A. Ulum Qur’an
Ungkapan “ulum Qur’an” berasal dari dari Bahasa arab yang terdiri dari dua kata ,yaitu
“ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “ilmu”.ilmu yang
dimaksud disini,sebagaimana didefisinisikan Abu Syahban adalah sejumlah materi
pembahasanya yang di batasi kesatuan tema atau tujuan,sedangkan Al-Qur’an,sebagaimana
didefinisikan ulama ushul,ulama fiqih,dan ulama Bahasa,adalah “kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad, yang lafazh-lafazhnya mengandung
mukjizat,membacanya mempunyai nilai ibada,yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis pada mushaf,mulai dari awah surat Al-fatiah, [1] samapai akhir surat An-Nas
[114].1dengan demikian,secara Bahasa,’ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-
pembahasan) yang berkaitan denagan Al-Qur’an.
Artinya :
“ yang dimaksud orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang-orang yahudi,sedangkan
yang dimaksud dengan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasyrani.
2. Riwayat yang disampaikan oleh At-Tirnidzi dan ibn Hibban,di dalam Sahih-nya,dari ibn
mas’ud yang mengatakan bahwa Rassulullah SAW,bersabda:
Artinya :
“ yang dimaksud dengan shalat musba adalah shalat ashr.”
3. Riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Al-Bukhari,muslim,dan yang lainya dari ibn
mas’ud yang menceritakan bahwa tatkala turun ayat.
Artinya :
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik)”
4. Contoh-contoh penafsiran Nabi lainnya yang menjadi materi pokok dan landasan utama
kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur.14
Riwayat –riwayat penafsiran dan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang diterima oleh para sahabat dari
Nabi kemudian diterima oleh para tabiin dengan jalan periwayatan.dapat dijelaskan disini
bahwa para penulis Ulum Al-Qur’an pada abad 1 (satu sebelum kondifikasi ) adalah sebagai
berikut :
a. Dari kalangan sahabat : khulafa ‘Ar-Rasyidin ,ibn Yasar,ibn ‘Abbas,ibn mas’ud zaid
bin tasbit,ubai bin ka’ab,abu musa Al-Asy’ari ,dan Abdullah bin zubair.
b. Dari kalangan tab’in : mujahid , ‘Atha’ bin Yasar, ‘ikrimah,Qatadah Al-Hasan Al-
Bashri, Sa’id bin Jubair,Zaib bin salam
c. Dari kalangan atba ‘tabi’in : malik bin Anas
5. Periode sebelum konfikasi sekaligus menjelaskan perkembang Al-Qur’an pada abad I H
2. FASE KONDIFIKASI
Pada fase sebelum konfikasi,Ulum Al-Qur’an juga ilmu-ilmu lainnya belum
dikodifikasi dalam bentuk kitab atau mushaf.satu-satunya yang sudah dikodifikasi saat
itu hanyalah Al-Qur’an.15 fenomena itu harus berlangsung sampai ketika ‘Ali bin Abi
Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Perintah
‘Ali inilah yang mebuka gerbang pengodifikasi ilmu-ilmu agama dan Bahasa
Arab.pengodifikasi itu semakin marak dan meluas ketika islam berada pada tangan
pemerintah Bani Umayyah dan Bani Abbasin pada periode-periode awal
pemerintahannya.
a. Perkembang ‘Ulum Al-Qur’an Abad ll H.
Tentang masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan
abad ll H.yang menyusun tafsir ialah :
1. Syu’ba Al-Hajjaj ( w. 160 H.), 16
2. Sulfayan bin ‘ Uyainah ( w.. 198 H. ), 17
3. Sufyan Ats- Tsauri (w.161 H ),
4. Waqi’bin Al-Jarrh ( 128-197,), 18til bin sulaiman ( W. 150 H ).
5. Ibn Jarir Ath thabari ( W. 310 H )
b. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad lll H
Pada Abad lll H selain tafsir dan ilmu tafsir,para ulama mulai menyusun pula
beberapa ilmu Al-Qur’an ( “Ulum Al-Qur’an
),diantaranya.
1. ‘Ali bin al.-madini (W.234 H).30 gurunya iman Al-Bukhari,yang menyusun ilmu Asabab
An-Nuzul
2. Abu Ubaid Al-Qasimi bin salam (w.224 H.) Yang menyusun ilmu Nasikh wa Al-
Mansukh,ilmu Qir’at,dan Fadha’il Al-Qur’an
3. Muhamad Ayyub Adh-Dhurraits (w.294 H.) yang menyusun ilmu makki wa Al-Madani
4. Muhamad bin khalaf Al-marzuban (w.309 H ) yang menyusunkitab Al-Hawi fi “Ulum
Al-Qur’an”
c. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad lv
Pada Abad lv H.mulai disusun ilmu Graib Al-Qur’an dan beberapa kitab ‘Ulum
Al-Qur’an .diantaranya ulama yang menyusun ilmu-Ilmu itu adalah :
1. Abu Bakar As-Sijstani (w.330 H.)21 yang menyusun kitab Gharib Al-Qur’an
2. Abu Bakar Muhamad bin Al-Qasim Al-Anbari (yang menyusun kitab Ajaib itu ia
menjelaskan perial tujuh huruf (sab’ah ahruf),penulisan mus’af,jumlah bilangan
surat,ayat-ayat dalam Al-Qur’an.
3. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w.324 H).yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulum Al-
Qur’an
4. Abu Muhammad Al-Qasalah Muhammad bin Ali -Kurkhi (w.360 H.) yang menyusun
kitab Nukat Al-Qur’an Ad-Dallah’ala Al-Bayan fi Anwa ‘Al-Ulum wa Al-ahkam Al-
Munbi’ah Ikhitilaf Al-anam
5. Muhammad bin ‘Ali Al-Adiawi (w.388 H.) yang menyusun kitab Al-Istighna’ fi Ulum
Al-Qur’an (20 jiid)
d. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad V.H
Pada Abad V.H .Mulai disusun ilmu I’rab Al-Qur’an dalam satu kitab.di samping
itu,penulis kitab-kitab Ulum Al-Qur’an masih terus dilakukan oleh ulama masa
ini.diantara ulama masa ini .diantara ulama yang berjasa dalam pengembangan
“Ulum Al-Qur’an pada masa ini adalah:
1. ‘Ali bin Ibrahim bin sa’ida al-Hufi (w.430 H.).22 Selain memepelori penyusunan I’rab Al-
Qur’an,ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.kitab ini selain menafsirkan
Al-Qur’an seluruhnya,juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang ada sehubungannya
dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsirkan.
2. Abu ‘Amr Ad-Dani (w,444 H.) yang menyusun kitab At-Tafsir fi Qira’at As’sab’i dan
kitab Al-Mulkam fi An-Naqth.
e. Pekembangan ullum Al-Qur’an Abad vl H.
Terdapat Ulama yang mengembangkan Ulum Al-Qur’an ,juga terdapat yang
memulai menyusun ilmu Muhammad Al-Qur’an diantaranya adalah :
1. Abu Al-Qasim bin ‘Aburrahman As-Suhaili (w.581 H.)23 Yang menuruskan perkembangan
‘Ulum Al-Qur’an yang ‘tidak jelas’,apa atau siapa yang dimaksudkan.
