Anda di halaman 1dari 33

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN ABORTUS PADA IBU HAMIL DI GAMPONG SIRON


TANJONG KECAMATAN PADANG TIJI KABUPATEN PIDIE

Proposal

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

AFRIZAL
21010144

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


(STIKes) MEDIKA SEURAMOE BARAT -
MEULABOH PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN
TAHUN 2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abortus (keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum

janin dapat hidup di luar kandungan yang menurut para ahli ada sebelum usia

16 minggu dan 28 minggu dan memiliki 400-1000 gram, tetapi jika terdapat

fetus hidup dibawah 400 gram itu dianggap keajaiban karena semakin tinggi

BB anak waktu lahir semakin besar kemungkinan untuk dapat hidup terus

(Nurarif & Kusuma, 2015).

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin

dapat hidup di luar kandungan. sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20

minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Sarwono, 2014).

Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan

berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil

kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang

lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) (Anwar & Anita, 2015).

Data Prevalensi Kasus abortus di Dunia 44 % pada tahun 2017,

mengalami peningkatan pada tahun 2019 hingga 49 %. Kasus abortus terjadi

di Afrika sekitar 97 % pada tahun 2019. Kehamilan terjadi di dunia sekitar 208

juta pada tahun 2019, secara global sekitar 86 juta kehamilan tidak diinginkan

terjadi, 33 juta diantaranya mengarah ke kelahiran tidak direncanakan, 41 juta

mengarah ke abortus. Tingkat abortus di Eropa sangat tinggi yaitu 91 % dari

2
3

keseluruhan abortus di Eropa. Hampir semua abortus tidak aman terjadi

di Eropa Timur (WHO, 2018).

Data Prevalensi di Indonesia Frekuensi abortus spontan adalah 10%-

15% dari 5 juta kehamilan setiap tahunnya atau 500.000-750.000. Sedangkan

abortus buatan sekitar 750.000-1.5 juta setiap tahunnya. Frekuensi ini dapat

mencapai 50% bila diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat

haid beberapa hari sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa ia

sudah hamil. Angka kematian karena abortus mencapai 2500 setiap tahunnya

(Hastono, 2016).

Dampak negatif seorang wanita yang mengalami abortus akan

memperlihatkan emosi dan perasaan bersalah, ingin bunuh diri, rasa menyesal

mendalam dan tak punya harga diri dan juga termasuk respon depresi. Respon

wanita yang mengalami abortus bervariasi tergantung apakah kehamilannya

diinginkan dan direncanakan atau kehamilan akibat perkosaan (Kusmiyati,

2018).

Dampak positif seorang wanita yang telah mengalami abortus akan

sangat dipengaruhi pada dukungan yang ditunjukkan oleh teman, keluarga,

serta tenaga kesehatan agar selalu bisa menjaga kesehatan kehamilannya

dengan baik (Rahayu, 2017).

Berbagai faktor sebagai penyebab abortus spontan, diantaranya adalah

faktor ibu, faktor janin, faktor lingkungan. Faktor ibu seperti usia, paritas,

mempunyai riwayat keguguran sebelumnya, infeksi pada daerah genital,

penyakit kronis yang diderita ibu (hipertensi, anemia, tuberkulosis paru aktif,
4

nefritis dan diabetes yang tidak terkontrol), bentuk rahim yang kurang

sempurna stress atau ketakutan, Faktor janin bisa disebabkan oleh kelainan

kromosom, Faktor lingkungan juga bisa menyebabkan abortus seperti trauma

fisik, kecelakaan, lantai yang licin, terkena pengaruh radiasi, polusi, pestisida

(Imron & Riyanti, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2018) di daerah Koto Agam

Sumatera Barat menyimpulkan bahwa tingkat terjadi nya abortus pada ibu

hamil di usia produktif banyak terjadi karena tingkat pengetahuan ibu akibat

masih kurangnya edukasi dalam penggunaan alat kontrasepsi yang berakibat

angka peran serta akseptor Keluarga Berencana (KB) menjadi rendah. Hal ini

mengakibatkan banyak terjadinya kehamilan yang sebenarnya tidak diharapkan

sehingga mengakibatkan ketidaksiapan ibu secara fisik dan psikologis, serta

ketidaksiapan keluarga dalam menyongsong terjadinya kehamilan. Peran serta

ibu sebagai akseptor Keluarga Berencana akan menjadikan ibu benar-benar

mempersiapkan kehamilannya sehingga resiko terjadinya abortus dapat ditekan

(Putri, 2019).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Maliana (2016) yang melibatkan 92

sampel di Provinsi Lampung terdapat hubungan antara riwayat abortus dengan

kejadian abortus didapatkan nilai p-value 0.001 (p<0.05). Hal ini dikaitkan

dengan adanya faktor-faktor resiko yang berpotensi pada diri ibu hamil,

misalnya riwayat penyakit seperti anemia, penyakit jantung dan pembuluh,

asma, diabetes melitus, riwayat kehamilan ganda, riwayat kehamilan dengan


5

kelainan letak janin. Selain itu riwayat abortus juga dikaitkan dengan jumlah

kehamilan dan jumlah paritas pada ibu hamil.

