Anda di halaman 1dari 49

BAB I

A. Ulum Qur’an
Ungkapan “ulum Qur’an” berasal dari dari Bahasa arab yang terdiri dari dua kata ,yaitu
“ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata “ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “ilmu”.ilmu yang
dimaksud disini,sebagaimana didefisinisikan Abu Syahban adalah sejumlah materi
pembahasanya yang di batasi kesatuan tema atau tujuan,sedangkan Al-Qur’an,sebagaimana
didefinisikan ulama ushul,ulama fiqih,dan ulama Bahasa,adalah “kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad, yang lafazh-lafazhnya mengandung
mukjizat,membacanya mempunyai nilai ibada,yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis pada mushaf,mulai dari awah surat Al-fatiah, [1] samapai akhir surat An-Nas
[114].1dengan demikian,secara Bahasa,’ulum Al-Qur’an adalah ilmu (pembahasan-
pembahasan) yang berkaitan denagan Al-Qur’an.

B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ‘ULUM AL-QUR’AN


Menyingat bayaknya ilmu yang ada berkaitan dengan pembahasan Ulum Al-Qur’an
,ruamg linkup pembahasan Ulum Al-Qur’an itu jumlahnya sangat banyak.bahkan Menurut
Abu Bakar Al-Arbi,ilmu-ilmu Al-Qur’an itu mencapai 77.450.hitung ini diperoleh dari hasil
perkalian jumlah kaliamat Al-Qur’an dengan empat,karena masing-masing kaliamat
mempunyai makna Zahahir ,batin had,dan matha.jumlah itu akan semakin bertambah jika
melihat urutan kalimat di dalam Al-Qur’an serta hubungan anatrrurutan itu.jika sisi itu
dilihat,ruang lingkup,pembahasan ‘Ulum Al-Qur’an tidak dapat di hitung (tak
terhingga)lagi7
Berkenan dengan persoalan ini,M Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang
lingkup pembahasan Ulum Al-Qur’an terdiri dari enam hal pokok berikut ini.
1. Personal Turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
Personal ini menyakut tiga hal :
a. Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an (augat nuzul wa mawathin an nuzul),
b. Sebab-sebab turun ya Al-Qur’an (asbab an nuzul)
c. Sejarah turunnya Al-Qur’an (tarikh an-nuzul)
2. Personalan Sanad (Rangkaian Para Riwayat)
a. Riwayat mutawatir
b. Riwayat ahad
c. Riwayat syadz
d. Macam-macam qir’an Nabi
e. Para perawi dan penghapal Al-Qur’an
f. Cara-cara penyebaran riwayat (tahammul)
3. Personal Qir’an (cara pembacaan Al-Qur’an)
a. Cara berhenti(waqah)
b. Cara memulai ( ibtida)
c. Imalah
d. Bacaan yang di panjangkan (madd)
e. Meringankan bacaan hanzah
f. Memasukan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idgam)
1. Personal kata Al-Qur’an
Personal ini beberapa hal berikut
a. Kata-kata Al-Qur’an yang asing (gharip)
b. Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harkat akhirnya (mu’rab)
c. Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa (homonim)
d. Padanan kata-kata Al-Qur’an (sinonim)
e. Isti’arah
f. Penyerupaan (tasbih)\
2. Personal makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
Personal ini menyangkut hal-hal berikut
a. Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumanya
b. Makana umum (‘am) yang dimaksud ,makna khusus
c. Makana umum (‘am) yang maknanya dikhususkan Sunnah
d. Nash
e. Makna lahir
f. Makna global (mujmal)
g. Makna yang di perinci
h. Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicara
i. Makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaraan
j. Nash yang ditunjukkan tidak melahirkan keragunan
k. Nash yang muskil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya
l. Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada kata itu
sendiri
m. Ayat yang mengapus dan yang dihapus
n. Yang di dahulukan
o. Yang diakhir
3. Persoalan makna-mkna Al-Qur’an yang berpaulatan dengan kata-kata Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut hal-hal ini berikut ini:
a. Berpisah (fashl)
b. Bersambung (washl)
c. Uraian singkat ( I’jaz)
d. Uraian panjang (ithnab)
e. Pendek (qashr)
C. CABANG-CABANG (POKOK BAHASA)ULUM AL-QUR’AN
Di atara cabang-cabang (pokok pembahasan) “Ulum Al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1. Ilmu adab tilawat Al-Qur’an,yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan aturan dalam pembacaan
Al-Qur’an .
2. Ilmu tajwid,yaitu ilmu yang meneragkan cara-cara membaca Al-Qur’an,tempat
memulai,atau tempat berhenti (wagaf)
3. Ilmu mawathin An-Nuzul,yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat,musim,awal,dan
akhir turunnya ayat.
4. Ilmu Tawarikh An-Nuzul ,yaitu ilmu yang menerangkan dan masa aturan-urutan ayat,satu
demi satu dari awal hingga akhit turunnya.
5. Ilmu asbab An-Nuzul,yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turun ayat.
6. Ilmu Qira’at,yaitu menerangkan ragam qir’at(pembaca Al-Qur’an) yang telah diterima
Rasululah SAW.Qir’at apabila dikumpulkan terdiri atas sepuluh macam,ada yang sahih dan
ada pula yang tidak sahih.
7. Ilmu Gharib Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab konvensional,atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-
hari.ilmu menerangkan kata-kata yang halus,tinggi,dan pelik.
8. Ilmu I’rab Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan harkat Al-Qur’an dan kedudukan
sebuah kata dalam kalimat.
9. Ilmu wujuh wa An-Nazha’ir ,yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata Al-Qur’an yang
mempunyai maknalebih dari satu.
10. Ilmu ma’rifat Al-Muhkam Wa Mutasyabih,yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang
dipandang muhkam dan yang di pandang mutasyabih.
11. Ilmu Nasikh Wa-mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang Mansukh oleh
sebagian mufassir.
12. Ilmu Badai’u,yaitu ilmu yang menerangkan keindahan susunan Bahasa Al-Qur’an.
13. Ilmu I’jaz Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan Al-Qur’an sehingga
pandangan sebagai suatu mukjizat dan melelahkan penantang-penantangnya.
14. Ilmu Tanasub ayat Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan persesuaian atara sesuatu ayat-
ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
15. Ilmu Aqsam Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksudnya sumpah
Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an
16. Ilmu Amtsal Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan perumpamaan-perumpamaan Al-
Qur’an,yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan dikemukakan Al-Qur’an.
17. Ilmu Jadal Al-Qur’an,yaitu ilmu yang menerangkan macam-macam perdebatan yang telah
dihadapkan Al-Qur’an kepada segenap kaum musyrikin dan kelompok lainnya.
A. PERKEMBANGAN ULUM AL-QUR’AN
1. FASE SEBELUM KONDIFIKASI (QABI’ASHAR AT-TADWIN
Pada fase sebelum kondifikasi,Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah merupakan
benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada.hal itu ditandai
dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-
sungguh.terlebih lagi ,diantara mereka sebagaimana diceritakan oleh Abu Aburahman
As-sulami10,ada kebiasaan untuk tidak terpindah kepada ayat lain,sebelum bener-benar
dapat memahami dan mengamalkan ayat yang dipelajari.mereka mempelajari sekaligus
mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya.tampaknya,itulah sebabnya mengapa ibn
‘Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghapal surat Al-Baqarah
Kegairaha para sahabat untuk mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an tampaknya
lebih kuat lagi ketika nabi hadir ditengahtengah mereka.hal ini mendorong ibn
Taminyah untuk mengatakan bahwa Nabi sudah menjelaskan apa-apa yang menyangkut
penjelasan Al-Qur’an kepa para sahabatnya.12 beberapa riwayat dibawah ini
membuktikan adanya penjelasan Nabi kepada para sahabat menyangkut penafsiran Al-
Qur’an.
1. Riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad,Tirmidzi,dan yang lainnya dan Adi bin Hayya ia
berkata Bahwa Rasulullah SAW.bersabda

Artinya :
“ yang dimaksud orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang-orang yahudi,sedangkan
yang dimaksud dengan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasyrani.
2. Riwayat yang disampaikan oleh At-Tirnidzi dan ibn Hibban,di dalam Sahih-nya,dari ibn
mas’ud yang mengatakan bahwa Rassulullah SAW,bersabda:

Artinya :
“ yang dimaksud dengan shalat musba adalah shalat ashr.”
3. Riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Al-Bukhari,muslim,dan yang lainya dari ibn
mas’ud yang menceritakan bahwa tatkala turun ayat.

Artinya :
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik)”
4. Contoh-contoh penafsiran Nabi lainnya yang menjadi materi pokok dan landasan utama
kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur.14
Riwayat –riwayat penafsiran dan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang diterima oleh para sahabat dari
Nabi kemudian diterima oleh para tabiin dengan jalan periwayatan.dapat dijelaskan disini
bahwa para penulis Ulum Al-Qur’an pada abad 1 (satu sebelum kondifikasi ) adalah sebagai
berikut :
a. Dari kalangan sahabat : khulafa ‘Ar-Rasyidin ,ibn Yasar,ibn ‘Abbas,ibn mas’ud zaid
bin tasbit,ubai bin ka’ab,abu musa Al-Asy’ari ,dan Abdullah bin zubair.
b. Dari kalangan tab’in : mujahid , ‘Atha’ bin Yasar, ‘ikrimah,Qatadah Al-Hasan Al-
Bashri, Sa’id bin Jubair,Zaib bin salam
c. Dari kalangan atba ‘tabi’in : malik bin Anas
5. Periode sebelum konfikasi sekaligus menjelaskan perkembang Al-Qur’an pada abad I H
2. FASE KONDIFIKASI
Pada fase sebelum konfikasi,Ulum Al-Qur’an juga ilmu-ilmu lainnya belum
dikodifikasi dalam bentuk kitab atau mushaf.satu-satunya yang sudah dikodifikasi saat
itu hanyalah Al-Qur’an.15 fenomena itu harus berlangsung sampai ketika ‘Ali bin Abi
Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Perintah
‘Ali inilah yang mebuka gerbang pengodifikasi ilmu-ilmu agama dan Bahasa
Arab.pengodifikasi itu semakin marak dan meluas ketika islam berada pada tangan
pemerintah Bani Umayyah dan Bani Abbasin pada periode-periode awal
pemerintahannya.
a. Perkembang ‘Ulum Al-Qur’an Abad ll H.
Tentang masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan
abad ll H.yang menyusun tafsir ialah :
1. Syu’ba Al-Hajjaj ( w. 160 H.), 16
2. Sulfayan bin ‘ Uyainah ( w.. 198 H. ), 17
3. Sufyan Ats- Tsauri (w.161 H ),
4. Waqi’bin Al-Jarrh ( 128-197,), 18til bin sulaiman ( W. 150 H ).
5. Ibn Jarir Ath thabari ( W. 310 H )
b. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad lll H
Pada Abad lll H selain tafsir dan ilmu tafsir,para ulama mulai menyusun pula
beberapa ilmu Al-Qur’an ( “Ulum Al-Qur’an
),diantaranya.
1. ‘Ali bin al.-madini (W.234 H).30 gurunya iman Al-Bukhari,yang menyusun ilmu Asabab
An-Nuzul
2. Abu Ubaid Al-Qasimi bin salam (w.224 H.) Yang menyusun ilmu Nasikh wa Al-
Mansukh,ilmu Qir’at,dan Fadha’il Al-Qur’an
3. Muhamad Ayyub Adh-Dhurraits (w.294 H.) yang menyusun ilmu makki wa Al-Madani
4. Muhamad bin khalaf Al-marzuban (w.309 H ) yang menyusunkitab Al-Hawi fi “Ulum
Al-Qur’an”
c. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad lv
Pada Abad lv H.mulai disusun ilmu Graib Al-Qur’an dan beberapa kitab ‘Ulum
Al-Qur’an .diantaranya ulama yang menyusun ilmu-Ilmu itu adalah :
1. Abu Bakar As-Sijstani (w.330 H.)21 yang menyusun kitab Gharib Al-Qur’an
2. Abu Bakar Muhamad bin Al-Qasim Al-Anbari (yang menyusun kitab Ajaib itu ia
menjelaskan perial tujuh huruf (sab’ah ahruf),penulisan mus’af,jumlah bilangan
surat,ayat-ayat dalam Al-Qur’an.
3. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w.324 H).yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi Ulum Al-
Qur’an
4. Abu Muhammad Al-Qasalah Muhammad bin Ali -Kurkhi (w.360 H.) yang menyusun
kitab Nukat Al-Qur’an Ad-Dallah’ala Al-Bayan fi Anwa ‘Al-Ulum wa Al-ahkam Al-
Munbi’ah Ikhitilaf Al-anam
5. Muhammad bin ‘Ali Al-Adiawi (w.388 H.) yang menyusun kitab Al-Istighna’ fi Ulum
Al-Qur’an (20 jiid)
d. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad V.H
Pada Abad V.H .Mulai disusun ilmu I’rab Al-Qur’an dalam satu kitab.di samping
itu,penulis kitab-kitab Ulum Al-Qur’an masih terus dilakukan oleh ulama masa
ini.diantara ulama masa ini .diantara ulama yang berjasa dalam pengembangan
“Ulum Al-Qur’an pada masa ini adalah:
1. ‘Ali bin Ibrahim bin sa’ida al-Hufi (w.430 H.).22 Selain memepelori penyusunan I’rab Al-
Qur’an,ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.kitab ini selain menafsirkan
Al-Qur’an seluruhnya,juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang ada sehubungannya
dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsirkan.
2. Abu ‘Amr Ad-Dani (w,444 H.) yang menyusun kitab At-Tafsir fi Qira’at As’sab’i dan
kitab Al-Mulkam fi An-Naqth.
e. Pekembangan ullum Al-Qur’an Abad vl H.
Terdapat Ulama yang mengembangkan Ulum Al-Qur’an ,juga terdapat yang
memulai menyusun ilmu Muhammad Al-Qur’an diantaranya adalah :
1. Abu Al-Qasim bin ‘Aburrahman As-Suhaili (w.581 H.)23 Yang menuruskan perkembangan
‘Ulum Al-Qur’an yang ‘tidak jelas’,apa atau siapa yang dimaksudkan.
2. Ibn al-januzi (w.597 H.) Yang menyusun kitab funun Al-Afnan fi Aja’ib Al-Qur’an dan
kitab funun Al-Afnan fi Aja’ib Al-Qur’an dan kitab Al-mujaba’fi Ulum Tata allaq bin Al-
Qur’an
f. Perkembangan Ulum Al-Qur’an Abad Vll H.
Pada abad Vll H, Ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunya
ilmu mazad
1. Alhamuddin As-saikhawi (w.643).kitabnya mengenai ilmu Qir’at dinamai hidayat
hidayat murtab fi mustayabih.
G, PERKEMBANGAN Ulum Al-Qur’an
Pada abad Vll
I. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad XIV H.

Setelah Memasukan abad XIV H. Bangkitlah Kembali perhatian ulama dalam Penyusunan
kitap-kitap yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi Kebangkitan ini di antaranya
dipicu oleh kegiatan Ilmiah di Universitas Al – Azhar Mesir Terutama ketika Universitas ini
membuka Jurusan-jurusan bidang studi yang menjadikan taksir dan hadis sebagai salah satu
jurusannya
Ada sedikit Pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama abad ini
dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya penegmbangan itu di antaranya berupa
penerjemhan Al-Qur’an ke dalam Bahasa –bahasa Ajam . pada Abad ini Perkembangan
‘Ulum Al- Qur’an pun diwarnai oleh usaha-usaha Menebarkan keraguan di seputar Al-
Qur’an yang dilakukan oleh kalangan Orientalis atau oleh orang islam itu sendiri yang
dipergaruhi oleh Orientalis. Sala satunya adalah Thaha Husein keraguan di seputar Al-
Qur’an . Bantahan Terhadap telah dilakukan umpayanya oleh Ustadz Syekh Muhammad Al-
Khidir Husein , Salah Seorang Syekh Al-Azhar.

Di antara Karya-karya ‘Ulum Al-Quran yang lahir Pada Abad ini adalah :
1. Syekh Thahir Al-Jazair yang menyusun Kitap At – Tibya’an fi Ulum Al-Quran yang
selesai pada tahun 1335 H.
2. Jamaluddin Al-Qasimy ( w.1332 H ) yang Menyusun Kitab Mahasain Al – Ta’wil. Juz
pertama kitab ini dikhususkan untuk pembicaraan Ulum Al-Qur’an
3. Muhammad ‘Abd Al-Azhim Az – Zarqani yang menyusun Kitap Manahil Al ‘Ifran fi
Ulum Al-Quran ( 2 jilid )
4. Muhammad ‘Ali Salamah yang menyusun kitab Manhaj Al-Furqan fi ‘Ulum Al-Quran
5. Syekh Tanthawi Jauhari yang Menyusun Kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Quran dan Al-
Quran wa ‘Ulum Ashriyyah
6. Mushtahara Shadiq Ar-Rafi:I yang menyusun Kitab I’jaz Al-Quran
7. Ustadz Syyahid Quthub yang Menyusun Kitab At-Tashwir Al-Fani fi Al-Quran
8. Ustadz Malik bin Nabi yang Menyusun Kitap Az-Zahairah Al-Qraniyah . Kitab ini
sangat penting dan banyak pembicaraan tentang Wahyu
9. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha yang menyusun Kitab Tafsir Al-Quran Al-
Hakim yang terkenal pula dengan nama Tafsir Al-Manar . di Dalamnya banyak juga
Penjelasan tentang ‘Ulum Al-Quran.
10. Syekh Muhammad Abdullah Darraz yang Menyusun Kitab An-Naba”Al Azhim’an Al-
Quran Al-Karrim : Nazharat Jadidah fi Al-Quran
11. DR. Subni As-salih, guru besar Islamic Studies dan Fiqhu Lugah pada Fakultas Adab
Universitas Libanon yang menyusun Kitab Mabahits Li “Ulum Al-Quran Kitab ini selain
Membahas ‘Ulum Al-Quran , juga menanggapi Secara Ilmia pendapat-pendapat orientasi
yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang berhubungan dengan Al-Quran.
12. Syekh Mahmud Abu Daqiqi yang Menyusun Kitab ‘Ulum Al-Quran
13. Syekh Muhammad ‘Ali Salamah , Yang Menyusun Kitab Manhaj Al-Furqan fi’Ulum
Al-Quran
14. Ustadz Muhammad Al-Mubarak yang Menyusun Kitab Al-Manhal Al-Khalid
15. Muhammad Al-Ghazali yang Menyusun Kitab Nazharat fi Al – Quran
16. Syehk Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang Menyusun sebuah risalah yang
menerangkan kebolehan kita menerjemahkan A-Quran ia pun menulis kitab Tafsir Al-
Maraghi.

