Anda di halaman 1dari 12

KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA

OTONOMI DAERAH
Studi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah

Toton Witono

ABSTRAK

Penelitian ini menggali pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah dan mengungkap perannya
dalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan melalui kasus penambangan pasir di kawasan
Gunung Merapi. Dengan pendekatan induktif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (i) mengkaji
dokumen terkait; (ii) mewawancarai berbagai pihak; dan (iii) mengobservasi kegiatan penambangan,
kehidupan para penambang, dan kondisi lingkungan. Hasil kajian eksploratori ini menunjukkan pelaksanaan
otonomi daerah tingkat desa sangat bergantung pada pemerintah kabupaten. Dominasi tingkat atas dan
ketergantungan desa masih sangat kentara. Di samping itu, otonomi daerah tidak banyak menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang dapat berperan mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan
bagi aktivitas penambangan pasir Merapi. Kebijakan yang ada cenderung berorientasi pendapatan daerah
tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut lebih memihak pada kaum pemodal
(para pengusaha) dan memarginalkan penambang manual. Sistem penambangan rakyat lebih tepat untuk
mengentaskan kemiskinan dan dengan pengawasan ketat demi menghindari kerusakan lingkungan.

Kata kunci : otonomi daerah, kemiskinan, dan lingkungan

I. PENDAHULUAN ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga tidak


berdaya menurunkan angka pengangguran.
Banyak kalangan menilai kebijakan Sebagai ilustrasi, angka pengangguran tahun
otonomi daerah (Otda) adalah semacam 1994 hanya 3,2%. Satu dekade kemudian,
kompensasi ketakpuasan orang-orang daerah tahun 2004, persentasenya meningkat hingga
akibat sistem pemerintahan sentralistik (Huda, 10,3% (Usman, 2004; Maryatmo, 2005). Di
2004). Krisis ekonomi tahun 1997 memicu samping itu, dalam hal pengentasan
berbagai tuntutan daerah untuk mendapatkan kemiskinan kontribusi Otda masih diper-
kekuasaan atau kewenangan lebih besar tanyakan. Alih-alih mengakomodasi aspirasi
mengurus dan menyelesaikan masalah- dan partisipasi rakyat dalam pembangunan,
masalah mereka sendiri dan pembagian Otda telah menjadi alat pemuas kepentingan
keuntungan hasil eksploitasi sumber daya alam elit lokal dan para pemodal. Pemerintah daerah
(Ismawan, 2002; McCharty, 2004). Atas dasar (Pemda) bahkan berlomba-lomba mengeruk
itu, diterbitkanlah Undang-undang No. 22 kekayaan alam untuk meningkatkan
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memper-
No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan timbangkan kondisi lingkungan dan ekonomi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua masyarakat bawah (Ismawan, 2002; Setiaji,
UU ini menjadi pijakan pelaksanaan kebijakan 2004). Dengan latar belakang seperti ini, usaha
desentralisasi. Tahun 2004, UU No. 22/1999 pelestarian lingkungan dan perbaikan
direvisi menjadi UU No. 32/2004 dengan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari
beberapa perubahan signifikan. harapan.
Pada kenyataannya, efektivitas pelak- Penelitian tentang tema ini pada intinya
sanaan kebijakan Otda ini belum mampu bertujuan untuk: (i) mengetahui bagaimana
menyelesaikan masalah. Otda menciptakan implementasi konsep Otda di tingkat
kesenjangan ekonomi antar daerah yang pemerintahan paling bawah; (ii) memahami
sebagian disebabkan oleh perbedaan peran Otda dalam mengentaskan kemiskinan
kekayaan sumber daya alamnya. Setelah krisis dan menjaga kelestarian lingkungan; dan (iii)

21
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

mengetahui pola hubungan antara kemiskinan Akibatnya, karena ketiadaan izin tersebut,
dan lingkungan dalam kasus komunitas pekerjaan mereka dikatakan sebagai
penambang pasir di lereng Merapi. Pada penambangan liar.
akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat
Deposit pasir ditambang tidak hanya dari
memberi kontribusi bagi perbaikan kebijakan
sungai (riverbank), tetapi juga dari tebing sungai,
Otda yang sarat akan utopis pengentasan
hutan, dan tanah pertanian. Di samping
kemiskinan dan sustainabilitas ekologi.
mengancam nyawa para penambang itu sendiri
ketika mereka menambang, seperti ancaman
II. DESKRIPSI MASALAH longsoran tebing dan aliran lahar atau awan
panas ketika Merapi aktif, penambangan
Kawasan Merapi memiliki kandungan tersebut juga menimbulkan kerusakan
sumber daya alam melimpah. Salah satunya lingkungan yang luas, di antaranya peng-
adalah tambang pasir. Akan tetapi, gundulan hutan (deforestasi), pengupasan
kemakmuran penduduk yang mendiaminya sulit tanah/soil di lahan hutan dan pertanian (land
terwujud dan kondisi ekologinya pun semakin clearing), dan pengurangan suplai air bagi
terancam. Dalam kasus aktivitas penambangan pertanian dan wilayah lereng bawah.
di lereng Gunung Merapi, Otda diuji dari sisi
peluang dan tantangan dalam pemberantasan Berangkat dari gambaran di atas,
kemiskinan dan upaya pelestarian lingkungan. rumusan masalah (research question) penelitian
ini adalah: Kebijakan otonomi daerah berperan
Aktivitas penambangan pasir berada di dalam melahirkan kesenjangan aktivitas
sepanjang sungai-sungai yang berhulu di penambangan pasir di wilayah Gunung
puncak Merapi. Material volkanik hasil erupsi Merapi. Perumusan ini dikaitkan dengan
Merapi dimuntahkan dan dialirkan sepanjang kegagalan pengentasan kemiskinan dan
sungai-sungai di lereng Merapi. Sudah sejak pelestarian lingkungan dimana ruh kebijakan
lama material pasir dan batu ditambang secara Otda di tingkat bawah dieksplorasi untuk
manual oleh penduduk lokal maupun mendapatkan kerangka bagi kebijakan
pendatang. Mereka disebut penambang pengelolaan tambang pasir, khususnya yang
tradisional. Sejak awal tahun 1990-an, alat berat terkait dengan masalah kemiskinan dan
seperti backhoe (dalam bahasa lokal disebut lingkungan.
bego) dan excavator mulai digunakan untuk
mengeruk pasir dan batu dalam skala besar.
Eksploitasi dengan teknologi berat ini dilegalkan III. DAERAH PENELITIAN
oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah dengan Penelitian ini dilakukan pada paruh awal
maksud mengatur aktivitas penambangan dan tahun 2005 di kawasan Gunung Merapi,
memperoleh pemasukan dana bagi provinsi. Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan Kabupaten Magelang terdiri dari 21
kebijakan Otda (UU No. 22/1999 dan UU No. kecamatan. Tiga di antaranya berada di lereng
25/1999), kewenangan pengelolaan Bahan baratdaya-selatan Gunung Merapi, yakni
Galian Golongan C (BGGC) diserahkan ke Srumbung, Dukun, dan Sawangan. Srumbung
Pemda kabupaten dan kota. Bahan tambang berada di lereng baratdaya. Kecamatan ini
pasir dan batu termasuk dalam BGGC. Baik memiliki luas wilayah 53,18 km2 dan 17 desa
regulasi penambangan pasir Merapi yang dengan ketinggian rata-rata 501 m di atas
dibuat pemerintah provinsi maupun Pemda permukaan laut.
berdasarkan kebijakan Otda ternyata tidak jauh
berbeda. Regulasi tesebut, pada intinya, Daerah penelitian mencakup tujuh desa
mengharuskan setiap kegiatan penambangan di Kecamatan Srumbung: Kaliurang, Kemiren,
memiliki izin dari pemerintah. Namanya Surat Ngablak, Ngargosuko, Mranggen, Tegalrandu,
Izin Penambangan Daerah (SIPD). Sementara dan Sudimoro. Alasan pemilihan daerah
ada ribuan penambang tradisional yang penelitian adalah karena ketujuh desa tersebut
menggantungkan hidupnya pada pekerjaan dilewati lima dari 13 sungai yang ada di lereng
menambang ini, kebanyakan dari mereka tidak Merapi dimana endapan pasir volkanik sangat
mampu memiliki SIPD karena satu dan lain hal. potensial ditambang. Kelima sungai tersebut
yaitu Kali Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng,