2. Ibn al-januzi (w.597 H.) Yang menyusun kitab funun Al-Afnan fi Aja’ib Al-Qur’an dan
kitab funun Al-Afnan fi Aja’ib Al-Qur’an dan kitab Al-mujaba’fi Ulum Tata allaq bin Al-
Qur’an
f. Perkembangan Ulum Al-Qur’an Abad Vll H.
Pada abad Vll H, Ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunya
ilmu mazad
1. Alhamuddin As-saikhawi (w.643).kitabnya mengenai ilmu Qir’at dinamai hidayat
hidayat murtab fi mustayabih.
G, PERKEMBANGAN Ulum Al-Qur’an
Pada abad Vll
I. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad XIV H.
Setelah Memasukan abad XIV H. Bangkitlah Kembali perhatian ulama dalam Penyusunan
kitap-kitap yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi Kebangkitan ini di antaranya
dipicu oleh kegiatan Ilmiah di Universitas Al – Azhar Mesir Terutama ketika Universitas ini
membuka Jurusan-jurusan bidang studi yang menjadikan taksir dan hadis sebagai salah satu
jurusannya
Ada sedikit Pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama abad ini
dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya penegmbangan itu di antaranya berupa
penerjemhan Al-Qur’an ke dalam Bahasa –bahasa Ajam . pada Abad ini Perkembangan
‘Ulum Al- Qur’an pun diwarnai oleh usaha-usaha Menebarkan keraguan di seputar Al-
Qur’an yang dilakukan oleh kalangan Orientalis atau oleh orang islam itu sendiri yang
dipergaruhi oleh Orientalis. Sala satunya adalah Thaha Husein keraguan di seputar Al-
Qur’an . Bantahan Terhadap telah dilakukan umpayanya oleh Ustadz Syekh Muhammad Al-
Khidir Husein , Salah Seorang Syekh Al-Azhar.
Di antara Karya-karya ‘Ulum Al-Quran yang lahir Pada Abad ini adalah :
1. Syekh Thahir Al-Jazair yang menyusun Kitap At – Tibya’an fi Ulum Al-Quran yang
selesai pada tahun 1335 H.
2. Jamaluddin Al-Qasimy ( w.1332 H ) yang Menyusun Kitab Mahasain Al – Ta’wil. Juz
pertama kitab ini dikhususkan untuk pembicaraan Ulum Al-Qur’an
3. Muhammad ‘Abd Al-Azhim Az – Zarqani yang menyusun Kitap Manahil Al ‘Ifran fi
Ulum Al-Quran ( 2 jilid )
4. Muhammad ‘Ali Salamah yang menyusun kitab Manhaj Al-Furqan fi ‘Ulum Al-Quran
5. Syekh Tanthawi Jauhari yang Menyusun Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Quran dan Al-
Quran wa ‘Ulum Ashriyyah
6. Mushtahara Shadiq Ar-Rafi:I yang menyusun Kitab I’jaz Al-Quran
7. Ustadz Syyahid Quthub yang Menyusun Kitab At-Tashwir Al-Fani fi Al-Quran
8. Ustadz Malik bin Nabi yang Menyusun Kitap Az-Zahairah Al-Qraniyah . Kitab ini
sangat penting dan banyak pembicaraan tentang Wahyu
9. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha yang menyusun Kitab Tafsir Al-Quran Al-
Hakim yang terkenal pula dengan nama Tafsir Al-Manar . di Dalamnya banyak juga
Penjelasan tentang ‘Ulum Al-Quran.
10. Syekh Muhammad Abdullah Darraz yang Menyusun Kitab An-Naba”Al Azhim’an Al-
Quran Al-Karrim : Nazharat Jadidah fi Al-Quran
11. DR. Subni As-salih, guru besar Islamic Studies dan Fiqhu Lugah pada Fakultas Adab
Universitas Libanon yang menyusun Kitab Mabahits Li “Ulum Al-Quran Kitab ini selain
Membahas ‘Ulum Al-Quran , juga menanggapi Secara Ilmia pendapat-pendapat orientasi
yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang berhubungan dengan Al-Quran.
12. Syekh Mahmud Abu Daqiqi yang Menyusun Kitab ‘Ulum Al-Quran
13. Syekh Muhammad ‘Ali Salamah , Yang Menyusun Kitab Manhaj Al-Furqan fi’Ulum
Al-Quran
14. Ustadz Muhammad Al-Mubarak yang Menyusun Kitab Al-Manhal Al-Khalid
15. Muhammad Al-Ghazali yang Menyusun Kitab Nazharat fi Al – Quran
16. Syehk Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang Menyusun sebuah risalah yang
menerangkan kebolehan kita menerjemahkan A-Quran ia pun menulis kitab Tafsir Al-
Maraghi.
BAB II
Yaitu satu ilmu yang membahas keadaan-keadaan Al-Qur’an sari segi nuzulnya,
sanadnya, adab-adabnya, lafadh-lafadhnya, makna- maknanya yang bertautan dengan
lafadh, makna-maknanya yang bertautan dengan hukum, dan sebagainya
2. Syekh Al-Maghribi (dalam Al-Akhlaq wa Al-Wajibat),
menyatakan bahwa, ‘Ulumul Qur’an adalah satu ilmu yang menjelaskan suatu
keadaan dari keadaan-keadaan Al-Qur’an, baik mengenai penafsiran ayat-ayat,
pentakwilannya, penjelasan maksudnya, asbabunnuzulnya, nasikhmansukhnya,
persesuaian satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengenai uslubnya, rupa-
rupa qira’atnya, cara merasamkan (menuliskan) kalimat dan sebagainya.
3. Muhammad Ali AshShabuni
Beliau mendefinisikan ‘Ulumul Qur’an sebagai suatu pembahasan yang
berkaitan dengan Al-Qur’an yang abadi, dari segi cara turunnya, pengumpulannya,
urutannya, dan pembukuannya, mengetahui asbabunnuzulnya, amaliah dan
madaniyahnya, nasikhmansukhnya, serta muhkam dan mutasyabihatnya.
Al-Qur’an sebagai pedoman umat manusia yang masih hidup perlu diketahui isinya
untuk diperoleh petunjuk darinya. Oleh karena kandungannya masih sangat umum dan
mujmal, maka perlu dibutuhkan sebuah ilmu. Jika mengetahui isi Al-Qur’an adalah wajib bagi
umat Islam, maka mempelajari ‘Ulumul Qur’an demikian pula halnya. Adapun mempelajari
‘Ulumul Qur’an mempunyai banyak tujuan sebagaimana kutipan dibawah ini.
a. Alam silabus IAIN tahun 1997 dinyatakan, bahwa tujuan mempelajari
‘Ulumul Qur’an adalah agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami
‘Ulumul Qur’an dengan bermacam-macam pokok pembahasannya yang diperlukan
sebagai salah satu alat untuk memahami Al-Qur’an
b. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddiqi, tujuannya adalah untuk memperoleh keahlian
dalam mengisyinbatkan hukum syara’, baik mengenai I’tiqad, amalan, budi pekerti,
maupun lainnya.
c. Menurut ‘Ali Ash Shabuni; adalah untuk memahami kalam Allah berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari Rasulullah SAW. dan riwayat yang disampaikan oleh
para sahabat dan tabi’inr.a, disekitar penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan untuk mengetahui cara dan dasar penafsiran para ‘ulama pada zaman dahulu,
penjelasan tentang tokoh dan keistimewaannya di kalangan mereka, dan untuk
mengetahui syarat-syarat penafsiran.