BAB II

A. Pengertian Ulumul Qur’an


1. Menurut As Suyuthi (dalam ItmamAd Dirayah)

Yaitu satu ilmu yang membahas keadaan-keadaan Al-Qur’an sari segi nuzulnya,
sanadnya, adab-adabnya, lafadh-lafadhnya, makna- maknanya yang bertautan dengan
lafadh, makna-maknanya yang bertautan dengan hukum, dan sebagainya
2. Syekh Al-Maghribi (dalam Al-Akhlaq wa Al-Wajibat),

menyatakan bahwa, ‘Ulumul Qur’an adalah satu ilmu yang menjelaskan suatu
keadaan dari keadaan-keadaan Al-Qur’an, baik mengenai penafsiran ayat-ayat,
pentakwilannya, penjelasan maksudnya, asbabunnuzulnya, nasikhmansukhnya,
persesuaian satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya, mengenai uslubnya, rupa-
rupa qira’atnya, cara merasamkan (menuliskan) kalimat dan sebagainya.
3. Muhammad Ali AshShabuni
Beliau mendefinisikan ‘Ulumul Qur’an sebagai suatu pembahasan yang
berkaitan dengan Al-Qur’an yang abadi, dari segi cara turunnya, pengumpulannya,
urutannya, dan pembukuannya, mengetahui asbabunnuzulnya, amaliah dan
madaniyahnya, nasikhmansukhnya, serta muhkam dan mutasyabihatnya.

B. Ruang Lingkup Ilmu Al-Qur’an


Ilmu Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam :
5. Ilmu Al-Qur’an yang berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam Al-
Qur’an (ma fi Al-Qur’an)
6. Ilmu Al-Qur’an yang berkaitan dengan apa-apa yang ada di sekitar Al-
Qur’an (ma haula Al-Qur’an)
7. Ilmu Al-Qur’an yang berkaitan dengan apa-apa yang digunakan untuk berkhidmat
kepada Al-Qur’an (ma li Al-Qur’an)
Ilmu Al-Qur’an dapat dipelajari dengan dua cara:
➢ Dengan riwayat, yaitu dengan mempelajari dan menelusuri sejumlah periwayatan
yang berkaitan dengan Al-Qur’an
➢ Dengan dirayat, yaitu dengan mempelajari dan melakukan analisis-
analisis terhadap Al-Qur’an
C. Tujuan Mempelajari ‘Ulumul Qur’an

Al-Qur’an sebagai pedoman umat manusia yang masih hidup perlu diketahui isinya
untuk diperoleh petunjuk darinya. Oleh karena kandungannya masih sangat umum dan
mujmal, maka perlu dibutuhkan sebuah ilmu. Jika mengetahui isi Al-Qur’an adalah wajib bagi
umat Islam, maka mempelajari ‘Ulumul Qur’an demikian pula halnya. Adapun mempelajari
‘Ulumul Qur’an mempunyai banyak tujuan sebagaimana kutipan dibawah ini.
a. Alam silabus IAIN tahun 1997 dinyatakan, bahwa tujuan mempelajari
‘Ulumul Qur’an adalah agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami
‘Ulumul Qur’an dengan bermacam-macam pokok pembahasannya yang diperlukan
sebagai salah satu alat untuk memahami Al-Qur’an
b. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddiqi, tujuannya adalah untuk memperoleh keahlian
dalam mengisyinbatkan hukum syara’, baik mengenai I’tiqad, amalan, budi pekerti,
maupun lainnya.
c. Menurut ‘Ali Ash Shabuni; adalah untuk memahami kalam Allah berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari Rasulullah SAW. dan riwayat yang disampaikan oleh
para sahabat dan tabi’inr.a, disekitar penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan untuk mengetahui cara dan dasar penafsiran para ‘ulama pada zaman dahulu,
penjelasan tentang tokoh dan keistimewaannya di kalangan mereka, dan untuk
mengetahui syarat-syarat penafsiran.
D. Lingkup Pembahasan ‘Ulumul Qur’an
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka ‘Ulumul Qur’an sangat luas
pembahasannya. Menurut Ibn Al ‘A’rabi, ‘Ulumul Qur’an meliputi 77.450 ilmu. Hal mana
didasarkan pada perhitungan, jumlah kalimah dalam Al-Qur’an dikalikan empat, karena setiap
kalimah dalam Al-Qur’an mengandung makna dhahir, batin, terbatas dan tak terbatas.
Menurut As Suyuti, ‘Ulumul Qur’an mencakup 80 macam ilmu. Dan asing- masing
ilmu mempunyai beberapa cabang. AzZarkasyi membahas 47 ilmu Al- Qur’an. Dan Al
Bulqini dengan bukunya mawaqi’ al ‘Ulum min Mawaqi’ na Nujum membahas 50 macam
ilmu Al-Qur’an. Meskipun jumlah ilmu Al-Qur’an itu sangat banyak, namun pada dasarnya
kembali pada beberapa hal saja, yakni:
Pertama : pembahasan yang berkaitan dengan NuzululQur’an, yaitu awqat na nuzul,
mawathin na nuzul, asbabunnuzuldan tarikh na nuzul.
a. Awqat an nuzulwamawathin an nuzul;
Yaitu pembahasan tantang periode penurunan Al-Qur’an dan tentang tempat
penurunannya. Ayat-ayat yang turun pada periode sebelum hijrah disebut makkiyyah, ayat
yang turun setelah periode hijrah disebut madaniyyah, ayat yang turun saat nabi berada
dirumahhadlariyyah, ayat yang turun pada saat nabi di perjalanan disebut safariyyah, ayat
yang turun di siang hari disebut nahariyyah, ayat yang turun pada malam disebut lailiyyah,
ayat yang turun pada musim panas disebut shaifiyyah, ayat yang turun pada musim dingin
disebut syitaiyyah, dan ayat yang turun pada saat nabi pembaringan dinamakan ayat
firasyiyyah.
b. Asbab an nuzul
Yaitu pembahasan berkisar pada sebab-sebab diturunkannya ayat.
c. Tarikh an nuzul
Pembahasannya meliputi wahyu mana yang pertama dan terakhir diturunkan, ayat mana
yang diturunkan secara berulang-ulang, ayat yang diturunkan bercerai-berai, ayat yang tur
terkumpul, dan ayat yang pernah diturunkan kepada seorang nabi sebelumnyan maupun yang
belum pernah diturunkan kepada siapapun.
➢ pembahasan yang berakaitan dengan Sand, yakni meliputi mutawatir, ahad, syadz,
rupa-rupa qira’ah nabi, para perawi dan para huffadhdan
kaifiyattahammul(teknik penghafalan)
➢ pembahasan yang berkaitan dengan hal bacaan yang meliputi waqaf,
ibtida’, malah, Mad, takhfif hamzah dan idgham.
➢ pembahasan yang berkenaan dengan hal lafadh yang meliputi ghariblafadh,
mu’rab, majaz, lafadhmusytarak, muradif, isti’arahdan tasbih.
➢ pembahasan yang berhubungan dengan hal makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan
hukum, yang meliputi ‘am, khas, mujmal, mufashshal,
manthuq, mafhum, muhkam, mutasyabih, dan nasikh-mansukh.
➢ pembahasan makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan lafadh, yakni fashldan washl,
i’jaz, ithnab, musawah, dan qashr

E. Hubungan Dan Urgensi ‘Ulumul Qur’an Dengan Tafsir Al-Qur’an


Al-Qur’an adalah sumber pokok dari ajaran-ajaran Islam yang masih bersifat global. Bagi
orang yang hidup masa belakangan ini tentu mengalami kesulitan dalam memahaminya. Agar
setiap kita mampu memahami isi Al-Qur’an, maka kita harus mempunyai alat untuk
membongkarnya. Dan alat yang paling tepat untuk keperluan tersebut adalah ‘Ulumul Qur’an.
Ilmu ini sebagian telah diungkap di depan, membahas berbagai ilmu yang berkaitan dengan
Al-Qur’an, termasuk didalamnya adalah ilmu tafsir Al-Qur;an. Seperti yang telah kita ketahui
di depan,
‘Ulumul Qur’an memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, ilmu-ilmu itu sangat
bermanfaat bagi kita yang hendak mengetahui Al-Qur’an lebih detail.
Dengan mempunyai ilmu-ilmu itu berarti kita mempunyai pengetahuan tentang Al-
Qur’an, sehingga memungkinkan kita mampu memahami Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya
dan sanggup menafsirkan dengan sedalam-dalamnya. Ilmu ini juga dapat dijadikan penangkal
yang sakti untuk membantah serangan-serangan atau celaan-celaan terhadap Al-Qur’an yang
sering dilancarkan oleh kaum Orientalis dan Atheist dengan tujuan menyudutkan dan menodai
kitab suci Al- Qur’an dan menimbulkan keragu-raguan aqidah bagi umat Islam terhadap
kesucian dan kebenaran Al-Qur’an, Way of Life bagi umat Islam. Ilmu tafsir juga sangat
penting untuk dipelajari oleh umat Islam karena ia merupakan alat pembantu dalam
memahami Al-Qur’an dan menafsirkannya.
‘Ulumul Qur’an mempunyai hubungan yang erat dengan tafsir Al-Qur’an. Orang yang
hendak memahami Al-Qur’an secara sempurna, termasuk menterjemahkannya, maka perlu
baginya mempelajari ‘Ulumul Qur’an. Tafsir Al- Qur’an berarti penjabaran atau pemahaman
Al-Qur’an. Pengertian selengkapnya ada pada bab lain. Untuk melakukan tafsir terhadap Al-
Qur’an dengan baik, kita butuh ilmu tafsir. Sedangkan ilmu tafsir tersebut merupakan salah
satu bahasan dalam ‘Ulumul Qur’an. Maka seseorang akan dapat menafsirkan Al-Qur’an
dengan baik bila memahami ’Ulumul Qur’an. Demikian pula sebaliknya.
Telah diketahui, ‘UumulQur’an disebut pala sebagai ‘Ilmu Ushulat Tafsir, yakni ilmu yang
membahas dasar-dasar dan pokok penjelasan Al-Qur’an secara umum.

BAB III

A. Pengertian Wahyu
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksudkan penerima wahyu itu adalah
makhluk syahadah, sedangkan pemberi wahyu itu adalah Allah Yang Maha Ghaib, dan
adapula yang menyampaikan wahyu itu kepada yang menerimanya melalui makhluk
ghaib (malaikat Jibril).
secara etimologis wahyu didefinisikan sebagai: ―Pemberitahuan secara
tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui oleh yang
al-Qaththan (2004) menjelaskan pula kata ―al-wahy‖ (wahyu) adalah kata
mashdar (infinitif) menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itu, dikatakan, ―wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain‖.
pengertian wahyu secara lughat (etimologi) yang telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa wahyu itu adalah membisikkan kedalam sukma, mengilhamkan dan
isyarat yang cepat, lebih mirip kepada dirahasiakan daripada ditampakkan.
Berikut ini pengertian wahyu secara isthilah (terminologi) banyak pula pendapat
dari para ahli:
Wahyu adalah nama bagi yang disampaikan kepada nabi dan rasul dari Allah.
Demikian juga dipergunakan untuk lafaz al- Qur`an . Wahyu Allah kepada nabi dan
rasul-Nya ialah, Allah menyampaikan wahyu-Nya ke dalam jiwa nabi dan rasul, tentang
pengertian pengetahuan yang Allah kehendaki yang akan mereka sampaikan pula kepada
manusia, sebagai petunjuk bagi mereka dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.Nabi dan rasul sesudah menerima wahyu itu betul-betul percaya bahwa yang
mereka terima tentang wahyu itu adalah dari Allah (Ashshiddieqy, 1953: 17).
Wahyu ialah pengetahuan yang di dapat seseorang pada dirinya sendiri dengan
keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan sesuatu
perantaraan ataupun tidak. Bedanya dengan ilham ialah bahwa ilham adalah, perasaan
yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari
mana datangnya. Dan ilham itu hampir 74 Jurnal Ulunnuha Vol.6 No.1/Juni 2016 serupa
dengan perasaan lapar, haus, suka dan duka (Abduh, 1963: 140- 141).
Bila dicermati kedua pengertian wahyu secara istilah di atas dapatlah kita pahami
bahwa pihak yang pertama memberikan pengertian wahyu secara isthilah lebih cendrung
kepada nama dari yang disampaikan kepada nabi dan rasul, termasuk lafaz al-Qur`an
serta wahyu yang langsung diresapkan ke dalam jiwa mereka itu, yakni berupa
pengetahuan yang disampaikan kepada umatnya. Guna mendapatkan kehidupan yang
layak dunia akhirat.Nabi dan rasul tersebut juga yakin bahwa pengetahuan mereka
semuanya datang dari Allah. Sementara itu pihak yang kedua yakin bahwa pengetahuan
nabi dan rasul itu juga datang dari Allah, baik yang disampaikan melalui perentara
ataupun tidak. Kemudian juga mereka bedakan wahyu itu dengan ilham yang sama
artinya dengan perasaan yang meyakinkan hati, dan mendorong mereka untuk mengikuti
dengan setia tanpa mengetahui darimana datangnya, bahkan ilham mereka artikan hampir
sama dengan pengertian insting seperti adanya perasaan lapar, haus, suka dan duka.
Macam-Macam Wahyu Menurut Muhammad Abdul ‗Azim al-Zarqani (1988),
wahyu Allah terdiri atas bermacam-macam yakni berupa wahyu yang berisikan
percakapan Allah dengan hamba yang dipilihnya seperti Allah berbicara dengan Nabi
Musa AS sebanar-benar berbicara, dan ada pula wahyu itu dalam bentuk ilham berupa
ilmu Dharuri yang dimasukkan ke dalam hati hamba yang dipilihnya. Dari semua wahyu
itu, al-Qur`an lah wahyu yang termashur daripada wahyu yangserupa dengan perasaan
lapar, haus, suka dan duka (Abduh, 1963: 140- 141).
B. Cara di Diturunkan dan Penyampaian Wahyu
Pada umumnya wahyu turun kepada para Nabi dengan tiga cara yaitu:
Dengan cara pemberitahuan langsung (secara wahyu) dalam hati Nabi atau
jiwanya mengenai suatu pengetahuan yang ia tidak mampu menolaknya dan tidak
sedikitpun meragukan kebenarannya. Cara ini sering disebut dengan ruyatun sholehah
atau sesuatu yang diperoleh dalam keadaan tidur tetapi menjadi kenyataan. Contoh,
mimpi nabi Ibrahim As, ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya nabi Ismail
As.Dengan cara penyampaian dari balik tabir. Dengan melalui perantara malaikat Jibril
sebagai pembawa wahyu. Dalam hal ini ada dua cara, yaitu:Adakalanya nabi Muhammad
Saw. melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya atau menyerupai salah seorang sahabat
yaitu Dihya bin Khalifah atau seorang laki-laki berbangsa Arab atau lainnya.
C. Macam-Macam Wahyu
Wahyu adalah kalam atau perkataan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh
makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Wahyu merupakan
wasallam. Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata –ketika menyinggung macam-
macam turunnya wahyu tersebut—sebagai berikut:
1. berupa ar-ru`ya ash-shadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan
turunnya wahyu kepada beliau shallallahu ‗alaihi wasallam.
2. berupa sesuatu yang dibisikkan oleh malaikat terhadap jiwa dan hati beliau tanpa
dapat beliau lihat. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah, ―Seungguhnya Ruhul Quds
(Malaikat Jibril ‗alaihissalam) menghembuskan (membisikkan) ke dalam
hatiku, bahwasanya jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rezeki baginya. Oleh
karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah ‗Azza wa Jalla berindah-indahlah dalam meminta
serta janganlah berputus asa atas keterlambatan rezeki atas kalian,
mendorong kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat
terhadap-Nya, karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak akan didapat
kecuali dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.‖
3. berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki, lantas mengajak beliau shallallahu
‗alaihi wasallam berbicara hingga beliau memahaminya dengan baik apa yang
dikatakan kepadanya. Dalam hal ini, terkadang para sahabat dapat melihat malaikat
tersebut.
4. berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau shallallahu ‗alaihi
wasallam, diikuti dengan malaikat (yang menyampaikan wahyu) secara samar. Cara
ini merupakan cara yang paling berat, sampai-sampai membuat beliau bersimbah
peluh, padahal terjadi pada malam hari yang amat dingin. Demikian pula,
mengakibatkan unta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau sedang
menungganginya. Dan pernah juga suatu kali, wahyu datang dengan cara tersebut,
pada saat itu paha beliau berada di atas paha Zaid bin Tsabit sehingga Zaid merasakan
beban demikian berat yang hampir saja membuatnya remuk.
5. berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu
diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah ‗Azza wa Jalla.
Peristiwa ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh
Allah dalam surat an-Najm.
6. berupa wahyu yang diwahyukan Allah kepada beliau. Yaitu saat beliau berada di atas
langit pada malam mi‘raj ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
7. berupa Kalamullah (perkataan Allah) kepada beliau tanpa perantara malaikat,
sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin Imran. Peristiwa seperti ini juga
dialami oleh Nabi Musa dan diabadikan secara qath‘i berdasarkan nash al-Qur‘an.
Sedangkan kepada Rasulullah terjadi dalam hadits tentang peristiwa Isra‘ Mi‘raj.
Sebagian ulama menambah caranya menjadi delapan, yaitu Allah ‗Azza wa Jalla
berbicara kepada beliau secara langsung tanpa hijab. Namun ini merupakan
permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian,
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Qayyim –rahimahullah– dengan sedikit
diringkas dalam penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang
benar, bahwa urutan terakhir (kedelapan) ini tidak tsabit (tidak valid dan tidak
dipercaya keabsahan riwayatnya).