Berdasarkan Data Dari Dinas Kesehatan Propinsi Aceh ibu hamil

tercatat berjumlah 113.182 orang. Persalinan yang ditolong oleh tenaga

kesehatan berjumlah 83,72%. Ibu hamil dengan resiko tinggi atau komplikasi

adalah 4512 orang (25,98%), KI adalah 98,181 orang (86,75%), K4 adalah

89,271 (78,77%) (Kemenkes, 2016)

Berdasarkan Data Dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Ibu Hamil

Tercatat Berjumlah 7.153 Orang. Jumlah Komplikasi Maternal Yang

Dilaporkan Pada Tahun 2020 sebanyak 6512 orang (26,98%) (Dinkes, 2020).

Berdasarkan Studi Pendahuluan yang dilakukan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie didapatkan angka kejadian

abortus yaitu sebanyak 30 kasus dari 298 ibu hamil pada 27 desa Tahun 2020.

Beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan abortus adalah faktor ibu, faktor

janin, faktor lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya

pemeriksaan antenatal care yang lebih intensif guna mengetahui dan mencegah

sedini mungkin faktor resiko yang dapat membahayakan kehamilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Uraian Latar Belakang Di Atas, Adapun Yang Menjadi

Rumusan Masalah Dalam Penelitian Ini Adalah Apa Sajakah Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil Di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie?


6

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus

Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji

Kabupaten Pidie.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk Mengetahui Hubungan Faktor Ibu Dengan Kejadian Abortus Pada

Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji

Kabupaten Pidie.

b. Untuk Mengetahui Hubungan Faktor Janin Dengan Kejadian Abortus

Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji

Kabupaten Pidie.

c. Untuk Mengetahui Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian

Abortus Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan

Padang Tiji Kabupaten Pidie.

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Peneliti sendiri memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman

penelitian. Sehingga hasil ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk

memberikan pelayanan kepada pasien khususnya pada remaja, dan ibu

tentang kesehatan reproduksi khususnya mengenai kejadian abortus.


7

b. Bagi institusi pendidikan

Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya dan sebagai bahan

informasi bagi pengembangan ilmu penelitian lebih lanjut terutama yang

berkaitan dengan abortus pada ibu hamil.

c. Bagi perawat

Supaya dapat memberikan informasi dan sumbangan ilmu kepada ibu

hamil tentang abortus.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Abortus

1. Pengertian

Abortus (Keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepsi

sebelum janin dapat hidup diluar kandungan yang menurut para ahli ada

sebelum usia 16 minggu dan 28 minggu dan memiliki BB 400-1000 gram,

tetapi jika terdapat fetus hidup dibawah 400 gram itu dianggap keajaiban

karena semakin tinggi BB anak waktu lahir makin besar kemungkinan

untuk dapat hidup terus (Amru Sofian, 2012).

Menurut WHO dikatakan abortus jika usia kehamilan kurang dari

20-22 minggu. Abortus selama kehamilan terjadi 15-20% dengan 80%

diantaranya terjadi pada trimester pertama (≤ 13minggu) dan sangat sedikit

terjadi pada trimester kedua.

Abortus adalah pengakhiran kehamilan, baik secara spontan

maupun disengaja sebelum 20 minggu berdasarkan hari pertama haid

terakhir. Definisi lain yang umum digunakan adalah pelahiran janin-

neonatus yang memiliki berat kurang dari 500 gr. Namun definisi abortus

bervariasi, berdasarkan undang-undang suatu negara untuk melaporkan

abortus, kematian janin, dan kematian neonatus (Leveno & Kenneth,

2015).

Menurut Gant Norman F. (2010) abortus sebagai penghentian

kehamilan oleh sebab apapun. Jika abortus terjadi secara spontan, istilah

8
9

awam keguguran sering digunakan, abortus menandakan terhentinya

kehamilan sebelum usia gestasi lengkap 20 minggu, 139 hari, dihitung dari

hari pertama haid normal terkahir. Kriteria yang sering digunakan untuk

abortus adalah pengeluaran janin atau neonatus yang beratnya kurang dari

500 gram.