D. Lingkup Pembahasan ‘Ulumul Qur’an
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka ‘Ulumul Qur’an sangat luas
pembahasannya. Menurut Ibn Al ‘A’rabi, ‘Ulumul Qur’an meliputi 77.450 ilmu. Hal mana
didasarkan pada perhitungan, jumlah kalimah dalam Al-Qur’an dikalikan empat, karena setiap
kalimah dalam Al-Qur’an mengandung makna dhahir, batin, terbatas dan tak terbatas.
Menurut As Suyuti, ‘Ulumul Qur’an mencakup 80 macam ilmu. Dan asing- masing
ilmu mempunyai beberapa cabang. AzZarkasyi membahas 47 ilmu Al- Qur’an. Dan Al
Bulqini dengan bukunya mawaqi’ al ‘Ulum min Mawaqi’ na Nujum membahas 50 macam
ilmu Al-Qur’an. Meskipun jumlah ilmu Al-Qur’an itu sangat banyak, namun pada dasarnya
kembali pada beberapa hal saja, yakni:
Pertama : pembahasan yang berkaitan dengan NuzululQur’an, yaitu awqat na nuzul,
mawathin na nuzul, asbabunnuzuldan tarikh na nuzul.
a. Awqat an nuzulwamawathin an nuzul;
Yaitu pembahasan tantang periode penurunan Al-Qur’an dan tentang tempat
penurunannya. Ayat-ayat yang turun pada periode sebelum hijrah disebut makkiyyah, ayat
yang turun setelah periode hijrah disebut madaniyyah, ayat yang turun saat nabi berada
dirumahhadlariyyah, ayat yang turun pada saat nabi di perjalanan disebut safariyyah, ayat
yang turun di siang hari disebut nahariyyah, ayat yang turun pada malam disebut lailiyyah,
ayat yang turun pada musim panas disebut shaifiyyah, ayat yang turun pada musim dingin
disebut syitaiyyah, dan ayat yang turun pada saat nabi pembaringan dinamakan ayat
firasyiyyah.
b. Asbab an nuzul
Yaitu pembahasan berkisar pada sebab-sebab diturunkannya ayat.
c. Tarikh an nuzul
Pembahasannya meliputi wahyu mana yang pertama dan terakhir diturunkan, ayat mana
yang diturunkan secara berulang-ulang, ayat yang diturunkan bercerai-berai, ayat yang tur
terkumpul, dan ayat yang pernah diturunkan kepada seorang nabi sebelumnyan maupun yang
belum pernah diturunkan kepada siapapun.
➢ pembahasan yang berakaitan dengan Sand, yakni meliputi mutawatir, ahad, syadz,
rupa-rupa qira’ah nabi, para perawi dan para huffadhdan
kaifiyattahammul(teknik penghafalan)
➢ pembahasan yang berkaitan dengan hal bacaan yang meliputi waqaf,
ibtida’, malah, Mad, takhfif hamzah dan idgham.
➢ pembahasan yang berkenaan dengan hal lafadh yang meliputi ghariblafadh,
mu’rab, majaz, lafadhmusytarak, muradif, isti’arahdan tasbih.
➢ pembahasan yang berhubungan dengan hal makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan
hukum, yang meliputi ‘am, khas, mujmal, mufashshal,
manthuq, mafhum, muhkam, mutasyabih, dan nasikh-mansukh.
➢ pembahasan makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan lafadh, yakni fashldan washl,
i’jaz, ithnab, musawah, dan qashr
BAB III
A. Pengertian Wahyu
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksudkan penerima wahyu itu adalah
makhluk syahadah, sedangkan pemberi wahyu itu adalah Allah Yang Maha Ghaib, dan
adapula yang menyampaikan wahyu itu kepada yang menerimanya melalui makhluk
ghaib (malaikat Jibril).
secara etimologis wahyu didefinisikan sebagai: ―Pemberitahuan secara
tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui oleh yang
al-Qaththan (2004) menjelaskan pula kata ―al-wahy‖ (wahyu) adalah kata
mashdar (infinitif) menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itu, dikatakan, ―wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain‖.
pengertian wahyu secara lughat (etimologi) yang telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa wahyu itu adalah membisikkan kedalam sukma, mengilhamkan dan
isyarat yang cepat, lebih mirip kepada dirahasiakan daripada ditampakkan.
Berikut ini pengertian wahyu secara isthilah (terminologi) banyak pula pendapat
dari para ahli:
Wahyu adalah nama bagi yang disampaikan kepada nabi dan rasul dari Allah.
Demikian juga dipergunakan untuk lafaz al- Qur`an . Wahyu Allah kepada nabi dan
rasul-Nya ialah, Allah menyampaikan wahyu-Nya ke dalam jiwa nabi dan rasul, tentang
pengertian pengetahuan yang Allah kehendaki yang akan mereka sampaikan pula kepada
manusia, sebagai petunjuk bagi mereka dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.Nabi dan rasul sesudah menerima wahyu itu betul-betul percaya bahwa yang
mereka terima tentang wahyu itu adalah dari Allah (Ashshiddieqy, 1953: 17).
Wahyu ialah pengetahuan yang di dapat seseorang pada dirinya sendiri dengan
keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan sesuatu
perantaraan ataupun tidak. Bedanya dengan ilham ialah bahwa ilham adalah, perasaan
yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari
mana datangnya. Dan ilham itu hampir 74 Jurnal Ulunnuha Vol.6 No.1/Juni 2016 serupa
dengan perasaan lapar, haus, suka dan duka (Abduh, 1963: 140- 141).
Bila dicermati kedua pengertian wahyu secara istilah di atas dapatlah kita pahami
bahwa pihak yang pertama memberikan pengertian wahyu secara isthilah lebih cendrung
kepada nama dari yang disampaikan kepada nabi dan rasul, termasuk lafaz al-Qur`an
serta wahyu yang langsung diresapkan ke dalam jiwa mereka itu, yakni berupa
pengetahuan yang disampaikan kepada umatnya. Guna mendapatkan kehidupan yang
layak dunia akhirat.Nabi dan rasul tersebut juga yakin bahwa pengetahuan mereka
semuanya datang dari Allah. Sementara itu pihak yang kedua yakin bahwa pengetahuan
nabi dan rasul itu juga datang dari Allah, baik yang disampaikan melalui perentara
ataupun tidak. Kemudian juga mereka bedakan wahyu itu dengan ilham yang sama
artinya dengan perasaan yang meyakinkan hati, dan mendorong mereka untuk mengikuti
dengan setia tanpa mengetahui darimana datangnya, bahkan ilham mereka artikan hampir
sama dengan pengertian insting seperti adanya perasaan lapar, haus, suka dan duka.