D. Penyampaian Wahyu yang Dialami Nabi Muhammad SAW


Wahyu Allah Swt yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW di antaranya adalah:
ALLAH SWT menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW untuk dijadikan petunjuk
bagi umat Islam. Tetapi, bagaimana proses penyampaian wahyu tersebut? Menurut Syekh
Shafiyarrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya Sirah Nabawiyah (2012, Pustaka Al-
Kautsar). Mengutip Ibnu Qayyim, dijelaskan bahwa ada tujuh cara Allah SWT
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW yaitu sebagai berikut:
1. mimpi yang hakiki atau benar. Mimpi ini termasuk salah satu permulaan media
penyampaian wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW.
2. melalui bisikan dalam jiwa dan hati Nabi tanpa diihatnya. Nabi Muhammad SAW
berkata: Sesungguhnya Ruhul-Qudus menghembuskan ke dalam diriku, bahwa
suatu jiwa sama sekali tidak akan mati hingga disempurkan Rezekinya. Maka
bertakwalah kepada Allah, baguskan dalam meminta, dan janganlah kalian
menganggap lamban datangnya rezeki, sehingga kalian mencarinya dengan cara
mendurhakai Allah, karena apa yang di sisi Allah tidak akan bisa diperoleh kecuali
dengan menaati-Nya.‘‘
3. malaikat muncul di hadapan Nabi Muhammad SAW. Malaikat menyerupai
seoarng laki-laki menemui secara langsung kepada Nabi. Lalu, ia berbicara dengan
Nabi hingga bisa menangkap secara langsung apa yang dibicarakan. Bahkan,
dalam hal ini terkadang para sahabat juga bisa melihat penjelmaaan malaikat.
4. wahyu datang menyerupai gemerincing lonceng. Wahyu ini dianggap wahyu
paling berat dan malaikat tidak dapat dilihat oleh pandangan Nabi. Dahi Nabi sampai
berkerut dan mengeluarkan keringat sekalipun pada waktu yang sangat dingin. Bahkan,
hewan yang ditunggangi Nabi menderum ke tanah. Wahyu seperti ini pernah terjadi
tatkala paha beliau berada di atas Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid merasa keberatan dan
hampir saja tidak kuat menyangganya.
5. malaikat melihatkan rupa aslinya. Melasir laman MUI disebutkan, peristiwa
seperti ini pernah terjadi dua kali kepada Nabi. Malaikat mendatangi Nabi untuk
menyampaikan wahyu seperti yang dikehendaki Allah kepada beliau. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam surat An-Najm
6. Wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi. Kejadian ini terjadi di lapisan-
lapisan langit pada malam Mi‘raj. Wahyu ini berisi kewajiban untuk melaksanakan sholat dan lain-
lain. Ketujuh, Allah berfirman langsung kepada Nabi tanpa perantara. Dalam hal
ini, sebagaimana Allah telah berfirman dengan Musa bin Imran. Wahyu semacam ini
berlaku bagi Musa berdasarkan nash Alquran. Sedangkan Nabi Muhammad terjadi
dalam hadist tentang Isra. Allah berfirman langsung kepada Nabi tanpa perantara.
Dalam hal ini, sebagaimana Allah telah berfirman dengan Musa bin Imran. Wahyu
semacam ini berlaku bagi Musa berdasarkan nash Alquran. Sedangkan Nabi
Muhammad terjadi dalam hadist tentang Isra.
E. Hubungan Akal dan Wahyu
Dengan akal manusia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mana yang benar
dan mana yang salah. Sebagaimana Al-Qur‗an memang merupakan suatu sumber kebenaran mutlak
yang bersumber dari Tuhan. Namun kebenaran Al-Qur‗an tidak hanya
bersifat Internal bagi dirinya sendiri, tetapi yang lebih penting lagi adalah makna
eksternalnya, sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Islam sebagai agama yang
bersandar pada wahyu, yaitu Al-Qur‗an pada dasarnya menuntut pemeluknya untuk dapat
berdialog dengan wahyu itu, dengan menggunakan kapasitas akalnya secara optimal
dalam memahami wahyu.
Kedua hal ini hendaknya memiliki hubungan yang bersifat fungsional, agar manusia
mampu berdialog dengan wahyu dalam upaya menjadikan wahyu sebagai pedoman hidup
bagi manusia. Jika akal dan wahyu memiliki hubungan secara struktural, artinya wahyu di
atas akal, atau sebaliknya akal di atas wahyu. Sehingga salah satu dari keduanya
mensubordinasi yang lainnya, maka akan membawa kesulitan munculnya dinamika
fungsional keduanya. Hubungan yang bersifat struktural tidak bisa diterapkan dalam
memahami wahyu. Karena wahyu tidak bisa dipahami secara benar, dan akal tidak bisa
memahami kebenaran yang hakiki tanpa adanya wahyu.
Pemikiran Kalam Tentang Akal dan Wahyu Menurut Harun Nasution 83 merupakan
dasar dan menjadi tolok ukur dalam menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam
teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan
persoalan baik dan jahat.15 Akal digunakan sebagai daya berpikir yang ada dalam diri
manusia, berusaha untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan
kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan.

BAB IV

A. PENGERTIAN NUZULUL QUR’AN


nuzulul quran adalah proses turunnya Alquran dari tempat yang tinggi ke muka bumi.
Secara lengkap, nuzulul quran adalah peristiwa turunnya Alquran dari Allah SWT melalui perantara
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW di muka bumi.Nuzulul quran berasal dari kata nuzul
dan Alquran. Kata nuzul secara harfiah berarti menurunkkan sesuatu dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah. Sedangkan quran merupakan Alquran, kitab suci umat Islam.
Nuzulul quran juga dapat diartikan sebagai penyampaian informasi atau wahyu dari Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai
kebenaran.
Alquran pertama kali diturunkan di Gua Hira pada 17 Ramadan. Momen inilah yang kini
diperingati sebagai peristiwa nuzulul quran. Pertama, menurut Ibnu Abbas, turunnya Alquran terjadi
secara sekaligus ke Baitul Izzah di langit untuk menunjukkan kepada para malaikat betapa besarnya
malam ini. Setelah itu, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap selama
23 tahun.

B. SEJARAH NUZUL QUR’AN


Setiap tanggal 17 Ramadhan umat muslim memperingati malam Nuzulul Quran. Melalui
Malaikat Jibril, Al Quran sebagai wahyu diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW
yang saat itu tengah bertempat di Jabal Nur, Gua Hira. Saat itu Rasulullah berusia 40 tahun, 6
bulan, 8 hari menurut tahun Qamariyah.Awal turunnya Al Quran ini diawali dengan 5 ayat pertama
dari Surat Al 'Alaq. Peristiwa inilah yang disebut dengan peristiwa Nuzulul Quran.
Melansir buku Pengantar Studi Al Quran oleh Abdul Hamid Lc, MA, Rasulullah SAW
menerima wahyu dalam 2 keadaan. 1
- Pertama, terdengar seperti suara lonceng yang berbunyi keras. Cara ini merupakan yang
paling berat bagi Rasulullah.
- Kedua, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dalam keadaan seperti manusia biasa, yaitu
menyerupai seorang laki-laki. Rasulullah yang tengah sendiri saat itu langsung ketakutan
hingga menggigil. Kemudian Rasulullah kembali ke rumah dan menceritakan pengalaman
tersebut kepada Khadijah, istrinya. Sejak peristiwa itu, kemudian Nabi Muhammad SAW
mendapat gelar Rasul.Artinya nabi yang mendapatkan wahyu untuk disebarkan kepada umat
manusia.

Al Quran yang terdiri dari 114 surat dan 30 juz ini diturunkan secara berangsur selama 22
tahun, 2 bulan, 22 hari.Berdasarkan urutan waktunya, pertama kali terjadi pada bulan ke-9 Hijriah,
yaitu 17 Ramadhan 610 M dan wahyu terakhir Surat Al-Maidah ayat 3 diturunkan pada bulan 9
Dzulhijah 10 H/ 8 Maret 632 H di Padang Arafah.
Terkait turunnya Al Quran, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
‫شهر رمضان الذي ي أنزل فيه القران هدى للناس و بينت من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه و من كان‬
‫و لتكبروا هللا علي ما هدىكم‬ ‫مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر و لتكملوا العدة‬
)185( ‫و لعلكم تشكرون‬

1
https://pekunden.kec-kutowinangun.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/144/390
Artinya: "Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Quran, sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar
dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."

Al Quran pertama kali diturunkan di tempat yang sederhana, bukan tempat yang mewah dan
megah. Walaupun begitu, Rasulullah dapat membawa perubahan yang besar bagi peradaban
manusia terutama bagi umat muslim.
Sepeninggal Rasulullah, dikutip dari buku Sejarah Al-Quran, ternyata periode penyebaran
Al Quran masih berlanjut. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, keping demi keping
potongan tulisan tangan para sahabat tersebut itu disusun kembali, diurutkan per ayat, kemudian
surat per surat.Hingga disimpan oleh Abu Bakar hingga masa kepemimpinan Umar bin Khattab.
Untuk memperingati malam Nuzulul Quran bisa dilakukan dengan membaca doa, membaca
Al Quran, memperbanyak dzikir, dan menunaikan ibadah lainnya. Bacaan doa yang bisa dibaca
pada malam Nuzulul Quran adalah sebagai berikut:

Bacaan Doa Nuzulul Qur’an

‫اللهمغفرليل ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا‬

Artinya: "Ya Allah! Ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasihanilah keduanya
sebagaimana mereka menyayangiku semenjak kecil.

Doa Nuzulul Qur’an lainnya;


‫إنك عفو تحب العفو فاعف عنياللهم‬

Allahumma Innaka 'aufuwwun Tuhibbul 'Afwa fa'fu'anni


Artinya: "Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai yang meminta maaf,
karenanya maafkanlah aku."