22
Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

dan Krasak. Di lima sungai ini pula aktivitas Kajian literatur pertama sekali dilakukan
penambangan pasir masih intensif dilakukan dalam rangka memahami konsep Otda dan
baik oleh perusahaan tambang maupun para berbagai kebijakan menyangkut pengelolaan
penambang manual dan penduduk lokal sumber daya alam secara umum. Berbagai
kondisi kualitas hidup yang kurang baik. dokumen yang relevan, semacam perundang-
undangan, lembar kebijakan (peraturan atau
keputusan), arsip, draft, dan lain-lain, juga
IV. METODE PENELITIAN dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Metode induktif digunakan untuk Wawancara open-ended dilaksanakan
mengeksplorasi penerapan kebijakan Otda untuk lima kategori informan kunci: tiga pejabat
kaitannya dengan isu kemiskinan dan pemerintah daerah Magelang; sepuluh elit lokal
lingkungan di wilayah Merapi, karena literatur (enam kepala desa dan empat ketua atau
tentang tema ini belum kuat untuk menjawab anggota Badan Perwakilan Desa); enam
rumusan masalah penelitian ini (Friedman, pengurus organisasi setempat; tiga aktivis
1998). Alasan lain adalah bahwa peneliti lembaga non-pemerintah; dan tujuh pekerja/
memiliki keterbatasan pemahaman akan buruh yang terkait dengan kegiatan
masalah yang dikaji (Marlow, 2001; Singleton penambangan pasir.
dan Straits, 1999). Rumusan masalah penelitian
ini menggunakan kerangka “process question,” Wawancara mendalam (in-depth interview)
yang secara eksplisit tidak perlu ada variabel dijabarkan dari pedoman wawancara yang
yang akan diobservasi untuk kemudian diuji telah tersusun (interview guide) untuk
ada tidaknya hubungan kausalitas antar mengembangkan diskusi dan mengecek/
variabel (Maxwell, 1996). Dengan demikian, membandingkan data yang telah diperoleh dari
penelitian ini menggunakan kajian eksploratori satu sumber ke sumber lain sebagai bagian dari
(exploratory study). proses analisis hasil pengumpulan data (Ezzy,
2002). Hal ini dimaksudkan sebagai tes validitas
Strategi penelitian yang dipakai berupa dan reliabilitas data. Meskipun demikian,
studi kasus (case study). Gambaran tentang informasi atau pandangan satu informan tidak
pelaksanaan Otda di tingkat bawah diperoleh secara eksplisit dikonfrontasikan dengan
dari tujuh desa wilayah penelitian. Informasi ini informan lain. Ketika membandingkan suatu
diperlukan sebagai konteks dimana kegiatan data, anonimitas informan tetap dijaga demi
penambangan pasir berada. Kegiatan mengeliminasi segala kemungkinan resiko baik
penambangan di lereng Merapi sejak awal bagi informan maupun peneliti (Punch, 1994;
sampai penelitian ini berjalan ditelusuri untuk Babbie, 1998; Rubin dan Babbie, 2001).
memahami berbagai konsekuensi penerapan
Karena in-depth interview dilakukan
Otda terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi
terhadap beberapa kategori informan yang
penduduk lokal. Terakhir, pola hubungan antara
berbeda, otomatis dijumpai komentar dan/atau
kemiskinan dan lingkungan dalam kasus ini juga
pandangan yang berbeda-beda, meskipun
dianalisis.
tema masalah yang diwawancarakan sama.
Teknik pengumpulan data yang digunakan Pada tahap ini, peneliti menggunakan
adalah kajian literatur, interview, dan observasi “kristalisasi” ketimbang triangulasi. Kristalisasi
lapangan. Teknik ini digunakan untuk adalah satu istilah yang dipakai Richardson
memperoleh pemahaman yang baik tentang untuk merujuk ke satu desain penelitian yang
fenomena yang diteliti. Penggunaan teknik dan relatif baru yang muncul dalam konteks
instrumen yang berbeda dalam penelitian Posmodern. Konsep ini mengibaratkan subjek
kualitatif dinamakan triangulasi (interdisciplinary penelitian seperti layaknya citra (image) kristal
triangulation) yang bertujuan untuk validasi data. yang memiliki warna dan struktur yang
Data atau berbagai penemuan diperoleh memantulkan keindahan internal dan akan
melalui penggunaan dua sampai tiga teknik menampakkan citra yang berbeda-beda
atau pendekatan berbeda yang tidak punya tergantung dari sisi mana dilihat (angle). Segala
kelemahaman serupa secara metodologis kenampakan kristal dari berbagai arah tersebut
(Singleton dan Straits, 1999; Janesick, 2003; adalah relevan. Dengan kristalisasi, akan
Denzin dan Lincoln, 2003). diperoleh “… pemahaman tentang topik
tertentu secara mendalam, kompleks, dan

