Anda di halaman 1dari 4

Upacara Babad Deso tak lekang oleh

waktu

Upacara Adat merupakan salah satu kebudayaan lokal yang harus kita

selamatkan, agar tidak hilang dari ragam sosial masyarakat Indonesia.

Sebagai pramuka, kita harus memiliki pilihan untuk melindungi cara

hidup negara. Misalnya, upacara pernikahan adat, Upacara sekaten ,

Upacara babad deso, dan lain-lain. Penulis akan mencoba menjelaskan

tentang upacara adat Ruwah Deso di Desa Pagerngumbuk, Wonoayu,

Sidoarjo yang dikutip dari artikel Ahmad Irfandi (2014) di situs Pramuka

Unesa.

Ruwah Deso/Ruwatan Desa adalah budaya rata-rata individu di desa-desa

Pulau Jawa. Dalam dialek yang berbeda, tindakan ini disebut sedekah

bumi, ruwatan bumi. Pada dasarnya gerakan ini adalah untuk mensyukuri

karunia Tuhan yang diberikan kepada masyarakat sekitar. Seperti

kehidupan yang terlindungi dan tenteram, panen yang cukup, terhindar

dari penyakit, dll. Kegiatan yang menjadi adat masyarakat di desa-desa

ini secara turun temurun dan dari waktu ke waktu terus diselenggarakan

agar adat dan budaya leluhur tetap terjaga.


Salah satu alasan acara ruwah deso ini adalah aksi untuk menghormati

pembukaan desa (Babad deso) yang dilakukan oleh nenek moyang kuno.

Sebuah desa dalam rangkaian pengalamannya secara konsisten

dibersihkan (membuka lahan untuk pemukiman) oleh individu-individu

tertentu.

Menurut sejarah dari sumber terpercaya di Desa Pagerngumbuk, awal

pembukaan lahan yang menjadi cikal bakal desa ini adalah kepergian

seorang putri Kediri bernama Dewi Kilisuci yang terhenti di tempat sejak

Pangeran Lencono mengejar dirinya untuk menikahinya. Saat dalam

pelarian, Dewi Kilisuci berhenti di tempat itu dan membuka lahan untuk

pemukiman. Dari pembebasan tanah itulah desa ini akhirnya didirikan.

Gerakan perayaan tahunan desa ini biasanya memohon kepada Tuhan

untuk orang-orang yang biasa membuka lahan untuk desa. Individu yang

luar biasa, membersihkan tanah sendirian, berpuasa sendirian.

Pengorbanan seperti itu harus diingat dan didoakan oleh

individu-individu dari budaya saat ini.

Dalam gerakan ruwah deso, pemerintah desa diperlukan untuk

menyembelih seekor kerbau sebagai gambaran kejelekan manusia.

Daging kerbau yang disembelih akan dibagikan kepada warga sebagai


bahan pelengkap untuk disajikan dalam acara ruwah deso. Penduduk

yang memiliki sawah dan hasil panen wajib mengeluarkan sedekah

berupa makanan jajanan khas.

Sedekah yang dimaksud diletakkan dalam bayang-bayang seperti tempat

tidur bambu kecil, dan dilapisi kain jarik dengan motif kujang batik.

Ranjang yang telah diisi makanan sedekah bumi, dipikul oleh dua orang

dan dibawa ke makam desa.

Namun dalam perkembangannya, acara sedekah/kenduri semacam ini

disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat yang sebagian besar

menganut agama Islam. Untuk mengurangi kesan syirik, pelaksanaan

ruwah deso tidak lagi dilaksanakan di makam desa.

Namun dilaksanakan dibalai desa. Di sana semua warga dan saudara yang

jauh bekerja di luar desa , berkumpul kembali untuk menjalin

silaturrahmi dan doa bersama. Kesan animisme dan dinamisme

dihilangkan agar tidak bertabrakan dalam kehidupan masyarakat. Acara

ruwah deso saat ini sepenuhnya acara untuk mengucap syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang diberikan kepada masyarakat

desa Pagerngumbuk hingga saat ini.


Bukan lagi ajang mengagung-agungkan lelembut yang membantu

pembabatan desa jaman dahulu. Doa-doa yang diucapkan juga

merupakan permohonan untuk orang-orang luar biasa yang biasa

membuka tanah desa. Tapi masih ada orang-orang tertentu yang masih

percaya dan masih memegang teguh keberadaan lelembut yang

menguasai desa. Tentunya semua kepercayaan tersebut harus dihormati

agar tercipta kehidupan masyarakat desa yang harmonis, aman dan

tenteram.

Anda mungkin juga menyukai