C. HIKMAH DITURUNKAN AL-QUR’AN SECARA GRADUAL (BERANGSUR-


ANGSUR)
  Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad yang silam. Turunnya wahyu pertama
merupakan peristiwa yang bersejarah dan fenomenal dalam penyebaran ajaran Islam oleh Nabi
Muhammad Saw. kepada seluruh alam.
Peristiwa ini merupakan tonggak kemajuan dalam berbagai bidang, khususnya dalam
penyebaran ajaran Islam. Sebab ketika pada masa itu, kondisi masyarakat suku Quraisy benar-benar
dalam keadaan jahiliyah.
Dalam pembahasan Nuzulul Qur’an menurut berbagai mazhab kita telah mengetahui bahwa
Alquran diturunkan ke Baitul Izzah secara langsung pada bulan Ramadhan. Dari Baitul Izzah itulah,
Alquran kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Saw. Adapun hikmah
diturunkan Alquran secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sebagai berikut:
1. Meneguhkan hati Rasulullah dan para sahabat. Dakwah Rasulullah pada era Makkiyah
penuh dengan tribulasi berupa celaan, cemoohan, siksaan, bahkan upaya pembunuhan.
Wahyu yang turun secara bertahap dari waktu ke waktu ini menguatkan hati Rasulullah
dalam menapaki jalan yang sulit dan terjal itu. Di era Madaniyah, hikmah ini juga terus
berlangsung. Ketika hendak menghadapi perang atau kesulitan, Alquran turun menguatkan
Rasulullah dan kaum muslimin generasi pertama.
2. Sebagai tantangan dan mukjizat. Orang-orang musyrik yang berada dalam kesesatan tidak
henti-hentinya berupaya melemahkan kaum muslimin. Mereka sering mengajukan
pertanyaan yang aneh-aneh dengan maksud melemahkan kaum muslimin.
Pada saat itulah, kaum muslimin ditolong Allah dengan jawaban langsung dari-Nya melalui
wahyu yang turun. Selain itu, Alquran juga menantang langsung orang-orang kafir untuk
membuat sesuatu yang semisal dengan Alquran. Walaupun Alquran turun berangsur-angsur,
tidak seluruhnya,toh mereka tidak mampu menjawab tantangan itu. Ini sekaligus menjadi
bukti mukjizat Alquran yang tak tertandingi oleh siapapun.
3. Mempermudah dalam menghafal dan memahami. Dengan turunnya Alquran secara
berangsur-angsur, maka para kaum muslimin menjadi lebih mudah menghafalkan dan
memahaminya. Terlebih, ketika ayat itu turun dengan latar belakang peristiwa tertentu atau
yang diistilahkan dengan asbabun nuzul, maka semakin kuatlah pemahaman para sahabat
.
4. Relevan dengan penetapan hukum dan aplikasinya. Sayyid Quthb mengatakan bahwa para
sahabatnya adalah generasi yang selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Alquran.
Karena dijuluki dengan Jailul Qur’ani Farid (generasi qur’ani yang unik).
Di antara hal yang memudahkan bersegeranya para sahabat dalam menjalankan perintah
Alquran adalah karena Alquran turun secara bertahap. Perubahan terhadap kebiasaan atau
budaya yang mengakar di masyarakat Arab pun dilakukan melalui tahapan hukum yang
memungkinkan dilakukan karena turunnya Alquran secara berangsur-angsur ini.
Misalnya khamr, Ia tidak langsung diharamkan secara mutlak, tetapi melalui penahapan.
Pertama, Alquran menyebut mudharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS. 2 : 219). Kedua,
Alquran melarang orang yang mabuk karena khamr dari salat (QS. 4 : 43). Dan yang ketiga
baru diharamkan secara tegas (QS. 5 : 90-91)
5. Memperkuat keyakinan bahwa Alquran adalah benar dari Allah. Ketika Alquran turun
berangsur-angsur dalam kurun lebih dari 22 tahun, kemudian menjadi rangkaian yang sangat
cermat dan penuh makna, indah dan fasih gaya bahasanya, terjalin antara satu ayat dengan
ayat lainnya bagaikan untaian mutiara, serta ketiadaan pertentangan di dalamnya, semakin
menguatkan bahwa Alquran benar-benar kalam Ilahi, Zat yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji
D. dAL- QUR’AN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
Alquran merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kalam
Allah SWT itu diturunkan secara berangsur-angsur (mutawatir).
Tujuannya, agar kandunganal qur’an lebih mudah dipahami, dihafal, serta diamalkan
manusia. Dengan cara seperti ini, Rasulullah SAW akan mudah memberikan jawaban atas berbagai
pertanyaan yang diajukan, baik oleh umat beliau sendiri maupun orang-orang kafir.Berikut ini
adalah tiga jalan pemeliharaan Alquran yang berlangsung sejak kenabian hingga akhir hayat
Rasulullah SAW.
- Jaminan dari Allah
Mengutip buku Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran? (2013), antusiasme Nabi SAW begitu
tinggi saat menerima wahyu. Beliau tak ingin kehilangan satu huruf pun dari Kalam Allah yang
sampai kepadanya.Maka, beliau segera menggerakkan lisannya untuk meniru bacaan Jibril meski
malaikat mulia itu belum menyelesaikan bacaan. Allah SWT pun menegur Nabi SAW agar tak
tergesa-gesa (QS al-Qiyamah:16-18).Surah itu juga menegaskan, Allah SWT menjamin, Dia-lah
yang mengumpulkan setiap ayat Alquran dan menanamkannya dalam dada Nabi SAW. Rasul SAW
tak perlu khawatir ada yang terlewat.
- Hafalan
Nabi Muhammad SAW merupakan seorang ummi, yakni tak pandai membaca dan menulis.
Memang, umumnya masyarakat Arab kala itu tidak mahir dengan kepandaian tersebut. Maka dari
itu, Nabi SAW berfokus pada upaya menghafalkan Alquran.Dengan begitu, keakuratan tiap huruf
dari firman Allah Ta’ala akan terjaga. Beliau membacakan perlahan-lahan tiap ayat yang
diwahyukan kepadanya. Selanjutnya, para sahabat mengulanginya, melafalkannya, dan
menghafalkannya.
Banyak sahabat di rumahnya mengulangi hafalan Alquran. Dari kejauhan, suara mereka
seperti dengungan lebah. Rasul SAW kerap menyusuri Madinah saat malam. Sesekali, beliau
berhenti di dekat rumah beberapa sahabatnya yang sedang membacakan Alquran.Suatu kali, beliau
memuji Abu Musa al-Asy’ari, “Kamu tak tahu tadi malam aku mendengarkan bacaanmu. Sungguh,
Allah telah menganugerahkan kepadamu seruling (suara indah) dari seruling keluarga Daud” (HR
Bukhari).
- Tulisan
Di antara para sahabat Nabi SAW, tak sedikit yang mahir menulis. Kepada beberapa dari
mereka, Rasulullah SAW menyuruh untuk menuliskan ayat-ayat Alquran. Di antara para penulis
wahyu pada era Makkah ialah Abdullah bin Sa’ad dan Khalid bin Sa’id. Sejak hijrah, tentu kian
banyak yang menuliskan Alquran.
Ada sekitar 65 sahabat yang ditugaskan Nabi SAW sebagai penulis wahyu. Mereka antara
lain adalah empat orang yang akhirnya menjadi khulafaur rasyidin. Pembukuan Alquran terutama
pada masa Khalifah Utsman bin Affan juga mengandalkan tulisan-tulisan Alquran yang diguratkan
para sahabat Nabi SAW di berbagai medium--semisal pelepah kurma, kulit ternak yang telah
disamak, batu, dan sebagainya.
E. AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN
Jika melihat catatan sejarah, maka Al-Qur’an yang beredar dan digunakan sampai saat ini
adalah Al-Qur’an yang melalui proses panjang pada setiap pengumpulannya. Secara umum,
terdapat dua metode dalam hal pengumpulannya, yaitu metode menghafal dan metode menulis.
Dalam konteks sejarah pengumpulan Al-Qur’an, setidaknya terdapat tiga periodesasi. Pertama,
periode Nabi Muhammad saw. Kedua, periode Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketiga, periode Usman bin
‘Affan.
a. Periode Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw adalah seorang hafidz pertama sekaligus contoh paling baik perihal
hafalan Al-Qur’an-nya. Pengumpulan pada periode ini lebih dominan pada hafalan, karena
mayoritas masyarakat dimana Al-Qur’an diturunkan adalah seorang ummi, sebagaimana terkandung
dalam (Q.S. Al-Jumu’ah: 2).
Salah satu keistimewaan dari seorang ummi adalah mempunyai hafalan yang cepat dan kuat.
Mereka terbiasa menghafalkan syair dengan jumlah banyak. Maka tidaklah mengherankan jika
banyak para sahabat yang hafal al-Qur’an pada periode ini. Dalam kitab Shahih Bukhari,
setidaknya tercantum tujuh nama yang sering disebut sebagai hafidz al-Qur’an, yaitu: Abdullah
bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
Sakan dan Abu Darda’.
Lebih lanjut, secara rutin pada setiap tahunnya, malaikat Jibril datang kepada Nabi
Muhammad Saw untuk membaca dan menyimak secara bergantian. Tujuannya tak lain adalah
untuk menjaga hafalan Al-Qur’an Nabi. Bahkan pada satu tahun terakhir sebelum beliau wafat,
beliau membacakan seluruh isi kandungan Al-Qur’an sebanyak dua kali. Sebagaimana riwayat
berikut.
Fatimah binti Muhammad berkata: “Nabi Muhammad SAW memberitahukan kepadaku
secara rahasia; malaikat Jibril hadir membacakan Al-Qur’an kepadaku dan aku membaca untuknya
setahun sekali. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan Al-Qur’an sebanyak dua kali.
Fatimah kemudian menambahkan saya tidak berpikir lain kecuali, rasanya kematian beliau sudah
dekat”.Dalam riwayat tersebut terkandung makna bahwa ketika Nabi Muhammad SAW wafat, Al-
Qur’an telah dihafalkan oleh beliau secara lengkap sebagaimana yang diwahyukan dan telah
diajarkan secara lengkap juga kepada para sahabatnya.
Tidak berhenti pada hafalan, pengumpulan Al-Qur’an pada periode ini juga dilakukan
dengan tulisan. Beberapa sahabat yang diangkat untuk menulis Al-Qur’an, diantaranya: Zaid Bin
Tsabit, Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ubai Bin Ka’ab.Dalam hal menulis,
mereka selalu berpedoman untuk tidak menulis selain Al-Qur’an. Alat yang digunakan pun masih
sangat sederhana seperti ‘usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’
(kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung
unta).
b. Periode Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada periode Abu Bakar Ash-Shiddiq, terjadi banyak kekacauan, terutama kekecauan yang
dipimpin oleh Musailamah al-Khadzdzab bersama para pengikutnya. Salah satunya adalah Perang
Yamamah yang terjadi pada 12 H, tercacat sekitar 70 penghafal Al-Qur’an dari para sahabat gugur.
Bahkan ada riwayat lain yang menyebutkan sekitar 500 orang, dan mengakibatkan al-Qur’an
musnah.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an dalam sebuah mushaf. Umar khawatir bahwa Al-Qur’an
akan hilang jika hanya mengandalkan para penghafal Al-Qur’an, terlebih ketika semakin banyaknya
para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam peperangan.
Pada mulanya, Abu Bakar menolak usulan Umar dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah
melakukan sebelumnya. Selanjutnya, Abu Bakar menceritakan kekhawatiran Umar kepada Zaid bin
Tsabit. Respon Zaid pun tak jauh berbeda dengan Abu Bakar, bahkan Zaid mengungkapkan
“seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidak lebih berat
bagiku daripada mengumpulkan al-Qur’an yang engkau perintahkan.”
Namun, setelah mempertimbangkan perihal kebaikan dan manfaatnya, Abu Bakar dan Zaid
pun menyetujuinya. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid untuk menuliskan Al-Qur’an,
mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, kecerdasan, serta kehadirannya
dalam pembacaan terakhir kali.
Setelah Abu Bakar wafat pada 13 H, mushaf tersebut berpindah ke tangan Umar hingga
beliau wafat. Setelahnya, berpindah lagi ke tangan Hafsah, putri Umar yang pernah menjadi istri
Nabi yang juga hafidzah dan pandai baca tulis, atas wasiat Umar.
c. Periode Usman bin ‘Affan
Pada periode Usman bin’ Affan, wilayah penyebaran Islam semakin luas, para pengajar Al-
Qur’an pun diperlukan lebih. Huzdzaifah bin Yaman, seorang pemimpin prajurit Islam di
perbatasan Azerbaijan dan Armenia, melihat perbedaan di kalangan umat Islam dalam membaca
Al-Qur’an. Beliau khawatir jika perbedaan tersebut lambat laun akan mengancam kesatuan Al-
Qur’an dan persatuan umat Islam di kemudian hari.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Huzdzaifah segera pergi menemui Usman dan
berkata, “aku telah memberikan peringatan secara terbuka, karena itu dimohon kepada khalifah
untuk menemui umat Islam.”Menurut beberapa riwayat, Usman mengadakan pertemuan dengan
para sahabat, setelah menerima laporan tersebut. Hasil akhirnya adalah dengan menyeragamkan
umat Islam pada satu mushaf sehingga tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan.
Lebih lanjut, Usman bin ‘Affan mengambil beberapa langkah sebagaimana terkandung
dalam riwayat Bukhori; Pertama, meminjam mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada
masa Abu Bakar kepada hafsah untuk disalin ke dalam beberapa mushaf.
- Kedua, membentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
- Ketiga, setelah panitia selesai melakukan tugasnya, maka mushaf-mushaf tersebut dikirim
ke berbagai pusat negeri Islam.
- Keempat, memerintahkan kepada kaum Muslim di seluruh negara Islam untuk membakar
semua mushaf dan catatan-catatan al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf yang telah
mereka terima.
BAB V
A.Ilmu fawatihus suwar
1. Pengertian Fawatihus Suwar
Menurut bahasa fawatih adalah jamak dari katafatihah, yang berarti pembukaan atau
permulaan atau awalan. Sedangkan kata as-suwar adalah jamak dari kata as-surah yaitu
sekumpulan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Fawatihus Suwar adalah beberapa pembukaan dari surah-surah Al-qur’an atau beberapa
macam awalan dari surah-surah Al-qur’an. Sebab, seluruh surah al-qur’an yang berjumlah
114 buah surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan, tidak ada satu surahpun yang
keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai
rahasia/hikmah sendiri-sendiri, hingga perlu sekali untuk dipelajari.
Istilah fawatihus suwar ini sering dijumbuhkan orang dengan al-huruful
muqaththa’ah (huruf terputus-putus yang terdapat di permulaan surah-surah al-qur’an)
seperti Dr. Shubhi Ash-Shahih dalam kitabnya Mabahits fi’ulumil Qur’an. Karena itu, perlu
ditegaskan bahwa fawatihus suwar itu berbeda dengan huruful muqaththa’ah yang hanya
mempunyai salah satu macam dari fawatihus suwar yang ada sepuluh macam yang hanya
menjadi pembahasan dari 29 surah dari 114 surah-surah Al-qur’an.
2. Macam-macam Fawatihus Suwar
   Jadi fawatihus suwar atau pembukaan-pembukaan dari 114 surah-surah al-Qur’an itu
terdapat 10 macam, diantaranya:
 Pembukaan dengan pujian kepada Allah Swt ( al istiftaahu bits tsanaa’i ) terdapat dalam
14 surah
I. Pujian kepada Allah Swt itu ada 2 macam yaitu:
a) Menetapkan sifat-sifat terpuji ( al itsbaatu sifaatil madhi ) yang memakai salah
satu dari 2 lafadz sebagai berikut:
b) Memakai lafal “ hamdalah “ ( bilafdzil hamdalah ) yakni dibuka dengan
lafal   ِ ‫اَ ْل َح ْم ُدهلِل‬, terdapat dalam 5 surah sebagai berikut:
– Surah al-Fatihah dengan lafal ” َ‫“ أَ ْل َح ْم ُدهَلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِم ْين‬
– Surah al- An’am dengan lafal ” ‫ض‬ َ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ق السَّم َوا‬ َ َ‫“ أَ ْل َح ْم ُدهّلِل ِ الَّ ِذيْ َخل‬
– Surah al- Kahfi dengan lafal ” ‫تب‬ َ ‫“ أَل َح ْم ُدهّلِل ِ الَّ ِذيْ أَ ْن َز َل َعلَى َع ْب ِد ِه ْال ِك‬
– Surah as-Saba’ dengan lafal ” ‫ض‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ ” أَ ْل َح ْم ُدهّلِل ِ الَّ ِذيْ لَهُ َمافِى السَّم َوا‬ 
 – Surah Fathir dengan lafal ” ‫ض‬ َ ْ‫ت واأْل َر‬ ِ ‫“ أَل َح ْم ُدهّلَل الَّ ِذيْ فَا ِط ِرالسَّم َوا‬
II. Memakai lafal  َ‫ تَبَا َرك‬yang terdapat dalam 2 surah yaitu:
-  Surah al-Furqan dengan lafal ” ‫ك الَّذيْ نَ َّز َل ْالفُرْ قأنَ َعلَى َع ْب ِد ِه‬ َ َ‫ ” تَب‬ 
َ ‫ار‬
– Surah al-Mulk dengan lafal” ‫ك‬ ْ ْ َّ
ُ ‫ك ال ِذيْ بِيَ ِد ِه ال ُمل‬ َ َ‫“ تَب‬
َ ‫ار‬
III. Mensucikan Allah Swt. Dari sifat-sifat yang negatif ( tanziilu an shifaatin
nuqshaan ) yang memakai lafal tasbih, terdapat dalam 7 surah, diantaranya:
– Surah al-Isra’ dengan lafal ‫ ُس ْبحنَ الَّ ِذيْ اَسْرى بِ َع ْب ِد ِه لَ ْياًل‬     
Artinya: maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu
malam”.
– Surah al- a’ala dengan lafal ‫لى‬ َ ‫ك األَ ْع‬ َ ِّ‫ِّح ا ْس َم َرب‬
ِ ‫ َسب‬ 
Artinya:sucikanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi”.
– Surah al-Hadid dengan lafal ‫ض‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ َسبَّ َح هلِل ِ َمافِى السَّم َوا‬ 
Artinya:semua yang ada dilangit dan yang ada dibumi bertasbih pada Allah
( menyatakan kebesaran Allah”.
– Surah al-Hasyr dengan lafal ‫ت َو َما فِى‬ ِ ‫َسبَّ َح هلِل ِ مافِى السَّم َوا‬
‫ض‬
ِ ْ‫ر‬َ ‫األ‬                                     
Artinya: telah bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang ada
di bumi”.
– Surah ash-Shaaffu dengan lafal ‫ت َو َما فِى‬ ِ ‫َسبَّ َح هلِل ِ َما فِى السَّم َوا‬
‫ض‬ َ ً
ِ ْ‫األر‬                                      
Artinya: telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja
yang ada dibumi”.
– Surah al-Jumu’ah dengan lafal ‫ض‬ ِ ْ‫ت َو َما فِى األَر‬ ِ ‫َّموا‬
َ ‫يُ َسبِّ ُح هلِل ِ ما فِى الس‬ 
Artinya: telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja
yang ada dibumi
–  Surah at-Taghabuun dengan lafal ‫ض‬ ِ ْ‫ت َوما فِى األَر‬
ِ ‫يُ َسبِّ ُح هلِل ِ ما فِى السَّموا‬
Artinya: telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja
yang ada dibumi”.
 Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus ( istiftaahu bil huruufi al
muqaththa’ati )
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surah dengan memakai 14 huruf
dengan tanpa diulang yang terkumpul dalam kalimat ِّ‫ نَصِّ َح ِك ْي ٌم قَا ِط ٌع لَهُ ِسر‬, yang terdiri dari
huruf-huruf ‫ ي‬,‫ ه‬,‫ ن‬,‫ م‬,‫ ل‬,‫ ك‬,‫ ق‬,‫ ع‬,‫ ط‬,‫ ص‬,‫ س‬,‫ ر‬,‫ ح‬,‫أ‬. Jika dihitung dengan memasukkan huruf-
huruf yang berulang-ulang, maka akan berjumlah 78 huruf. Penggunaan huruf-huruf tersebut
dalam pembukaan surah-surah al-Qur’an disusun dalam 14 rangkaian dan terdiri dari 5
kelompok sebagai berikut
IV. Kelompok sederhana, terdiri dari 1 huruf ( al- muwahhada ) yang ada 3 rangkaian
dan terdapat dalm 3 surah sebagai berikut yaitu:
– Surah  shaad dengan lafal ‫ َوالقُرْ ا ِن ِذال ِّذ ْك ِر‬.‫ص‬ 
Artinya: shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan”.
– Surah qaaf dengan lafal ‫ َوالقُرْ ا ِن ال َم ِجي ِد‬.‫ق‬                                                     
Artinya: qaaf, demi al-Qur’an yang sangat mulia”.
– Surah al-Qalam dalam lafal َ‫ َوالقَلَ ِم َو َما يَ ْسطُرُوْ ن‬.‫ن‬
Artinya: nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
V. Kelompok yang terdiri dari dua huruf (Al-Mutsanna) yang ada empat rangkaian dan
terdapat dalam 9 surah, diantaranya
 Rangkaian huruf “Ha” dan “Mim” dalam 6 surah, sebagai berikut:
– Surah Ghafir atau al-Mu’min
–Surah As-Sajdah
–Surah Az-Zuhruf
– Surah Ad-Dukhan
– Surah Al-Jatsiyah
– Surah Al-Ahqaf
o Rangakaian huruf “Tha” dan “Ha” hanya dalam 1 surah yaitu Surah Thaha.
o Rangakaian huruf “Tha” dan “Sin” hanya dalam 1 surah yaitu Surah An-Naml.
o Rangkaian huruf “Ya” dan “Sin” hanya dalam 1 surah saja yaitu Surah yaasin.
VI. Kelompok yang terdiri dari tiga huruf (Al-Mutsallatsatu)yang ada tiga rangkaian dan
terdapat dalam 13 surah-surah, sebagai berikut:
 Rangkaian huruf “ Alif, Lam, Mim,” dalam 6 surah sebagai berikut:
– Surah al-Baqarah
– Surah Ali-Imran
– Surah Al-Ankabut
– Surah Ar-Rum
– Surah Luqman
– Surah As-Sajdah
VII. Rangkaian huruf “Alif, Lam, Ra” dalam 5 surah, sebagai berikut:
– Surah Yunus
– Surah Hud
– Surah Yusuf
– Surah Ibrahim
– Surah AL-hijr
o Rangkaian huruf “Tha, Sin, dan Mim” dalam 1 surah yaitu Surah Al-Qashash
dan Asy-Syu’ara.
VIII. Kelompok yang terdiri dari 4 huruf (Al-Muraaba’ah) yang ada dua rangakaian dan
terdapat dalam dua surah saja, yaitu:
A. Rangkaian yang terdiri dari huruf Alif, Lam, Mim, dan Ra dalam satu surah
yaitu Ar-Ra’d
B. Rangkaian yang terdiri dari Alif, Lam, Mim, Shad dalam satu surah yaitu
Surah Al-a’raf.
C. 5.       Kelompok yang terdiri dari 5 huruf  Al-Mukhaamasatu) yang ada
dua rangkaian dan terdapat dalam dua surah, yaitu:
i. Rangkaian yang terdiri dari huruf Kaf, Ha, Ya, ‘Ain, dan Shad dalam
satu surah yaitu Surah Maryam.
ii. Rangkaian yang terdiri dari huruf Ha, Mim, ‘Ain, Sin dan Qaf dalam
satu surah yaitu Surah Asy-Syura.
iii. Pada dasarnya, terdapat dua macam pendapat dari para ulama’ mengenai
huruf- huruf muqatho’ah:
IX. Kelompok salaf yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui Allah
Swt. diantaranya Abu bakar Ash-shiddiq yang berkata
‫ َو ِس َّرةٌفِى ْالقُرْ ا ِن أَ َوائِ ُل ال ُّس َو ِر‬,‫ب ِس ِّر‬
ِ ‫فِى ُك ِّل ِكتَا‬
yang artinya “Dalam kitab-kitab itu ada rahasianya, dan rahasia dari kitab Al-
Qur’an adalah pembukaan dari surah-surah al-Qur’an. Pendapat yang lain
dikemukakan oleh Ali bin Abi thalib, imam Asy sya’bi, Umar bin Khathab, Imam
Ar-Razi.
Kelompok kedua yang melihat perso’alan ini sebagai suatu rahasia dan bisa
dipahami oleh manusia terutama oleh orang-orang yang mendalami pengetahuannya.
Diantara mereka yang mengikuti pendapat ini adalah:
Ibnu Farij meeriwayatkan dari ibnu Abbas, bahwa tiap-tiap huruf dari huruful
muqotho’ah  itu diambil dari nama/ sifat-sifat Allah Swt, misalnya ‫¶ف‬ ٌ ¶‫لَ ِط ْي‬  :“  ”‫الم‬
ُ ‫ َم ِج ْي ٌدأَهّلل‬.
Imam Zamahsyari, Imam Ar-Razi dan Imam Syibawaihi berpendapat bahwa
huruf-huruf itu adalah merupakan nama-nama dari surah-surah yang dibuka dengan
huruf-huruf tersebut. Disini kaum mutakallimin membantah pendapat tersebut dan
dikatakan tidak tepat sebab banyak surah-surah yang dimulai denagn huruf-huruf
yang sama sehingga susah dibedakan yang satu dari yang lain.
Kaum Syi’ah berpendapat bahwa apabila pengulangan dalam kelompok huruf itu
dibuang, akan terbentuk pernyataanَ‫ص َراط‬ ٍّ ‫ ( َعلِ ٍّي َعلَى َح‬ali itu diatas jalan kebenaran
ِ  ‫ق‬
yang harus di pegang teguh ). Artinya mereka mengartikan huruf-huruf tersebut
setelah disusun dalam suatu kalimat.
Imam Baidlawi, Zamakhsyari, Ibnu Taimiyah dan Al-Mizani berpendapat bahwa
huruf-huruf itu adalah untuk menantang orang-orang yang mengingkari al-Qur’an,
agar membuat tandingannya dan kalau mereka menuduh Al-Qur’an itu buatan Nabi
Muhammad Saw, maka mereka ditantang supaya mencoba membuat yang seperti itu.
Masih banyak pendapat mengenai huruful muqotha’ah namun kami tidak membahas
semuanya.
 Pembukaan dengan Nida/panggilan (Al-istiftaahu Bin Nidaa’)
Nida’ (panggilan) itu ada 3 macam, yaitu:
Nida/ panggilan yang ditujukan kepada kepada Nabi SAW, terdapat dalam 5 surah,
diantaranya Surah Al-Ahzab, Surah At-Tahrimdan Surah Ath-Thalaq dimulai dengan lafal “
‫ياَاَيُّهَاالنَّبِ ُّي‬ ,” Surah Al-Muzammil dimulai dengan lafal  ” ً‫اال ُم َز ِّم ُل قَ ِم الَّي َل اِالَّقَلِ ْيال‬ ْ َ‫“ يَااَيُّه‬dan Surah Al-
Muddatsir dimulai dengan lafal  ” ‫ ” يَااَيُّهَاال ُم َّدث ُر‬. ِّ
X. Nida yang ditujukan kepada kaum mukminin dengan lafal ” ‫“ يَااَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا‬, terdapat
dalam surah, diantaranya:
– Surah Al-Maidah
– Surah Al-Hujurat
XI. Nida yang ditujukan kepada umat manusia ” ُ‫ ” يَااَيُّهَاالنَّاس‬, yang terdapat dalam dua
surah, yaitu Surah An-Nisa dan Surah Al-Hajj.
 Pembukaan dengan jumlah Khabariyah (Al-istiftaahu Bil Jumalil Khabariyyati)
Jumlah Ismiyah, yang menjadi pembukaan 11 surah-surah, diantaranya:
– Surah At-Taubah dengan lafal ” ‫“ بَ َرا َءةٌ ِمنَ هّللا ِ َو َر ُس َولِ ِه‬
– Surah An-Nur dengan lafal ” ‫“ سُوْ َرةٌ اَ ْنز َْلنهَا َوفَ َرضْ نهَا‬
– Surah Az-Zumar dengan lafal ” ‫الحكي ِْم‬ َ ‫ب ِمنَ هّللا ِ ال َع ِزي ِْز‬ ِ ‫“ تَ ْن ِز ْي ُل ال ِكت‬
‫هّللا‬
– Surah Muhammad dengan lafal ” ِ ‫ص ُّدوْ ا ع َْن َسبِي ِْل‬ َ ‫“ الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُر َوا َو‬
– Surah Al-Fath dengan lafal  ” ‫ك فَ ْتحًا ُمبِ ْينًا‬ َ َ‫“ إِنَّافَتَحْ نَال‬
– Surah Ar-Rahman dengan lafal ” َ‫“ اَلرَّحْ منُ َعلَّ َم القرْ ان‬
ُ ٌ
– Surah Al-Haqqah dengan lafal ” ُ‫“ ْال َحآقَّةُ َماال َحآقَّة‬
– Surah Nuh dengan lafal ” ‫“ إِنَّااَرْ َس ْلنَانُوْ حًاإِلَى قَوْ ِم ِه‬
– Surah Al-Qadr dengan lafal ” ‫“ إِنَّااَ ْنزَ ْلنهُ فِى لَ ْيلَ ِةالقَ ْد ِر‬
– Surah Al-Qaqi’ah dengan lafal       ” ُ‫ار َعة‬ ِ َ‫االق‬ ْ ‫ار َعةُ َم‬ ِ َ‫“ أَ ْالق‬
– Surah Al-Kautsar dengan lafal” ‫ك ال َكوْ ثَ َر‬ َ ‫“ إِنآَاَ ْعطَ ْينَا‬
XII. Jumlah Fi’liyah yang menjadi pembukaan 12 surah-surah, diantaranya:
– Surah Al-Anfal dengan lafal ” ‫ك ع َِن األَ ْنفا ِل‬ َ َ‫“ يَ ْسئَلُوْ ن‬
– Surah An-Nahl dengan lafal ” ُ‫“ أَتَى أَ ْم ُرهّللا ِ فَاَل تَ ْستَع ِجلُوْ ه‬
– Surah Al-Anbiya’ dengan lafal ” ‫اس ِح َسابُهُ ْم‬ ِ َّ‫ب لِلن‬ َ ‫“ إِ ْقتَ َر‬
– Surah Al-Mu’minun dengan lafal ” َ‫“ قَ ْداَ ْفلَ َح ْال ُم ْؤ ِمنُوْ ن‬
– Surah Al-Qamar dengan lafal ” ‫ق القَ َم ُر‬ َّ ‫ت السَّا َعةُ َوا ْن َش‬ ِ َ‫“ إِ ْقت ََرب‬
– Surah Al-Mujadilah dengan lafal ” ‫ك‬ َ ُ‫“ قَ ْد َس ِم َع هّللا ُ قَوْ َل الَّتِى تُ َجا ِدل‬
– Surah Al-Ma’arij dengan lafal ” ‫ب َواقِ ٍع‬ ٍ ‫“ َسأ َ َل َسآئِ ٌل بِ َع َذا‬
– Surah Al-Qiyamah dengan lafal ” ‫“ آَل أُ ْق ِس ُم بِيَوْ ِم القِيَا َم ِة‬
– Surah Al-Balad dengan lafal ” ‫“ آَل أُ ْق ِس ُم بِه َذ ْالبَلَ ِد‬
– Surah Abas dengan lafal ” ‫س َوت ََولَّى‬ َ َ‫“ َعب‬
– Surah Al-Bayyinah dengan lafal ” َ‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ ُم ْنفَ ِّك ْين‬ ِ ‫“ لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن أَ ْه ِل ال ِكت‬
– Surah At-Takatsur dengan lafal  ” ‫ ” اَله ُك ُم الـتَّ َكاث ُر‬  ُ ْ
 Pembukaan dengan sumpah/ qosam (Al-Istiftaahu Bil-Qasami)
Sumpah Allah yang dipakai dalam pembukaan surah al-Qur’an itu ada 3 macam, dan
terdapat dalam 15 surah diantaranya:
XIII. Sumpah dengan benda-benda angkasa (Al-Istiftaahu ‘Uluwiyyati)Terdapat dalam 8
surah, yaitu:
– Surah Ash-Shaaffat dengan lafal ” ‫صفَّا‬ َ ‫ت‬ ِ ّ ‫صف‬ َّ ‫“ َوال‬
– Surah An-Najm dengan lafal ” ‫“ َوالنَّجْ ِم إِ َذا هَ َوى‬
–Surah Al-Mursalaat dengan lafal  ” ‫ت عُرْ قًا‬ ِ ‫“ َو ْال ُمرْ َسل‬
– Surah An-Nazi’at dengan lafal “‫ت غَرْ قًا‬ ِ ‫“ َوالنَّ ِزع‬
– Surah Al-Buruj dengan lafal ” ‫ج‬ ِ ْ‫ت البُرُو‬ ِ ‫“ َوال َّس َما ِء َذا‬
– Surah Ath-Thariq dengan lafal ” ‫ق‬ ِ ‫ار‬ِ َّ‫“ َوال َّس َما ِء َوالط‬
ْ
– Surah Al-Fajr dengan lafal ” ‫“ َوالَفَجْ ِر َولَيَا ٍل َعش ٍر‬
– Surah Asy-Syams dengan lafal ” ‫س َوضُحهَا‬ ِ ‫“ َوال َّش ْم‬
XIV. Sumpah dengan benda-benda bawah (Al-Qasamu Bis-Sufliyaati) terdapat dalam 4
surah, yaitu:
– Surah Adz-Dzariyat dengan lafal  ” ‫ت َذرْ ًوا‬ ِ ‫اري‬ِ ‫“ َوال َّذ‬
– Surah Ath-Thur dengan lafal ” ‫ب َم ْسطز ٍر‬ ْ ُ ٍ ‫الطوْ ِر َو ِكت‬ ُّ ‫“ َو‬
– Surah At-Tin dengan lafal ” ‫“ َوالتِّي ِْن َوال َّز ْيتُوْ ِن‬
– Surah Al-‘Adiyat dengan lafal ” ‫ض ْبحًا‬ َ ‫ت‬ ِ ‫“ َو ْالع ِدي‬
XV. Sumpah dengan waktu (Al-Qasamu Bil-Waqti), terdapat dalam 3 surah, diantaranya:
– Surah Al-Lail dengan lafal ” ‫“ َوالَّ ْي ِل أِ َذايَ ْغ َشى‬
– Surah Adh-Dhuha dengan lafal ” ‫“ َوالضُّ َحى‬
– Surah Al-‘Ashr dengan lafal ” ‫“ َو ْال َعصْ ِر‬
 
