih
efisien.
8. Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengembangkan kebudayaan
yang dimiliki oleh daerah tersebut. (Kearifan lokal yg terkandung dalam
budaya dan adat istiadat daerah).

b. Dampak Negatif :
1. Daerah yang miskin akan sedikit lambat berkembang.
2. Tidak adanya koordinasi dengan daerah tingkat satu karena merasa yang
punya otonomi adalah daerah Kabupaten / Kota.
3. Kadang - kadang terjadi kesenjangan sosial karena kewenangan yang di
berikan pemerintah pusat kadang - kadang bukan pada tempatnya.
4. Karena merasa melaksanakan kegiatannya sendiri sehingga para pimpinan
sering lupa tanggung jawabnya.

D. PEMBAGIAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

Kerangka dasar dalam otonomi daerah adalah penyerahan urusan yang bersifat hirarkhis.
Dalam konsep otonomi daerah, urusan yang dilaksanakan antara susunan-susunan
pemerintahan dibagai secara merata, sehingga berdasarkan pembagian urusan tersebut, maka
pemerintah daerah dapat menyusun peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan
peraturan- perundang-undangan.
Berdasarkan teori areal division of power, dikenal dengan adanya sistem atau model
pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaranya. Sistem ini

15
membagi kekuasaan negara secara vertikal antara “Pemerintah Pusat” di satu pihak, dan
“Pemerintah Daerah” di pihak lain. Di dalam implementasinya terkandung berbagai macam
format penyelenggaraan kewenangan (desentralisasi) dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah bawahan. Pada kenyataannya, terdapat perbedaan penerapan sistem pembagian kekuasaan
antara negara yang satu dengan negara yang lain. Tetapi dalam konsep otonomi daerah, maka
pada setiap Negara hampir sama bahwa dasarnya susunan pemerintahan terbentuk secara
hirarkhis.
Dalam kerangka otonomi daerah, maka adanya hubungan yang bersifat hirarkhis,
menurut Bagir Manan, dasar-dasar hubungan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka
desentralisasi ada empat macam:
1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara:
UUD 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah, berarti
UUD 1945 menghendaki keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat
daerah, keikutsertaan rakyat pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh
desentralisasi.
2. Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip- prinsip pemerintahan asli:
Pada tingkat Daerah, susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah yang sesuai
dengan dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara.
3. Dasar Kebhinekaan :
“Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan keragaman Indonesia, otonomi, atau desentralisasi
merupakan salah satu cara untuk mengendorkan “spanning” yang timbul dari keragaman.
4. Dasar Negara hukum.
Dasar perkembangannya, paham Negara Hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara atau
pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Keempat dasar tersebut tidak dapat dipisahkan dalam upaya untuk menjaga kesatuan NKRI
sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan kehidupan bernegara. secara umum bahwa dalam
rangka mengarahkan pelaksanaan pemerintahan ke arah yang disebut kepemerintahan yang
baik (good governance).
Karakteristik kepemerintahan yang baik (good governance) adalah demokrasi, partisipasi,
akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, berorientasi pada kepentingan rakyat, dan kerangka
hukum. Karakteristik good governance tadi tidak bisa diwujudkan manakala penyelenggara
kepemerintahan yang baik tidak memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurus
kepentingan masyarakat sendiri (setempat) menuju prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi rakyat
setempat, sesuai dengan kondisi, potensi, dan karakteristik yang dimilikinya. Kewenangan dan
tanggung jawab dalam membuat keputusan sendiri bukan hanya sekedar membuat keputusan
agar rakyat dilibatkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik, tapi juga kewenangan dan tanggung jawab dalam membuat sistem dan
mekanisme akuntabilitas, bersikap transparan, dan terbuka, dan dalam penegakan hukum. Sehingga
pelibatan secara aktif akan terbangunnya sistem penyelenggaraan pemerintahan berorientasi
kepada kepentingan rakyat umum.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa negara Republik