Abortus selama kehamilan terjadi 15-20% dengan 80% diantaranya

terjadi pada trimester pertama (<13 minggu) dan sangat sedikit terjadi pada

trimester kedua (Husin, 2013).

2. Klasifikasi abortus

Menurut Gant Norman F (2010) dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Abortus Spontan

Risiko abortus spontan tampaknya meningkat seiring dengan paritas dan

usia ibu dan ayah. Frekuensi abortus yang diketahui secara klinis

meningkat dari 12% pada perempuan yang berusia kurang dari 20

tahunsampai 26% pada mereka yang lebih dari 40 tahun. Insiden abortus

meningkat jika perempuan mengandung dalam 3 bulan setelah

melahirkan bayi hidup (Cunningham, 2011).

Kehilangan janin yang tidak disadari secara dini.Kehilangan janin yang

secara klinis diketahui kemungkinan besar juga meliputi sejumlah

abortus dengan janin yang telah meninggal beberapa minggu sebelum

janin tersebut keluar.


1

Berdasarkan aspek klinis, abortus spontan biasanya dikelompokan

kedalam lima subgroup: abortus imminens, insipient, inkompletus,

missed abortion, dan rekuran. Berikut uraiannya:

1) Abortus Imminens (mengancam) adalah perdarahan pervaginam atau

setiap duk vagina yang berdarah selama paruh pertama kehamilan.

Perdarahan umumnya sedikit, tetapi dapat menetap selama beberapa

hari atau minggu. Nyeri pada abortus imminens mungkin terasa

dibagian anterior dan jelas ritmik, mirip nyeri bersalin; nyeri

punggung bawah yang menetap disertai perasaan seperti tekanan

dipanggul; atau rasa tidak nyaman yang terkumpul di garis tengah

suprasimfisis disertai nyeri tekan diatas uterus.Jika uterus yang

diukur secara akurat dalam periode waktu tertentu tidak membesar

malah mengecil, dapat disimpulkan bahwa janin telah meninggal.

2) Abortus insipien adalah abortus yang ditandai oleh robekan selaput

ketuban yang nyata disertai dilatasi serviks.

3) Abortus inkompletus adalah abortus yang terjadi pada minggu

kesepuluh, janin dan plasenta kemungkinan besar dikeluarkan

bersama-sama, tetapi sesudah minggu kesepuluh, pengeluaran terjadi

secara terpisah. Perdarahan yang menyertai abortus pada kehamilan

yang lebih lanjut seringkali banyak dan kadangkadang massif

sehingga menimbulkan hypovolemia berat.

4) Missed abortion adalah retensi produk konsepsi in utero yang sudah

meninggal selama 4-8 minggu atau lebih. Saat ovum mati, mungkin
1

mungkin timbul perdarahan vagina atau gejala lain yang

mengisyaratkan abortus iminem. Pada palpasi dan pengukuran uterus

akan menunjukan bahwa uterus tidak berhenti membesar, tetapi

malah mengecil akibat absorbpsi cairan amnion dan maserasi janin.

5) Abortus spontan rekuren adalah abortus spontan yang terjadi setelah

tiga kali atau lebih abortus spontan rekuren umumnya terjadi secara

kebetulan.

b. Abortus yang diinduksi (Abortus Buatan)

Abortus buatan atau abortus yang diinduksi yaitu tindakan abortus yang

sengaja dilakukan.Dua bentuk abortus yaitu abortus terapeutikus (abortus

provokatus medisinalis) dan abortus elektif (abotus provokatus

kriminalis). Berikut uraiannya:

1) Abortus Terapeutik (Abortus Provokatus Medisinalis) Adalah

penghentian kehamilan sebelum janin mampu hidup demi

keselamatan atau kesehatan ibunya. Indikasi dilakukannya abortus

terapeutikus menurut kebijakan yang dibuat oleh American College

of Obstetrician and Gynecologists:

a) Jika diteruskan, kehamilan dapat mengancam nyawa ibu atau

menyebabkan gangguan kesehatan yang serius. Dalam

menentukan apakah ada resiko kesehatan semacam itu, dapat

dipertimbangkan lingkungan pasien keseluruhan, saat ini atau

pada masa mendatang yang relevan.


1

b) Jika kehamilan terjadi akibat perkosaan atau incest. Pada kasus

seperti ini digunakan kriteria medis yang sama dalam evaluasi

pasien.

c) Jika kehamilan diteruskan, kemungkinan besar anak dilahirkan

dengan deformitas fisik atau retardasi mental yang parah.