 Pembukaan dengan syarat (Al-Istiftaahu Bis-Sarthi)
Syarat-syarat yang dipakai Allah sebagai pembukaan surah-surah Al-Qur’an ada 2 macam
dan digunakan dalam 7 surah, sebagai berikut:
XVI. Syarat yang masuk pada jumlah ismiyah, dipakai diawal 3 surah diantaranya:
– Surah At-Takwir dengan lafal ” ‫ت‬ ْ ‫“ إِ َذال َّش ْمسُ ُك ِّو َر‬
– Surah Al-Infithar dengan lafal ” ‫ت‬ ْ ‫“ إِ َذال ّشمآ ٌءفَطَ َر‬
– Surah Al-Insyiqaq dengan lafal ” ‫ت‬ ْ َّ‫“ ْإ َذالسَّمآ ٌءا ْن َشق‬
XVII. Syarat yang masuk pada jumlah fi’liyah, dipakai diawal 4 surah, diantaranya:
– Surah Al-Waqi’ah dengan lafal ” ‫ت ال َواقِ َع ِة‬ ِ ‫“ إِ َذا َوقَ َع‬
– Surah Al-Munafiqun dengan lafal ” َ‫“ إِ َذا َجا َء َكال ُمنفِقُرْ ن‬
– Surah Az-Zalzalah dengan lafal ” ‫ت األَرْ ضُ ُز ْلزَ الَهَا‬ ِ َ‫“ إِ َذا ُز ْل ِزل‬
ْ ‫هّللا‬
– Surah An-Nashr dengan lafal ” ‫ح‬ ِ ‫“ إِ َذا َجا َءنَصْ ُر ِ َوالفَ ْت‬
 Pembukaan dengan fi’il amar (Al-Istiftaahu bil Amri)
Ada 6 fi’il amar yang dipakai untuk membuka surah-surah al-Qur’an, yang terdiri dari 2
lafal dan digunakan untuk membuka 6 surah-surah sebagai berikut[19]:
1. Dengan fi’il Amar ‫إِ ْق َرأ‬ yang hanya untuk membuka satu surah yaitu Surah Al-‘Alaq.
2. Dengan fi’il amar  ْ‫قُل‬, yang digunakan dalam 5 surah sebagai berikut:
A. Surah Al-Jinn dengan lafal” ِّ‫ي أَنَّهُ ا ْستَ َم َع نَفَ ٌر ِمنَ ال ِجن‬ َّ َ‫“ قُلْ أُوْ ِح َي إِل‬
B. Surah Al-Kafirun dengan lafal” َ‫” قُلْ يآأَيُّهَاالكفِرُوْ ن‬ 
C. Surah Al-Ikhlash dengan lafal ‫“ قُلْ هُ َوهّللا ُ أَ َح ٌد‬
D. Surah Al-Falaq dengan lafal ‫ق‬ ِ َ‫“ قُلْ أَ ُعوْ ُذبِ َربِّ الفَل‬
E. Surah An-Nas dengan lafal ‫اس‬ ِ َّ‫“ قُأْل َ ُعوْ ُذبِ َربِّ الن‬
 Pembukaan dengan pertanyaan (Al-Istiftaahu bil Istifhaami)Bentuk pertanyaan/ istifham
yang dipakai sebagai pembukaan dari 6 surah-surah al-Qur’an itu ada 2 macam sebagai
berikut:
XVIII. Pertanyaan positif (Al-Istifhaamu Al-Muhiibiyyu), yaitu bentuk pertanyaan yang
dengan kalimat positif yang tidak ada alat negatifnya. Terdapat dalam 4 surah yaitu:
– Surah Ad-Dahru, dengan lafal: ” ‫هَ¶¶¶¶¶¶لْ أَتَى َعلَى ا ِإل ْن َس¶¶¶¶¶¶ا ِن ِحي ٌْن ِمنَ ال¶¶¶¶¶¶ َّد ْه ِر‬
”                                   
Artinya:“ bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa”.
– Surah An-Naba’, dengan lafal: ” ‫ َعنِالنَّبَإِال َع ِظي ِْم‬. َ‫” َع َّم يَتَسآ َءلُوْ ن‬             
Artinya: tentang apakah mereka saling bertanya-tanya. Tentang berita yang besar”.
– Surah Al-Ghasyiyyah, dengan lafal: ” ‫ْث ُموْ َسى‬ ُ ‫ك َح َدي‬ َ ‫هَلْ أَت‬
Artinya: sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan”.
– Surah Al-Ma’un, dengan lafal: ‫” أَ َر َءيْتَ الَّ ِذيْ يُ َك ِّذبُ بِال ِّد ْي ِن‬
Artinya:tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama”.
 Pembukaan dengan do’a
Do’a atau harapan yang digunakan sebagai pembukaan dari 3 surah ada 2 macam sebagai
berikut
XIX. Do’a atau harapan yang berbentuk kata benda (Ad-Du’aaul Ismiyyu)ada di 2 surat
yaitu:
o Surah Al-Muthaffifin, dengan lafal: ‫َو ْي ٌل لِ ْل ُمطَفِّفِّيْن‬
Artiny“ kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”.
o Surah Al-Humazah, dengan lafal:” ٌ‫“ َو ْي ٌل لِ ُك ِّل هُ َم َز ٍة لُّ َم َز ة‬
Artinya:“ kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela
Do’a atau harapan yang berbentuk kata kerja (Ad-Du’aaul Fi’liyu) membuka satu surah saja
yaitu surah Al-Lahab   ” َّ‫ب َوتَب‬ ٍ َ‫َّــت يَدَاأَبِى لَه‬
ْ ‫“ تَب‬

 Pembukaan dengan alasan ( Al-Istiftaahu bit-Ta’lili)


ٍ ‫ْل¶¶ف قُ¶¶ َر ْي‬
Seperti yang digunakan untuk membuka surah Al-Quraisy dengan lafal:” ‫ش‬ ِ ‫ِإلي‬
”Artinya:“karena kebiasaan orang-orang Quraisy”
3. Kedudukan Fawatihus Suwar
 Fawatihus Suwar Al-Qur’an memiliki banyak keistimewaan dari segi makna dan
kebahasaan. Fawatihus suwar  merupakan salah satu realitas keistimewaan misterius yang
terdapat di dalam Al_Qur’an . Pemaparan tentang fawatihus Suwar, khusunya menyangkut Al-
Huruf Al Muqotta’ah, tidak banyak bahkan hampir tidak ada yang berhasil mengungkapkan
latar belakang ataupun keterangan yang valid yang secara historis bisa membuktikn hubungan-
hubungan fawatihus suwar.Dari segimakna, memang banyak sekali penafsiran-penafsiran
spekulatif  terhadap huruf-huruf  itu. Dikatakan spekulatif, karena penafsiran-penafsiran
mengenai hal itu tidak didahului pengungkapan konteks historisnya. Lain halnya
dengan Fawatihus Suwar dalam bentuk lain misalnya Al Qosam (sumpah), An
Nida’ (seruan), Al Amr (perintah), Al Istifham (pertanyaan) dan lain-
lain.Urgensi  terhadap fawatihus suwar tidak terlepas dari konteks penafsiran Al-Qur’an.
Pengggalian-penggalian makna yang terlebih dahulu  akan memberikan nuansa tersendiri, baik
yang didasarkan pada data historisyang konkrit ataupun penafsiran yang menduga-duga. Lebih
dari itu tentu saja kitatetap meyakini eksistensi Al-Qur’an, kebesarannya, keagungannya, juga
rahasiakemu’jizatannya.