16
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum. Itu berarti, hukum bukanlah sekedar
produk yang dibentuk oleh lembaga tertinggi dan/atau lembaga tinggi negara saja, tetapi hukum
juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut. Hukum
adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan. Lembaga legislatif adalah parlemen yang merupakan pembuat undang-undang
sesuai dengan kehendak rakyat. Di dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menentukan hukum
melalui wakil - wakilnya di parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Kehendak
mayoritas rakyat di dalam negara demokrasi menjadi kehendak negara, bahkan bisa menjadi
hukum negara tanpa harus dipersoalkan baik buruknya. Jadi kehendak rakyat menjadi sumber
hukum yang mengikat. Sebagai sumber hukum yang mengikat, kedudukan rakyat merupakan
kedudukan yang tertinggi dan berdaulat.
Dalam perkembangan saat ini, adanya banyak permasalahan terhadap peraturan daerah,
yang mengakibatkan pembatalan terhadap peraturan daerah, paling tidak ada 3 (tiga) hal yang
membatalkan peraturan daerah, antara lain :
1. Bertentangan dengan ketentuan PUU
yang lebih tinggi Dalam menyusun Perda, legislator dan perancang tidak dapat sebebas-
bebasnya merumuskan suatu ketentuan Perda. Mereka harus mempertimbangkan PUU yang
lebih tinggi, seperti UUD Tahun 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori, yang
artinya apabila terdapat perbedaan pengaturan maka ketentuan peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi melumpuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah. Dengan demikian, Perda menjadi tidak berlaku ketika bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut di atas.
2. Bertentangan dengan Kepentingan umum
Perda yang akan diberlakukan tidak boleh mengakibatkan terganggunya kerukunan
antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya
ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,
antar - golongan, dan gender.
3. Bertentangan dengan Kesusilaan
Perda yang akan diberlakukan tidak boleh bertentangan dengan norma yang berkaitan
dengan adab dan sopan santun, kelakuan, dan tata-krama masyarakat tempat Perda itu berlaku.
Problematika peraturan daerah yang dibatalkan lebih karena kegagalan dalam memahami
kedudukan peraturan daerah dalam sistem hukum di Indonesia yang secara hirarkhis.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negari, telah menghapus Peraturan Daerah di
seluruh Indonesia.7 Problematika ini tidak terlepas dari proses penyusunan peraturan daerah, baik
rancangan perda yang diajukan melalui inisiatif pemerintah atau peraturan daerah yang merupakan
inisiatif DPRD. Proses kajian rancangan yang tidak dikaji secara sistematif memberikan potensi
yang besar terhadap terjadinya penyimpangan dan pertentangan terhadap peraturan daerah
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 11
Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Daerah, bahwa Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan begitu juga

17
untuk rancangan peraturan daerah yang berlaku mutatis mutandis.
Keberadaan rancangan peraturan daerah dengan naskah akademik merupakan satu kesatuan
dalam menyusun peraturan daerah, dimana naskah akademik merupakan proses kajian terhadap
rancangan undang- undang dari berbagai aspek, sehingga kebutuhan akan naskah akademik
merupakan bagian yang penting dalam setiap proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

18
KESIMPULAN
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti Hokum atau aturan. (Abdurrahman, 1987). Dalam konteks etimologis ini,
beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai
“perundangan sendiri” (Danuredjo, 1977), ‘perundangan sendiri’ (Koesomahatmadja,1979)
‘mengatur atau memerintah sendiri’ (Runt Nugroho,2000). Koesomahatmadja (1979) lebih
lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain
mengandung arti juga mengandung pengertian ‘pemerintahan’. Secara konseptual banyak
konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif
Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri,
hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya
terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara
demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan
bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.

