MAKALAH PPI For Presentasi
MAKALAH PPI For Presentasi
PEMBAHASAN
A. Profil K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
K.H Abdurrahman Wahid atau yang sering dipanggil Gus Dur lahir di
Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Gus Dur adalah
panggilan kehormatan khas Pesantren. Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara. Gus Dur sendiri, lahir dalam keluarga yang sangat terhormat
dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H.
Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak
ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan
kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam
Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj.
Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah
dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan
Inayah.
1. Awal Karir K.H Abdurrahman Wahid
Pada tahun 1944, Wahid atau Gusdur pindah dari Jombang ke Jakarta,
tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan
dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah
deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur
kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan
Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah
ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman
Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim,
majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus
Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah
tidak menjadi menteri agama. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal
dunia akibat kecelakaan mobil yang dialaminya.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke
Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia dinyatakan tidak naik kelas.
Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok
Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari
SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di
Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya
empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas
di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru
dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.
4. Masa jabatan kedua Gus Dur dan aksi melawan Orde Baru
Pada Tahun 1989, Wahid atau Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua
NU pada Musyawarah Nasional, dapat dikatakan ini merupakan jabatan
tahap dua bagi dirinya. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan
Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang
pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara
itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU di seluruh Indonesia.
Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk
mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta.
Namun, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara tersebut
berlangsung, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan
bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil
dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal
Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju.
Selama masa jabatan yang ketiga ini, Gus Dur memulai aliansi politik
dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Megawati yang menggunakan nama ayahnya yakni Soekarno memiliki
popularitas yang besar dan berencana menekan rezim Soeharto. Wahid
menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai
Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998.