2) Abortus Elektif (Sukarela) / Abortus Provokatus Kriminalis Adalah

penghentian kehamilan sebelum janin viable (mampu hidup) atas

permintaan pasien, tetapi bukan disebabkan resiko ibu atau penyakit

janin.Atau aburtus pada kehamilan yang tidak diinginkan.

3. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan kematian fetus yaitu faktor ovum itu

sendiri, faktor ibu, dan faktor bapak (Nurarif & Kusuma, 2015).

a. Kelainan ovum

1) Ovum patologis

2) Kelainan letak embrio

3) Plasenta yang abnormal

b. Kelainan genitalia ibu

1) Anomaly congenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis,dll)

2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata

3) Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum

yang sudah dibuahi, seperti kurangnya progesterone atau

estrogen,endometritis, mioma submukosa.

4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola)


1

5) Distorsio uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis

c. Gangguan sirkulasi plasenta

d. Penyakit-penyakit ibu

1) Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti

pneumonia, tifoid, pielitis, dll

2) Keracunan pb, nikotin, gas racun, alcohol,dll

3) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis,penyakit paru

berat,anemia gravis

4) Malnutrisi, avitaminosis, dan gangguan metabolisme, hipotiroid,

kekurangan vitamin A,C atau E,Diabetes mellitus.

5) Adapun faktor hormonal, 80% kasus abortus disebabkan karena

factor autoimun (Coulam, 2011).

e. Perangsangan terhadap ibu yeng menyebabkan uterus berkontraksi.

Seperti sangat terkejut, obat-obat uterotonika, katakulan laparotomi,dll

f. Penyakit bapak : usia lanjut, penyakit kronis

Penyebab abortus sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi

beberapa faktor yang berpengaruh adalah faktor pertumbuhan hasil konsepsi,

kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menimbulkan kematian janin dan

cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan, gangguan

pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena faktor kromosom terjadi

sejak semula pertemuan kromosom, termasuk kromosom seks. Faktor

lingkungan endometrium terjadi karena endometrium belum siap untuk

menerima implantasi hasil konsepsi. Selain itu juga karena gizi ibu yang
1

kurang karena anemia atau terlalu pendeknya jarak kehamilan. Hal lain juga

yang ikut berpengaruh yaitu: infeksi endometrium, hasil konsepsi yang

dipengaruhi oleh obat dan radiasi, faktor psikologis, kebiasaan ibu (merokok,

alkohol, kecanduan obat) (Margareth, 2013).

Kadar hemoglobin (Hb) yang rendah akibat defisiensi besi pada darah

ibu hamil akan menyebabkan peningkatan kerentanan terjadi abortus. Zat besi

berperan pada proses hematopoiesis di dalam tubuh (pembentukan darah)

yaitu sebagai salah satu bahan dalam sintesis Hb di dalam eritrosit. Seorang

ibu yang mengalami anemia defisiensi besi selama kehamilan tidak dapat

memberikan cukup asupan zat besi kepada janin di dalam kandungannya

terutama pada trimester pertama kehamilan yang memicu terjadinya abortus

pada ibu hamil <20 minggu (Widianti, 2017).

4. Manifestasi Klinis

Menurut (Ana, 2017) beberapa manifestasi klinis diantaranya sebagai

berikut :

a. Tanda dan gejala secara umum pada abortus adalah: Terlambat haid

atau amenorhe kurang dari 20 minggu

b. Pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran

menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau

cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat

c. Perdarahan pervagina mungkin disertai dengan keluarnya jaringan hasil

konsepsi
1

d. Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri

pingang akibat kontraksi uterus

e. Pemeriksaan ginekologi:

1) Inspeksi Vulva : perdarahan pervagina ada atau tidak jaringan hasil

konsepsi, tercium bau busuk dari vulva

2) Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau

sudah tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau

tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.

3) Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba

atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau

lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang,

tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol

dan tidak nyeri.

4) Hasil pemeriksaan kehamilan masih positif.

f. Terdapat keterlambatan datang bulan

g. Terdapatnya perdarahan, disertai sakit perut (mules)

h. Pada pemeriksaan dijumpai besarnya rahim sama dengan umur

kehamilan dan terjadi kontraksi otot rahim.

i. Hasil pemeriksaan dalam terdapat perdarahan dari kanalis servikalis,

kanalis servikalis masih tertutup, dapat dirasakan kontraksi otot rahim.