Macam-Macam Wahyu Menurut Muhammad Abdul ‗Azim al-Zarqani (1988),
wahyu Allah terdiri atas bermacam-macam yakni berupa wahyu yang berisikan
percakapan Allah dengan hamba yang dipilihnya seperti Allah berbicara dengan Nabi
Musa AS sebanar-benar berbicara, dan ada pula wahyu itu dalam bentuk ilham berupa
ilmu Dharuri yang dimasukkan ke dalam hati hamba yang dipilihnya. Dari semua wahyu
itu, al-Qur`an lah wahyu yang termashur daripada wahyu yangserupa dengan perasaan
lapar, haus, suka dan duka (Abduh, 1963: 140- 141).
B. Cara di Diturunkan dan Penyampaian Wahyu
Pada umumnya wahyu turun kepada para Nabi dengan tiga cara yaitu:
Dengan cara pemberitahuan langsung (secara wahyu) dalam hati Nabi atau
jiwanya mengenai suatu pengetahuan yang ia tidak mampu menolaknya dan tidak
sedikitpun meragukan kebenarannya. Cara ini sering disebut dengan ruyatun sholehah
atau sesuatu yang diperoleh dalam keadaan tidur tetapi menjadi kenyataan. Contoh,
mimpi nabi Ibrahim As, ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya nabi Ismail
As.Dengan cara penyampaian dari balik tabir. Dengan melalui perantara malaikat Jibril
sebagai pembawa wahyu. Dalam hal ini ada dua cara, yaitu:Adakalanya nabi Muhammad
Saw. melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya atau menyerupai salah seorang sahabat
yaitu Dihya bin Khalifah atau seorang laki-laki berbangsa Arab atau lainnya.
C. Macam-Macam Wahyu
Wahyu adalah kalam atau perkataan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh
makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Wahyu merupakan
wasallam. Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata –ketika menyinggung macam-
macam turunnya wahyu tersebut—sebagai berikut:
1. berupa ar-ru`ya ash-shadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan
turunnya wahyu kepada beliau shallallahu ‗alaihi wasallam.
2. berupa sesuatu yang dibisikkan oleh malaikat terhadap jiwa dan hati beliau tanpa
dapat beliau lihat. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah, ―Seungguhnya Ruhul Quds
(Malaikat Jibril ‗alaihissalam) menghembuskan (membisikkan) ke dalam
hatiku, bahwasanya jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rezeki baginya. Oleh
karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah ‗Azza wa Jalla berindah-indahlah dalam meminta
serta janganlah berputus asa atas keterlambatan rezeki atas kalian,
mendorong kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat
terhadap-Nya, karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak akan didapat
kecuali dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.‖
3. berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki, lantas mengajak beliau shallallahu
‗alaihi wasallam berbicara hingga beliau memahaminya dengan baik apa yang
dikatakan kepadanya. Dalam hal ini, terkadang para sahabat dapat melihat malaikat
tersebut.
4. berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau shallallahu ‗alaihi
wasallam, diikuti dengan malaikat (yang menyampaikan wahyu) secara samar. Cara
ini merupakan cara yang paling berat, sampai-sampai membuat beliau bersimbah
peluh, padahal terjadi pada malam hari yang amat dingin. Demikian pula,
mengakibatkan unta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau sedang
menungganginya. Dan pernah juga suatu kali, wahyu datang dengan cara tersebut,
pada saat itu paha beliau berada di atas paha Zaid bin Tsabit sehingga Zaid merasakan
beban demikian berat yang hampir saja membuatnya remuk.
5. berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu
diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah ‗Azza wa Jalla.
Peristiwa ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh
Allah dalam surat an-Najm.
6. berupa wahyu yang diwahyukan Allah kepada beliau. Yaitu saat beliau berada di atas
langit pada malam mi‘raj ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
7. berupa Kalamullah (perkataan Allah) kepada beliau tanpa perantara malaikat,
sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin Imran. Peristiwa seperti ini juga
dialami oleh Nabi Musa dan diabadikan secara qath‘i berdasarkan nash al-Qur‘an.
Sedangkan kepada Rasulullah terjadi dalam hadits tentang peristiwa Isra‘ Mi‘raj.
Sebagian ulama menambah caranya menjadi delapan, yaitu Allah ‗Azza wa Jalla
berbicara kepada beliau secara langsung tanpa hijab. Namun ini merupakan
permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian,
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Qayyim –rahimahullah– dengan sedikit
diringkas dalam penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang
benar, bahwa urutan terakhir (kedelapan) ini tidak tsabit (tidak valid dan tidak
dipercaya keabsahan riwayatnya).
BAB IV
Al Quran yang terdiri dari 114 surat dan 30 juz ini diturunkan secara berangsur selama 22
tahun, 2 bulan, 22 hari.Berdasarkan urutan waktunya, pertama kali terjadi pada bulan ke-9 Hijriah,
yaitu 17 Ramadhan 610 M dan wahyu terakhir Surat Al-Maidah ayat 3 diturunkan pada bulan 9
Dzulhijah 10 H/ 8 Maret 632 H di Padang Arafah.
Terkait turunnya Al Quran, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
شهر رمضان الذي ي أنزل فيه القران هدى للناس و بينت من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه و من كان
و لتكبروا هللا علي ما هدىكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر و لتكملوا العدة
)185( و لعلكم تشكرون
1
https://pekunden.kec-kutowinangun.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/144/390
Artinya: "Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Quran, sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar
dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."
Al Quran pertama kali diturunkan di tempat yang sederhana, bukan tempat yang mewah dan
megah. Walaupun begitu, Rasulullah dapat membawa perubahan yang besar bagi peradaban
manusia terutama bagi umat muslim.
Sepeninggal Rasulullah, dikutip dari buku Sejarah Al-Quran, ternyata periode penyebaran
Al Quran masih berlanjut. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, keping demi keping
potongan tulisan tangan para sahabat tersebut itu disusun kembali, diurutkan per ayat, kemudian
surat per surat.Hingga disimpan oleh Abu Bakar hingga masa kepemimpinan Umar bin Khattab.
Untuk memperingati malam Nuzulul Quran bisa dilakukan dengan membaca doa, membaca
Al Quran, memperbanyak dzikir, dan menunaikan ibadah lainnya. Bacaan doa yang bisa dibaca
pada malam Nuzulul Quran adalah sebagai berikut:
Artinya: "Ya Allah! Ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasihanilah keduanya
sebagaimana mereka menyayangiku semenjak kecil.
BAB VI
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-
munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan), dan muqarabah. Lebih jelas mengenai
pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa
munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat
digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan
lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul,
kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata
yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut
M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi
urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam
menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian
diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang
meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.