19
STUDI KASUS

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah


Studi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah

Kawasan Merapi memiliki kandungan sumber daya alam melimpah. Salah satunya adalah
tambang pasir. Akan tetapi, kemakmuran penduduk yang mendiaminya sulit terwujud dan
kondisi ekologinya pun semakin terancam. Dalam kasus aktivitas penambangan di lereng
Gunung Merapi, Otda diuji dari sisi peluang dan tantangan dalam pemberantasan kemiskinan
dan upaya pelestarian lingkungan. Aktivitas penambangan pasir berada di sepanjang sungai-
sungai yang berhulu di puncak Merapi. Material volkanik hasil erupsi Merapi dimuntahkan
dan dialirkan sepanjang sungai-sungai di lereng Merapi. Sudah sejak lama material pasir dan
batu ditambang secara manual oleh penduduk lokal maupun pendatang. Mereka disebut
penambang tradisional. Sejak awal tahun 1990-an, alat berat seperti backhoe (dalam bahasa
lokal disebut bego) dan excavator mulai digunakan untuk mengeruk pasir dan batu dalam
skala besar. Eksploitasi dengan teknologi berat ini dilegalkan oleh pemerintah provinsi Jawa
Tengah dengan maksud mengatur aktivitas penambangan dan memperoleh pemasukan dana
bagi provinsi.
Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan kebijakan Otda (UU No. 22/1999 dan UU No.
25/1999), kewenangan pengelolaan Bahan Galian Golongan C (BGGC) diserahkan ke Pemda
kabupaten dan kota. Bahan tambang pasir dan batu termasuk dalam BGGC. Baik regulasi
penambangan pasir Merapi yang dibuat pemerintah provinsi maupun Pemda berdasarkan
kebijakan Otda ternyata tidak jauh berbeda. Regulasi tesebut, pada intinya, mengharuskan
setiap kegiatan penambangan memiliki izin dari pemerintah. Namanya Surat Izin
Penambangan Daerah (SIPD). Sementara ada ribuan penambang tradisional yang
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan menambang ini, kebanyakan dari mereka tidak
mampu memiliki SIPD karena satu dan lain hal. Akibatnya, karena ketiadaan izin tersebut,
pekerjaan mereka dikatakan sebagai penambangan liar. Deposit pasir ditambang tidak hanya
dari sungai (riverbank), tetapi juga dari tebing sungai, hutan, dan tanah pertanian. Di samping
mengancam nyawa para penambang itu sendiri ketika mereka menambang, seperti ancaman
longsoran tebing dan aliran lahar atau awan panas ketika Merapi aktif, penambangan tersebut
juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas, di antaranya peng-gundulan hutan
(deforestasi), pengupasan tanah/soil di lahan hutan dan pertanian (land clearing), dan
pengurangan suplai air bagi pertanian dan wilayah lereng bawah.
Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapi yang sangat potensial mengandung endapan pasir.
Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanik dialirkan ke sungai-sungai di lereng selatan hingga
barat puncak Gunung Merapi, yaitu Pabelan (Trising and Senowo), Lamat, Blongkeng, Putih,
Batang, Bebeng, dan Krasak yang terletak di Kabupaten Magelang. Di antara sungai-sungai
tersebut, Pabelan/Senowo, Lamat, Putih, dan Bebeng paling intensif ditambang. Sejarahnya,
para penambang manual telah jauh memulai pekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatan
penambangan ini masih bebas dilakukan dan semakin menjadi sumber penghidupan bagi
penduduk lokal Merapi maupun bagi para pendatang dari sekitar Magelang, Temanggung,
Wonosobo, Semarang, Salatiga, dan wilayah lain di provinsi Jawa Tengah. Di awal tahun
1990-an, alat-alat berat mulai digunakan untuk menambang pasir dan mulai menggeser
aktivitas para penambang tradisional. Sejak saat itu, deposit pasir di kawasan Merapi secara