23
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

tajam. Kita tahu lebih, akan tetapi kita Merapi membuat para penambang manual
meragukan apa yang kita tahu” (Richardson, dikategorikan sebagai penambang liar
1994: 522). Dengan demikian, pandangan, (Anonim, 2000). Hal ini karena mereka tidak
perspektif, dan tanggapan yang berbeda-beda mengantongi izin menambang (SIPD) karena
tentang tema yang sama diakomodasi dalam ketakmampuan finansial dalam memenuhi
penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini persyaratan yang terkait dengan uang. Karena
menampung suara dari berbagai informan hidup mereka bergantung pada kegiatan ini,
yang berbeda dari segi kelas sosial, status, atau mereka terpaksa menambang secara ilegal.
profesi. Sampai era Reformasi berjalan, status mereka
Observasi lapangan dilaksanakan untuk tetap sebagai penambang liar di bawah
mendapatkan data tentang aktivitas pe- peraturan daerah (Perda) No. 23/2001 karena
nambangan pasir di wilayah penelitian. Selaku alasan yang sama, yakni masalah finansial.
pengamat murni (complete observer), peneliti Bahkan, ketika Bupati Magelang mengeluarkan
membuat catatan yang menggambarkan Keputusan No. 19/2004 untuk menghentikan
kegiatan penambangan yang dilakukan para kegiatan penambangan di lima sungai di akhir
penambang manual dan kondisi hidup 2004, mereka masih melakukan aktivitas
keseharian mereka dan juga kondisi lokasi penambangan seperti biasa.
penambangan (Rubin dan Babbie, 2001). Di samping ketiadaan modal, “izin prinsip”
dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangat
V. HASIL PENELITIAN DAN menentukan di tahap awal memperoleh SIPD,
bisa menjadi alasan lain mengapa mereka
PEMBAHASAN tidak mampu mengantongi izin. Kebanyakan
penambang manual adalah buta huruf dan
A. Penambangan Pasir di Merapi
tidak paham akan prosedur birokratis.
Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapi Keluarnya izin prinsip menjadi sangat
yang sangat potensial mengandung endapan bergantung pada kehendak Bupati. Ini bisa jadi
pasir. Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanik karena didorong oleh kenyataan bahwa usaha
dialirkan ke sungai-sungai di lereng selatan penambangan yang berstatus badan hukum
hingga barat puncak Gunung Merapi, yaitu (perusahaan tambang) dapat memberi
Pabelan (Trising and Senowo), Lamat, kontribusi pendapatan daerah yang jauh lebih
Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng, dan Krasak besar dibanding para penambang tradisional.
yang terletak di Kabupaten Magelang. Di Kenaikan PAD dari sektor tambang inilah yang
antara sungai-sungai tersebut, Pabelan/ tampaknya menjadi motif utama diterbitkannya
Senowo, Lamat, Putih, dan Bebeng paling Perda pengelolaan penambangan pasir.
intensif ditambang. Sejarahnya, para Jumlah penambang pasir selalu berubah
penambang manual telah jauh memulai dan tidak pasti. Satu sumber mengestimasi
pekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatan sekitar 1500 penambang manual di tahun
penambangan ini masih bebas dilakukan dan 1995, 3000 orang pada 1998, dan 4370
semakin menjadi sumber penghidupan bagi penambang pada 2001. Sumber lain,
penduduk lokal Merapi maupun bagi sebagaimana dilaporkan Kompas, mencatat
para pendatang dari sekitar Magelang, ada 4000-an penambang. Sebagian besar
Temanggung, Wonosobo, Semarang, Salatiga, masuk dalam keanggotaan Paguyuban
dan wilayah lain di provinsi Jawa Tengah. Di Gotong Royong (GORO), sebuah organisasi
awal tahun 1990-an, alat-alat berat mulai berpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitas
digunakan untuk menambang pasir dan mulai penambangan pasir di Kabupaten Magelang
menggeser aktivitas para penambang (Kompas, 16 Februari 2005).
tradisional. Sejak saat itu, deposit pasir di
kawasan Merapi secara masif dieksploitasi Lokasi tambang atau bekas tambang
baik secara manual maupun dengan teknologi tersebar di banyak tempat, terutama di lahan
modern. hutan di lereng Gunung Merapi. Endapan pasir
dikeruk dimana-mana oleh para penambang
Pemberlakuan peraturan pemerintah manual secara berkelompok tiga sampai lima
provinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1994 tentang orang. Para pengeruk dan pengumpul pasir ini
manajemen penambangan pasir di lereng

