Anda di halaman 1dari 6

Naomi Hasibuan

XI IPS 1

Sosiologi (Bentuk-bentuk Integrasi Sosial)

Rabu, 28 April, 2021

1. Integrasi Koersif

Sumber: BBC news Indonesia

Contoh Berita:

Demonstrasi mahasiswa: Polri diminta 'hentikan cara arogan dan kekerasan'

25 September 2019.

Tindakan kepolisian dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kawasan gedung DPR/MPR, Jakarta,
Selasa (23/09), mendapat sorotan dari kalangan pegiat hak asasi manusia.

Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, meminta kepolisian untuk menghentikan
pendekatan dengan cara kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

"Hentikan cara-cara lama yang arogan dan kekerasan terhadap mahasiswa. Itu hanya mengundang
kemarahan mahasiswa dan masyarakat. Bebaskan segera yang ditangkap, jangan halangi akses bantuan
hukum kepada mereka. Polisi yang terbukti melakukan kekerasan harus dihukum," ujar Koordinator
KontraS, Yati Andriyani, dalam keterangan tertulisnya kepada BBC Indonesia, Rabu (25/09).

KontraS, lanjutnya, akan membuka Posko Pengaduan bersama dengan jaringan masyarakat sipil lainnya
guna memfasilitasi korban kekerasan. Dalam unjuk rasa menentang pengesahan sejumlah rancangan
undang-undang, termasuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan revisi UU Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), seorang mahasiswa dilaporkan mengalami luka parah.

Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) mengonfirmasi salah satu mahasiswanya menjadi korban saat
berdemo di kawasan gedung DPR/MPR.

"Bahwa saat ini Faisal Amir sedang dalam kondisi stabil setelah mendapatkan penanganan medis secara
maksimal di RS Pelni," kata Rektor UAI dalam keterangan pers, Rabu (25/09).

Mahasiswa angkatan 2016 itu diketahui ditemukan terkapar di kawasan DPR dengan luka kepala yang
cukup serius. Bukan hanya Faisal, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat empat jurnalis
mengalami luka dan trauma pascaunjuk rasa di kawasan DPR/MPR.
"Sampai Rabu (25/9) pagi, AJI Jakarta telah menerima laporan dari empat jurnalis yang mengalami
intimidasi, kekerasan dan penghalang-halangan kerja peliputan yang dilindungi oleh Undang-Undang
Pers," kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani dalam keterangan tertulisnya kepada BBC News Indonesia.

Dari hasil konfirmasi dan klarifikasi, korban kekerasan menimpa jurnalis Kompas.com, Nibras Nada
Nailufar, yang diduga mengalami intimidasi saat merekam perilaku polisi yang melakukan kekerasan
terhadap seorang warga di kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Selasa (24/09) malam.

"Dalam peristiwa ini, polisi melarang korban merekam gambar dan memaksanya menghapus rekaman
video kekerasan. Nibras bahkan nyaris dipukul oleh seorang polisi," lanjut Asnil.

Kekerasan juga terjadi terhadap jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Berdasarkan laporan AJI Jakarta,
Vanny dipukul dan diminta menghapus foto dan video rekamannya mengenai kekerasan yang dilakukan
polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta.

Kemudian, aparat kepolisian juga diduga memukul dan menendang jurnalis Katadata, Tri Kurnia
Yunianto. Padahal saat itu Kurnia telah menunjukkan identitas pers, tulis laporan AJI Jakarta.

Di lokasi lainnya, terjadi pengrusakan terhadap mobil yang digunakan jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad
oleh massa yang tidak diketahui. Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani mengingatkan kembali bahwa jurnalis
dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh Undang Undang Pers. Setiap orang yang menghambat kerja
junalis bisa terancam pidana penjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

"Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan,"
kata Asnil.

Menanggapi rangkaian kejadian dalam demonstrasi tersebut, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi
Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, memaparkan ada pola aksi unjuk rasa yang terjadi di Indonesia.

"Demo damai itu dari jam 10 sampai dengan 18 WIB. Bila betul-betul disampaikan dengan baik dapat
dipastikan tidak ada ekses baik korban dan kerugian-kerugian materil yang diakibatkan," kata Dedi
dalam keterangan tertulis.

Lebih lanjut, Dedi menulis, jika aksi unjuk rasa berlangsung sampai lebih dari pukul 18.00 WIB, "dapat
dipastikan bukan demonstrasi tapi sudah menjelma/ menjadi rusuh".

"Dan dapat dipastikan akan timbul korban baik dari masyarakat dan aparat serta terjadi tindakan-
tindakan anarkis secara sistematis," katanya.

Setelah peristiwa ini terjadi, kata Dedi, akan tersebar luas konten-konten berita bohong. "Ini saya amati
berbasis data-data yang saya miliki selama di Humas," jelas Dedi. Sejauh ini kepolisian telah menangkap
94 orang dalam demonstrasi di sekitar Gedung DPR/MPR pada Selasa (24/09).
"Kita sudah amankan beberapa orang, itu lebih kurang jumlahnya sebanyak 94 orang," kata Kapolda
Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono. Dari 94 orang itu, diungkapkan Gatot, salah satunya kedapatan
membawa bom molotov yang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Barat.

"Salah satu yang sudah kita tangkap bawa molotov adalah seorang pelajar yang sudah kita amankan di
Polres Jakbar," tuturnya.