20
masif dieksploitasi baik secara manual maupun dengan teknologi modern. Pemberlakuan
peraturan pemerintah provinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1994 tentang manajemen
penambangan pasir di lereng Merapi membuat para penambang manual dikategorikan
sebagai penambang liar (Anonim, 2000). Hal ini karena mereka tidak mengantongi izin
menambang (SIPD) karena ketakmampuan finansial dalam memenuhi persyaratan yang
terkait dengan uang. Karena hidup mereka bergantung pada kegiatan ini,mereka terpaksa
menambang secara ilegal. Sampai era Reformasi berjalan, status mereka tetap sebagai
penambang liar di bawah peraturan daerah (Perda) No. 23/2001 karena alasan yang sama,
yakni masalah finansial. Bahkan, ketika Bupati Magelang mengeluarkan Keputusan No.
19/2004 untuk menghentikan kegiatan penambangan di lima sungai di akhir 2004, mereka
masih melakukan aktivitas penambangan seperti biasa. Di samping ketiadaan modal, “izin
prinsip” dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangat menentukan di tahap awal
memperoleh SIPD, bisa menjadi alasan lain mengapa mereka tidak mampu mengantongi izin.
Kebanyakan penambang manual adalah buta huruf dan tidak paham akan prosedur birokratis.
Keluarnya izin prinsip menjadi sangat bergantung pada kehendak Bupati. Ini bisa jadi karena
didorong oleh kenyataan bahwa usaha penambangan yang berstatus badan hukum
(perusahaan tambang) dapat memberi kontribusi pendapatan daerah yang jauh lebih besar
dibanding para penambang tradisional. Kenaikan PAD dari sektor tambang inilah yang
tampaknya menjadi motif utama diterbitkannya Perda pengelolaan penambangan pasir.
Jumlah penambang pasir selalu berubah dan tidak pasti. Satu sumber mengestimasi sekitar
1500 penambang manual di tahun 1995, 3000 orang pada 1998, dan 4370 penambang pada
2001. Sumber lain, sebagaimana dilaporkan Kompas, mencatat ada 4000-an penambang.
Sebagian besar masuk dalam keanggotaan Paguyuban Gotong Royong (GORO), sebuah
organisasi berpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitas penambangan pasir di Kabupaten
Magelang (Kompas, 16 Februari 2005). Lokasi tambang atau bekas tambang tersebar di
banyak tempat, terutama di lahan hutan di lereng Gunung Merapi. Endapan pasir dikeruk
dimana-mana oleh para penambang manual secara berkelompok tiga sampai lima orang. Para
pengeruk dan pengumpul pasir ini Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapi yang sangat
potensial mengandung endapan pasir. Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanik dialirkan ke
sungai-sungai di lereng selatan hingga barat puncak Gunung Merapi, yaitu Pabelan (Trising
and Senowo), Lamat, Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng, dan Krasak yang terletak di
Kabupaten Magelang. Di antara sungai-sungai tersebut, Pabelan/Senowo, Lamat, Putih, dan
Bebeng paling intensif ditambang. Sejarahnya, para penambang manual telah jauh memulai
pekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatan penambangan ini masih bebas dilakukan dan
semakin menjadi sumber penghidupan bagi penduduk lokal Merapi maupun bagi para
pendatang dari sekitar Magelang, Temanggung, Wonosobo, Semarang, Salatiga, dan wilayah
lain di provinsi Jawa Tengah. Di awal tahun 1990-an, alat-alat berat mulai digunakan untuk
menambang pasir dan mulai menggeser aktivitas para penambang tradisional. Sejak saat itu,
deposit pasir di kawasan Merapi secara masif dieksploitasi baik secara manual maupun
dengan teknologi modern. Pemberlakuan peraturan pemerintah provinsi Jawa Tengah No. 6
tahun 1994 tentang manajemen penambangan pasir di lereng Merapi membuat para
penambang manual dikategorikan sebagai penambang liar (Anonim, 2000). Hal ini karena
mereka tidak mengantongi izin menambang (SIPD) karena ketakmampuan finansial dalam
memenuhi persyaratan yang terkait dengan uang. Karena hidup mereka bergantung pada
kegiatan ini, mereka terpaksa menambang secara ilegal. Sampai era Reformasi berjalan,
status mereka tetap sebagai penambang liar di bawah peraturan daerah (Perda) No. 23/2001
karena alasan yang sama, yakni masalah finansial. Bahkan, ketika Bupati Magelang
mengeluarkan Keputusan No. 19/2004 untuk menghentikan kegiatan penambangan di lima
sungai di akhir 2004, mereka masih melakukan aktivitas penambangan seperti biasa. Di
samping ketiadaan modal, “izin prinsip” dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangat

21
menentukan di tahap awal memperoleh SIPD, bisa menjadi alasan lain mengapa mereka tidak
mampu mengantongi izin. Kebanyakan penambang manual adalah buta huruf dan tidak
paham akan prosedur birokratis. Keluarnya izin prinsip menjadi sangat bergantung pada
kehendak Bupati. Ini bisa jadi karena didorong oleh kenyataan bahwa usaha penambangan
yang berstatus badan hukum (perusahaan tambang) dapat memberi kontribusi pendapatan
daerah yang jauh lebih besar dibanding para penambang tradisional. Kenaikan PAD dari
sektor tambang inilah yang tampaknya menjadi motif utama diterbitkannya Perda
pengelolaan penambangan pasir. Jumlah penambang pasir selalu berubah dan tidak pasti.
Satu sumber mengestimasi sekitar 1500 penambang manual di tahun 1995, 3000 orang pada
1998, dan 4370 penambang pada 2001. Sumber lain, sebagaimana dilaporkan Kompas,
mencatat ada 4000-an penambang. Sebagian besar masuk dalam keanggotaan Paguyuban
Gotong Royong (GORO), sebuah organisasi berpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitas
penambangan pasir di Kabupaten Magelang (Kompas, 16 Februari 2005). Lokasi tambang
atau bekas tambang tersebar di banyak tempat, terutama di lahan hutan di lereng Gunung
Merapi. Endapan pasir dikeruk dimana-mana oleh para penambang manual secara
berkelompok tiga sampai lima orang. Para pengeruk dan pengumpul pasir ini dalam bahasa
keseharian mereka disebut pengepul. Sedimen pasir volkanik ditambang dengan tiga cara:
menggali lahan/tanah; mengepras tebing sungai atau bukit; dan menambang bukit. Teknik
pertama dilakukan untuk menambang deposit pasir di lahan hutan atau pertanian dengan cara
menghilangkan lapisan soilnya (land clearing) dimana pohon dan semak-belukar ditebang
dan disingkirkan terlebih dahulu. Penggalian deposit pasir metode ini hingga sedalam 1-2 m.
Penggalian dilakukan di sembarang lahan secara ekstensif, sehingga deforestasi juga menjadi
intensif dan lubang-lubang bekas galian dibiarkan dimana-mana. Cara kedua adalah dengan
cara menggali tebing sungai atau bukit. Cara penggalian seperti ini menyisakan lubang-
lubang horisontal dan bukit-bukit kecil yang curam dan labil. Kondisi macam ini sangat
mengancam keselamatan para penambang karena bukit-bukit tersebut bisa runtuh setiap saat.
Cara terakhir adalah dengan menggali pasir dari atas bukit pada ketinggian tertentu dan hasil
galian dijatuhkan ke kaki bukit. Cara penambangan seperti ini juga sangat membahayakan
karena tebing bukit mudah longsor.
Penambangan Pasir dalam Kerangka Otonomi Daerah, dalam kegiatan penambangan pasir
terkait dengan isu kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan, kebijakan Otda dilihat dan
diuji pada tiga tingkatan pemerintahan: pemerintah desa, Pemda, dan pemerintah pusat.
Secara keseluruhan, kebijakan Otda memposisikan pemerintah dan/atau warga desa sebagai
peran penentu di tingkatan daerah dan pusat. Pada tingkatan pemerintah desa, pelaksanaan
Otda ditunjukkan oleh kehadiran beberapa elemen desa. Bentuk-bentuk pelaksanaannya
berupa Perda dan Keputusan Bupati, peraturan desa (Perdes), Badan Perwakilan Desa (BPD),
sumber pendapatan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), dan kerjasama
antar desa. Di tingkatan daerah, salah satu bentuk kewenangan kabupaten yang berupa
regulasi penambangan pasir melalui penerbitan SIPD memungkinkan pemerintah desa bisa
memegang peran kunci. Peran tersebut di antaranya meliputi rekomendasi boleh-tidaknya
suatu perusahaan menambang pasir beserta dana sumbangan dari pemberian rekomendasi
tersebut, kompensasi tanah melalui kontrak, dan retribusi. Kemudian, pada level pusat,
kewenangan pemerintah dalam hal konservasi kawasan telah digunakan untuk mengubah
status Merapi menjadi Taman Nasional. Kewenangan ini juga harus melibatkan penduduk
lokal dalam proses pembuatan kebijakan. Di sini, institusi-institusi demokratis tingkat desa
diharuskan dapat menampung aspirasi dan harapan orang-orang desa. Penerapan kebijakan
desentralisasi di tingkat bawah terutama tercermin pada kewenangan desa untuk membuat

