Anda di halaman 1dari 7

BAB III

PEMBAHASAN
A. KESALAHPAHAMAN TERHADAP PERAN LOGIKA

Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu


argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan
dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Isu utama adalah adakah kriteria
universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas
argumentasi hukum?.
Suatu tradisi yang sudah sangat lama dalam argumentasi hukum adalah
pendekatan formal logis. Untuk analisa rasionalitas proposisi dikembangkan 3 model
logika yaitu: 1. Logika silogistis, 2. Logika proposisi, 3. Logika predikat.
Untuk analisa penalaran dikembangkan logika diontis.
Diantara para penulis memang terdapat perbedaan pendapat mengenai peran
logika formal dalam argumentasi hukum, seperti contoh MacCormick, logika hanya
mempunyai peran terbatas, bahkan ada yang berpendapat logika tidak penting, seperti
Perelman dan Toulmin.
1. Kesalahpahaman terhadap peran logika terutama berkaitan dengan
keberatan terhadap penggunaan logika silogistik (syloistische logica).
Terjadinya kesalahpahaman karena pendekatan tradisional dalam argumentasi
hukum yang mengandalkan model sillogisme.
2. Kesalahpahaman yang kedua berkaitan dengan peran logika dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-pertimbangan
yang melandasi keputusan. Menurut mereka proses pengambilan keputusan
tidak selalu logis, sedangkan bagi mereka yang mendukung logika berpendirian
bahwa antara proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab suatu
keputusan dan tanggung jawab suatu keputusan tidak dapat dipisahkan. Bagi
proses logika tidak penting, tapi bagi pertimbangan logika keputusan sangat
penting. Pertanyaan tentang bagaimanakah merumuskan argumentasi, bukanlah
pertanyaan logika, tapi pertanyaan ajaran metode dan teori penemuan hukum.
3. Kesalahphaman yang ketiga berkaitan dengan alur logika formal dalam
menarik suatu kesimpulan.
4. Kesalahpahaman yang keempat, logika tidak berkaitan dengan aspek
substansi dalam argumentasi hukum.
5. Kesalahpahaman yang kelima, menyangkut tidak adanya kriteria formal yang
jelas tentang hakekat rasionalitas nilai didalam hukum1.

1
Philipus M.hadjon, Argumentasi hukum,2016. Hal.13-14
Hal yang sama juga dipaparkan oleh R.G. Soekadijo tentang logika. Kata
“Logika” sebagai istilah, berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketetapan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang
jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran . adapun bentuk-
bentuk pemikiran yang lain, mulai yang paling sederhana ialah: pengertian atau konsep
(conceptus, concept), proposisi atau pernyataan (proposition, statement) dan penalaran
(ratio cinium, reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian (konsep) dan tidak
ada penalaran tanpa proposisi. Untuk memahami penalaran, maka ketiga bentuk
pemikiran harus diphami bersama-bersama.

B. KESESATAN (FALLACY)

Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu, karna sesuatu hal,
kelihatan tidak masuk akal. Kalau orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan
ia sendiri tidak melihat kesesatannya, penalaran itu disebut paralogis. Kalau penalaran
yang sesat itu dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut
sofisme. Penalaran sesat karna bentuknya tidak sahih (tidak valid), hal itu terjadi karena
pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika.
Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan
konklusi. Kesesatan demikian itu adalah kesesatan relevansi mengenai materi penalaran.
Model kesesatan yang lain adalah kesesatan karena bahasa2.
Kesesatan juga bisa disebut kerancuan berpikir. Perkataan fallacy dalam bahasa
inggris secara umum berarti gagasan atau keyakinan yang salah (palsu), misalnya
“keyakinan bahwa semua manusia adalah jujur” adalah suatu fallacy. Tetapi, para logici
menggunakan istilah tersebut dalam pengertian teknik yang lebih sempit, yakni sebagai
kekeliruan dalam penalaran atau argumen. Dalam arti teknis yang sempit itu, perkataan
fallacy kita terjemahkan dengan istilah “kerancuan berfikir” atau “berfikir rancu” atau
“kesesatan berfikir”, yang semuanya menunjuk pada jalan pikiran yang tidak tepat atau
keliru. Jadi, kerancuan berpikir adalah bentuk-bentuk atau jenis-jenis argumen yang tidak
tepat atau yang salah (incorrect argument). Sering bentuk-bentuk argumen yang keliru
tampak menyerupai argument yang tepat, namun jika diteliti secara cermat maka akan
terbukti tidak demikian. Dalam kehidupan sehari-hari, argument yang rancu ini meskipun
tidak tepat, namun secara psikologis sering sangat persuasive, yakni meyakinkan atau
mempunyai daya pengaruh yang besar pada orang lain yang dapat menyebabkan orang
terdorong untuk menarik atau menerima kesimpulan yang keliru, dan mengambil
keputusan serta melakukan tindakan yang salah.
Irving M.Copi membagi bentuk-bentuk argument yang rancu itu dalam dua
kelompok besar, yakni3:

2
Philipus M.hadjon, Argumentasi hukum,2016. Hal.15
3
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.59
1. Formal fallacy atau kerancuan formal
2. Informal fallacy atau kerancuan informal

Kerancuan formal adalah bentuk-bentuk jalan pikiran yang keliru yang


memperlihatkan bentuk-bentuk luar yang sama dengan bentuk-bentuk argument yang
valid. Kesalahan yang terjadi pada kerancuan formal adalah berupa pelanggaran terhadap
aturan-aturan formal dalam beragumen atau menarik kesimpulan. Misalnya, argunmen
yang melanggar aksioma atau dalil silogisme. Contoh dari kerancuan formal antara lain
adalah: kerancuan empat term, kerancuan term tengah, kerancuan mayor tak sah,
kerancun premis-premis negative.

Pada kerancuan informal tidak terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan formal


dalam beragumen, sekurang-kurangnya tidak terjadi pelanggaran secara langsung
terhadap aturan-aturan formal. Meskipun demikian, kesimpulan yang diajukan atau
ditarik sesungguhnya tidak mendapat dukungan premis-premis yang diajukan dalam
argument yang bersangkutan. Irving Copi membagi jenis-jenis kerancuan informal ke
dalam dua kelompok, yakni kerancuan relevansi dan kerancuan ambiguitas atau
kerancuan arti ganda.

1. Kerancuan Relevansi
Kerancuan relevansi adalah kerancuan pada argument yang premis-premisnya secara
logical tidak relevan atau secara substansial tidak ada snagkut pautnya dengan kebenaran
atau kesalahan ari kesimpulan yang mau ditegakkan oleh premis-premis yang diajukan.
Artinya antara prmis-premis dan kesimpulan tidak terdapat hubungan logical. Walaupun
demikian, argument itu dikemukakan sedemikian rupa sehingga secara psikologis terasa
atau tampak seolah-olah antara premis dan kesimpulan terdapat hubungan logical. Irving
Copi mengemukakan sepuluh jenis kerancuan relevansi.

a. Irrelevant Conclusion (Ignoratio Elenchi, Konklusi Tidak Relevan)


Irrelevant conclusion terjadi jika argument yang sesungguhnya dimaksudkan untuk
mendukung sebuah kesimpulan tertentu, namun diarahkan dan digunakan untuk
membenarkan sebuah kesimpulan yang lain. Contoh: dalam sebuah perkara pidana,
seorang jaksa dalam usahanya untuk membuktikan secara meyakinkan bahwa
perkara pembunuhan yang bersangkutan adalah sangat kejam dan biadab. Kerancuan
konklusi irrelevant akan terjadi, jika berdasarkan kebenaran tentang kekejaman dan
kebuasan tersebut ia menarik kesimpulan bahwa terdakwa adalah pembunuhnya4.

b. Argumentum Ad Baculum (Appeal To Force;Merujuk Kekuatan)


Kerancuan ini terjadi jika orang dengan mendasarkan diri pada kekuatan atau
ancaman penggunaan kekuatan memaksakan agar sebuah kesimpulan diterima atau

4
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.60
disetujui. Contoh; seorang jutawan kepada seorang redaktur sebuah surat kabar yang
hendak memberitakan perihal anaknya yang terlibat suatu skandal berkata: “saudara
redaktur, pasti anda sependapat dengan saya bahwa peristiwa yang menyangkut
anak saya terlalu kecil nilai beritanya bagi surat kabar sebesar surat kabar anda ini.
Bukankah perusahaan saya setiap tahun menghabiskan jutaan rupiah untuk biaya
pemasangan iklan pada surat kabar yang anda pimpin”

c. Argumentum Ad Hominem (Abusive)