وجـهُ اإلرتـبــا ِط بـين الجـمـلـ ِة والجـمـلـ ِة فى األيـ ِة الـواحــدة أوبـين األيـة واأليــة فـي األيــة الـمـتـعــدد ِة أو بــينَ الســورة
والســـورة.
Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada
beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2. Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah),
seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib
adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya
munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi
sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat
dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait
dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam
saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-
bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
عـل ٌم عـظـيـــ ٌم, ي الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـد ِة مـتّـسقــ ِة المعـاني مـنتـظـمـ ِة المـبــــاني
ّ ِ إرتـبــاط أ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu
yang sangat agung”.
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar
ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan
perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi
(tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang
mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi
keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam
memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar
ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat
dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku
mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat
tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah
Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an walaupun
keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-
Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
D. MACAM-MACAM MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada
prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat.
Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surat dengan surat.
2. Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6. Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7. Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas
akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1. Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan
yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-
masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral,
sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum
maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik
pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan Q. S al-
Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6
disebutkan :
)6( إهدنا الصراط المستقيم
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-
Qur’an, sebagaimana disebutkan :
)2 (تلك الكتاب ال ريب فيه هدى للمتقين
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
(Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
5. Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin
(mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih
(mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك هللا احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقن==ا النطف==ة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua
ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6. Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat
antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-
Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan
kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek
terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara
pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat
dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi
yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh
kemenangan.
7. Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
2. Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang
artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya,
“Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara keduanya
terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang
telah mendapat nikmat dariAllah SWT.
1. Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2. Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang,
hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda
susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn
Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3. Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah
tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4. Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar
mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar
diteliti kembali.
Di antara ulama yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar,
Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1. Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib
itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh
pada mushafnya.
2. Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah
As-Syaqafi.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya
berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn
Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan
oleh Nabi. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali
Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah
tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin.
Secara faktual dan berdasarkan bukti-bukti historis, Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-
angsur dan bertahap selama beberapa kurun waktu dan dalam situasi serta sebab-sebab turun yang
beragam. Keadaan yang demikian tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah berfirman yang
artinya:
”Berkatalah Orang-orang yang kafir:”Mengapa Al-Qur’an itu tidak di turunkan kepadanya sekali
turun saja?” Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar)”.QS Al-furqan ayat 32
Dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, sebagai kitab Allah yang bernuansa mukjizat,
pengetahuan tentang Munasabah Al-Qur’an sangatlah membantu bagi upaya eksplorasi dan
pengungkapan makna dari pesan-pesan yang ingin di sampaikan. Di samping itu dengan jelas,
dengan jalan pendekatan korelasi (tanasub) yang terjadi antar-intern surat maupun antar-intern ayat,
maka Al-Qur’an yang pada hakikatnya memang satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, akan
tetap terjaga keutuhan dan kesinambungannya.
BAB VII
1. Pengertian Mukjizat
Secara bahasa mukjizat memang berasal dari kata Mukjiz dan memiliki arti yang melemahkan atau
mengalahkan. Istilah mukjizat berarti sesuatu yang luar biasa dan terjadi pada diri nabi atau
Rasulullah.
Bahwa dalam islam mukjizat memiliki arti yang melemahkan atau mengalahkan. Mukjizat sendiri
berarti sesuatu yang luar biasa dan biasa terjadi pada diri nabi atau Rasulullah untuk membuktikan
bahwa dirinya adalah Nabi atau Rasul Allah tidak dapat ditiru oleh siapapun.
Bagi para umat Islam, mempercayai adanya Mukjizat hukumnya wajib, karena dimiliki oleh Nabi
dan Rasul. Lantaran mukjizat dari kekuasaan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT. Bahkan
Rasul juga tak mempunyai hak untuk menunjukkan mukjizat tanpa izin dari AllahSWT, seperti
surat Ar Ra'ad ayat 38 yang berbunyi:
ك َو َج َع ْل َنا َل ُه ْم اَ ْز َواجً ا َّو ُذرِّ ي ًَّة َۗو َما َ َِو َل َق ْد اَرْ َس ْل َنا ُر ُساًل مِّنْ َق ْبل
ٌ ان لِ َرس ُْو ٍل اَنْ يَّأْ ِت َي ِب ٰا َي ٍة ِااَّل ِب ِا ْذ ِن هّٰللا ِ ۗلِ ُك ِّل اَ َج ٍل ِك َت
اب َ َك
Artinya:
"Dan sesungguhnya, kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan
kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan
suatu ayat (Mukjizat) melainkan dengan seizin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang
tertentu). ” (Q.S. Ar Ra’d [13] : 38).
Mukjizat merupakan kejadian luar biasa atau kelebihan di luar akal manusia yang tidak
dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya diberikan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya.
Sedangkan apabila ada seseorang selain para nabi dan rasul diberikan kejadian yang luar biasa oleh
Allah maka itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat melainkan itu adalah karomah.
Kemudian ada pula istilah irhasat dan khawariq, irhasat adalah pertanda yang terjadi untuk
menunjukkan tanda kelahiran seorang nabi (sebelum kenabian). Sedangkan khawariq adalah
kejadian yang terjadi dalam keadaan yang luar biasa.
Mukjizat biasanya berisi tentang penunjukan hal-hal yang sedang menjadi trend pada zaman
diturunkannya mukjizat tersebut. Misalnya pada zaman Musa, trend yang sedang terjadi adalah ilmu
sihir maka dengan mukjizat tongkat,Musa bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir
orang lain yang ada di sekitarnya. Juga pada zaman Isa, trend yang sedang berkembang adalah
ilmu kedokteran dan pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Isa adalah bisa menghidupkan orang
yang sudah meninggal yang merupakan puncak dari ilmu pengobatan.
Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad, trend yang sedang berkembang adalah ilmu sastra.
Maka disaat itulah dirunkan Al-Qur’an sebagai mukjizat Muhammad. Nabi yang pada saat itu tidak
bisa membaca dan menulis tetapi bisa menunjukkan al-Qur’an yang diyakini oleh umat Muslim,
memiliki nilai sastra tinggi, tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tetapi juga kedalaman makna
yang terkandung di dalamnya sehingga al-Qur’an dapat terus digunakan sebagai
rujukan hukum yang tertinggi sejak zaman masa hidup nabi sampai nanti di akhir zaman.
Beberapa contoh mukjizat para nabi dan rasul:
Nuh membuat bahtera di padang pasir, ketika Tuhan hendak menenggelamkan kaumnya.
Shaleh berupa unta betina yang tidak boleh disembelih, sebagai hujjah atas kaumnya.
Ibrahim tidak hangus dibakar, karena api yang membakarnya berubah menjadi dingin.
Daud memiliki suara merdu sehingga makhluk lain pun ikut bertasbih bersamanya, sanggup
berbicara dengan burung, dan berhasil mengalahkan Jalut seorang prajurit raksasa dari
negeri Filistin, sanggup melunakkan besi dengan tangan kosong.
Yusuf memiliki ketampanan luar biasa dan mampu mentakwilkan mimpi-mimpi.
Yunus bisa hidup di dalam perut ikan nun selama tiga hari.
