OLEH :
NIM.2014191086
TAHUN 2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR DAN ASKEP
WAHAM
Klasifikasi
Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu :
Jenis Waham Pengertian Perilaku klien
Waham kebesaran Keyakinan secara “Saya ini pejabat di
berlebihan bahawa kementrian semarang!”
dirinya memiliki “Saya punya
kekuatan khusus perusahaan paling besar
atau kelebihan lho “.
yang berbeda
dengan orang
lain, diucapkan
berulang- ulang
tetapi tidak
sesuai
dengan kenyataan
Waham agama Keyakinan “ Saya adalah tuhan yang
terhadap suatu bisa menguasai dan
agama secara mengendalikan semua
berlebihan, makhluk”.
diucapkan
berulang-ulang
tetapi tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Waham curiga Keyakinan “ Saya tahu mereka mau
seseorang atau menghancurkan saya,
sekelompok orang karena iri dengan
yang mau kesuksesan saya”.
merugikan atau
mencederai
dirinya,
diucapkan
berulang- ulang
tetapai tidak
sesuai
dengan kenyataan.
Waham somatik Keyakinan “ Saya menderita
seseorang bahwa kanker”. Padahal hasil
tubuh atau pemeriksaan lab tidak
sebagian tubuhnya ada sel kanker pada
terserangpenyakit, tubuhnya.
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak
sesuai dengan
kenyataan.
Waham nihlistik Keyakinan “ ini saya berada di alam
seseorang bahwa kubur ya, semua yang
dirinya sudah ada disini adalah roh-roh
meninggal dunia, nya”
diucapkan
berulang-
ulang tetapi tidak
sesuai dengan
kenyataan.
2. Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptif
3. Faktor penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Biologi
Waham dari bagian dari manifestasi psikologi dimana
abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurologis yang
maladaptif yang baru mulai dipahami, ini termasuk hal-hal
berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan
keterlibatan otak yang luas dan dalam perkermbangan
skizofrenia. Lesi pada area frontal, temporal dan limbik
paling berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil
penelitian sangat menunjukkan hal-hal berikut ini :
(1) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
(2) Ketidakseimbangan antara dopamin dan
neurotransmitter lain
(3) Masalah-masalah pada sistem respon dopamin
Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar
dan anak yang diadopsi telah
diupayakan untuk mengidentifikasikan
penyebab genetik pada skizofrenia. Sudah ditemukan bahwa
kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai
angka kejadian yang tinggi pada skizofrenia dari pada
pasangan saudara kandung yang tidak
identik penelitian genetik terakhir memfokuskan pada
pemotongan gen dalam keluarga dimana terdapat angka
kejadian skizofrenia yang tinggi.
2) Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik
yang maladaptif belum didukung oleh penelitian. Sayangnya
teori psikologik terdahulu menyalahkan keluarga sebagai
penyebab gangguan ini sehingga menimbulkan kurangnya
rasa percaya (keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa
profesional).
3) Sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan
skizofrenia dan gangguan psikotik tetapi tidak diyakini
sebagai penyebab utama gangguan.Seseorang yang merasa
diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham (Direja, 2011).
b. Faktor Presipitasi
1) Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik
yang maladaptif termasuk:
a) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur proses informasi
b) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi rangsangan.
2) Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress
yang berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering
menunjukkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa
terdapat pada respon neurobiologik yang maladaptif
berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan, sikap dan
perilaku individu (Direja, 2011).
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama
fungsi otak Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
a. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan
kemampuan menilai dan menilik terganggu.
b. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan
kemampuan berespons terganggu, tampak dari perilaku
nonverbal (ekspresi dan gerakan tubuh) dan perilaku verbal
(penampilan hubungan sosial).
c. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
d. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan
asosiasi, efek, ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan
aktivitas.
e. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.
4. Proses terjadinya
Dalam Yosep (2009), ada 6 fase terjadinya waham yakni :
a. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis sehingga seseorang terdorong untuk
melakukan kompensasi yang salah agar keinginan untuk memenuhi
kebutuhannya terpenuhi.
b. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta
dorongan kebutuhan yag tidak terpenuhi sedangkan standar
lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan
tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi
klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk
diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan
menjadi prioritas dalam hidupnya. Lingkungan sekitar klien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien
itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
5. Mekanisme koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon
neurobioligi :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi
yang tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Menarik diri
6. Penatalaksanaan
Perawatan dan pengobatan harus secepat mungkin dilaksanakan
karena, kemungkinan dapat menimbulkan kemunduran mental. Tetapi
jangan memandang klien dengan waham pada gangguan skizofrenia ini
sebagai pasien yang tidak dapat disembuhkan lagi atau orang yang aneh
dan inferior bila sudah dapat kontak maka dilakukan bimbingan tentang
hal-hal yang praktis. Mesikpun klien tidak sembuh sempurna, dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik dapat ditolong untuk bekerja
sederhana di rumah ataupun di luar rumah. Keluarga atau orang lain di
lingkungan klien diberi penjelasan (manipulasi lingkungan) agar mereka
lebih sabar menghadapinya.