24
Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

dalam bahasa keseharian mereka disebut memegang peran kunci. Peran tersebut di
pengepul. antaranya meliputi rekomendasi boleh-tidaknya
suatu perusahaan menambang pasir beserta
Sedimen pasir volkanik ditambang dana sumbangan dari pemberian rekomendasi
dengan tiga cara: menggali lahan/tanah; tersebut, kompensasi tanah melalui kontrak, dan
mengepras tebing sungai atau bukit; dan
retribusi.
menambang bukit. Teknik pertama dilakukan
untuk menambang deposit pasir di lahan hutan Kemudian, pada level pusat, kewenangan
atau pertanian dengan cara menghilangkan pemerintah dalam hal konservasi kawasan telah
lapisan soilnya (land clearing) dimana pohon digunakan untuk mengubah status Merapi
dan semak-belukar ditebang dan disingkirkan menjadi Taman Nasional. Kewenangan ini juga
terlebih dahulu. Penggalian deposit pasir masih harus melibatkan penduduk lokal dalam
dengan metode ini hingga sedalam 1-2 m. proses pembuatan kebijakan. Di sini, institusi-
Penggalian dilakukan di sembarang lahan institusi demokratis tingkat desa diharuskan
secara ekstensif, sehingga deforestasi juga dapat menampung aspirasi dan harapan or-
menjadi intensif dan lubang-lubang bekas ang-orang desa.
galian dibiarkan dimana-mana. Cara kedua
Penerapan kebijakan desentralisasi di
adalah dengan cara menggali tebing sungai
tingkat bawah terutama tercermin pada
atau bukit. Cara penggalian seperti ini
kewenangan desa untuk membuat Perdes yang
menyisakan lubang-lubang horisontal dan
menampung segala peraturan, cita-cita dan
bukit-bukit kecil yang curam dan labil. Kondisi
kepentingan masyarakat, dan keuangan desa
macam ini sangat mengancam keselamatan
(Perda No. 1/2000). Kemudian, pendapatan
para penambang karena bukit-bukit tersebut
desa, APBDesa, dan kerjasama antar desa
bisa runtuh setiap saat. Cara terakhir adalah
diatur dalam Perdes; dan aktor dari pembuatan
dengan menggali pasir dari atas bukit pada
Perdes ini adalah BPD dengan melibatkan
ketinggian tertentu dan hasil galian dijatuhkan
eksekutif desa dan masyarakat (Perda No. 10/
ke kaki bukit. Cara penambangan seperti ini
2000). Pada kenyataannya, secara garis besar
juga sangat membahayakan karena tebing bukit
pembuatan Perdes di kebanyakan desa di
mudah longsor.
kecamatan Srumbung terlalu didominasi oleh
B. Penambangan Pasir dalam eksekutif dan legislatif desa dan dikendalikan
kabupaten. Sebagai contoh, Perdes seputar
Kerangka Otonomi Daerah
APBDesa yang akan ditetapkan telah ditentukan
Dalam kegiatan penambangan pasir atau harus sesuai dengan kehendak Bupati
terkait dengan isu kesejahteraan sosial dan melalui keputusan-keputusannya. Dengan
kelestarian lingkungan, kebijakan Otda dilihat begitu, tidak berlebihan apabila apa yang
dan diuji pada tiga tingkatan pemerintahan: disebut Dwipayana dan Eko (2003: xi) sebagai
pemerintah desa, Pemda, dan pemerintah “formalisasi politik desa” atau oleh Dwipayana
pusat. Secara keseluruhan, kebijakan Otda et al. (2003a: 96) disebut “formalisme
memposisikan pemerintah dan/atau warga demokratik di desa” telah terbukti adanya. Hal
desa sebagai peran penentu di tingkatan yang sama terjadi pada institusi BPD. Secara
daerah dan pusat. umum, badan ini belum mampu mendorong
demokratisasi tingkat desa karena tidak muncul
Pada tingkatan pemerintah desa, dari bawah, tetapi dari atas. Hal ini terjadi
pelaksanaan Otda ditunjukkan oleh kehadiran karena BPD berposisi sebagai sebuah institusi
beberapa elemen desa. Bentuk-bentuk formal-korporatif di tingkat desa (Dwipayana
pelaksanaannya berupa Perda dan Keputusan et al., 2003b).
Bupati, peraturan desa (Perdes), Badan
Perwakilan Desa (BPD), sumber pendapatan Ada beberapa sumber bagi pendapatan
desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa desa. Sumber pertama adalah tanah Bengkok.
(APBDesa), dan kerjasama antar desa. Keputusan Bupati No. 188.4/353/KEP/06/
2001 secara khusus merujuk ke peralihan
Di tingkatan daerah, salah satu bentuk kepemilikan atau pemanfaatan Bengkok
kewenangan kabupaten yang berupa regulasi sebagai sumber pendapatan desa, meskipun
penambangan pasir melalui penerbitan SIPD tidak mencukupi atau tidak memadai sebagai
memungkinkan pemerintah desa bisa

25
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

sumber pemasukan. Sumber pemasukan lain, layak-tidaknya rekomendasi diberikan kepada


sebagaimana diatur dalam Perda No. 3/2001, perusahaan yang mengajukan. Hal ini
dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber. seharusnya dapat menjadi kesempatan untuk
Sebagian besar berasal dari beberapa menaikkan posisi tawar desa dalam
perkumpulan atau perusahaaan yang terkait erat mendapatkan dana komitmen dari perusahaan
dengan aktivitas penambangan pasir. Sumber tambang sekaligus posisi tawar di hadapan
pemasukan tersebut berbentuk bantuan finansial Bupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip.
dan barang, retribusi, kompensasi atau ganti Koordinasi antara desa juga penting untuk
rugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumber- mengatur pembagian retribusi dan dana
sumber pemasukan ini kurang punya kontribusi kompensasi dari dampak lingkungan yang
terhadap kondisi ekonomi penduduk lokal. ditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayang
Sumber pendapatan berikutnya adalah dana sekali, kenyataannya tidak ditemui adanya
block grant yang diperoleh setiap tahun dari kerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karena
pemerintah kabupaten. Lebih jauh, desa-desa dua hal: tidak terakomodasi dalam kebijakan
wilayah penelitian punya sektor penambangan (Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnya
yang sejatinya dapat dimanfaatkan untuk inisiatif warga desa.
mendapatkan sumber pemasukan yang sangat
Secara garis besar kebijakan daerah
potensial. Akan tetapi, tidak ada pembagian
tentang SIPD hampir serupa dengan kebijakan
secara proprosional dengan kabupaten.
provinsi sebelumnya. Keduanya sama-sama
Kemudian, tidak ada Perda atau Keputusan
berorientasi pada peningkatan PAD yang
Bupati yang mengatur pemanfaatan sektor
cenderung memihak perusahaan-perusahaan
tambang bagi desa. Dari semua sumber
tambang bermodal besar dan, akhirnya,
pemasukan tadi, tampaknya hanya block grant
mengkesampingkan para pekerja tambang
yang selama ini menjadi sumber pendapatan
manual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkan
utama bagi desa.
oleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi,
Sebagai sumber utama pemasukan desa, kondisi lingkungan kawasan Merapi menjadi
secara otomatis block grant juga menjadi satu- terancam dan semakin parah karena eksploitasi
satunya sumber bagi pembiayaan APBDesa besar-besaran dengan menggunakan alat-alat
(lihat Perda No. 6/2001) dimana anggaran berat demi mengejar profit berlimpah. Para
belanjanya harus sesuai dengan apa yang penambang manual ikut serta memperburuk
telah digariskan Bupati melalui Keputusan kondisi ini dengan mengeruk onggokan pasir
No. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupun di sembarang tempat, seperti lahan hutan dan
demikian, masih ada ruang bagi keterlibatan ladang. Meskipun demikian, para penambang
masyarakat dalam menentukan anggaran manual tampaknya lebih sering menjadi
belanja umum. Dengan kondisi seperti ini, kambing hitam bagi rusaknya lingkungan.
pemerintah kabupaten menciptakan keter-
Perubahan status Merapi menjadi Taman
gantungan desa dan tetap mendominasi desa.
Nasional oleh pemerintah pusat sejalan dengan
Dalam pandangan Sukasmanto (2004), block
kewenangannya dalam mengatur konservasi
grant digunakan sebagai instrumen untuk
kawasan. Akan tetapi, kebijakan ini menyisakan
mengontrol desa.
masalah berkaitan dengan proses pe-
Sebetulnya, ada beberapa kemungkinan ngambilan keputusan dan masih menjadi
bagi desa-desa yang bertetangga di lereng perdebatan pada tahap implementasi. Selama
Merapi untuk melakukan kerjasama terkait proses pembuatan kebijakan, pemerintah pusat
dengan penambangan pasir, sejalan dengan tidak banyak melibatkan Pemda dan
Perda No. 7/2001 tentang kerjasama antar masyarakat selaku kelompok yang paling
desa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desa mengalami dampak langsung dari kebijakan
dapat berperan sebagai faktor penentu dalam tersebut (the most affected groups). Kalau
penerbitan SIPD berdasarkan Perda No. 23/ demikian adanya, hal ini berarti bertentangan
2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yang dengan UU No. 23/1997 tentang pengelolaan
diinginkan oleh perusahaan-perusahaan untuk lingkungan hidup yang harus melibatkan
menambang pasir yang terkandung di lebih dari masyarakat luas. Di samping itu, masalah
satu wilayah desa, diperlukan adanya Merapi tampaknya hanya dilihat dari masalah
koordinasi antar kepala desa untuk memutuskan hutan semata. Padahal, faktanya ada ribuan