Sulaiman sanggup berbicara dalam bahasa hewan menguasai bangsa jin mampu
menundukkan angin, memiliki permadani yang terbuat dari sutera hijau dengan
benang emas dengan ukuran 60 mil panjang dan 60 mil lebar.
Musa berupa tongkat tangan, belalang,kutu,katak,darah,topan,laut dan peristiwa-peristiwa di
bukit thur.
Isa berupa kemampuan menyembuhkan orang buta, menyembuhkan penderita kusta dan
menghidupkan orang mati.
Mukjizat berupa Isra dan Mi’raj, membelah bulan untuk membuktikan kenabiannya
terhadap orang Yahudi, bertasbihnya kerikil di tangannya, batang kurma yang menangis,
pemberitaan Muhammad tentang peristiwa-peristiwa masa depan ataupun masa lampau, tetapi
mukjizat yang terbesar adalah Al-Qur’an.
Bentuk mukjizat
Mukjizat-mukjizat tersebut tidak lepas dari bentuk-bentuk berikut ini:
Ilmu, seperti pemberitahuan tentang hal-hal ghaib yang sudah terjadi ataupun yang akan
terjadi, umpamanya pengabaran Isa kepada kaumnya tentang apa yang mereka makan dan apa
yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Sebagaimana pengabaran Muhammad tentang
fitnah-fitnah atau tanda-tanda hari kiamat yang bakal terjadi, sebagaimana banyak dijelaskan
dalam hadits-hadits.
Kemampuan dan kekuatan, seperti mengubah tongkat menjadi ular besar, yakni mukjizat
Musa yang diutus kepada Firaun dan kaumnya. Kemudian penyembuhan penyakit kulit, buta,
serta menghidupkan orang-orang yang sudah mati, yang kesemuanya adalah mukjizat Isa. Juga
terbelahnya bulan menjadi dua yang merupakan salah satu mikjizat Muhammad.
Kecukupan, misalnya perlindungan bagi Muhammad dari orang-orang yang menginginkan
kejahatan kepadanya. Hal ini sering terjadi, ketika di Makah sewaktu malam hijrah, ketika di
dalam gua, lalu dalam perjalanan ke Madinah ketika bertemu dengan Suraqah bin Malik, lalu di
Madinah ketika orang-orang Yahudi ingin menculiknya dan lain-lain. Contoh-contoh ini yang
diyakini oleh umat Muslim menunjukan bahwa Allah mencukupi rasul-Nya dengan
perlindungan, sehingga tidak membutuhkan lagi perlindungan makhluk lain.
Dari tiga jenis mukjizat para rasul di atas maka jelaslah bahwa pada hakekatnya bertujuan
untuk membenarkan kerasulan para rasul. Dengan kemampuannya yang dimiliki itu melebihi
kemampuan masyarakatnya maka hal itu membuat masyarakatnya tidak berdaya (‘ajaza) untuk
menantangnya dan kebanyakan dari mereka kemudian beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan
menerima kebenaran ajaran yang dibawa para rasul seusai melihat kelebihan luar biasa tersebut
(mukjizat).
2. Macam-Macam Mukjizat
Berikut macam-macam mukjizat dalam Islam yang umum dan perlu diketahui:
Mukjizat Syakhsiyyah
Pengertian mukjizat syakhsiyyah adalah macam-macam mukjizat yang keluar dan berasal dari
tubuh seorang Nabi serta Rasul. Sepertinya halnya peristiwa air yang keluar dari celah-celah jari
Rasulullah SAW, cahaya bulan hingga memancar dari tangan Nabi Musa AS serta adanya
penyembuhan penyakit buta dan juga kista oleh Nabi Isa AS.
Mukjizat Aqliyyah
Pengertian mukjizat Aqliyyah merupakan macam-macam mukjizat rasional atau pun masuk
akal. Karena hanya ada satu mukjizat, yaitu kitab suci Al-Quran.
Mukjizat Kauniyah
Pengertian mukjizat Kauniyah adalah macam-macam mukjizat yang memiliki kaitan dengan
peristiwa alam, seperti misalnya peristiwa bulan yang dibelah menjadi 2 oleh Nabi Muhammad
dan peristiwa dibelahnya Laut Merah oleh Nabi Musa as dengan tongkat.
Mukjizat Salbiyyah
Pengertian mukjizat Salbiyyah adalah macam-macam mukjizat yang membuat sesuatu tidak
berdaya. Seperti peristiwa nabi Ibrahim AS yang dibakar oleh Raja Namrud akan tetapi api tak
mampu membakar tubuhnya.
3. Segi-Segi Kemukjizatan Al-Qur’an
1.Dari Segi Bahasanya
Yang meliputi Qawaid dan sastranya. Namun menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa sejak
lunturnya rasa kebahasaan dikalangan orang arab, orang arab sendiri kurang bisa merasakan lagi
kehebatan Al-Qur’an dari segi sastranya.
Sisi lain yang menakjubkan dari bahasa Alquran adalah penggunaan kata secara seimbang baik
kata yang berlawanan maupun kata sinonim.
BAB VIII
b. Metode Tafsir
Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf
(tiga generasi muslim awal yaitu para sahabat,tabi’in dan tabi’ut tabi’in) sampai masa
modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam
tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam
tafsir, ulama mencoba membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-
ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam yaitu:
a. Tahlili
b. Muqarran
c. Ijmali
d. Maudhu’i
c. Macam-Macam Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin
ilmu yangditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai berbagai
corak pemikiran dan madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf,
baik tasawuf teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam menjelaskan suatu
ayat, mufassir merujuk pendapat filosof. Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat
dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih, diantara isi kandungan al-Qur’an
adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain
lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh
ta’asub (fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu
tafsir fiqhi hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. Ke-8.Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hal. 277
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains eksakta.
Tafsir ini selalu mengutiip teori-teori ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang
ditafsirkan. Seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan
lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-karim
karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-
Thib Wa Al-Qur’an karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Al-Adabi WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial. Dengan corak ini mufassir
mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an yang meliputi aspek balagah, mukjizat,
makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan
sistem sosial yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan
kemanusiaan pada umumnya dan umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an.
d.Urgensi tafsir terhadap al qur’an
berdasarkan perspektif M. Quraish Shihab. Urgensi itu setidaknya terletak
pada 3 hal yang menjadi point utama..
Pertama, dengan mempelajari kaidah-kaidah tafsir,
dapatmembantu.seseorang menarik makna-makna yang dikandung oleh kosa kata
dan rangkaian lafaz atau kalimat-kalimat al-Qur’an.
2. Takwil
a. Pengerian Takwil
Menurut lughat takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Takwil menurut Quraish
Shihab adalah suatu pengertian tersirat yang diistinbatkan (diproses) dari ayat-ayat al-Quran
dan masih memerlukan adanya perenungan serta perkiraan sebagai sarana pembuka tabir,
dalam hal ini cenderung untuk memahami ayat-ayat yang maknanya tersembunyi.
Menurut lughat ( bahasa )takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun
pengertian takwil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Al-Jurzani takwil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap
makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan
ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
b. Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada
makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
c. Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafazh.