Kerancuan ini terjadi jika suatu argument diarahkan untuk menyerang pribadi
orangnya, khususnya dengan menunjukkan kelemahan atau kejelekan orang yang
bersangkutan, dan tidak berusaha untuk secara rasional membuktikan bahwa apa
yang dikemukakan orang yang diserang itu adalah salah. Contoh: pandangan filsafat
Bacon tidak dapat dipercaya karena ia pernah dipecat dari jabatannya sebagai akibat
dari ketidakjujurannya (korupsi).

d. Argumentum Ad Hominem (Circumstantial)


Kerancuan ini terjadi, jika sebuah argument diarahkan pada pribadi orangnya dalam
kaitan dengan situasi (keadaan) orang itu sendiri. Misalnya: “tentusaja ia tidak akan
setuju jika ijin baru untuk membuka sebuah nite club diberikan, karena ia adalah
seorang pendeta (ulama)”. Argumentum ini juga sering digunakan dalam periklanan.
Misalnya dalam film iklan rokok dunhil terdengar ucapan denga suara
baritone.”hanya sedikit orang yang mampu menghargai kualitas suprim”.

e. Argumentum Ad Ignorantiam
Kerancuan ini terjadi, jika sesuatu hal dinyatakan benar semata-mata karena belum
dibuktikan bahwa hal itu salah, atau sebaliknya sesuatu dinyatakan salah karena
belum dibuktikan bahwa hal itu benar. Contoh: setan itu tidak ada karena belum
pernah buktikan bahwa setan itu ada. Argumentum ad ignorantium pada dasarnya
merupakan jalan pikiran yang keliru dan karena itu salah, kecuali dalam satu hal saja,
yaitu dalam hubungan dengan proses peradilan pidana. Dalam peradilan pidana
diterima sebagai asas dasar bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai
kesalahannya dibuktikan dalam persidangan peradilan yang jujur dan terbuka. Asas
ini disebut asas presumption of innoncence atau praduga tidak bersalah yang
sebenarnya berintikan argumentum ad ignorantiam. Namun, dalam praktik peradilan,
asas praduga tak bersalah ini dianggap sebagai sebagai salah satu cirri dari suatu
Negara yang beradab5.

f. Argumentum Ad Misericordiam (Appeal To Pity;Menggugah Rasa Iba)

5
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.60-61
Kerancuan ini terjadi, jika rasa kasihan digugah untuk memndorong diterimanya atau
disetujuinya suatu kesimpulan. Disini terjadi pencampuradukan antara perasaan dan
jalan pikiran orang, sehingga orang terdorong untuk menyetujui atau tidak
menyetujui sesuatu. Argumentum ini sering digunakan dalam peradilan yang
menggunakan system peradilan yang dipengaruhi system anglo saksis (system jury).
Contoh: dalam kasus seorang anak muda yang diadili karena membunuh ibu dan
ayahnya sendiri dengan kapak, memohon kepada hakim untuk memberikan
keringanan hukuman dengan alasan bahwa ia adalah seorang yatim piatu.

g. Argumentum Ad Populum
Kerancuan ini terjadi jika orang berupaya untuk mengemukakan dan memenangkan
dukungan untuk suatu pendapat (pendirian) dengan jalan menggugah perasaan atau
emosi, membangkitkan semangat berkobar-kobar, membangkitkan rasa ingin
memiliki yang menyala-nyala pada masa rakyat. Argumentum ini sering digunakan
dalam bidang periklanan, politik atau untuk menghasut (demagogi).

h. Argumentum Ad Verecundiam
Kerancuan ini terjadi jika usaha untuk memperoleh pembenaran atau dukungan atas
suatu kesimpulan (pendapat) dilakukan dengan jalan mendasarkan diri pada
kewibawaan orang terkenal. Kerancuan ini terjadi, jika sebuah pendapat diajukan
atas dasar pendapat orang yang terkenal namun yang keahliannya terletak dibidang
lain. Misalnya, berupaya meyakinkan kebenaran suatu pendapat yang terletak dalam
bidang politik atas dasar ucapan Einstein, seorang ahli fisika, tentang masalah politik
tersebut. Contoh lain: iklan bir bintang.

i. False Cause (Kausa Palsu)