26
Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

warga negara yang secara ekonomi, sosial, didukung oleh GORO. Dengan kata lain,
dan kultural bergantung pada Merapi. Sebagai mereka berada di bawah otoritas dan
bukti, kegiatan penambangan pasir dan aspek patronase paguyuban ini. Selama ini, GORO
mitigasi bencana akibat volkanisme Merapi sampai tahap tertentu menjadi semacam
tidak termasuk bahan pertimbangan dalam benteng bagi aktivitas penambangan pasir
konsep Taman Nasional Gunung Merapi Merapi dari intervensi lembaga-lembaga non-
(TNGM). Keputusan tentang Taman Nasional pemerintah yang peduli akan masalah
tersebut juga mengandung beberapa cacat kemiskinan desa dan isu lingkungan. Sampai
karena kajian kelayakan lingkungan ternyata periode tertentu, paguyuban ini juga pernah
belum beres. Sehingga, lagi-lagi keputusan itu memiliki hubungan khusus dengan pemodal
bertentangan dengan UU No. 41/1999 besar dan elit pusat dalam rangka
tentang pemanfaatan lahan dan hutan mengamankan bisnis penambangan di sana.
(Kompas, 26 Mei 2004). Tidak mengherankan apabila organisasi ini
sering dicitrai kurang baik dan keberadaannya
C. Kemiskinan dan Ketertindasan ditentang baik oleh pejabat kabupaten maupun
Para penambang manual asal luar Merapi masyarakat luar lingkaran pengaruh GORO.
sudah bertahun-tahun tinggal di lereng Gunung Keadaan ini menyebabkan organisasi atau
Merapi di gubug-gubug atau tempat tinggal lembaga non-pemerintah enggan melakukan
sederhana secara berkelompok di sepanjang pemberdayaan penambang manual karena
tebing sungai. Sebenarnya wilayah yang mereka mereka diidentikan dengan GORO itu sendiri.
tinggali termasuk zona terlarang dalam peta Di samping itu, pemerintah daerah dan desa
zonasi bahaya volkanik Merapi. Hidup dan menjadi kurang peduli terhadap pelayanan
harta benda mereka berada di bawah ancaman sosial bagi mereka. Dengan demikian, keadaan
nyata Gunung Merapi, seperti awan panas ini dapat dikatakan sebagai ketiadaan
(nuée ardente atau Wedhus Gembel dalam pemberdayaan dan akses pelayanan sosial.
bahasa lokal) dan aliran lahar baik ketika Karena mayoritas penambang pasir
Merapi aktif maupun tidak. Singkatnya, mereka berasal dari luar, penduduk desa lereng Merapi
hidup dengan kondisi buruk karena kurang merasa keberatan dengan kegiatan
layaknya pemenuhan kebutuhan dasar manusia: penambangan tersebut. Alasannya adalah
tempat tinggal, sanitasi, kesehatan, pendidikan, bahwa sementara kandungan sumber daya
lingkungan. Kondisi seperti itu disebut sebagai alam di tanah mereka dimanfaatkan orang lain,
kemiskinan karena “ketakmampuan mereka mereka lah yang harus menanggung dampak
memenuhi standar hidup minimal” (Cox, 1996). lingkungan dari eksploitasi tersebut. Kondisi
Meskipun telah bertahun-tahun tinggal di macam ini cukup dilematis. Satu sisi, ini tentu
lereng Merapi, sebagian ada yang sudah saja tidak adil bagi penduduk Merapi, tetapi
belasan tahun, status kependudukan mereka di sisi lain juga tidak adil kalau hanya
masih dari daerah asal. Dengan demikian, penambang manual saja yang dipersalahkan.
pada satu sisi, mereka belum diakui sebagai Alasannya, agen utama perusak lingkungan
penduduk desa dimana sekarang mereka Merapi adalah mereka yang menggunakan
tinggal. Di sisi yang lain, mereka dianggap tidak alat-alat berat untuk mengeruk pasir Merapi,
ada di daerah asal mereka. Keadaan ini yang kebanyakan juga orang luar Merapi, di
membuat mereka hidup dengan pelayanan samping penduduk Merapi sendiri.
sosial yang sangat terbatas atau bahkan tidak
ada, baik dari pemerintah pusat maupun Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
daerah, seperti pelayanan kesehatan, komunitas pengumpul pasir lereng Merapi
pendidikan, atau pelayanan sosial lain. Paling mengalami “Kemiskinan multidimensional”.
jauh, dari sisi aspirasi politik, mereka baru Istilah ini merujuk ke suatu keadaan dimana
dilibatkan oleh partai politik tertentu hanya dimensi politik, sosial, kultural, ekologi, sejarah,
ketika masa-masa kampanye Pemilihan Umum dan ekonomi telah tercerabut. Lebih jelasnya,
(Pemilu) berlangsung untuk menambah para pengumpul pasir dikatakan miskin karena:
perolehan suara. ketiadaan akses terhadap pelayanan sosial,
adanya penghalang sosial-kultural, kondisi
Keberadaan penambang manual beserta kesehatan, sanitasi, dan pendidikan yang
aktivitasnya di lereng Merapi tampaknya kurang baik serta berbagai keterbatasan lain,