1

B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus

Menurut (Rahmani, 2014) faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian abortus pada ibu hamil meliputi faktor ibu, faktor janin dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Ibu

penyebab abortus adalah kelainan plasenta yaitu (infeksi pada plasenta,

gangguan pembuluh darah, hipertensi), penyakit ibu, penyakit infeksi

seperti (tifus abdominalis, malaria, pneumonia sifillis), anemia, penyakit

menahun seperti hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, DM, dan

kelainan rahim (Prawirohardjo & Sarwono, 2014)

Faktor ibu yang menyebabkan abortus terbagi menjadi faktor

internal dan faktor eksternal, yaitu :

a. Faktor Internal

1) Usia

Berdasarkan teori (Prawirahardjo, 2016) pada kehamilan

usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk

menerima kehamilannya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan,

kehamilannya tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini

menyebabkan ibu menjadi stress. Akan meningkatkan resiko

terjadinya abortus.

Wanita hamil mempunyai resiko untuk mengalami abortus

sebesar 10 – 25%, semakin meningkatnya usia akan meningkatkan

resiko abortus. Resiko abortus sebesar 15 % pada usia di bawah 35


1

tahun, 20 – 35% pada usia 35 – 45 tahun, dan resiko lebih dari 50

% pada pada usia lebih dari 45 tahun. Sumber lain mengatakan

bahawa 10% resiko abortus terjadi pada wanita yang berusia

kurang dari 20 tahun, 20 % terjadi pada usia 35 – 39 tahun , dan

50% pada usia 40 –45.Kesiapan seorang perempuan untuk hamil

harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan ekonomi (Darmawati,

2015).

Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan

kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin

karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit

pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan

kurun waktu reproduksi sehat antara 20-30 tahun (Siti, 2015).

Menurut (Siti, 2015) kehamilan remaja dengan usia di bawah 20

tahun mempunyai risiko:

a) Sering mengalami anemia

b) Gangguan tumbuh kembang janin

c) Keguguran, prematuritas, atau BBLR

d) Gangguan persalinan

e) Preeklampsi

f) Perdarahan antepartum.

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Ahmad, 2016) bahwa usia kehamilan muda atau kehamilan

trimester I berisiko untuk terjadinya abortus.


1

Penelitian yang dilakukan oleh (yanti, 2018) menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan kejadian abortus

dengan nilai signifikansi p<0.01 dan coefisien korelasi sebesar

r=0.297. Korelasi menunjukkan arah yang positif, yang artinya

semakin bertambah usia, maka resiko terjadinya abortus semakin

besar.

2) Paritas

Paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian

maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas maka lebih tinggi resiko

komplikasi dan kematian maternal. Resiko pada ibu yang kategori

paritasnya primipara dapat ditangani dengan asuhan obstretrik lebih

baik, sedangkan resiko pada paritas yang kategori multipara dan

grandemulipara dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga

berencana (Winkjosastro, 2010).

Pada kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila

terlalu sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah

melahirkan 4 anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya

gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas. Resiko

abortus spontan meningkat seiring dengan paritas ibu (Saifuddin,

2016).

Setelah dilakukan uji statistik oleh (lisa, 2017) dengan

menggunakan uji Chi- Square didapatkan nilai p-value 0.003

(p<0.05), berarti ada pengaruh antara paritas dengan kejadian


1

abortus, dimana semakin paritasnya pada kategori 1 anak maka

responden semakin berisiko mengalami kejadian abortus. Hal ini

berarti hipotesa dalam penelitian ini Ha diterima. Serta dari hasi

OR = 9.235 menunjukkan bahwa responden yang paritasnya pada

kategori 1 anak memiliki peluang 9.235 kali lebih besar mengalami

kejadian abortus.

3) Jarak kehamilan

Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2

tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik.

Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada

kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami

persalinan yang lama, atau perdarahan (abortus). Insidensi abortus

pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan aterm

(Saifuddin, 2016).

4) Riwayat abortus sebelumnya

Menurut (Prawirohardjo, 2016) riwayat abortus pada

penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus

berulang. Kejadiannya sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi

menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko

15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2

kali maka risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi

menyatakan risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah

30-45%.
2

Penelitian yang dilakukan oleh (Nyanyak muliana, 2017)

ibu-ibu yang sudah pernah mengalami abortus sebelumnya

kemungkinan akan lebih menjaga kehamilannya untuk mencegah

terjadinya kejadian abortus yang pernah dialami, ibu-ibu tersebut

akan lebih menjaga kehamilannya supaya tidak terulang lagi hal

yang sama, karena bagi ibu tersebut untuk memiliki anak bukanlah

hal yang mudah, memiliki anak adalah hal yang sangat dinantikan

bagi ibu yang sudah pernah mengalami abortus.