22
Perdes yang menampung segala peraturan, cita-cita dan kepentingan masyarakat, dan
keuangan desa (Perda No. 1/2000). Kemudian, pendapatan desa, APBDesa, dan kerjasama
antar desa diatur dalam Perdes; dan aktor dari pembuatan Perdes ini adalah BPD dengan
melibatkan eksekutif desa dan masyarakat (Perda No. 10/2000). Pada kenyataannya, secara
garis besar pembuatan Perdes di kebanyakan desa di kecamatan Srumbung terlalu didominasi
oleh eksekutif dan legislatif desa dan dikendalikan kabupaten. Sebagai contoh, Perdes seputar
APBDesa yang akan ditetapkan telah ditentukan atau harus sesuai dengan kehendak Bupati
melalui keputusan-keputusannya. Dengan begitu, tidak berlebihan apabila apa yang disebut
Dwipayana dan Eko (2003: xi) sebagai “formalisasi politik desa” atau oleh Dwipayana et al.
(2003a: 96) disebut “formalisme demokratik di desa” telah terbukti adanya. Hal yang sama
terjadi pada institusi BPD. Secara umum, badan ini belum mampu mendorong demokratisasi
tingkat desa karena tidak munculdari bawah, tetapi dari atas. Hal ini terjadi karena BPD
berposisi sebagai sebuah institusi formal-korporatif di tingkat desa (Dwipayana et al., 2003b).
Ada beberapa sumber bagi pendapatan desa. Sumber pertama adalah tanah Bengkok.
Keputusan Bupati No. 188.4/353/KEP/06/ 2001 secara khusus merujuk ke peralihan
kepemilikan atau pemanfaatan Bengkok sebagai sumber pendapatan desa, meskipun tidak
mencukupi atau tidak memadai sebagaisumber pemasukan. Sumber pemasukan lain,
sebagaimana diatur dalam Perda No. 3/2001, dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber.
Sebagian besar berasal dari beberapa atau perusahaaan yang terkait erat dengan aktivitas
penambangan pasir. Sumber pemasukan tersebut berbentuk bantuan finansial dan barang,
retribusi, kompensasi atau ganti rugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumber-sumber
pemasukan ini kurang punya kontribusi terhadap kondisi ekonomi penduduk lokal. Sumber
pendapatan berikutnya adalah dana block grant yang diperoleh setiap tahun dari pemerintah
kabupaten. Lebih jauh, desa-desa wilayah penelitian punya sektor penambangan yang
sejatinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pemasukan yang sangat potensial.
Akan tetapi, tidak ada pembagian secara proprosional dengan kabupaten. Kemudian, tidak
ada Perda atau Keputusan Bupati yang mengatur pemanfaatan sektor tambang bagi desa. Dari
semua sumber pemasukan tadi, tampaknya hanya block grant yang selama ini menjadi
sumber pendapatan utama bagi desa. Sebagai sumber utama pemasukan desa, secara otomatis
block grant juga menjadi satu-satunya sumber bagi pembiayaan APBDesa (lihat Perda No.
6/2001) dimana anggaran belanjanya harus sesuai dengan apa yang telah digariskan Bupati
melalui Keputusan No. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupun demikian, masih ada ruang bagi
keterlibatan masyarakat dalam menentukan anggaran belanja umum. Dengan kondisi seperti
ini, pemerintah kabupaten menciptakan keter-gantungan desa dan tetap mendominasi desa.
Dalam pandangan Sukasmanto (2004), block grant digunakan sebagai instrumen untuk
mengontrol desa. Sebetulnya, ada beberapa kemungkinan bagi desa-desa yang bertetangga di
lereng Merapi untuk melakukan kerjasama terkait dengan penambangan pasir, sejalan dengan
Perda No. 7/2001 tentang kerjasama antar desa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desa
dapat berperan sebagai faktor penentu dalam penerbitan SIPD berdasarkan Perda No.
23/2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan
untuk menambang pasir yang terkandung di lebih dari satu wilayah desa, diperlukan adanya
koordinasi antar kepala desa untuk memutuskan layak-tidaknya rekomendasi diberikan
kepada perusahaan yang mengajukan. Hal ini seharusnya dapat menjadi kesempatan untuk
menaikkan posisi tawar desa dalam mendapatkan dana komitmen dari perusahaan tambang