27
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

tempat menambang dan tempat tinggal yang untuk “mencari sumber masalah mereka,
sangat beresiko terkena ancaman Merapi. mengeksplorasi kebutuhan mereka, dan
Karena tidak ada pemberdayaan, mereka juga menemukan strategi mereka sendiri” (Adams,
tidak memiliki representasi dan partisipasi sosial- 2003:130).
politik, dicap dengan berbagai anggapan
buruk (prejudice dan stereotype), ketiadaan D. Pola Hubungan Kemiskinan dan
akses informasi dan teknologi (Snel, 2002). Lingkungan
Dalam perspektif Hak Azasi Manusia Setidaknya terdapat tiga pola atau bentuk
(HAM), kemiskinan penambang manual lebih hubungan kemiskinan (atau kaum miskin) dan
baik dipahami dengan cara bagaimana lingkungan dalam kasus aktivitas penam-
“kemiskinan itu dialami dan dirasakan oleh si bangan di lereng Merapi. Pertama, kaum miskin
miskin itu sendiri,” karena kemiskinan tiap or- (penambang tradisional) berperan sebagai
ang berbeda tergantung waktu dan konteks. agen kerusakan lingkungan. Kedua, mereka
Oleh karena itu, inti permasalahannya bukan juga sekaligus menjadi korban bencana
pada apakah mereka miskin atau tidak menurut lingkungan karena harta-benda dan hidup
standar kemiskinan tertentu. Akan tetapi, apabila mereka berada di bawah ancaman aktivitas
kebutuhan dasar mereka tidak mampu volkanisme Gunung Merapi (Shyamsundar,
terpenuhi, hak azasi mereka dilanggar, mereka 2002). Ketiga, lingkungan hidup yang di
dikatakan miskin. Keinginan dan kebutuhan dalamnya terkandung sumber daya alam dapat
tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam dijadikan sebagai aset penting untuk
hak-hak yang harus mereka perjuangkan oleh mengentaskan kemiskinan.
mereka sendiri (Goldewijk dan de Gaay-
Fortman, 1999: 90; Wahono, 2005). Kaitannya dengan penambangan pasir,
lingkungan Merapi sedang terancam. Seperti
Secara keseluruhan, komunitas pe- telah dijelaskan, kerusakan lingkungan
nambang manual mengalami berbagai bentuk ditimbulkan oleh eksploitasi intensif penam-
penindasan atau diskriminasi di semua bangan modern, dan penambang manual
tingkatan: personal, kultural, dan struktural. memperburuk kondisi tersebut. Konsekuensi
Penindasan personal yang dimaksud adalah ekologisnya di antaranya adalah sebagai
bahwa mereka dilabeli dengan penilaian berikut: deforestasi, berkurangnya pasokan air
negatif (negative prejudgement) oleh para elit bagi air permukaan maupun air bawah tanah
lokal, pejabat pemerintah daerah, atau daerah sekitar, rusaknya tebing dan dasar
masyarakat kebanyakan. Mereka dianggap sungai yang natural, menumpuknya sisa/limbah
sebagai kelompok orang yang sulit diatur, tak penambangan pasir berupa blantak (batuan
terkontrol, dan pembangkang. Lebih jauh lagi, volkanik sisa pengayakan pasir yang berukuran
sebagai penambang liar, mereka juga sering kerikil dan kerakal), yang dapat mengganggu
dikambinghitamkan sebagai oknum kerusakan jalannya aliran lahar.
lingkungan yang ada di Merapi. Penindasan
kultural yang mereka alami bahwa masyarakat Di samping kerusakan ekologi, para
umum mencurigai dan menganggap mereka pengepul pasir juga terancam oleh bencana
sebagai orang-orang pelarian (karena volkanik Merapi, seperti aliran dan lontaran
melakukan tindak kriminal di kampung asalnya), piroklastik dan awan panas ketika erupsi
orang-orang bermasalah, atau kaum miskin Merapi terjadi sewaktu-waktu. Dalam hal ini,
desa. Penindasan yang ketiga, karena tidak lingkungan berarti dapat menimbulkan bencana
dilibatkan dalam institusi, proses, atau kegiatan kematian dan juga kerusakan harta-benda
sosial, mereka bisa dikatakan mengalami penduduk.
penindasan struktural. Selain itu, mereka juga Kontribusi lingkungan dapat dijelaskan
dimarginalkan dan dimiskinkan karena dari sisi ekonomi bagi penduduk lokal dengan
kebijakan pemerintah di tingkat daerah (Mullaly, cara pemanfaatan sumber daya alam, seperti
2002: 49). Untuk memberantas penindasan deposit pasir dan batu volkanik untuk bahan
yang dialami para penambang manual ini bangunan baik kontribusi langsung maupun
adalah melalui pemberdayaan sosial. Seperti tak lansung. Kontribusi langsung berupa
konsep Paulo Freire, dengan memakai kata- pemanfaatan material pasir dan batu untuk
kata Mayo, pemberdayaan tersebut bertujuan membangun rumah mereka, jalan aspal, atau