Menurut pendapat yang masyhur arti takwil dari segi bahasa adalah sama dengan
arti kata tafsir, yaitu menerangkan dan menjelaskan dengan pengertian kata takwil dapat
mempunyai arti:
1) Kembali atau mengembalikan ( ُاَلرُّ جُوْ ع ), yakni mengembalikan makna pada proposisi
yang sesungguhnya.
2) Memalingkan,yakni memalingkan suatu lafaz tertentu yang mempunyai sifat khusus
dari makna lahir ke makna batin lafaz itu, karena ada ketetapan dan keserasian dengan
maksud yang dituju.
3) Menyiasati, yakni dalam lafaz tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat
khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maksudnya yang setepat-
tepatnya.
3.Terjemah
a. Pengertian Terjemah
Pengertian terjemah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah menyalin atau
memindahkan suatu bahasa kepada bahasa lain dalam artian mengalihbahasakan. Sesuai
dengan yang dikemukakan Ash-Shabuni bahwa terjemah al-Quran adalah memindahkan bahasa
al-Quran (Arab) kepada bahasa lain yang mampu dipahami. dan mencetak naskahnya dapat
mempermudah memahami bahasa al-Quran dengan perantara terjemahan.
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan
menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa Al-Qur’an
ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar
dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt,
dengan perantaraan terjemahan.”
b.Macam-macam Penerjemahan
Pada dasarnya ada tiga macam penerjemahan, yaitu:
a. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan
mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat
aslinya (sinonim dengan tafsir)
b. Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli
dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
c. Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli
kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh
“Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan
mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
arab sehingga dia dapat mengerti. Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-
bahasa tentu mengetahui bahasa terjemah harfiah dengan pengertian sebagai mana diatas tidak
mungkin dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semuanya maknanya tetap
dipertahankan.
Bahasa arab dicelah-celahnya mengandung rahasia-rahasia bahasa yan tidak mungkin
dapat digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non arab. Sebab, lafadz-lafadz dalam
terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala aspeknya, terlebih lagi dalam
susunannya. Ia mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, pelik-pelik makna dan ayat-
ayat kemukjizatan lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa lain. Atas dasr
pertimbangan diatas maka tidak seorangpun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan al-
Qur’an dengan terjemahan harfiah.Sebab al-Qur’an adalah wahyu mu’jizat kepada rosulullah
dan petunjuk bagi umat manusia. Makna yang terkandung didalamnya tidak dapat dimengerti
jika penerjemahan dengan terjemahan harfiah karena karakteristik susunan bahasa Indonesia
berbeda dengan bahasa arab sehingga terjemahannya pun tidak bias dimengerti malah justru
merusak maksud kalamullah.
BAB IX
Menurut bahasa, qira’at ( )تاءارقadalah bentuk jamak dari qira’ah ( )ةءارقyang merupakan isim masdar dari
qaraa, yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh
keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua
pengertian qira’at menurut istilah.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata نهعلاadalah فوصلا.
2. Pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu
menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan
substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya
tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap
istimbat hukum dan adakalanya tidak.
a. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum Qira’at shahihah (Mutawatir dan
Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya
qira’at membantu penafsiran qira’at ( )متسم َلdalam menetapkan hal-
مكهوجوب اوحسماف ابيط اديعص اومميتف ءام اودجت ملف ءاسنلا متسم َل وأ طئاغل¶ا نم مكنم دحأ ءاج وأ رفس ىلع وأ ىضرم متنك نإو
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz ()ءاسنلا متسمَل. Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan
Ibn 'Amir, membaca ()ءاسنلا متسمَل, sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca ()ءاسنلا متسم َل.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at ()متس ¶مَل, ada tiga versi pendapat ulama
mengenai makna (َ)متسما, yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َ)متس ¶ما. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid,
Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud,
Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik
dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ( )ءاس ¶نلا متس ¶م َلadalah
sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan maksud dari ( )متس ¶ماadalah berjima’ dengan perempuan.
Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum
berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi yang dimaksud dengan kata ( )ءاس¶نلا متس¶مَلdi sini adalah
berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang
membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums ( )سم لاdalam qira’at ( )متسمل, makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus
diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat ( )تاس¶ملاملاdalam qira’at ( )متس¶مل,
makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath
hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.احار¶س نهوحرسو نهوعتمف اهنودتعت ة¶دع نم نهيلع مك¶ل امف نهوسمت نأ لبق نم نهومتقلط
مث تانمؤملا متحكن اذإ اونمآ نيذلا اهيأاي لايمج
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan
belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan ()نهوس¶¶آمت ن ¶أ لبقنم,
sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: ( )نهوس ¶مت نأ لب ¶ ¶ق نم. Perbedaan bacaan
tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-
hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum
syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis
Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan
pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar
penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini
dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai
al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling
tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
a) Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah
ayat 38, yang berbunyi :
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
b) Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga
berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi: تاعبل تم مايأ ةثلاث مايصف
دجي مل نمف
Artinya :………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga
hari berturut-turut ….
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan
sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan
mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat
al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah
dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat baik.
BAB X
PEMBAHASAN
1. Makkiyah
a. Di dalamnya terdapat ayat sajdah
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”
c. Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan nas” dan tidak ada ayat dimulai dengan ungkapan “ya
ayyuahl ladzina”, kecuali dalam surat al-hajj karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat
yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyyuhal ladzina”.
d. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
e. Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan iblis, kecuali surat al-baqarah
f. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong seperti alif lam mim dan
sebagainya, kecuali surat al-baqarah dan ali-imran.
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum muanafik, kecualai surat al-ankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.
Berdasarkan titik tekan tematis, para ulama merumuskan ciri-ciri spesisfk makkiyah dan
madaniyah sebagai berikut.
1. Makkiyah
a. Menjelaskan ajaran monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabian,
penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka
dengan siksanya, syurga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan
argumentasi-argumentasi rasional dan naqli.
b. Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan
akhlak yang harusdimilki anggota masyarakat. Juga berisiskan celaan-celaan terrhadap
kriminalitas yang dilakukan kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim
serta uraian tentang hak-hak.
c. Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terrdahulu serta perrjuangan Muhammad dalam
menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin
d. Banyak terdapat kesamaan bunyi
e. Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras
f. Banyak mengandung kata-kata sumpah
2. Madaniyah
a. Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hududd, bangunan rumah tangga, warisan,
keutamaan jihad, kehidupan social, aturan-aturan pemerintah menangani perdamaian dan
peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’
b. Mengkhitabi ahli kitab yahudi dan nashrani dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan
perbuatan mereka yang telah menyimpangkan kitab Allah adan menjauhi kebenaran serta
perselisihannya setelah datang kebenaran
c. Mengungkap langka-langkah orang-orang munafik
d. Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan
menggunakan ushlub yang terang pula.[2]
Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah, para ulama bersandar pada
dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyashi ijtihad (bersifat ijtihad).
Cara pertama berdasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para
sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.