Penanganan aksi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 7/2012 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka
Umum.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) telah diatur pelaksanaan waktu dan tempat mengenai unjuk rasa. Di
tempat terbuka aksi unjuk rasa yang dibolehkan antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00.

Sementara di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00. Namun, ketika aksi tak
mengikuti waktu tersebut, berdasarkan aturan ini, aparat kepolisian dapat menghentikannya dengan
sejumlah tahapan dengan cara persuasif, dan 'upaya paksa' sebagai jalan terakhir.

Upaya paksa ini kemudian diatur dalam Pasal 28 di mana polisi harus menghindari aksi kekerasan.

Pasal 28. Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra
produktif, antara lain:

•tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku,
menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;

•keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

•tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;

•tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

•tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;

•melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundangundangan

2. Integrasi Fungsional

Sumber: Indonesiakaya.com

Berita:
Suku Baduy, Bersinergi Dengan Alam Menjaga Aturan Adat

(Kerja sama Suku Baduy Dalam & Suku Baduy Luar)

Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup
bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Banten. Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan
adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat
dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang
elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar
Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.
Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy
Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan
semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu’un selaku ketua adat tertinggi dibantu
dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat
Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang
berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan
berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi,
dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.

Kerja sama yang terjadi sangatlah terlihat dengan saling menjaga dan menguntungkan dari kegiatan
yang mereka lakukan. Suku Baduy Luar yang bertugas untuk melindungi Suku Baduy Dalam agar tidak
terkontaminasi dengan dunia luar agar kerap untuk menjaga kelestarian budaya yang ada. Lalu
sebaliknya dengan Suku Baduy Dalam, mereka menjaga kelestarian alam dengan sepenuh hati agar tidak
terjadi perubahan dalam melestarikan budaya mereka yang sangat melekat.

3. Integrasi Normatif

Sumber: AntaraNews

Berita:

Wamenkumham akui pasal tentang pencemaran nama baik meresahkan


Kamis, 18 Maret 2021 15:48 WIB

Yogyakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward OS
Hiariej tidak memungkiri pasal 27 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) mengenai pencemaran nama baik telah memunculkan keresahan di masyarakat.

"Tidak dimungkiri pasal ini menimbulkan keresahan. Terjadi multitafsir atau distorsi antara penyampaian
kritik dan pencemaran nama baik sehingga terjadi saling lapor," kata Eddy, demikian ia disapa, saat
membuka Diskusi Publik Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Eddy, tujuan awal dirumuskannya UU ITE adalah untuk mencegah terjadinya perbuatan yang
merugikan orang lain di dunia maya, mulai dari peretasan sampai penyebaran kabar bohong atau hoaks.
Pelanggaran hukum di dunia nyata, menurut dia, saat ini memungkinkan terjadi secara virtual.

"Sehingga UU (ITE) ini diperlukan karena kegiatan di ruang cyber tidak dapat didekati dengan ukuran
hukum konvensional saja. Kalau ini ditempuh (dengan hukum konvensional) maka banyak yang lolos dan
kesulitan dalam pemberlakuan hukum," kata dia.

Namun demikian, berikutnya muncul gagasan di DPR RI untuk memasukkan pencegahan tindakan
pelanggaran hukum lain di dunia maya yang salah satunya bisa mencakup masalah penghinaan atau
pencemaran nama baik sehingga muncul Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 dalam UU ITE.

Tiga pasal itu, menurut dia, sangat multitafsir karena tidak memenuhi syarat utama dalam asas legalitas
yang salah satunya berbunyi tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang jelas. "Apakah
Pasal 27, 28, dan Pasal 28 jelas? tidak, tidak jelas," ujar Eddy.

Ia mencontohkan dalam UU ITE, penjelasan mengenai Pasal 27 sekadar disebutkan bahwa unsur
penghinaan yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 310 KUHP tentang penistaan dan Pasal 311 KUHP
tentang fitnah.

Menurut dia, hal itu berbeda dengan saat pembentukan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketika
mengadopsi sejumlah kejahatan jabatan dari KUHP, pasal-pasal sepenuhnya diambil dan ditulis ulang di
dalam UU itu.

Akibatnya, Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur pencemaran nama baik kerap diprotes oleh berbagai
kalangan masyarakat.

"Argumentasi yang kerap muncul adalah karena kriteria dan unsur perbuatan yang tidak jelas dan
multitafsir," kata dia.

Oleh sebab itu, melalui diskusi publik tersebut, ia berharap para pakar, praktisi, atau masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan masukan kepada tim kajian yang memiliki tugas merumuskan kriteria
implementatif atas pasal tertentu dalam UU ITE yang dianggap menimbulkan multitafsir.

Terhadap pasal yang multitafsir, menurut dia, Presiden Joko Widodo akan mengajak DPR melakukan
revisi UU ITE.
"Berbicara revisi UU kan tidak semudah membalik telapak tangan. Membutuhkan proses paling tidak
dua sampai tiga bulan karena setelah ada pembahasan masih berhadapan dengan DPR, muncul daftar
inventarisasi masalah, baru kemudian akan dibahas lalu disahkan," kata dia.

UU ITE, kata Eddy, pada prinsipnya harus dapat melindungi berbagai kepentingan hukum untuk
melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan.

Selain itu, beleid itu harus pula melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi
sebagai hak yang bersifat hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan Pasal 28F UUD NRI
1945 dan hak dasar akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik orang lain yang
dilindungi berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.

Anda mungkin juga menyukai