28
Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

fasilitas publik lain. Sedangkan, kontribusi tak VI. KESIMPULAN DAN SARAN
langsung diperoleh ketika mereka menambang
pasir-batu untuk mereka jual dan juga Kaitannya dengan isu kemiskinan dan
perolehan manfaat ekonomi lain yang terkait lingkungan, otonomi daerah sebenarnya dapat
dengan aktivitas penambangan tersebut, seperti berperan di tingkat pemerintah pusat, daerah,
warung makan-minum, bengkel, jasa hingga desa. Keterlibatan masyarakat akar
transportasi, dan sebagainya. rumput bersama pemerintah desa juga
dapat memengaruhi dan menjadi penentu
Bentuk hubungan pertama dan kedua pengambilan kebijakan di tingkat daerah dan
merujuk ke suatu keterkaitan yang bernuansa pusat. Pada intinya, masyarakat akar rumput
negatif, karena keduanya dapat saling merupakan subjek sekaligus objek utama
merugikan, merusak, atau bahkan meng- mengapa dan untuk apa kebijakan desen-
hancurkan dan membinasakan. Sebaliknya, tralisasi diterapkan. Pada pelaksanaannya,
bentuk yang ketiga mengkaitkan lingkungan Otda tampaknya masih belum membawa
alam dengan kemiskinan dari sisi positifnya, perubahan nyata bagi perbaikan kualitas hidup
karena alam bisa menjadi anugerah untuk penduduk lokal dan kondisi lingkungan.
mengurangi penderitaan manusia dan Meskipun demikian, bukan berarti Otda
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dari menjadi penyebab semakin buruknya kondisi
sini, pengintegrasian aset lingkungan dan yang ada. Ada atau tidaknya Otda, keadaan
pengentasan kemiskinan dalam program dan seperti itu kurang-lebih tetap berlangsung,
asistensi pembangunan bisa menjadi prioritas karena kebijakan yang dihasilkan dari
(Reed, 2002; Sullivan, 2002).
penerjemahan konsep desentralisasi kurang
Dikatakan sebagai agen kerusakan memperhatikan pelestarian lingkungan dan
lingkungan tidak dimaksudkan bahwa kaum kondisi penambang manual.
miskin lah yang harus bertanggung jawab.
Akar penyebab semakin parahnya kondisi
Alasannya, mereka hanya salah satu dari
lingkungan Merapi dan kemiskinan penduduk
beberapa agen perusak. Penambangan
lokal adalah kebijakan penambangan pasir
modern dengan backhoe dan excavator-nya,
daerah dan kurang baiknya penerapan
yang sering diidentikkan dengan karakter
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, pe-
pengejar atau pelipat ganda keuntungan (profit-
mecahannya ada pada kebijakan itu sendiri dan
oriented), merupakan faktor paling utama
penerapannya. Pemecahan tersebut tidak
dalam kerusakan lingkungan. Meskipun
dengan menciptakan ketergantungan penduduk
demikian, seperti telah dijelaskan, dampak-
lokal terhadap pemerintah daerah dan pusat,
dampak ini sebetulnya telah diciptakan oleh
melainkan harus dengan menciptakan berbagai
regulasi penambangan pasir daerah yang
upaya berkelanjutan dalam rangka memenuhi
berlaku. Melalui regulasi tersebut,
kebutuhan ekonomi, sosial, dan kultural serta
penambangan modern dizinkan mengeruk
menjaga kelestarian lingkungan. Di sini, pekerja
dengan alat-alat berat di konsesi wilayah yang
sosial (peksos) dapat berkontribusi menunjukkan
dimilikinya. Sementara, para penambang
bagaimana suatu kebijakan sosial publik
manual yang hidupnya bergantung pada
sebaiknya dibuat, menerjemahkannya ke
anugerah Merapi terpaksa menambang di
regulasi yang lebih rendah, serta mene-
sembarang tempat karena otomatis tidak punya
rapkannya. Para peksos juga dapat memainkan
konsesi, yang hanya bisa diperoleh kalau punya
perannya untuk menggerakkan keterlibatan
SIPD. Dengan demikian, hal ini menunjukkan
masyarakat akar rumput dan mengorganisir
betapa pentingnya menciptakan kebijakan
para penambang manual untuk memberantas
sosial yang sekiranya punya “pengaruh besar
berbagai bentuk ketertindasan yang mereka
akan bagaimana lingkungan dikelola dan
alami.
bagaimana kaum papa dan kelompok-
kelompok yang dimarginalkan merasakan Pada akhirnya, penelitian ini mere-
dampaknya” (Hazlewood, 2002). komendasikan empat hal. Pertama, penerapan
Perda dan Keputusan Bupati tidak semestinya
disamakan untuk semua desa, tetapi harus
disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan,