Berdasarkan hasil penelitian dari (Samsinar, 2016) tentang

variabel riwayat abortus didapatkan hasil Uji Chi-Squere diperoleh

nilai P value = 0,433 dan OR = 1.946 sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat abortus

dengan kejadian abortus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa setelah 1 kali abortus memiliki 15% untuk

mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali resikonya

meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus

setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45% (Sastrawinata, 2012).

5) Faktor genetik

Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan

kariotip embrio yang merupakan kelainan sitogenik berupa

aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis dari fertilitas

abnormal. Sebagian dari kejadian abortus pada trimester pertama

berupa trisomi autosom yang timbul selama gametogenesis pada


2

pasien dengan kariotip normal. Insiden trisomi ini dapatmeningkat

dengan bertambahnya usia dimana risiko ibu terkena aneuploidi

diatas 35 tahun. Selain dari struktur kromosom atau gen abnormal,

gangguan jaringan konektif lainnya misalnya Sindroma Marfan dan

ibu dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus

(Prawirohardjo, 2016).

6) Cacat uterus

Destruksi endometrium luas akibat kuretase hal ini

menyebabkan amenore dan abortus berulang yang disebabkan oleh

kurang memadai endometrium untuk menunjang implantasi

(Elisabeth, 2015).

7) Gamet yang menua

Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa penuaan gamet di

dalam saluran genitalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan

kemungkinan abortus dan ibu yang berusia lebih dari 35 tahun

memperlihatkan peningkatan insidensi sindrom kantung amnion

kecil (Elisabeth, 2015).

8) Trauma fisik

Trauma yang dapat mengakibatkan abortus seperti trauma

akibat suatu benturan benda tumpul dalam kecelakaan, luka bakar,

kekerasan dan terkena senjata tajam yang mengakibatkan

perdarahan pada saat kehamilan (Elisabeth, 2015).


2

9) Riwayat penyakit

Berdasrkan hasil penelitian dari (samsinar, 2016) tentang variabel

riwayat penyakit didapatkan hasil Uji Chi-Squere diperoleh nilai P

value = 0,112 dan OR = 0,413 sehingga dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan

kejadian abortus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatkan

bahwa riwayat penyakit seperti : anemia, atau infeksi dapat

menyebabkan terjadinya abortus dikarenakan infeksi toksin dari ibu

ke janin atau inflasi kuman atau virus pada vetus (Mochtar, 2012)

Berdasarkan hasil penelitian oleh (yeni,2017) diketahui bahwa

terdapat hubungan yang signifikan (pvalue <0,05) antara umur ibu,

paritas dan jarak kehamilan dengan kejadian abortus spontan serta

tidak terdapat hubungan (pvalue >0,05) antara pendidikan,

pekerjaan, riwayat abortus, riwayat sakit dan IMT terhadap

kejadian abortus.

b. Faktor Eksternal

1) Faktor lingkungan dan pemakaian obat

Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan

obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan

abortus, misalnya adanya paparan terhadap buangan gas anestesi

dan tembakau. Kebiasaan minum alkohol dan yang mengandung

kafein secara berlebihan serta kegagalan efektivitas alat kontrasepsi


2

dalam rahim juga berisiko terhadap insiden abortus pada kehamilan

muda (Mochtar & Rustam, 2015).

2) Faktor sosial budaya

Wanita hamil dilarang makan rebung agar bayi tidak

berbulu, jantung pisang agar bayi tidak kecil, jamur yang

menyebabkan plasenta menjadi kembar dan sulit lahir. Terdapat

pantangan makanan gurita, cumi, kepiting, udang, dan ikan pari

yang dianggap dapat menyebabkan ari-ari bayi lekat (retensio

plasenta), bayi sulit dilahirkan, atau malposisi janin, selain itu buah

jambu biji dan labu juga dipantang, hal ini tidak berkaitan dengan

faktor kesehatan namun merupakan keyakinan suatu budaya

(Mochtar & Rustam, 2015).

3) Status ekonomi (pendapatan)

Sosial ekonomi masyarakat yang sering dinyatakan dengan

pendapatan keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari

segi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk

kebutuhan kesehatan dan pemenuhan zat gizi. Hal ini pada

akhirnya berpengaruh pada kondisi saat kehamilan yang berisiko

pada kejadian abortus. Selain itu, pendapatan juga mempengaruhi

kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga

adanya kemungkinan resiko terjadinya abortus dapat terdeteksi.