23
sekaligus posisi tawar di hadapan Bupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip. Koordinasi
antara desa juga penting untuk mengatur pembagian retribusi dan dana kompensasi dari
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayang sekali, kenyataannya
tidak ditemui adanya kerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karena dua hal: tidak
terakomodasi dalam kebijakan (Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnya inisiatif warga
desa. Secara garis besar kebijakan daerah tentang SIPD hampir serupa dengan kebijakan
provinsi sebelumnya. Keduanya sama-sama berorientasi pada peningkatan PAD yang
cenderung memihak perusahaan-perusahaan tambang bermodal besar dan, akhirnya,
mengkesampingkan para pekerja tambang manual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkan
oleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi, kondisi lingkungan kawasan Merapi menjadi
terancam dan semakin parah karena eksploitasi besar-besaran dengan menggunakan alat-alat
berat demi mengejar profit berlimpah. Para penambang manual ikut serta memperburuk
kondisi ini dengan mengeruk onggokan pasir di sembarang tempat, seperti lahan hutan dan
ladang. Meskipun demikian, para penambang manual tampaknya lebih sering menjadi
kambing hitam bagi rusaknya lingkungan. Perubahan status Merapi menjadi Taman Nasional
oleh pemerintah pusat sejalan dengan kewenangannya dalam mengatur konservasi kawasan.
Akan tetapi, kebijakan ini menyisakan masalah berkaitan dengan proses pe- ngambilan
keputusan dan masih menjadi perdebatan pada tahap implementasi. Selama proses pembuatan
kebijakan, pemerintah pusat tidak banyak melibatkan Pemda dan masyarakat selaku
kelompok yang paling mengalami dampak langsung dari kebijakan tersebut (the most
affected groups). Kalau demikian adanya, hal ini berarti bertentangan dengan UU No.
23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang harus melibatkan masyarakat luas. Di
samping itu, masalah Merapi tampaknya hanya dilihat dari masalah hutan semata. Padahal,
faktanya ada ribuansumber pemasukan. Sumber pemasukan lain, sebagaimana diatur dalam
Perda No. 3/2001, dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber. Sebagian besar berasal dari
beberapa perkumpulan atau perusahaaan yang terkait erat dengan aktivitas penambangan
pasir. Sumber pemasukan tersebut berbentuk bantuan finansial dan barang, retribusi,
kompensasi atau ganti rugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumber-sumber pemasukan ini
kurang punya kontribusi terhadap kondisi ekonomi penduduk lokal. Sumber pendapatan
berikutnya adalah dana block grant yang diperoleh setiap tahun dari pemerintah kabupaten.
Lebih jauh, desa-desa wilayah penelitian punya sektor penambangan yang sejatinya dapat
dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pemasukan yang sangat potensial. Akan tetapi,
tidak ada pembagian secara proprosional dengan kabupaten. Kemudian, tidak ada Perda atau
Keputusan Bupati yang mengatur pemanfaatan sektor tambang bagi desa. Dari semua sumber
pemasukan tadi, tampaknya hanya block grant yang selama ini menjadi sumber pendapatan
utama bagi desa. Sebagai sumber utama pemasukan desa, secara otomatis block grant juga
menjadi satu-satunya sumber bagi pembiayaan APBDesa (lihat Perda No. 6/2001) dimana
anggaran belanjanya harus sesuai dengan apa yang telah digariskan Bupati melalui
Keputusan No. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupun demikian, masih ada ruang bagi
keterlibatan masyarakat dalam menentukan anggaran belanja umum. Dengan kondisi seperti
ini, pemerintah kabupaten menciptakan keter-gantungan desa dan tetap mendominasi desa.
Dalam pandangan Sukasmanto (2004), block grant digunakan sebagai instrumen untuk
mengontrol desa. Sebetulnya, ada beberapa kemungkinan bagi desa-desa yang bertetangga di
lereng Merapi untuk melakukan kerjasama terkait dengan penambangan pasir, sejalan dengan