29
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki Ketiga, pengelolaan sektor penambangan
tiap desa. Oleh karena itu, perbedaan pasir Merapi seharusnya mengadopsi sistem
penerapan suatu kebijakan yang kontekstual penambangan rakyat, yang dibarengi dengan
dan khas bagi tiap desa sangat lah pengawasan ketat dari berbagai stakeholder,
memungkinkan. termasuk organisasi lokal semacam GORO,
untuk mewujudkan keadilan sosial dan
Kedua, block grant yang setiap tahun
kelestarian lingkungan Merapi.
dialokasikan oleh Pemda harus mulai dikurangi
secara bertahap dengan diimbangi pemberian Terakhir, memberdayakan komunitas
kewenangan lain bagi desa untuk mengelola penambang pasir mungkin menjadi cara terbaik
pendapatan dari sektor yang dimiliki desa, untuk memberantas berbagai bentuk
seperti penambangan pasir dan pariwisata. penindasan (ketaksetaraan, diskriminasi, dan
Sehingga, retribusi dan pajak yang didapat dari prejudice) dan kemiskinan multidimensi.
sektor tersebut dapat dimanfaatkan sebagai Kemudian, pemberdayaan ini harus mampu
sumber pembiayaan anggaran belanja desa. mengungkap apa yang mereka inginkan dan
Hal ini dimaksudkan dalam rangka men- butuhkan dari segi standar hidup, kesehatan,
ciptakan kemandirian desa. pendidikan, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, R. 2003. Social Work and Empowerment. Third edition. New York: Palgrave Macmillan.
Anonim, 2000. Laporan Antara: Penataan dan Pengaturan Usaha Pertambangan Kawasan Gunung
Merapi Tahun Anggaran 2000. Jogjakarta: Kerjasama Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Tengah
dan P4N Universitas Gadjah Mada.
Babbie, E. 1998. The Practice of Social Research. 8th edition. USA: Wadsworth Publishing Company.
Cox, D. 1996. Focusing on Poverty: Enhancing Social World’s Developmental Relevance Through
Poverty Alleviation Programs. The Journal of Applied Social Sciences, 21 (1), Fall/Winter, 27-36.
Denzin, N. & Lincoln, Y. 2003. Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research.
In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). Second Edition.
California: Sage Publications, Ltd.
Dwipayana, A.A. & Eko, S. 2003. Membuat Good Governance Bekerja di Desa. Dalam Dwipayana,
A.A. & Eko, S. (Eds.), Membangun Good Governance di Desa (pp. v-xxviii). Jogjakarta: IRE
Press.
Dwipayana, A.A., Karim, A.G., Purwoko, B., Haryanto, Pratikno, & Santoso, P. 2003a. Pembaharuan
Desa secara Partisipatif. Jogjakarta: Pustaka Pelajar and S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah
UGM.
Dwipayana, A.A., Rozaki, A., Sujito, A., Hudayana, B. Bramantyo, Purnomo, J., et al. 2003b. Membangun
Good Governance di Desa. Jogjakarta: IRE Press.
Ezzy, D. 2002, Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge.
Fakultas Kehutanan UGM Merasa Kecolongan. (2004, May 26). Retrieved June 28, 2005, from http://
www.kompas.com
Friedman, B. 1998. The Research Tool Kit: Putting It All Together. Toronto: Brooks/Cole Thomson
Learning.
Goldewijk, B.K. & de Gaay-Fortman, B. 1999. Where Needs Meet Rights: Economic, Social, Cultural
Rights in a New Perspective. Geneva: WCC Publications.
Hazlewood, P. 2002. A Global Capacity Development Network on Poverty and Environment: Linking
Participatory Research, Dialogue and Action. New York: Harper & Case, Inc.

30
Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/040630_masytolakmerapi. Retrieved June 24, 2004


Huda, N. 2004. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme dan Negara Kesatuan.
Dalam Hamid, E.S. & Malian, S. (Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan
Saran (pp. 15-26). Jogjakarta: UII Press.
Ismawan, I. 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah. Solo: Pondok Edukasi. Janesick, V. (2003). The
Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. In Denzin,
N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). Second Edition. California:
Sage Publications, Ltd.
Keputusan Bupati Magelang No.: 188.4/353/KEP/06/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Sumber Pendapatan Desa.
Keputusan Bupati Magelang No. 19/2004 tentang Penghentian Kegiatan Penambangan Pasir di Lereng
Merapi.
Marlow, C. 2001. Research Methods for Generalist Social Work. 3rd edition. USA: Wadsworth/Thomson
Learning.
Maryatmo, R. (2005). Kontroversi Upaya Pembelaan. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June 2005,
18-23.
Masyarakat dan Kepala Dusun Tolak TNGM. (2004, June 1). Retrieved June 28, 2005, from http://
www.kompas.com
Maxwell, J. 1996. An Interactive Approach. USA: Sage Publications, Inc.
McCharty, J. F. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-Legal
Configurations in Central Kalimantan, Indonesia. World Development Vol. 32, No. 7, 1199-1223.
Mullaly, B. 2002. Challenging Oppression: A Critical Social Work Approach. Oxford: Oxford University
Press.
Pakar UGM Tuntut SK tentang TNGM Dicabut. (2004, July 17). Retrieved June 28, 2005, from http://
www.kompas.com
Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No. 6/1994 tentang Manajemen Penambangan Pasir di
Lereng Merapi.
Perda Kab. Magelang No. 1/2000 tentang Peraturan Desa.
Perda Kab. Magelang No. 10/2000 tentang Badan Perwakilan Desa.
Perda Kab. Magelang No. 23/2001 tentang Izin Usaha Pertambangan.
Perda Kab. Magelang No. 3/2001 tentang Sumber Pendapatan Desa.
Perda Kab. Magelang No. 6/2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perda Kab. Magelang No. 7/2001 tentang Kerjasama antar Desa atau Kelurahan di Kabupaten Magelang.
Punch, M. 1994. Politics and Ethics in Qualitative Research. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Hand-
book of Qualitative Research (pp. 83-97). California: Sage Publications, Inc.
Reed, D. 2002. Poverty and the Environment: Changing Concepts. Development Bulletin, 58, July 2002,
9-15.
Richardson 1994. Writing A Method of Inquiry. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Handbook of Qualita-
tive Research (pp. 516-529). California: Sage Publications, Inc.
Rubin, A. & Babbie, E. 2001. Research Methods for Social Work. 4th edition. USA: Wadsworth/Thomson
Learning.

31
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Saleng, A. 2004. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press.


Setahun, Enam Pekerja Tambang Pasir Tewas di Lereng Merapi. (2005, February 16). Retrieved June 28,
2005, from http://www.kompas.com
Setiaji, B. 2004. Kecenderungan dalam Implementasi Otonomi Daerah. In Hamid, E.S. & Malian, S.
(Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 123-132). Jogjakarta:
UII Press.
Shyamsundar, P. 2002. Environmental Economic Series: Poverty-Environment Indicators. The World Bank
Environment Department, Paper No. 84.
Singleton, R. Jr. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. Third Edition. Oxford: Oxford
University Press.
Snel, M. 2002. What does It Mean to be Poor? Environment and Poverty Times. No. 1 First Issue, August
2002. Available from http://www.povertymap.net/publications/povertytimes/01/
Sukasmanto 2004. Good Governance dan Isu-Isu Politik Anggaran Desa dan Kabupaten. Dalam Rozaki,
A. (Ed.), Promosi Otonomi Desa (pp. 73-97). Jogjakarta: IRE Press.
Sullivan, M. 2002. Aid in Community Based Poverty-Environment Projects. Development Bulletin 58,
July 2002, 16-19.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan
Usman, S. 2004. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi. In Hamid, E.S. & Malian, S.
(Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 109-115). Jogjakarta:
UII Press.
Wahono, F. 2005. Proses Perjuangan Hak di Akar Rumput. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June
2005, 4-9.

BIODATA PENULIS :
Toton Witono, Alumnus S-2 UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, program Interdisciplinary Islamic
Studies, konsentrasi Social Work; staf BBPPKS Padang, Sumatera Barat.

32

Anda mungkin juga menyukai