Kausa palsu adalah suatu argument yang tidak tepat menyatakan adanya hubungan
kausal (sebab akibat) anatara dua hal atau lebih, padahal hubungan kausal itu
sebenarnya tidak ada. Kausal palsu itu ada dua jenis, yaitu: 1). Non kausa pro kausa,
kerancuan ini terjadi jika sesuatu yang bukan sebab dinyatakan sebab dari sesuatu
hal. 2). Post hoc ergo hoc, argument yang menarik suatu kesimpulan bahwa suatu
kejadian adalah sebab dari terjadinya suatu peristiwa tertentu semata-mata
berdasarkan alasan bahwa kejadian yang disebut pertama itu terjadi lebih dahulu dari
peristiwa tertentu tersebut6.

j. Complex Question (Pertanyaan Majemuk)


Kerancuan ini terjadi jika diajukan sebuah pertanyaan majemuk tetapi
kemajemukannya tidak diketahui atau dikaburkan dan untuk pertanyaan tersebut
dituntut hanya sebuah jawaban tunggal.

6
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.61-64
k. Begging The Question (Petition Principi)
Mengasumsikan kebenaran dari apa yang mau dibuktikan sebagai benar dalam upaya
untuk membuktikan kebenarannya. Sering penggunaan kata-kata untuk
mengungjapkan argument ini mengaburkan fakta bahwa tersembunyi dalam salah
satu dari premis-premis yang diasumsikan tercantum kesimpulannya. Contoh:
membolehkan tiap orang kebebasan menyatakan pendapat tanpa batas, secara umum,
akan selalu menguntungkan atau baik bagi Negara; sebab ikhwalnya akan sangat
kondusif bagi kepentingan masyarakat bahwa setiap individu seyogianya menikmati
kebebasan, secara sempurna tanpa batas, untuk menyatakan perasaan-perasaannya.

2. Kerancuan Ambiguitas
Kerancuan ambiguitas terjadi jika dalam suatu argument perumusannya memuat
perkataan atau ungkapan yang mempunyai arti gands yang pada saat berlangsungnya
argument itu arti dari perkataan atau ungkapan itu mengalami pergeseran tanpa diketahui
atau disadari sehingga menyebabkan ditariknya kesimpulan yang keliru.

a. Ekuivokasi
Dalam setiap bahasa selalu terdapat perkataan-perkataan yang mempunyai lebih dari
satu arti. Kerancuan ini akan terjadi, jika perkataan yang sama digunakan dalam arti
yang berbeda dalam arti yang sama. Misalnya: karena tak kenal maka tak cinta, dan
tak cinta selalu menuntut pengorbanan, maka perkenalan selalu menuntut
pengorbanan.

b. Amphiboly
Kerancuan ini terjadi, jika didalam suatu argument dikemukakan suatu pendirian
berdasarkan premis-premis yang mempunyai arti ganda, dan arti ganda itu disebabkan
oleh konstruksi gramatikal. Misalnya dalam ucapan “terbungkus dalam sebuah
Koran, gadis seksi itu membawa tiga potong pakaian nya yang baru”

c. Aksentuasi
Kerancuan ini terjadi bila dalam suatu argument terjadi perubahan makna yang
disebabkan oleh penekanan (aksentuasi) pada bagian atau perkataan tertentu dari
argument atau pernyataan yang bersangkutan7. Misalnya: “anda berpendapat bahwa
adalah salah jika kita meminta tambahan dana untuk proyek ini. Saya sepenuhnya
sependapat dengan anda, dan karna itu kita harus mencari orang lain untuk meminta
tambahan dana itu buat kita”. Kernacuan pada contoh ini adalah aksentuasi yang
diletakkan pada perkataan “kita” dalam pernyataan pertama.
7
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.65-66
d. Komposisi
Kerancuan ini terjadi jika orang dalam berargumen mencampuradukkan antara
unsure-unsur dan keseluruhan.

e. Divisi
Kerancuan ini terjadi, jika berdasarkan apa yang berlaku bagi keseluruhan ditarik
kesimpulan bahwa hal yang sama juga berlaku bagi bagian-bagian (unsure-unsur).
Contoh: semua mobil adalah berat; karena itu tiap bagian dari mobil adalah berat8.

8
B.Arief Sidharta, pengantar logika, 2008. Hal.66-67

Anda mungkin juga menyukai