4. Pendapat Ulama Tentang Huruf Fawatihus Suwar


  Para ulama salaf dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabih yang terletak pada awal surat
berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikianrupa, melengkapi
segala yang melemahkan manusia dan mendatangkan seperti Al-Qur’an.Karena kehatian-
hatiannya, mereka tidak berani member penafsiran dan tidak berani mengeluarkan pendapat
yang tegas terhadap huruf itu.Dan mereka berkeyakinan bahwa Allah sendiri yang mengetahui
tafsirannya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama salaf karena dalam hal
teologi pun menolak terjun dalam pembahasan tentang hal-hal yang suci seperti
ungkapannya[14] : “Istimewa Allah adalah cukup diketahui, hal ini harus kita percayai,
mempersoalkan hal itu adalah bid’ah”. Sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Sya’bi yang
dikutip oleh Subhi Sholih menyatkaan “ Huruf awalan itu adalah rahasia Al-Qur’an ”. Hal ini
sebagaimana diperjelas dengan perkataan Ali bin Abi Tholib.“Sesungguhnya bagi tiap-tiap
kitabada saripatinya, saripati Al-Qur’an iniadalah huruf-huruf Hijaiyah”. Abu Bakar Ash-Sidiq
pernah berkata: “ Di tiap-tiap kita ada rahasianya, rahasia dalam Al-Qu’anadalah permulaan-
permulaan surat”. Pendapat atau penafsiran para mufasir tentang Fawaithus Suwar:
1. Mufasir dari Kalangan Tasawuf.
Ulamaa tasawuf berpendapat bahwa fawatihus Suwar adalah huruf-huruf yang tepotong-
potong yang masing-diambil darinama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan
penggantian dari suatu kalimat yang berhubungan denganyang sesudahnya atau
hurufitumenunjukkan kepada maksud yang dikandung oleh surah yang surah itu\dimulai
dengan huruf-huruf yang terpotong-potong itu.
2. Mufasir Orientalis.
Pendapat yang palinng jauh menyimpang dari kebenaranadalah dari seorangorientalis yang
bernama Noldeke dari Jerman, yangkemudian dikoreksi, bahwa awalan surat itu tidak lain
adalah huruf depandan huruf belakang dari nama-namapara sahabat Nabi. Misalnya: Huruf
Sinadalah dari nama Sa’ad Bin Abi Waqosh,Mim adalah huruf depan dari namaAl-
Mughiroah, huruf nun adalah dari namaUsman Bin Affan.
3. Al-KhuwaibiAl-Khuwaib. mengatakan bahwa kalimat- kalimat itumerupakan tasbih bagi
Nabi.Mungkin ada suatu waktu Nabi berada dalamkeadaan sibuk dan lain sebagainya.
4. .  Rasyid RidhaAs-sayyid. menurut rasyid ridha tidak membenarkan al-quwaibidiatas, karena
nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu.Rasyid
ridha berpendapat sesuai dengan ar-Razi bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada
orang-orang musyrik mekkah dan ahli kitab madinah. Karena orang-orang kafir apabila nabi
membaca al-Qur’an mereka satu sama lainmenganjurkan untuk tidak mendengarkannya,
seperti dijelaskan dalam suratfushilat ayat 26.
5. Mufasir Dari Kalangan Syi’ah, Kelompok syi’ah berpendapat bahwa jika huruf-huruf
awalah itu dikumpulkansetelah dihapus ulangan-ulangannya maka akan berarti : “Jalan Ali
adalahkebenaran yang kita pegang teguh”. Perwakilan itu kemudian dijawab olehkelompok
Ahlul Sunnnah, dan jawabannya berdasarkan pengertian yang merekaperoleh dari huruf-
huruf awalan itu yang juga dihapus di ulangan-ulangannya dengan mengatakan“Benarlah
jalanmu bersama kaum Ahlu Sunnah”. Dari pendapat para ahli tentang Fawatihus Suwar,
dapat dilihat bahwa pentakwilan sebuah ayat sangat banyak macamnya. Hal ini boleh jadi
didasari oleh pendidikandan ilmu-ilmu yang dimilikinya serta kecenderungan mereka
mengkaji Al-Qur’an secara lebih luas.

BAB VI

A.    PENGERTIAN MUNASABAH
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-
munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan), dan muqarabah. Lebih jelas mengenai
pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa
munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat
digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan
lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul,
kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata
yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut
M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi
urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam
menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian
diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang
meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.

Sedangkan menurut para ulama :


1.      Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa
disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-
Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi :
Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi
atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan
antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat
yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh,
hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan
awal surat.
Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :

‫وجـهُ اإلرتـبــا ِط بـين الجـمـلـ ِة والجـمـلـ ِة فى األيـ ِة الـواحــدة أوبـين األيـة واأليــة فـي األيــة الـمـتـعــدد ِة أو بــينَ الســورة‬
‫والســـورة‬.
 Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada
beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2. Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah),
seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib
adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya
munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi
sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat
dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait
dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam
saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-
bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

‫ الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول‬ ‫المـناسبة أمر معـقـو ٌل إذاعُــ ِ ِرض عـلى‬.


Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti
menerimanya”.

3. Menurut Ibn Al-Arabi :

‫عـل ٌم عـظـيـــ ٌم‬, ‫ي الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـد ِة مـتّـسقــ ِة المعـاني مـنتـظـمـ ِة المـبــــاني‬
ّ ِ ‫إرتـبــاط أ‬
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu
yang sangat agung”.

4.  Menurut Al-Biqa’i, yaitu :

“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar
ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan
perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi
(tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang
mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi
keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam
memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar
ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat 
dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku
mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat
tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah
Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an walaupun
keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-
Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN MUNASABAH


       Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang
menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat
tahun 324 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As
Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya,
beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat
ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
       Tindakan An Naisaburu merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu.
Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat,
terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu
hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
       Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakar an-Naisaburi
(meninggal 324 H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1.      Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2.      Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3.       Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il an-Nizam
               Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-
Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh
tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua
ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis
Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini
adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.

C.     POKOK PEMBAHASAN MUNASABAH


Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-
ayat ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya.
Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang
berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti
hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama,
maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-
macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang
lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan
persambungan.

D.    MACAM-MACAM MUNASABAH

   Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada
prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat.
Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1.      Munasabah antara surat dengan surat.
2.      Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.      Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.      Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.      Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.      Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.      Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas
akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.      Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan
yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-
masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral,
sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum
maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik
pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S  al-Baqarah (2), dan Q. S al-
Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6
disebutkan :
)6( ‫إهدنا الصراط المستقيم‬
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-
Qur’an, sebagaimana disebutkan :
)2 (‫تلك الكتاب ال ريب فيه هدى للمتقين‬
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
(Q. S al-Baqarah / 2 : 2)

2.      Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya


Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-
Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan
terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat
dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat
di identifikasikan sebagai berikut :
a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan
umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.      Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang
dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau
peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-
Lahab dan sebagainya.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok
keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat
kekuasaan dan sebagainya.
d.      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar
diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang
tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan
rumah tangga.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk
menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya :
Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.      Munasabah Antara Satu Kalimat  dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat
dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau
terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini
memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi
/penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"‫"فإن لم تفعلوا‬, diikuti "‫( "ولن تفعلوا‬Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
‫سبحان الذي اسرى بعبده ليال من المسجد الحرام الى المسد األقصى‬
Kemudian diikuti dengan (1:17/‫الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا )اإلسراء‬
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit,
terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya
terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan
yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
)25 ‫وإلن سألتهم من خلق السماوات واألرض___ليقولون هللا___قل الحمد هلل (لقمن‬
b.      Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
)189 ‫يسألونك عن األهله___قل هي___ (البقره‬
c.       Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis
(hubungan kontradiksi). Contoh :
)177 ‫ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة‬

4.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat


Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada
pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya
semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta
jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-
Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta
kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik
hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
‫قد افلح المؤمنون‬
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
‫انه ال يفلح الكافرون‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.

5.      Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin
(mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih
(mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
‫فتبارك هللا احسن الخالقين‬ mengukuhkan ‫ثم خلقن==ا النطف==ة علقة‬ bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua
ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).

6.      Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat
antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-
Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan
kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek
terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara
pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat
dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi
yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh
kemenangan.

7.      Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
‫فسبح باسم ربك العظيم‬
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :

‫سبح هللا ما في السموات واألرض وهو الزيز الحكيم‬


“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah).
Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

8.      Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema


Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi,
pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan
metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-
Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa
Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu
kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 :
34 :
‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم‬.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
‫يرفع هللا الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات وهللا بما تعملون خبير‬.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan
faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa
fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian
arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap
orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.

E.     FUNGSI MEMPELAJARI MUNASABAH


Fungsi dari munasabah Al-Qur’an, Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yanglain sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu
munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik
di awal ataupun di akhirnya.

2.      Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang
artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya,
“Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara keduanya
terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang
telah mendapat nikmat dariAllah SWT.

3.      Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya munculkarena


penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilahyang pertama dibaca.
Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama turun kepada
Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian
disusul dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat
munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat
ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali
dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengandemikian, surat al-
Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya, al-Baqarah. Dengan
mengemukakan munasabah tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak
kacau melainkan mengandungmakna yang dalam.
4.      Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa al-
Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,serta persesuaian ayat /
surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebihmenyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-
Qur’an itu benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
karena itu, Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan
kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya,
sedangkan susunan kalimat yang paling bersetaraadalah saling berhubungan antara bagian yang
satu dengan bagian yang lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an
diantaranya adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah
adalahilmu yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu mulia ( ilmun syarifun ), ilmu yang agung ( ilmun
adzimun ). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat tempat dan
penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukupsignifikan dalam memahami dan
menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak
ukur untuk mengetahui kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan ilmu ini semakin terasa
kebutuhannya manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-
maudhu’I (tematik) atau al-muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan
( munasabah)antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63)
Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul  yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya
maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam kelompok
ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat
berpeluang untuk dikembangkan dalam upayamemperkaya dan memperkuat penafsiran al-
Qur’an, yaitu dengan cara mencarihubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.

F.      PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH


Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi kedalam dua golongan yang pertama:
golongan yang tertarik dengan munasabah, dan yang kedua, Golongan yang tidak tertarik dan
menganggap munasabah tidak perlu di kaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-
Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap
munasabah, baik munasabah antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat al-Baqarah dengan mengatakan bahwa
“barangsiapa yang menghayati dan merenungkan bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan
surat ini, maka pastiia akan mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan
lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy ,
Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf
Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan
surat-surat dalam al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan
adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’ Karena menurutnya,
“al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat
prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila
orang bersikeras dan memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat
yang bersifat tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang setuju dengan analisis munasabah dan
menolak menjadikan munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu  al-Quran. Ia tidak setuju dengan
mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang munasabah: tertib surah dan ayat:
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-qur’an adalah tauQifiy, artinya penetapan dari
Rasul, Sementara tertib  surah dalam Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di
perselisihkan, Dalam hal ini ada tiga golongan:
a.    Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti
Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :

1.    Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2.    Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang,
hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda
susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn
Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3.    Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah
tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4.    Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar
mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar
diteliti kembali.

b.    Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi).

Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar,
Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1.      Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib
itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh
pada mushafnya.
2.    Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah
As-Syaqafi.

c.     Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya
berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn
Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan
oleh Nabi. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali
Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah
tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin.

G. URGANSI DAN KEGUNAAN MUNASABAH

Secara faktual dan berdasarkan bukti-bukti historis, Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-
angsur dan bertahap selama beberapa kurun waktu dan dalam situasi serta sebab-sebab turun yang
beragam. Keadaan yang demikian tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah berfirman yang
artinya:
”Berkatalah Orang-orang yang kafir:”Mengapa Al-Qur’an itu tidak di turunkan kepadanya sekali
turun saja?” Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar)”.QS Al-furqan ayat 32
Dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, sebagai kitab Allah yang bernuansa mukjizat,
pengetahuan tentang Munasabah Al-Qur’an sangatlah membantu bagi upaya eksplorasi dan
pengungkapan makna dari pesan-pesan yang ingin di sampaikan. Di samping itu dengan jelas,
dengan jalan pendekatan korelasi (tanasub) yang terjadi antar-intern surat maupun antar-intern ayat,
maka Al-Qur’an yang pada hakikatnya memang satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, akan
tetap terjaga keutuhan dan kesinambungannya.

BAB VII
1. Pengertian Mukjizat
Secara bahasa mukjizat memang berasal dari kata Mukjiz dan memiliki arti yang melemahkan atau
mengalahkan. Istilah mukjizat berarti sesuatu yang luar biasa dan terjadi pada diri nabi atau
Rasulullah.
Bahwa dalam islam mukjizat memiliki arti yang melemahkan atau mengalahkan. Mukjizat sendiri
berarti sesuatu yang luar biasa dan biasa terjadi pada diri nabi atau Rasulullah untuk membuktikan
bahwa dirinya adalah Nabi atau Rasul Allah tidak dapat ditiru oleh siapapun.
Bagi para umat Islam, mempercayai adanya Mukjizat hukumnya wajib, karena dimiliki oleh Nabi
dan Rasul. Lantaran mukjizat dari kekuasaan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT. Bahkan
Rasul juga tak mempunyai hak untuk menunjukkan mukjizat tanpa izin dari AllahSWT, seperti
surat Ar Ra'ad ayat 38 yang berbunyi:

‫ك َو َج َع ْل َنا َل ُه ْم اَ ْز َواجً ا َّو ُذرِّ ي ًَّة َۗو َما‬ َ ِ‫َو َل َق ْد اَرْ َس ْل َنا ُر ُساًل مِّنْ َق ْبل‬
ٌ ‫ان لِ َرس ُْو ٍل اَنْ يَّأْ ِت َي ِب ٰا َي ٍة ِااَّل ِب ِا ْذ ِن هّٰللا ِ ۗلِ ُك ِّل اَ َج ٍل ِك َت‬
‫اب‬ َ ‫َك‬
Artinya:
"Dan sesungguhnya, kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan
kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan
suatu ayat (Mukjizat) melainkan dengan seizin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang
tertentu). ” (Q.S. Ar Ra’d [13] : 38).
Mukjizat merupakan kejadian luar biasa atau kelebihan di luar akal manusia yang tidak
dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya diberikan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya.
Sedangkan apabila ada seseorang selain para nabi dan rasul diberikan kejadian yang luar biasa oleh
Allah maka itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat melainkan itu adalah karomah.
Kemudian ada pula istilah irhasat dan khawariq, irhasat adalah pertanda yang terjadi untuk
menunjukkan tanda kelahiran seorang nabi (sebelum kenabian). Sedangkan khawariq adalah
kejadian yang terjadi dalam keadaan yang luar biasa.
Mukjizat biasanya berisi tentang penunjukan hal-hal yang sedang menjadi trend pada zaman
diturunkannya mukjizat tersebut. Misalnya pada zaman Musa, trend yang sedang terjadi adalah ilmu
sihir maka dengan mukjizat tongkat,Musa bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir
orang lain yang ada di sekitarnya. Juga pada zaman Isa, trend yang sedang berkembang adalah
ilmu kedokteran dan pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Isa adalah bisa menghidupkan orang
yang sudah meninggal yang merupakan puncak dari ilmu pengobatan.
Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad, trend yang sedang berkembang adalah ilmu sastra.
Maka disaat itulah dirunkan Al-Qur’an sebagai mukjizat Muhammad. Nabi yang pada saat itu tidak
bisa membaca dan menulis tetapi bisa menunjukkan al-Qur’an yang diyakini oleh umat Muslim,
memiliki nilai sastra tinggi, tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tetapi juga kedalaman makna
yang terkandung di dalamnya sehingga al-Qur’an dapat terus digunakan sebagai
rujukan hukum yang tertinggi sejak zaman masa hidup nabi sampai nanti di akhir zaman.
Beberapa contoh mukjizat para nabi dan rasul:
 Nuh membuat bahtera di padang pasir, ketika Tuhan hendak menenggelamkan kaumnya.
 Shaleh berupa unta betina yang tidak boleh disembelih, sebagai hujjah atas kaumnya.
 Ibrahim tidak hangus dibakar, karena api yang membakarnya berubah menjadi dingin.
 Daud  memiliki suara merdu sehingga makhluk lain pun ikut bertasbih bersamanya, sanggup
berbicara dengan burung, dan berhasil mengalahkan Jalut seorang prajurit raksasa dari
negeri Filistin, sanggup melunakkan besi dengan tangan kosong.
 Yusuf memiliki ketampanan luar biasa dan mampu mentakwilkan mimpi-mimpi.
 Yunus bisa hidup di dalam perut ikan nun selama tiga hari.
 Sulaiman sanggup berbicara dalam bahasa hewan menguasai bangsa jin mampu
menundukkan angin, memiliki permadani yang terbuat dari sutera hijau dengan
benang emas dengan ukuran 60 mil panjang dan 60 mil lebar.
 Musa berupa tongkat tangan, belalang,kutu,katak,darah,topan,laut dan peristiwa-peristiwa di
bukit thur.
 Isa berupa kemampuan menyembuhkan orang buta, menyembuhkan penderita kusta dan
menghidupkan orang mati.
 Mukjizat berupa Isra dan Mi’raj, membelah bulan untuk membuktikan kenabiannya
terhadap orang Yahudi, bertasbihnya kerikil di tangannya, batang kurma yang menangis,
pemberitaan Muhammad tentang peristiwa-peristiwa masa depan ataupun masa lampau, tetapi
mukjizat yang terbesar adalah Al-Qur’an.
Bentuk mukjizat
Mukjizat-mukjizat tersebut tidak lepas dari bentuk-bentuk berikut ini:
 Ilmu, seperti pemberitahuan tentang hal-hal ghaib yang sudah terjadi ataupun yang akan
terjadi, umpamanya pengabaran Isa kepada kaumnya tentang apa yang mereka makan dan apa
yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Sebagaimana pengabaran Muhammad tentang
fitnah-fitnah atau tanda-tanda hari kiamat yang bakal terjadi, sebagaimana banyak dijelaskan
dalam hadits-hadits.
 Kemampuan dan kekuatan, seperti mengubah tongkat menjadi ular besar, yakni mukjizat
Musa yang diutus kepada Firaun dan kaumnya. Kemudian penyembuhan penyakit kulit, buta,
serta menghidupkan orang-orang yang sudah mati, yang kesemuanya adalah mukjizat Isa. Juga
terbelahnya bulan menjadi dua yang merupakan salah satu mikjizat Muhammad.
 Kecukupan, misalnya perlindungan bagi Muhammad dari orang-orang yang menginginkan
kejahatan kepadanya. Hal ini sering terjadi, ketika di Makah sewaktu malam hijrah, ketika di
dalam gua, lalu dalam perjalanan ke Madinah ketika bertemu dengan Suraqah bin Malik, lalu di
Madinah ketika orang-orang Yahudi ingin menculiknya dan lain-lain. Contoh-contoh ini yang
diyakini oleh umat Muslim menunjukan bahwa Allah mencukupi rasul-Nya dengan
perlindungan, sehingga tidak membutuhkan lagi perlindungan makhluk lain.
Dari tiga jenis mukjizat para rasul di atas maka jelaslah bahwa pada hakekatnya bertujuan
untuk membenarkan kerasulan para rasul. Dengan kemampuannya yang dimiliki itu melebihi
kemampuan masyarakatnya maka hal itu membuat masyarakatnya tidak berdaya (‘ajaza) untuk
menantangnya dan kebanyakan dari mereka kemudian beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan
menerima kebenaran ajaran yang dibawa para rasul seusai melihat kelebihan luar biasa tersebut
(mukjizat).
2. Macam-Macam Mukjizat
 Berikut macam-macam mukjizat dalam Islam yang umum dan perlu diketahui:
 Mukjizat Syakhsiyyah
Pengertian mukjizat syakhsiyyah adalah macam-macam mukjizat yang keluar dan berasal dari
tubuh seorang Nabi serta Rasul. Sepertinya halnya peristiwa air yang keluar dari celah-celah jari
Rasulullah SAW, cahaya bulan hingga memancar dari tangan Nabi Musa AS serta adanya
penyembuhan penyakit buta dan juga kista oleh Nabi Isa AS.
 Mukjizat Aqliyyah
Pengertian mukjizat Aqliyyah merupakan macam-macam mukjizat rasional atau pun masuk
akal. Karena hanya ada satu mukjizat, yaitu kitab suci Al-Quran.
 Mukjizat Kauniyah
Pengertian mukjizat Kauniyah adalah macam-macam mukjizat yang memiliki kaitan dengan
peristiwa alam, seperti misalnya peristiwa bulan yang dibelah menjadi 2 oleh Nabi Muhammad
dan peristiwa dibelahnya Laut Merah oleh Nabi Musa as dengan tongkat.
 Mukjizat Salbiyyah
Pengertian mukjizat Salbiyyah adalah macam-macam mukjizat yang membuat sesuatu tidak
berdaya. Seperti peristiwa nabi Ibrahim AS yang dibakar oleh Raja Namrud akan tetapi api tak
mampu membakar tubuhnya.
3. Segi-Segi Kemukjizatan Al-Qur’an
1.Dari Segi Bahasanya
 Yang meliputi Qawaid dan sastranya. Namun menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa sejak
lunturnya rasa kebahasaan dikalangan orang arab, orang arab sendiri kurang bisa merasakan lagi
kehebatan Al-Qur’an dari segi sastranya.
Sisi lain yang menakjubkan dari bahasa Alquran adalah penggunaan kata secara seimbang baik
kata yang berlawanan maupun kata sinonim.

a.Kata-kata yang berlawanan


 Kata  Al Hayat dan Al Maut sama-sama berulang 145 kali di dalam Alquran.
 Kata  Al Naf dan Al Madharrah sama-sama berulang 50 kali di dalam Alquran.
 Kata  Al Har dan Al Bard sama-sama berulang 4 kali dalam Alquran.
 Kata  Al Shalihat dan Al Sayiat sama-sama berulang 167 kali di dalam Alquran.
 Kata  Al Dunya dan Al Akhirat  sama-sama berulang 115 kali di dalam Alquran.
 Kata  Al Kufir dan Al Iman sama-sama berulang 17 kali di dalam Alquran. 
b. Kata-kata yang sinonim
 Kata Al Haris dan Al Zira'ah sama-sama berulang 14 kali di dalam Alquran.
 Kata Alquran, Al wahyu dan Al Islam sama-sama berulang 17 kali di dalam Alqur'an.
Keseimbangan lain yang juga cukup menakjubkan ialah kata Yaum berulang di dalam Alquran
sebanyak 365 kali, hal mana menakjubkan kepada 1 tahun. Sedangkan kata Yaumaini dan Ayyam
berulang di dalam Alquran sebanyak 30 kali, hal mana menakjubkan kepada satu bulan. Kata
Syahrun berulang di dalam Alquran sebanyak 12 kali, hal mana menakjubkan kepada 1. Tahun.
Ada lagi yang menghitung jumlah kata dan huruf dalam Alquran dan ternyata bisa dibagi dan
menghasilkan angka 19 sebagai angka yang tetinggi dalam ilmu hitung.
 Huruf kalimat basmalah jumlahnya 19 huruf.
 Kata Allah dalam Alquran berulang sebanyak 2698 kali, dibagi 142 = 19.
 Kata Ar Rahman dalam Alquran berulang sebanyak 114 kali, dibagi 6 = 19.
 Jumlah surah dalam Alquran sebanyak 114 kali, dibagi 6 = 19.
Demikian seterusnya beberapa kata dan huruf dalam Alquran dapat dibagi habis dan menghasilkan.

2.Dari segi-segi isyrat ilmiah


Yang terdapat didalamnya misalnya:
a. Surah Yunus [10]: 92
 " Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan kami".
Ayat di atas menjelaskan bahwa Firaun  yang pernah mengusir nabi Musa pada tahun 1200 SM.,
jasadnya diselamtkan oleh Allah, dan ternyata betul mummi Fir'aun ditemukan kemudian tahun
1908 M.

b. Surah Al-Rahman [55]: 19-20


 "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, 020. antara
keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing".
Ayat di atas menjelaskan tentang pertemuan dua air laut dan di antara keduanya ada pembatas.
Konon seorang pelaut prancis non muslim yang kemudian masuk Islam setelah menyaksikan
fenomena alam tersebut di sekitar Gibratar

c. Surah Al-Hijr [15]:22


 " Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbu-tumbuhan) dan kami
turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah
kamu yang menyimpannya"
Ayat di atas menjelaskan tentang salah satu fungsi angin yaitu untuk mengawinkan tumbuh-
tumbuhan dan dengan perkawinan itu terjadilah pembuhuhan.
d. Surah Yunus [10]: 5
 " Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-
manzilah (temapt-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak."
          Ayat di atas menjelaskan tentang matahari yang bersinar dan sinarnya itu bersumber dari
dirinya sendiri (dhiyaan) dan bulan bercahaya (mura), dan cahaya itu merupakan pantulan dari
cahaya matahari.

e. Surah an-Nahl [16]: 68-69


 " Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: " Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". kemudian makanlah dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut
lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia."
  Ayat di atas mengandung perintah kepada lebah betina untuk membuat sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat dibikin manusia. Dan ternyata kelompok lebah itu
dibawah komando seekor ratu lebah.

f. Surah al- Baqarah [2]: 223


 "Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan  ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-
Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman."
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seorang suami adalah petani dan isteri adalah kebun,
yang menunjukkan bahwa suami sebagai petani bersifat akif  dan isteri sebagai kebun bersifat passif
dan ternyata sejalan dengan ilmu biologi yang menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kromosom X
dan Y sedangkan perempuan hanya memiliki kromosom X.

g. Surah al-Anbiyaa [21]: 30


 "Dan apakah orang-orang  yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air
Kami jadikan segala sesuat yang hidup, Maka mengapakah mereka tiada"
  Ayat dia atas menjelaskan  bahwa bumi dan langit dahulunya adalah satu, kemudian tuhan
memisahkan antara keduanya. Ungkapan ini dibantah oleh ilmu pengetahuan selama beradab-adab
lamamnya, namun ilmu pengetahuan modern kemudian mengakui kebenaran apa yang
dikemukakan yang di atas.

BAB VIII

Tafsir, Takwil dan Terjemah


A. Pengertian Tafsir, Takwil dan Terjemahan
1. Tafsir
a. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Tafsir, Abu
Hayyan menjelaskan tafsir sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara-cara untuk
memahami teks yang berhubungan dengan makna yang memuat hikmah, petunjuk dan
hukum dalam ayat-ayat al-Quran, baik dari segi tekstual ataupun kontekstual. Pengertian
tafsir dipertegas oleh pendapat oleh al-Jurjani bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat,
dengan memahami seluruh aspek yang berkaitan dengannya, baik sebab diturunkannya ayat,
kisah dan urusannya.2
Adapun pengertian tafsir menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
2
Anwar Abu, M.Ag.Ulumul Qur’an sebuah pengantar. Hal 97-98
a. Al-Kilabi tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau
tujuannya.
b. Menurut Syekh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang
mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.
c. Menurut Az-Zakkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan
menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah serta
menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
d. Sedangkan menurut Abu Hayyan tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-
lafadz Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum,
dan makna yang terkandung di dalamnya.
e. Menurut Al-Jurjani tafsir pada asalnya , ialah membukadan melahirkan. Dalam istilah
syara’, ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya
ayat, dengan lafazh yang menunjukannya secara terang. 3

b.  Metode Tafsir
Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf
(tiga generasi muslim awal yaitu para sahabat,tabi’in dan tabi’ut tabi’in) sampai masa
modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam
tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam
tafsir, ulama mencoba membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-
ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam yaitu:
a. Tahlili
b. Muqarran
c. Ijmali
d. Maudhu’i

c. Macam-Macam Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin
ilmu yangditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai  berbagai
corak pemikiran dan madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:

1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori  atau pemikiran tasawuf,
baik tasawuf teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam menjelaskan suatu
ayat, mufassir merujuk pendapat filosof. Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat
dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih, diantara isi kandungan al-Qur’an
adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain
lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh
ta’asub (fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu
tafsir fiqhi hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi

3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. Ke-8.Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hal. 277
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains  eksakta.
Tafsir ini selalu mengutiip teori-teori ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang
ditafsirkan.  Seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan
lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-karim
karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-
Thib Wa Al-Qur’an karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Al-Adabi WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial. Dengan corak ini mufassir
mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an yang meliputi aspek balagah, mukjizat,
makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan
sistem sosial yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan
kemanusiaan pada umumnya dan umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an.
d.Urgensi tafsir terhadap al qur’an
berdasarkan perspektif M. Quraish Shihab. Urgensi itu setidaknya terletak
pada 3 hal yang menjadi point utama..
Pertama, dengan mempelajari kaidah-kaidah tafsir,
dapatmembantu.seseorang menarik makna-makna yang dikandung oleh kosa kata
dan rangkaian lafaz atau kalimat-kalimat al-Qur’an.

Kedua,  dengan menguasai kaidah tafsir, kita bisa memperkaya pemahaman


dan lebih memperluas wawasan. Sehingga seseorang dapat memahami dan
menoleransi pendapat-pendapat lain selama sejalan dengan kaidah-kaidah yang ada.

Ketiga,  mempelajari kaidah tafsir dapat menemukan makna-makna yang


tidak secara lahiriah dikandung oleh kosakata/kalimat al-Qur’an. Sehingga dapat
mengantarnya mengungkap rahasia dan menjelaskan ke-musykilan yang boleh jadi
timbul dari ungkapan-ungkapan al-Qur’an .

2. Takwil
a. Pengerian Takwil
Menurut lughat takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Takwil menurut Quraish
Shihab adalah suatu pengertian tersirat yang diistinbatkan (diproses) dari ayat-ayat al-Quran
dan masih memerlukan adanya perenungan serta perkiraan sebagai sarana pembuka tabir,
dalam hal ini cenderung untuk memahami ayat-ayat yang maknanya tersembunyi.
Menurut lughat ( bahasa )takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun
pengertian takwil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
a. Menurut  Al-Jurzani takwil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap
makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan
ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
b. Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada
makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.
c. Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafazh.
Menurut pendapat yang masyhur arti takwil dari segi bahasa adalah sama dengan
arti kata tafsir, yaitu menerangkan dan menjelaskan dengan pengertian kata takwil dapat
mempunyai arti:
1) Kembali atau mengembalikan ( ُ‫اَلرُّ جُوْ ع‬ ), yakni mengembalikan makna pada proposisi
yang sesungguhnya.
2) Memalingkan,yakni memalingkan suatu lafaz tertentu yang mempunyai sifat khusus
dari makna lahir ke makna batin lafaz itu, karena ada ketetapan dan keserasian dengan
maksud yang dituju.
3) Menyiasati, yakni dalam lafaz tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat
khusus  memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maksudnya yang setepat-
tepatnya.
3.Terjemah
a. Pengertian Terjemah
Pengertian terjemah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah menyalin atau
memindahkan suatu bahasa kepada bahasa lain dalam artian mengalihbahasakan. Sesuai
dengan yang dikemukakan Ash-Shabuni bahwa terjemah al-Quran adalah memindahkan bahasa
al-Quran (Arab) kepada bahasa lain yang mampu dipahami. dan mencetak naskahnya dapat
mempermudah memahami bahasa al-Quran dengan perantara terjemahan.
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan
menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa Al-Qur’an
ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar
dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt,
dengan perantaraan terjemahan.”

b.Macam-macam Penerjemahan
Pada dasarnya ada tiga macam penerjemahan, yaitu:
a. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan
mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat
aslinya (sinonim dengan tafsir)
b. Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli
dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
c. Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli
kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh
“Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan
mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
arab sehingga dia dapat mengerti. Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-
bahasa  tentu mengetahui bahasa terjemah harfiah dengan pengertian sebagai mana diatas  tidak
mungkin dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semuanya maknanya tetap
dipertahankan.
Bahasa arab dicelah-celahnya mengandung rahasia-rahasia bahasa yan tidak mungkin
dapat digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non arab. Sebab, lafadz-lafadz dalam
terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala aspeknya, terlebih lagi dalam
susunannya.  Ia mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, pelik-pelik makna dan ayat-
ayat kemukjizatan lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa lain. Atas dasr
pertimbangan diatas maka tidak seorangpun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan al-
Qur’an dengan terjemahan harfiah.Sebab al-Qur’an adalah wahyu mu’jizat kepada rosulullah
dan petunjuk bagi umat manusia. Makna yang terkandung didalamnya tidak dapat dimengerti
jika penerjemahan dengan terjemahan harfiah karena karakteristik susunan bahasa Indonesia
berbeda dengan bahasa arab sehingga terjemahannya pun tidak bias dimengerti malah justru
merusak maksud kalamullah.

B. Perbedaan Tafsir, Takwil, dan Terjemah

Persamaan dan Perbedaan


1. Persamaan :
a. Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an;
b. Ketiganya sebagai sarana untuk mempermudah dan memahami dalam hal ini untuk
memaknai al-Qur’an.
2. Perbedaan :
a. Tafsir
Menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar,  lengkap
dengan penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan
seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
b. Takwil
Mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan rajih kepada
arti lain yang samar dan marjuh.Perbedaan antara tafsir dan ta’wil adalah bahwa tafsir
itu menerangkan maksud yang ada pada lafazh, sedang ta’wil itu menerangkan maksud
yang ada pada maknanya.
c. Terjemah
Hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan
penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi
kandungannya.

BAB IX

Menurut bahasa, qira’at (‫ )تاءارق‬adalah bentuk jamak dari qira’ah (‫ )ةءارق‬yang merupakan isim masdar dari
qaraa, yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh
keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua
pengertian qira’at menurut istilah.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata ‫نهعلا‬adalah ‫ فوصلا‬.

2. Pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu
menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan
substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya
tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap
istimbat hukum dan adakalanya tidak.

a. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum Qira’at shahihah (Mutawatir dan
Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya
qira’at membantu penafsiran qira’at ( ‫ )متسم َل‬dalam menetapkan hal-

hal yang membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 :

‫مكهوجوب اوحسماف ابيط اديعص اومميتف ءام اودجت ملف ءاسنلا متسم َل وأ طئاغل¶ا نم مكنم دحأ ءاج وأ رفس ىلع وأ ىضرم متنك نإو‬

‫اروفغ اوفع ناك ال َّل نإ مكيديأو‬

"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun".

Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (‫)ءاسنلا متسمَل‬. Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan

Ibn 'Amir, membaca (‫)ءاسنلا متسمَل‬, sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (‫)ءاسنلا متسم َل‬.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (‫)متس ¶مَل‬, ada tiga versi pendapat ulama
mengenai makna (َ‫)متسما‬, yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َ‫)متس ¶ما‬. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid,
Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud,
Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik
dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.

Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan (‫ )ءاس ¶نلا متس ¶م َل‬adalah
sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan maksud dari (‫ )متس ¶ما‬adalah berjima’ dengan perempuan.
Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum
berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi yang dimaksud dengan kata (‫ )ءاس¶نلا متس¶مَل‬di sini adalah
berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang
membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.

Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (‫ )سم لا‬dalam qira’at ( ‫)متسمل‬, makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus
diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (‫ )تاس¶ملاملا‬dalam qira’at ( ‫)متس¶مل‬,
makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.

b. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum

Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath
hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.‫احار¶س نهوحرسو نهوعتمف اهنودتعت ة¶دع نم نهيلع مك¶ل امف نهوسمت نأ لبق نم نهومتقلط‬
‫مث تانمؤملا متحكن اذإ اونمآ نيذلا اهيأاي لايمج‬

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."

Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan
belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.

Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (‫)نهوس¶¶آمت ن ¶أ لبقنم‬,
sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: ( ‫)نهوس ¶مت نأ لب ¶ ¶ق نم‬. Perbedaan bacaan
tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.

c. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum

Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-
hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum
syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis
Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan
pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar
penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini
dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai
al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling
tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.

Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :

a) Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah
ayat 38, yang berbunyi :

‫امهينامي ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶أ اوعطق¶ ¶ ¶ ¶ ¶اف ةقراس¶¶¶¶¶¶¶لاو قراس¶¶¶¶¶¶¶لاو‬

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..

Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :

‫امهيديأ اوعطقاف ةقراسلاو قراسلاو‬

b) Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga

berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi: ‫تاعبل تم مايأ ةثلاث مايصف‬
‫دجي مل نمف‬

Artinya :………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga
hari berturut-turut ….

Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :

‫مايأ ة¶ثلاث مايصف دجي مل نمف‬

Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan
sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan
mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat
al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah
dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat baik.

BAB X
PEMBAHASAN

A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyyah


Makkiyah diambil dari nama kota makkah tempat islam lahir dan tumbuh. Kata makkiyah
merupakan kata sifat yang disandarkan kepada kota tersebut. Dan sesuatu yang disebut makkiyah
apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari mekah atau yang berkenaan dengannya. Begitu
pula dengan madaniyah, ia diambil  dari nama kota madinah, tempat rasululloh berhijrah dan
membangun masyarakat islam serta mengembangkan islam ke segala penjuru dunia.
Sekalipun kemudian dakwah Rasululloh melewati batas-batas wilayah kedua kota
tersebut, namun mekaha dan madinah tetap mempunyai peran yang siginifikan dalam setiap
proses pengembangan islam. Karenanya pengertian makkiah dan madaniyah tidak hanya terbata
pada ruang linngkup tempat atau penduduk yang berdiam di kedua kota tersebut, melainkan
mencakup di dalamnya priode waktu. Dari sini kemudian para ulama dalam mendefenisikan
makkiyah dan madaniyah tidak hanya terpaku pada pengertian yang sangat sempit, mmelainkan
juga memasukkan unsur waktu yang yak terspisahkandari sejarah Rasululloh.
Imam az-zarkasyi dalam bukunya al-burhan fi ulum al-qur’an telah menyebutkan tiga
persepektif  defenisi mengenai makkiyah dan madaniyah. Pertama dari persepektif masa turun
didefenisikan bahwa makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasululloh hijrah ke madinah,
walaupun bukan turun di Mekah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah
Rasululoh hijrah ke madinah sekalipun bukan turun di madinah.Ayat-ayat yang turun setelah
peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekah atau arafah.
Kemudian dari persepektif tempat turun, didefenisikan bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat
yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah dan hudaibiyyah, sedangkan madaniyah
adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya, seperti uhud, quba, dan sul’a, akan
tetapi  terdapat celah kelemahan dari defenisi tersebut karena terdapat ayat-ayat tertentu, yang
tidak diturunkan di mekah dan di madinah dan di sekitarnya. Misalnya surat at-Taubah : 42
diturunkan di tabuk, surat az-zukhruf : 45 di turunkan di tengah perjalanan antara madinah dan
mekah. Kedua ayat tersebut, jika melihat defenisi kedua ini, tidak dapat dikategorikan ke dalam
makkiyah dan madaniyah.
Dari persepektif objek pembicaraan (wahyu), mendenfisikan makkiyah dan madaniyah
bahwa makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang mekah, sedangkan
madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang madinah. Pendefinisian
tersebut dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat a-qur’an dimulai dengan
ungkapan”ya ayyuhal ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyyah.Namun tidak selamanya
asumsi ini benar. Surat al-baqarah, misalnya, termasuk kategori madaniyah, padahal di dalamnya
terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan 168 yang dimulai dengan ungkapan “ya  ayyyuhan nas
“.  Lagi pula, banyak ayat al-qur’an yang tidak dimulai dengan dua ungkapan yang di atas. 

B. Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah

1.    Dari segi tata bahasa:


a.    Surat makkiyah secara umum gaya bahasanya kuat dan keras pembicaraanya, sebab kebanyakan
yang diajak bicara orang-orang yang berpaling dari kebenaran dan sombong. Contoh dalam surat
al-mudatsir dan al-qomr. Dan adapun madaniyah secara umum gaya bahasanya lembut dan
pembicaraanya halus, sebab yang menerima kebenaran secara terbuka. Contoh dalam surat al-
maidah.
b.   Umunya surat-surat makkiyah ayatnya pendek-pendek dan kuat pendalilannya. Sedangkan
madaniyah ayatnya panjang-panjangdan menyebutkan hukum-hukum secara khusus.
2.    Dari segi isinya:
Umumnya surat-surat makkiyah menetapkan tentang tauhid dan akidah yang selamat secara
khusus yang berkaitan dengan tauhid uluhiya dan percaya dengan hari kebangkitan, sedangkan
madaniyah secara umum menerangkan tentang perician ibadah dan mu’amalah karena yang
diajak bicara orang-orang telah terikrar dalam jiwa mereka tauhid dan aqidah yang selamat.

C. Ciri-ciri Spesifik Makkiyah dan Madaniyah

1.    Makkiyah
a.    Di dalamnya terdapat ayat sajdah
b.   Ayat-ayatnya dimulai dengan kata “kalla”
c.    Dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan nas” dan tidak ada ayat dimulai dengan ungkapan “ya
ayyuahl ladzina”, kecuali dalam surat al-hajj karena di penghujung surat itu terdapat sebuah ayat
yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyyuhal ladzina”.
d.   Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
e.    Ayat-ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan iblis, kecuali surat al-baqarah
f.    Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong seperti alif lam mim dan
sebagainya, kecuali surat al-baqarah dan ali-imran.
2.    Madaniyah
a.    Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
b.   Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum muanafik, kecualai surat al-ankabut
c.    Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.

Berdasarkan titik tekan tematis, para ulama merumuskan ciri-ciri spesisfk makkiyah dan
madaniyah sebagai berikut.
1.    Makkiyah
a.    Menjelaskan ajaran monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabian,
penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka
dengan siksanya, syurga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan
argumentasi-argumentasi rasional dan naqli.
b.   Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan
akhlak yang harusdimilki anggota masyarakat. Juga berisiskan celaan-celaan  terrhadap
kriminalitas yang dilakukan kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim
serta uraian tentang hak-hak.
c.    Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terrdahulu serta perrjuangan Muhammad dalam
menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin
d.   Banyak terdapat kesamaan bunyi
e.    Ayat dan suratnya pendek-pendek dan nada serta perkataannya agak keras
f.    Banyak mengandung kata-kata sumpah
2.    Madaniyah
a.    Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hududd, bangunan rumah tangga, warisan,
keutamaan jihad, kehidupan social, aturan-aturan pemerintah menangani perdamaian dan
peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’
b.   Mengkhitabi ahli kitab yahudi dan nashrani dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan
perbuatan mereka yang telah menyimpangkan kitab Allah adan menjauhi kebenaran serta
perselisihannya setelah datang kebenaran
c.    Mengungkap langka-langkah orang-orang munafik
d.   Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan
menggunakan ushlub yang terang pula.[2]

D.Klasifikasi Ayat-ayat dan Surat-surat Al-Qur’an

Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah, para ulama bersandar pada
dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyashi ijtihad (bersifat ijtihad).
Cara pertama berdasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para
sahabat  bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.
Cara qiyashi ijtihad didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyyah. Apabila dalam
surat makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani atau mengandung peristiwa
madani, maka dikatakan ayat itu madani. Begitu pula sebaliknya apabila dalam surat madaniyah
terdapat suatu ayat yang mengandung sifat makki atau peristiwa makki, maka ayat tadi dikatakan
sebagai ayat makkiyah. Oleh karena itu, para ahli mengatakan, “setiap surat yang dalamnya
mengandung kisah para nabi atau uamt-umat terrdahulu, maka surat itu adalah makkiyah.dan
seretiap surat di dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan hukum, maka surat itu adalah
madaniyah.
Untuk membedakan makkiyah dana madaniyah, para ulama mempunyai tiga macam
pandangan yangmasing-masing mempunyai dasar-dasarnya sendiri.
1.    Dari segi waktu turunnya
2.    Dari segi tempat turunnnya
3.    Dari sisi sasarannya
Para ulama antusias untuk menyelidiki surat-surta makkiyah dan madaniyah. Mereka
meneliti al-qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk ditertibkan sesuia dengan turunnya,
dengan memperhatikan waktu , tempat danpola kalimat. Lebih dari itu mereka mengumpulkan
antara waktu, tempat dan pola kalimat. Abul qasim al-hasan bin Muhammad bin habib an-naisaburi
menyebutkan dalam kitabnya at-tanbih’ala fadhli ulum al-qur’an, “di antara ilmu-ilmu al-qur’an
yangpaling mulia adalah ilmu tentng nuzul al-qur’an dan sekitarnya. Seperti yang diturunkan di
waktu malam/siang, diturunkan secara bersama-sama atau yang turun secara tersendiri, ayat-ayat
makkiyah dalam surat-surat madaniyah dan sebaliknya, serta ayat-ayat yang diperselisihkan antara
madani dan makki. Orang yang tidak mengetahui dan tidakp dapat membedakannya ia tidak berhak
berbicara tentang al-qur’an. Ada tiga tahap dalam masa turunnya al-qur’an di mekah menurut abu
qasim yaitu tahap permulaan, tahap pertengahan dan tahap penghabisan.

1.    Tahap permulaan di mekah ( marhala ibtidaiyyah)


a.    Surat al-alaq [96]
b.   Surat almudatsir [74]
c.    Surat at-takwir [81]
d.   Surat al-a’la [87]
e.    Surat al-lail [92]
f.    Surat al-insyirah[94]
g.   Surat al-‘adiyat [100]
h.   Surat at-takwir [102
i.     Surat an-najm [53]

2.    Tahap pertengahan di mekah (marhalah mutawassithah)


a.    Surat ‘abasa [80]
b.   Surat ath-thin  [95]
c.    Surat al-qori’ah [101]
d.   Surat al-qiyamah [75]
e.    Surat al-mursalat [77]
f.    Surat al-balad [90]
g.   Surat al-hijr [15]
3.    Tahap penghabisan di mekah (marhalah khataniyah)
a.    Surat ash-shaffat [37]
b.   Surat al-dzuhkruf [43]
c.    Surat ad-dukhon [44]
d.   Surat adz-dzariyat [51]
e.    Surat al-kahfi [18]
f.    Surat Ibrahim [14]
g.   Surat as-sajdah [32]
Tiga tahap tersebut tampak jelas tanda-tanda kemakkiyahannya karena dalam  hal susunan
kalimatnya, masing-masing tampak sebagai kesatuan wawasan yang terjadi dengan sendirinya.
Adapun madaniyah ada dua puluh surat, yaitu:
a.    Al-baqarah                      k.  Al-hujurat
b.   Ali-imran                         l.   Al-hadid
c.    An-nisa                           m. Al-mujadilah
d.   Al-maidah                       n.  Al-hasyr                 
e.    Al-anfal                          o.  Al-mumtahanah
f.    At-taubah                        p.  Al-jumu’ah
g.   An-nur                            q.  Al-munafiqun
h.   Al-ahzab                         r.   Ath-thalaq
i.     Muhammad                     s.  Ath-thahrim
j.     Al-fath                            t.   An-nashr
Sedangkan yang  diperselisihkan ada dua belas surat, yaitu:
a.    Al-fatihah                       g.  Al-qadr
b.   Ar-ra’d                            h.  Al-bayyinah
c.    Ar-rahman                      i.   Az-zalzalah
d.   Ash-shafh                       j.   Al-ikhlas
e.    Ath-taghabun                  k.  Al-falaq
f.    Al-mutaffifin                   l.   An-nas

E.Perselisihan Ulama’ Mengenai kategori Makkkiyah dan Madaniyah

Dalam kitab karangan manna’ al-qaththani yang berjudul pengentar studi ilmu al-Qur’an
menebutkan bawha yang terpenting dalam objek kajian par ulama yang diturunkan di mekkah atau
madinah sesrta yang menjadi perselisihan, yaitu:
1.    Ayat-ayat makkiyah dalam surat-surat madaniyah
 Contohnya dalam surat al-Hujurat ayat 13. Ayat tersebut diturunkan di mekah pada hari
penaklukan kota mekah tetapi sebenarnya madaniyah karena diturunkan selepas hijrah. Di samping
itu, seruannyapun bersifat umum.Ayat seperti ini oleh oleh para ulama tidak dinamakan makkiyah
dan tidak madaniyah secara pasti. Tetapi mereka mengatakan ayat yag diturunkan di mekah namun
hukumnya mdaniyah.
2.    Ayat-ayat madaniyah dalam surat makkiyah
Misalnya surat al-an’am, ibnu abbas berkata surat ini diturunkan sekaligus di mekah, maka ia
adalah makkiyah, kecuali tiga ayat yang diturunkan di madinah yaitu ayat 151-153. Dan surat al-
hajj adalah makkiyah. Tetapi ada tiga ayat yang madaniyyah yaitu ayat 19-21.
3.    Yang diturunkan di mekah namun hukumnya madaniyah
4.    Ayat yang diturunkan di madinah namun hukumnya makkiyah
Mereka memberi contoh dengan surat al-mumtahanah, surat ini diturunkan di madinah  dilihat
dari segi turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk mekah. Juga seperti
permusuhan aurat at-taubah yang diturnkan di madinah, tetapi seruannya ditujukan kepada orang-
orang musyrik di mekah.
5.    Yang serupa dengan yang diturnkan di mekah dalam kelompok madaniyah
Yang dimaksud para ulama disini adalah ayat-ayat yang terdapat pada madaniyah tetapi
mempunyai gaya bahasa danciri seperti makkiyah. Contohnya firman Allah dalam surat al-anfal
ayat 32 yang madaniyah. Hal ini dikarenakan permintaan orang musyrik untuk disegerakan azab
adalahdi mekah.
6.    Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah dalam kelompok madaniyah
Yang dimaksud ulama disini adalah kebalikan dari sebelumnya dalam surat an-najm ayat 32.
7.    Ayat yang dibawa dari mekah ke madinah
Contohnya ialah dalam surat al-a’la. HR. al-bukhori dan al-bara’ah bin azb yang mengatakan
bahwa: “ bahwa yang oertama kali datang kepada kami dikalangan sahabat nabi adalah mush’ab bin
umair dan ibnu ummi maktum. Keduanya membacakan al-qur’an kepada kami, setelah itu
datanglah ammar, bill dan sa’ad, kemudain datang pua umar bin khattab sebagai orang nomor yang
kedua puluh.baru setelah itu datang nabi, aku melihat penduduk madinah bergembira setelah aku
membaca “Sabbihisma robbikal a’la.
8.    Ayat yang dibawa dari madinah ke mekah
Contohnya ari awal surat at-taubah yaitu ketika rasululloh memerintahkan kepada abu bakar
untuk pergi haji pada tahuan kesembilan dan hal inipun disampaikan kepada kaum
musyrikin  bahwa tahun tidak seorangpun orang musyrik boleh berhaji. 
9.    Ayat yang turun di waktu malam dan siang
Kebanyakan ayat turun pada siang hari , abu qasim an-naisaburi telah menelitinya. Contoh di
bagian surat al-imran dan yang lainnya.
10.  Ayat yang turun di musim panas dan musim dingin
Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas tentang ayat kalalah yang terdapat
di akhir surat an-nisa. Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam perang tabuk, yang terjadi pada
musim panas seperti yang dinyatakan dalam surat at-taubah ayat 81. Sedangkan musim dingin
mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mengenai “tuduhan bohong” yang terdapat dalam surat an-
nur.
11.  Yang turun di waktu menetap atau perjalanan
Mayoritas ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an turun pada saat nabi dalam keadaan
menetap.Akan tetapi, karena kehidupan Rasululloh tidak pernah lepas dari jihad dan peperangan di
jalan Allah, maka wahyu pun turun dalam peperangan tersebut.Contohnya awal-surat al-Anfal yang
turun pada waktu perang badar.

F. Urgensi mempelajari Makkiyah dan Madaniyah

1)   Untuk menambah keyakinan bahwa al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan di bawah
otoritas Allah semata bukan berdasarkan keinginan nabi
2)   Untuk mempermudah memahami al-Qur’an
3)   Agar bisa memahami nasikh (hukum yang menghapus) dan mansukh (hukum yang dihapus) jika
terdapat dua ayat yaitu madaniyah dan makkiyah yang keduanya memenuhi syarat nasakh maka
ayat madaniyah tersebut menjadi nasakh bagi ayat makkiyah karena ayat madaniyah datang
belakangan setelah ayat makkiyah
4)   Untuk mengetahui kronologis penurunan syari’ah yang berangsur-angsur
5)   Untuk mengetahui perjalanan Rasulullah
6)   Untuk mengetahui kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam menjaga otensitas al-qur’an.

Anda mungkin juga menyukai