(Tyastuti, 2016).
2

4) Pekerjaan

Beberapa wanita yang sudah bekerja juga akan terhambat

karirnya ketika memilih untuk meneruskan kehamilannya. Kondisi

pekerjaan yang dilakukan oleh seorang wanita dapat juga setara

dengan beban kerja laki-laki baik dari jabatan ataupun jenis

pekerjaannya ataupun didukung dengan sosial ekonomi yang

rendah sehingga wanita beresiko mengalami kehamilan yang tidak

diinginkan (Tyastuti, 2016).

Pekerjaan adalah kegiatan rutin sehari-hari, yang dilakukan

oleh seseorang ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan

(Notoatmodjo, 2010)

Menurut analisis professional bahwa maksud pekerjaan atau

aktifitas bagi ibu hamil bukan hanya pekerjaan keluar rumah atau

institusi tertentu, tetapi juga pekerjaan atau aktifitas sebagai ibu

rumah tangga dalam rumah, termasuk pekerjaan sehari-hari di

rumkah dan mengasuh anak. Namun yang menjadi masalah adalah

kesehatan reproduksi wanita, karena apabila bekerja pada tempat

yang berbahaya seperti: bahan kimia, radiasi dan jika terpapar

bahan tersebut dapat mengakibatkan abortus. Karena pada

kehamilan trimester pertama, dimana embrio berdiferensi untuk

membentuk system organ. Jadi bahan berbahaya yang masuk

kedalam tubuh wanita hamil dapat mempengaruhi perkembangan

hasil konsepsi. Dalam keadaan ibu yang seperti ini dapat


2

mengganggu kehamilannya dan dapat mengakibatkan terjadinya

abortus (Kusmiyati, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian dari (Samsinar, 2016) tentang

variabel pekerjaan didapatkan hasil Uji Chi-Squere diperoleh nilai

P value = 0,060 dan OR = 0,246 sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan

kejadiaan abortus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa pekerjaan ibu yang dilakukan sehari-hari tanpa

dibatasi atau istirahat yang cukup, hal ini akan mempengaruhi

perkembangan dan pertumbuhan janin dan mengakibatkan

terjadinya abortus (Manuaba, 2014).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

pekerjaan dengan kejadian abortus, didapatkan hasil P value =

0,166 ( Yuliasari, 2016).

2. Faktor Janin

Faktor janin merupakan penyebab yang sering terjadi pada abortus

spontan. Kelainan yang menyebabkan abortus spontan tersebut yaitu

kelainan telur (blighted ovum), kerusakan embrio dengan adanya kelainan

kromosom, dan abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas)

(Moudy, 2017).

Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin

karena adanya mutasi gen yang bisa menganggu proses implantasi bahkan
2

menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering

menyebabkan abortus berulang adalah myotonis distrophy, yang berupa

autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif dan

penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan

mengganggu fungsi uterus (Prawirohardjo 2007).

Kelainan pertumbuhan pada janin sebagai hasil konsepsi

merupakan kelainan yang paling umum sebagian penyebab pada abortus

pada trimester pertama. Hal ini disebabkan karena kelainan kromosom

seperti trisomi autosom, triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X.

Kelainan kromosom ini merupakan penyebab lebih dari 90 % keguguran

pada kehamilan. Penyebab abortus karena kelainan kromosom pada

umumnya tidak diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh: kelainan

genetik seperti mutasi tunggal, berbagai penyakit dan mungkin beberapa

faktor ayah (Cuniangham, 2010).

3. Faktor lingkungan

Sebagian besar trauma tumpul yang cukup berat dalam kehamilan

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan langsung.

Beberapa kasus abortus terjadi setelah ibu mengalami kecelakaan

lalulintas. Selain kecelakaan, penganiayaan fisik dan penganiayaan seksual

juga bisa menjadi penyebab abortus (Moudy, 2017).

Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari Paparan

obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus.

Merokok dilaporkan menyebabkan peningkatan risiko abortus. Bagi


2

wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar

dua kali lipat dibandingkan kontrol normal (Cunningham, 2006).

Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara

lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga

menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan

pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya

gangguan pada system sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan

pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus (Prawirohardjo,

2007).

Menurut (Dewa & sunarsih, 2013) sebelas persen dari 6000 wanita

hamil mengalami kekerasan fisik, hal ini biasanya berkaitan dengan

pendidikan rendah, kemiskinan, penggunaan tembakau dan alkohol.


BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Dengan keterbatasan waktu dan biaya maka penulis hanya meneliti

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus pada ibu hamil

berdasarkan faktor ibu, faktor janin dan faktor lingkungan di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie, maka dapat di

gambarkan suatu kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Ibu

Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil


Faktor janin

Faktor lingkungan

Skema 3.1 : Kerangka Konsep

28
2

B. Hipotesis Penelitian

1. Ha : Ada hubungan Faktor Ibu dengan kejadian abortus pada ibu hamil

Diwilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie

2. Ha : Ada hubungan Faktor Janin dengan kejadian abortus pada ibu

hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji Kabupaten

Pidie

3. Ha : Ada hubungan Faktor Lingkungan dengan kejadian abortus pada

ibu hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Padang Tiji

Kabupaten Pidie
3

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 : Definisi Operasional

No Variabel/ Definisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil


subvariabel operasional Ukur Ukur
Variabel Dependen
1 Kejadian Terjadinya Kuesioner Membagikan Nominal - Spontan
abortus pada keguguran kuesioner - Buatan
ibu hamil pada
masa
kehamilan
Variabel Independen
2 Faktor Kondisi Kuesioner Membagikan Nominal - Mendukung
Ibu gaya hidup kuesioner - Tidak
ibu baik Mendukung
internal
maupun
eksternal
3 Faktor Kondisi Kuesioner Membagikan Nominal - Mendukung
Janin pada kuesioner - Tidak
pertumbuha Mendukung
n dan
perkembang
an janin
4 Faktor Kondisi Kuesioner Membagikan Nominal - Mendukung
Lingkungan disekitar kuesioner - Tidak
tempat ibu Mendukung
bekerja baik
lingkungan
fisik atau
psikologis
D. Pengukuran Variabel

1. Kejadian abortus dibagi atas 2 kategori (Gant Norman F, 2010) :

a. Abortus spontan : jika responden menjawab benar > 50%

b. Abortus buatan : jika responden menjawab benar < 50%

2. Faktor ibu dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

a. Mendukung : jika skor 1- 50%

b. Tidak mendukung : jika skor 51 – 100%

3. Faktor janin dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

a. Mendukung : jika skor 1- 50%

b. Tidak mendukung : jika skor 51 – 100%

4. Faktor lingkungan dibagi menjadi 2 kategori yaitu :

a. Mendukung : jika skor 1- 50%

b. Tidak mendukung : jika skor 51 – 100%


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,A,L.(2016).Analisis Faktor Resiko Usia Kehamilan Dan Paritas


Terhadap Kejadian Abortus. Jurnal Al Maiyyah.

Anwar & Anita.dkk.(2015). Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta : CV

Budiarto.(2012). Biostatistik kedokteran. Jakarta: EGC Cunningham,dkk.

(2011).Dasar-dasar Ginekologi dan Obstetri. Jakarta :


EGC

Darmawati.(2015).Mengenali Abortus Dan Faktor Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Abortus. Idea Nursing Journal. Vol.II No.1

Dinkes Kabupaten Pidie.(2020).Data Komplikasi Maternal.Dinkes. Elisabeth.

(2015).Asuhan Kebidanan pada kehamilan.Yogyakarta:Pustaka


Baru Press

Husin,F.(2013). Asuhan Kehamilan Berbasih Bukti. Bandung: Sagung Seto

Imron.&Riyanti.(2016).Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi Dalam


Kehamilan,Persalinan,Nifas Dan Gannguan Reproduksi.Jakarta: TIM.

Kemenkes. 2016. Profil Kesehatan Aceh Tahun 2015. Jakarta

Kusmiyati,Y.(2012). Perawatan Ibu Hamil.Yogyakarta : Fitramaya.

Leveno & Kenneth,J.(2015). Manual Komplikasi Kehamilan Williams.


Jakarta: EGC

Manuaba,dkk.(2014).Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB, Jakarta;


ECG

Margareth, dkk.(2013). Kehamilan, Persalinan dan Nifas dilengkapi dengan


patologi, Yogyakarta: Nuha Medika
Putri,A.(2019). Faktor Penyebab Abortus di Indonesia.Jurnal Biomedik
(JBM), Volume 11

Rahayu,P,A.(2017). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: Selemba


Medika

Sarwono,P.(2014). Ilmu kebidanan.Jakarta:PT Bina Pustaka

Sastrawinata,S,dkk.(2012). Obstetric Patologi, Jakarta; ECG Siti,F.

(2015).Keperawatan Maternitas.Jakarta:Prenadamia Group

WHO.(2018).Unsafe Abortion : Global and Regional Estimates of the


Incidence ofUnsafe Abortion and Associated Mortality .ed. Geneva

Winkjosastro, 2010, Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Yanti,L.(2018). Faktor Determinan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil: Case


Control Study. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16.

Anda mungkin juga menyukai