24
Perda No. 7/2001 tentang kerjasama antar desa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desa
dapat berperan sebagai faktor penentu dalam penerbitan SIPD berdasarkan Perda No.
23/2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan
untuk menambang pasir yang terkandung di lebih dari satu wilayah desa, diperlukan adanya
koordinasi antar kepala desa untuk memutuskan layak-tidaknya rekomendasi diberikan
kepada perusahaan yang mengajukan. Hal ini seharusnya dapat menjadi kesempatan untuk
menaikkan posisi tawar desa dalam mendapatkan dana komitmen dari perusahaan tambang
sekaligus posisi tawar di hadapan Bupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip. Koordinasi
antara desa juga penting untuk mengatur pembagian retribusi dan dana kompensasi dari
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayang sekali, kenyataannya
tidak ditemui adanya kerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karena dua hal: tidak
terakomodasi dalam kebijakan (Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnya inisiatif warga
desa. Secara garis besar kebijakan daerah tentang SIPD hampir serupa dengan kebijakan
provinsi sebelumnya. Keduanya sama-sama berorientasi pada peningkatan PAD yang
cenderung memihak perusahaan-perusahaan tambang bermodal besar dan, akhirnya,
mengkesampingkan para pekerja tambang manual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkan
oleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi, kondisi lingkungan kawasan Merapi menjadi
terancam dan semakin parah karena eksploitasi besar-besaran dengan menggunakan alat-alat
berat demi mengejar profit berlimpah. Para penambang manual ikut serta memperburuk
kondisi ini dengan mengeruk onggokan pasir di sembarang tempat, seperti lahan hutan dan
ladang. Meskipun demikian, para penambang manual tampaknya lebih sering menjadi
kambing hitam bagi rusaknya lingkungan. Perubahan status Merapi menjadi Taman Nasional
oleh pemerintah pusat sejalan dengan kewenangannya dalam mengatur konservasi kawasan.
Akan tetapi, kebijakan ini menyisakan masalah berkaitan dengan proses pe-ngambilan
keputusan dan masih menjadi perdebatan pada tahap implementasi. Selama proses pembuatan
kebijakan, pemerintah pusat tidak banyak melibatkan Pemda dan masyarakat selaku
kelompok yang paling mengalami dampak langsung dari kebijakan tersebut (the most
affected groups). Kalau demikian adanya, hal ini berarti bertentangan dengan UU No.
23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang harus melibatkan masyarakat luas. Di
samping itu, masalah Merapi tampaknya hanya dilihat dari masalah hutan semata. Padahal,
faktanya ada ribuan warga negara yang secara ekonomi, sosial, dan kultural bergantung pada
Merapi. Sebagai bukti, kegiatan penambangan pasir dan aspek mitigasi bencana akibat
volkanisme Merapi tidak termasuk bahan pertimbangan dalam konsep Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM). Keputusan tentang Taman Nasional tersebut juga mengandung
beberapa cacat karena kajian kelayakan lingkungan ternyata belum beres. Sehingga, lagi-lagi
keputusan itu bertentangan dengan UU No. 41/1999 tentang pemanfaatan lahan dan hutan
(Kompas, 26 Mei 2004).

25
DAFTAR PUSTAKA

http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-otonomi-daerah-tujuan-asas.html
http://azekekarora.blogspot.co.id/2013/11/pemerintahan-pusat-dan-daerah.html
http://pkn-ips.blogspot.co.id/2014/11/hak-dan-kewajiban-daerah-otonom.html
http://merinaastuti.blogspot.co.id/2013/09/mengetahui-dampak-
positifdannegatif.html
https://mas-alahrom.my.id/semua-artikel/mapel/pkn/otonomi-daerah-dalam-konteks-
negara-kesatuan-republik-indonesia
https://www.scribd.com/embeds/366635235/content?
start_page=1&view_mode=scrole&acces_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKWf

26

Anda mungkin juga menyukai