Anda di halaman 1dari 4

MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM

Nama : Rosyani Ada


NIM : 0711520076
Kelas : HE20X Blended Learning
Dosen Pengampu :
Pertemuan : Ke-2

Jelaskan perbedaan antara aliran formalitas dengan aliran sejarah & Kebudayaan
dalam pemikiran sosiologi hukum.

Jawab:
1. Aliran Formalistis/Teori Positivisme Hukum

Dalam bentuknya yang paling murni, maka positivisme hukum itu adalah aliran dalam ilmu
pengetahuan hukum, yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu semata-mata “dari
dirinya sendiri” dan menolak memberikan sedikit pun putusan nilai mengenai peraturan
hukum. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 138).
Konsep Dasar
• Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar kehidupan sosial,
bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa dan juga bukan karena hukum alam,
melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang.
• Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal
dipisahkan dari bentuk hukum material;
• Meskipun isi hukum bertentangan dengan keadilan masyarakat hukum tersebut tetap
berlaku.
Kebaikan:
• Menjamin adanya kepastian hukum
• Hukum mudah ditemukan karena tertampung dalam undang-undang.
• Adanya keseragaman undang-undang dan berlaku untuk semua orang.
• Adanya pegangan/pedoman yang jelas bagi penegak hukum.
Kelemahan:
• Hukum positif kadang-kadang tidak mampu untuk menghadapi suatu situasi di mana
hukum sendiri dijadikan alat ketidak adilan
• Hakim sebagai corong undang-undang
• Pemikiran hakim bersifat sillogismus
• Sulit mengikuti perkembangan masyarakat.

Tokoh-Tokoh Teori Positivisme Hukum:
John Austin, terkenal dengan pahamnya yang mengatakan bahwa:
hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau
yang memegang kedaulatan, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk
mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang
memegang dan mempunyai kekuasaan.
hukum sebagai suatu sistem logika yang bersifa tetap dan tertutup, dan oleh karena
itu ajarannya dinamakan analytical jurisprudence.Ketiga, hukum postif harus
memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
Di luar itu bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality).

Hans Kelsen, terkenal dengan ajaran hukum murni (Reine Rechslehre). Teori ini
menerangkan bahwa hukum itu sesusngguhnya haruslah merupakan sesuatu hukum, yang
dapat berlaku bagi semua orang tidak terkecuali yang dimurnikan sama sekali dari berbagai
unsur yang sangat berbahaya seperti politik, agama, sejarah, sosiologi, etik, psikologi dan
sebagainya. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 140).
Murni di sini mempunyai dua arti: murni secara metodis (artinya dengan memakai metode
sendiri dari ilmu pengetahuan normatif) dan dimurnikan dari segala macam unsur yang tidak
yuridis. Teori lain Hans Kelsen yang terkenal adalah “Stufentheorie”, yaitu menjelskan bahwa
sistem hukum hakikatnya merupakan ssistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah
hingga peringkat tertinggi. Teori ini menerangkan bahwa berlakunya suatu aturan hukum
karena aturan itu berlandaskan pada suatu aturan yang lain, yang lebih tinggi. Dan aturan
lebih tinggi itu pada gilirannya berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi (Stufenbau).
Kaidah atau aturan yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan itu dinamakan sebagai
kaedah dasar atau Grundnorm. Jadi menurut Kelsen, setiap sistem hukum merupakan
stufenbau dari pada kaidah-kaidah. Di puncak Stufenbau tersebut terdapatlah Grundnorm
yang merupakan kaedah dasar daripada ketertiban hukum nasional.