Cara qiyashi ijtihad didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyyah. Apabila dalam
surat makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani atau mengandung peristiwa
madani, maka dikatakan ayat itu madani. Begitu pula sebaliknya apabila dalam surat madaniyah
terdapat suatu ayat yang mengandung sifat makki atau peristiwa makki, maka ayat tadi dikatakan
sebagai ayat makkiyah. Oleh karena itu, para ahli mengatakan, “setiap surat yang dalamnya
mengandung kisah para nabi atau uamt-umat terrdahulu, maka surat itu adalah makkiyah.dan
seretiap surat di dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan hukum, maka surat itu adalah
madaniyah.
Untuk membedakan makkiyah dana madaniyah, para ulama mempunyai tiga macam
pandangan yangmasing-masing mempunyai dasar-dasarnya sendiri.
1. Dari segi waktu turunnya
2. Dari segi tempat turunnnya
3. Dari sisi sasarannya
Para ulama antusias untuk menyelidiki surat-surta makkiyah dan madaniyah. Mereka
meneliti al-qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuia dengan turunnya,
dengan memperhatikan waktu , tempat danpola kalimat. Lebih dari itu mereka mengumpulkan
antara waktu, tempat dan pola kalimat. Abul qasim al-hasan bin Muhammad bin habib an-naisaburi
menyebutkan dalam kitabnya at-tanbih’ala fadhli ulum al-qur’an, “di antara ilmu-ilmu al-qur’an
yangpaling mulia adalah ilmu tentng nuzul al-qur’an dan sekitarnya. Seperti yang diturunkan di
waktu malam/siang, diturunkan secara bersama-sama atau yang turun secara tersendiri, ayat-ayat
makkiyah dalam surat-surat madaniyah dan sebaliknya, serta ayat-ayat yang diperselisihkan antara
madani dan makki. Orang yang tidak mengetahui dan tidakp dapat membedakannya ia tidak berhak
berbicara tentang al-qur’an. Ada tiga tahap dalam masa turunnya al-qur’an di mekah menurut abu
qasim yaitu tahap permulaan, tahap pertengahan dan tahap penghabisan.
Dalam kitab karangan manna’ al-qaththani yang berjudul pengentar studi ilmu al-Qur’an
menebutkan bawha yang terpenting dalam objek kajian par ulama yang diturunkan di mekkah atau
madinah sesrta yang menjadi perselisihan, yaitu:
1. Ayat-ayat makkiyah dalam surat-surat madaniyah
Contohnya dalam surat al-Hujurat ayat 13. Ayat tersebut diturunkan di mekah pada hari
penaklukan kota mekah tetapi sebenarnya madaniyah karena diturunkan selepas hijrah. Di samping
itu, seruannyapun bersifat umum.Ayat seperti ini oleh oleh para ulama tidak dinamakan makkiyah
dan tidak madaniyah secara pasti. Tetapi mereka mengatakan ayat yag diturunkan di mekah namun
hukumnya mdaniyah.
2. Ayat-ayat madaniyah dalam surat makkiyah
Misalnya surat al-an’am, ibnu abbas berkata surat ini diturunkan sekaligus di mekah, maka ia
adalah makkiyah, kecuali tiga ayat yang diturunkan di madinah yaitu ayat 151-153. Dan surat al-
hajj adalah makkiyah. Tetapi ada tiga ayat yang madaniyyah yaitu ayat 19-21.
3. Yang diturunkan di mekah namun hukumnya madaniyah
4. Ayat yang diturunkan di madinah namun hukumnya makkiyah
Mereka memberi contoh dengan surat al-mumtahanah, surat ini diturunkan di madinah dilihat
dari segi turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk mekah. Juga seperti
permusuhan aurat at-taubah yang diturnkan di madinah, tetapi seruannya ditujukan kepada orang-
orang musyrik di mekah.
5. Yang serupa dengan yang diturnkan di mekah dalam kelompok madaniyah
Yang dimaksud para ulama disini adalah ayat-ayat yang terdapat pada madaniyah tetapi
mempunyai gaya bahasa danciri seperti makkiyah. Contohnya firman Allah dalam surat al-anfal
ayat 32 yang madaniyah. Hal ini dikarenakan permintaan orang musyrik untuk disegerakan azab
adalahdi mekah.
6. Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah dalam kelompok madaniyah
Yang dimaksud ulama disini adalah kebalikan dari sebelumnya dalam surat an-najm ayat 32.
7. Ayat yang dibawa dari mekah ke madinah
Contohnya ialah dalam surat al-a’la. HR. al-bukhori dan al-bara’ah bin azb yang mengatakan
bahwa: “ bahwa yang oertama kali datang kepada kami dikalangan sahabat nabi adalah mush’ab bin
umair dan ibnu ummi maktum. Keduanya membacakan al-qur’an kepada kami, setelah itu
datanglah ammar, bill dan sa’ad, kemudain datang pua umar bin khattab sebagai orang nomor yang
kedua puluh.baru setelah itu datang nabi, aku melihat penduduk madinah bergembira setelah aku
membaca “Sabbihisma robbikal a’la.
8. Ayat yang dibawa dari madinah ke mekah
Contohnya ari awal surat at-taubah yaitu ketika rasululloh memerintahkan kepada abu bakar
untuk pergi haji pada tahuan kesembilan dan hal inipun disampaikan kepada kaum
musyrikin bahwa tahun tidak seorangpun orang musyrik boleh berhaji.
9. Ayat yang turun di waktu malam dan siang
Kebanyakan ayat turun pada siang hari , abu qasim an-naisaburi telah menelitinya. Contoh di
bagian surat al-imran dan yang lainnya.
10. Ayat yang turun di musim panas dan musim dingin
Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas tentang ayat kalalah yang terdapat
di akhir surat an-nisa. Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam perang tabuk, yang terjadi pada
musim panas seperti yang dinyatakan dalam surat at-taubah ayat 81. Sedangkan musim dingin
mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mengenai “tuduhan bohong” yang terdapat dalam surat an-
nur.
11. Yang turun di waktu menetap atau perjalanan
Mayoritas ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an turun pada saat nabi dalam keadaan
menetap.Akan tetapi, karena kehidupan Rasululloh tidak pernah lepas dari jihad dan peperangan di
jalan Allah, maka wahyu pun turun dalam peperangan tersebut.Contohnya awal-surat al-Anfal yang
turun pada waktu perang badar.
1) Untuk menambah keyakinan bahwa al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan di bawah
otoritas Allah semata bukan berdasarkan keinginan nabi
2) Untuk mempermudah memahami al-Qur’an
3) Agar bisa memahami nasikh (hukum yang menghapus) dan mansukh (hukum yang dihapus) jika
terdapat dua ayat yaitu madaniyah dan makkiyah yang keduanya memenuhi syarat nasakh maka
ayat madaniyah tersebut menjadi nasakh bagi ayat makkiyah karena ayat madaniyah datang
belakangan setelah ayat makkiyah
4) Untuk mengetahui kronologis penurunan syari’ah yang berangsur-angsur
5) Untuk mengetahui perjalanan Rasulullah
6) Untuk mengetahui kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam menjaga otensitas al-qur’an.