H.L.A. Hart. Hart, membedakan positivisme seperti yang banyak disebut dalam Ilmu Hukum
Kontemporer sebagai;
1. anggapan bahwa undang-undang merupakan perintah manusia;
2. bahwa tidak perlu ada hubungan hukum dengan moral;
3. konsepsi-konsepsi hukum layak dilanjutkan, harus dibedakan dari penelitian historis
mengenai sebab-sebab atau asal usul dari undang-undang dari penelitian-penelitian
sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala lainnya;
4. bahwa sistem hukum merupakan sistem tertutup;
5. anggapan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atuu
dipertimbangkan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentsi rasional, pembuktian atau percobaan. (Friedmann, p.256-267).
H.L.A. Hart. Membagi aturan hukum menjadi :
1. Primary Rules, yakni aturan pokok yang menentukan suatu perbuatan “ini boleh” dan
“ini tidak boleh dikerjakan”.
2. Secondary Rules, yakni aturan pembantu yang memberi wewenang kepada yang
berwajib, yang telah mengadakan spesialiasi dalam pemeliharaan hukum. Aturan ini
seolah-olah merupakan aturan organisasi, yang memberikan struktur dalam
pembentukan dan pelaskanaan hukum. Ada tiga jenis aturan ini :
1. Seccondary rules of recognition, yakni aturan pembantu mengenai pengakuan
yang menyatakan kesahan aturan primer. misalnya sumber hukum formal,
yakni kebiasaan,undang-undang yurisprudensi dan perjanjian internasional.
2. Seccondary rules of change, yakni aturan pembantu untuk perubahan hukum.
Misalnya prosedur akan ditetapkan untuk pembentukan aturan hukum
(misalnya akan dibentuk badan pembuat undang-undang).
3. Seccondary rules of adjudication, aturan pembantu untuk membentuk pejabat
kehakiman. Misalnya aturan pembentukan badan yang menetapkan apabila
suatu aturan dibatalkan dan pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh
badan yang pertama diserahkan kepada badan lain.

2. Aliran Sejarah dan Kebudayaan


Mazhab sejarah dan kebudayaan, mempunyai pendirian yang sangat berlawanan
dengan mazhab formalistis. Mazhab ini justru menekankan bahwa hukum hanya dapat
dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut
timbul. Seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah Fridrich Karl Von Savigny (1779-
1861) ia mengatakan yang dianggap sebagai pemuka ilmu sejarah hukum. Von Savigny
berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat
(Volksgeist). Dia berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang. Von Savigny, seorang
Jerman, waktu itu menantang kodifikasi Jerman. Keputusan-keputusan badan legislatif
dapat membahayakan masyarakat oleh karena tidak selalu sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat.
Von Savigny selanjutnya mengemukakan betapa pentingnya untuk meneliti
hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilai-nilainya.
Pendapat tersebut, pada dewasa ini hampir selalu menjadi pegangan bagi para sosiolog di
dalam arti bahwa suatu sistem hukum sebenarnya merupakan bagian dari sistem sosial
yang lebih luas dan bahwa antara sistem hukum dengan aspek-askep sistem sosial lainnya,
terdapat hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi. Hal lain yang
menjadi salah satu pokok ajaran Von Savigny adalah penekanannya pada aspek dinamis
dari hukum yang didasarkan pada sejarah hukum tersebut. Kelemahan pokok dari teori
Von Savigny terletak pada konsepnya mengenai kesadaran hukum yang sangat abstrak.
Apakah suatu kesadaran hukum benarbenar terdapat, dan kalau ada sampai sejauh
manakah pentingnya dalam membentuk hukum? Kemudian di sini timbul pula pertanyaan
apakah hukum hanya merupakan pencerminan dari pada kesalahan yang berlaku umum,
atau apakah justru hukumlah yang membentuk kesadaran tersebut? Walaupun
mengandung beberapa kelemahan, namun teori Von Savigny dapat dianggap sebagai
langkah utama ke arah pengembangan-pengembangan konsep sosial mengenai sistem
hukum. Seorang tokoh lain dari mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888) yang
terkenal sebagai penulis buku ”Ancient Law”. Teorinya yang terkenal adalah perihal
pengembangan hukum dari status ke kontrak yang sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks.
Menurut Maine, hubungan-hubungan hukum yang didasarkan pada status-status
warga-warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan hilang apabila
masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat yang modern dan kompleks. Pada
masyarakat-masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan-hubungan, hukum
didasarkan pada sistem-sistem hak dan kewajiban yang didasarkan pada kontrak secara
suka rela dibuat dan dilakukan oleh para pihak. Pembedaan antara masyarakat-masyarakat
sederhana dengan yang modern dan kompleks adalah sejalan dengan pembedaan yang
dilakukan oleh para sosiolog atas masyarakat-masyarakat sederhana yang secara relatif,
bersifat statis dan homogin, dengan masyarakat-masyarakat yang kompleks, dinamis dan
heterogen.

Anda mungkin juga menyukai