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawtan diberikan agar klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yangkurang
baik akibat waham yang dialami. Terapi yang diberikan dianjurkan
meliputi kegiatan-kegiatan permainan ataupun latihan bersama,
seperti terapi modalitas yang terdiri dari :
1) Terapi aktivitas
a) Terapi musik
Terapi difokuskan untuk mengoptimalkan fungsi
mendengar dan menikmati jenis music yang disukai klien
sembari relaksasi, memainkan alat musik, dan bernyanyi.
b) Terapi seni
Focus pada pengekspresian perasaan klien melalui berbagai
kegiatan seni seperti menggambar/melukis, seni rupa, dan
lain-lain
c) Terapi menari
Focus pada pengekspresian perasaan melalui bahasa tubuh.
d) Terapi relaksasi
Klien belajar dan mempraktikkan teknik relaksasi dalam
kelompok. Adapun gunanya untuk membuat klien lebih
tenang, lebih fresh, dan meningkatkan partisipasi dan
kesenangan klien dalam kehidupan.
2) Terapi sosial (sosialisasi)
Klien belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan
klien lain sesuai dengan realita.
3) Terapi kelompok (group therapy)
a) Kelompok terapeutik (therapeutic group).
b) Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity
therapy). (Keliat, 2004).
4) Terapi lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana dalam
keluarga (home like atmosphere).
b. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada
penatalaksanaan skizofrenia secara umum menurut Townsend
(1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan
mengurangi gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal
: 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal,
dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik
menarik diri.
Dosis awal : 3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50
mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik,
psikosis,dan mania. Dosis awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang
mengatasi gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien
yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara
intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan
obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti
psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan
pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien
minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter dan
perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya
suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada
klien.
2) Anti Parkinson
a) Triheksipenydil (Artane), untuk semua bentuk
parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15
mg/hari
b) Difehidamin, dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
a) Amitriptylin, untuk gejala depresi, depresi oleh karena
ansietas, dan keluhan somatik. Dosis : 75-300 mg/hari.
b) Imipramin, untuk depresi dengan hambatan psikomotorik,
dan depresi neurotik. Dosis awal : 25 mg/hari, dosis
pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas,
kelainan somatroform, kelainan disosiatif, kelainan kejang, dan
untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan
ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
a) Fenobarbital : 16-320 mg/hari
b) Meprobamat : 200-2400 mg/hari
c) Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
c. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan
hubungan saling percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada
terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun menentang
waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang
wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian
seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan
yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang
berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien,
karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi.
Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu
kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan
wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman
internal klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan
perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa sangat
lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis
persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien.
Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan
terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan
kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul.
Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi,
suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas
terpeutik dapat dilakukan.
d. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga
klien, sebagai sekutu dalam proses pengobatan. Keluarga akan
memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi dan membantu
perawatan klien
2. Daftar Masalah
Menurut Damaiyanti (2012) Masalah keperawatan yang sering muncul
pada klien waham adalah:
a. Gangguan proses pikir: waham,
b. Kerusakan komunikasi verbal
c. Harga diri rendah kronik.
3. Pohon Masalah
Pohon masalah Waham (Fitria, 2009, dikutip Direja, 2011):
Perilaku kekerasan
(Effect)
Waham
(Core Problem)
6. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien
saat ini (Damaiyanti, 2012).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini
dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain
teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal
seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan
tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit
(Yusuf, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada
perubahan perilaku Klien setelah diberikan tindakan keperawatan.
Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung
yang penting. Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A: analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan
apakah masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masihada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
DAFTAR PUSTAKA
2. Rentang respon
a. Respon adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara umum
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
1) Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan
sosial.
3) Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan
interpersonal yang saling membutuhkan satu sama lain.
4) Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain
b. Respon maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang
menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat.
Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1) Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri.
2) Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan
individu sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat
dipercaya dan tidak mampu melakukan penilaian secara
objektif.
3) Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh,
dan mudah marah.
(sumber: Sutejo, 2017)
3. Faktor penyebab
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga
adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan
tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak
mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2018) tahap-tahap perkembangan individu
dalam berhubungan terdiri dari:
a) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan
menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar.
Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi
yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
b) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak
mulai membina hubungan dengan teman- temannya.
Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih
sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak
tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua
harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku
yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus
diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai
masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang
intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik
akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada
remaja.
d) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman
sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan
kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan
menerima perasaan orang lain serta peka terhadap
kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda
adalah saling memberi dan menerima (mutuality).
e) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun.
Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh
dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
f) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik
kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan
hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus
dapat dipertahankan.
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a) Sikap bermusuhan/hostilitas
b) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan
anak
c) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.
d) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan
pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota
keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka,
terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan
secara terbuka dengan musyawarah.
e) Ekspresi emosi yang tinggi
f) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan
saat bersamaan yang membuat bingung dan
kecemasannya meningkat)
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4) Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada
kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah
58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
b. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan
oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:
1) Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian
karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini
dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stressor Biokimia
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal
dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah
ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin
mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin.
Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik.
d) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang
dapat merubah stuktur sel-sel otak.
3) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
4) Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas
yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan
terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah
serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga
perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2018) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata
yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada
masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
a) Tingkah laku curiga: proyeksi
b) Dependency: reaksi formasi
c) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
d) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
e) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
f) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.
4. Proses terjadinya
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah
satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di
alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewan, dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam
mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi
regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien
semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta
tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang austistic dan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut
menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).
Tabel Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial
Pola Asuh Keluarga Misal: Pada anak yang
kelahirannya tidak
dikehendaki akibat kegagalan
KB, hamil diluar nikah, jenis
kelamin tidak diinginkan,
bentuk fisik kurang menawan
menyebabkan keluarga
mengeluarkan komentar-
komentar negatif, merendahkan,
serta
menyalahi anak
Koping Individu Tidak Misal: Saat individu menghadapi
Efektif kegagalan mengalahkan orang
lain, ketidakberdayaan, tidak
mampu
menghadapi kenyataan dan
menarik diri dari lingkungan
Gangguan Tugas Misal: Kegagalan menjalin
Perkembangan hubungan
intim dengan sesama jenis atau
lawan jenis, tidak mampu
mandiri.
Stress Internal Dan Misal: Stress terjadi akibat
Eksternal ansietas yang berkepanjangan
dan terjadi
bersamaan
denganketerbatasan individu
untuk mengatasi. Ansietas
tejadi akibat berpisah dengan
orang terdekat, kehilangan
pekerjaan atau
orang yang dicintai.
Sumber: Yosep (2009)
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain
karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu,
isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun
lingkungan (Sutejo, 2017).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi
sosial antara lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas,
terapi okupasi, rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf,
2019).
a. Terapi Farmakologi
1) Chlorpromazine (CPZ)
2) Haloperidol (HLP)
3) Trihexy Phenidyl (THP)
b. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan
lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa
adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan
perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada
pasien (Videbeck, 2012).
c. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan
pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan
perilaku-perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara
ahli terapi dan klien(Videbeck, 2012). Terapi individu juga
merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara individu
oleh perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-klien dengan
cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh
perawat kepada klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi
pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan klien dengan
isolasi sosial hal yang paling penting perawat lakukan adalah
berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi terapeutik
adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien, yang
selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan
khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif
antara perawat dan Klien (Videbeck, 2012).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas
pula asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien karena
komunikasi yang baik dapat membina hubungan saling percaya
antara perawat dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan
dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah menjalin
hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat
menumbuhkan sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah
lainnya, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan
keperawatan serta memudahan dalam mencapai tujuan intevensi
keperawatan (Sarfika, 2018).
d. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi
merupakan suatu rangkaian kegiatan kelompok dimana klien dengan
masalah isolasi sosial akan dibantu untuk melakukan sosialisasi
dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialissai dapat pula
dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa).
Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam kelompok,
dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 :Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi pada orang lain
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok
Sesi 7 : Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat
kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
e. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat,
meningkatkan harga diri seseorang, dan penyesuaian diri dengan
lingkungan.
Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di rumah sakit
adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat
kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
klien dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
f. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata
juga banyak manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien
skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaaan lebih rendah bila
dibandingan dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999
dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa
merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan
penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena
seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan
tersebut (Yosep, 2009). Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit
jiwa menurut Yosep (2009) meliputi:
a) Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup
tentang agamanya/ kolaborasi dengan agamawan atau
rohaniawan.
b) Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya
tetapi menggali sumber koping.
c) Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, bukubuku, music/lagu keagamaan.
d) Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah
terutama untuk pasien rehabilitasi.
e) Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat
hidup didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat
bermanfaat dari aspek autosugesti yang dimana dalam setiap
kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-
ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien
sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek
kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir,
terpencil dan tidak diterima.
g. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah
sakit yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan,
antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat
kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya
program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
h. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada
umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis
dari kehidupan sehari-hari, memberikan pendidikan kesehatan pada
keluarga tentang isolasi sosial, mengajarkan bagaimana cara
berhubungan yang baik kepada anggota keluarga yang memiliki
masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
1) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak
seperti biasanya (tidak tepat).
2) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan
karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara dan
volume di ukur dengan berapa keras klien berbicara. Observasi frekuensi
cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah sedikit, membisu,
dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.
3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat
aktifitas : letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai
atau tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya
dengan ansietas, mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik
yang berulang atau kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif
kompulsif.
4) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status emosional
dan cerminan situasi kehidupan klien. Alam perasaan dapat di evaluasi
dengan menanyakan pertanyaan yang sederhana dan tidak mengarah
seperti “bagaimana
perasaan anda hari ini” apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih,
takut, putus asa, sangat gembira atau ansietas.
5) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di observasi
oleh perawat selama wawancara. Afek dapat di gambarkan dalam istilah
sebagai berikut : batasan, durasi, intensitas, dan ketepatan. Afek yang
labil sering terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering
tampak pada skizofrenia.
6) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi.
Halusinasi di definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang
salah. Ilusi adalah persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus
sensori. Halusinasi perintah adalah yang menyuruh klien melakukan
sesuatu seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai diri sendiri.
7) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat.
Apakah klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung,
berhati-hati, apatis, defensive,curiga atau sedatif.
8) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien
diobservasi melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan
lebih pada pola atas bentuk verbalisasi dari pada isinya.
9) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam
komunikasi klien. Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun
klien mungkin berbicara mengenai berbagai subjek selama wawancara,
beberapa area isi harus dicatat dalam
pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat kompleks dan sering
disembunyikan oleh klien.
10) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap
situasi terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan
tingkat kesadaran klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
11) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat
tehadap masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan
merupakan jawaban definitif apakah terdapat kerusakan yang spesifik.
Pengkajian neurologis diperlukan untuk menguraikan sifat dan
keparahan kerusakan memori. Memori didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengingat pengalaman lalu.
12) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama
jalannya wawancara.Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk
mengerjakan hitungan sederhana.
13) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan adaptif
termasuk kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik kesimpulan dari
hubungan.
14) Daya Titik Diri
Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau
mengingkari penyakitnya.
h. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan
nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping
menarik diri). Biasanya data yang didapat melalui wawancara pada
pasien/keluarga, bagaimana cara pasien mengendalikan diri ketika
menghadapi masalah koping adaptif dan maladaptif.
i. Masalah psikososial
Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial memiliki masalah dengan
psikososial dan lingkungannya, seperti pasien yang tidak dapat
berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat karena merasa takut,
tidak berguna dll.
j. Pengetahuan
Biasanya pasien dengan isolasi sosial tidak mengetahui penyakit
jiwa yang ia alami dan penatalaksanaan program pengobatan.
2. Daftar Masalah
Menurut Sutejo (2017) adapun daftar masalah keperawatan pada klien
dengan isolasi sosial sebagai berikut:
a. Resiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
3. Pohon Masalah
Pohon masalah Isolasi Sosial menurut Sutejo (2017):
Resiko Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi
(Effect)
Isolasi Sosial
(Core Problem)
6. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien
saat ini (Damaiyanti, 2012).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini
dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain
teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal
seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan
tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit
(Yusuf, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada
perubahan perilaku Klien setelah diberikan tindakan keperawatan.
Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung
yang penting. Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi pada Klien dengan
isolasi sosial yaitu:
a. Apakah klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial
b. Apakah klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
c. Apakah klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap:
klien-perawat, Klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-klien lain,
klien-kelompok, dan klien- keluarga.
d. Apakahklien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan
dengan orang lain.
e. Apakah klien dapat memberdayakan sistem pendukungnya atau
keluarga nya untuk memfasilitasi hubungan sosialnya.
f. Apakah klien dapat mematuhi minum obat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anna Budi Keliat, SKp. (2015). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Direja. A. H. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Purba, dkk. (2018). Asuhan Keperawatan pada klien dengan masalah
psikososial dan gangguan jiwa. Medan : USU Press.
Stuart. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi : Lima. Jakarta : EGC
Sutejo. (2017). Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa:
Ganguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru
Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama.
Yosep, H. I., dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Tristiana, D. (2019). Kesehatan Jiwa : Pendekatan
Holistik dalam Asuhan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Mitra Wacana
Media.
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR DAN ASKEP PERILAKU KEKERASAN
2. Rentang respon
Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif
sampai maladaptif. Rentang respon marah menurut (Fitria, 2010).
Dimana amuk dan agresif pada rentang maladaptif, seperti gambar
berikut:
Keterangan:
a. Asertif :Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
b. Frustasi :Kegagalan mencapaiu tujuan karena tidak
realistis/terhambat.
c. Pasif :Respon lanjutan dimana klien tidak mampu
mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol. Amuk : Perilaku
destruktif dan tidak terkontrol.
3. Faktor penyebab
Faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagai berikut (Direja, 2011):
a. Faktor Preedisposisi
1) Faktor psikologi
a) Terjadi asumsi, seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang
memotivasi perilaku kekerasan.
b) Berdasarkan pengunaan mekanisme koping individu dan
masa kecil yang tidak menyenangkan dan frustasi.
c) Adanya kekerasan rumah tangga, keluarga, dan lingkungan.
2) Faktor Biologis
Berdasarkan teori biologi, ada beberapa yang mempengaruhi
perilaku kekerasan:
a) Beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam menfasilitasi dan menghambat impuls
agresif.
b) Peningkatan hormon adrogen dan norefineprin serta
penurunan serotin pada cairan serebro spinal merupakan
faktor predisposisi penting menyebabkan timbulnya
perilaku agresif seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif
sangat erat kaitannya dengan genetic termasuk genetik
tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni
penjara atau tindak criminal.
d) Gangguan otak, sindrom otak genetik berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbic dan lobus temporal), kerusakan organ otak, retardasi
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
perilaku kekerasan.
3) Faktor Sosial Budaya
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Budaya dimasyarakat
dapat mempengaruhi perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik berupa injuri secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri.
Beberapa faktor perilaku kekerasan sebagai berikut:
1) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan,
kehidupan yang penuh agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang
berarti, merasa terancam baik internal maupun eksternal.
3) Lingkungan : panas, padat, dan bising.
4. Proses terjadinya
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1) Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frutasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditilak, dihina,
dianiaya.
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau
diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu
mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam
(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap
pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan yang diterima (permissive).
4) Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan
neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku
kekerasan (Prabowo, 2014).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan
fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri
yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian
pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya atau
pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain
interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku
kekerasan (Prabowo, 2014).
5. Mekanisme koping
a. Konstruktif
Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan
untuk menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat
dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan kelegaan pada individu (Yusuf, 2015)
b. Destruksif
Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan
, apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan
tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf, 2015).
6. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya : clorpromazine HCL yang digunakan
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat dipergunakan
dosis efektif rendah, contoh : Trifluoperasine estelasine, bila tidak
ada juga maka dapat digunakan transquelillzer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduannya
mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk
melakukan kegiatan dan mengembalikan maupun berkomunikasi,
karena itu didalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan terapi
sebagai bentuk kegiatan membaca koran, main catur, setelah mereka
melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang
pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan pasien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan yaitu, mengenal
masalah kesehatan, membuat keputusan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber daya pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (primer), mengulangi perilaku
maladaptive (sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptive dan
adaptive sehingga derajat kesehatan pasien dan keliuarga dapat
ditingkatkan secara optimal.
d. Terapi Somatik
Menurut Deskep RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi
somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku tindakan yang ditujukan pada
kondisi fisik pasien, tetapi target terpai adalah perilaku pasien
(Prabowo, 2014).
7. Prinsip tindakan keperawatan
a. Otonomi (menghormati hak pasien)
b. Non malficience (tidak merugikan pasien)
c. Beneficience (melakukan yang terbaik bagi pasien)
d. Justice (bersikap adil kepada semua pasien)
e. Veracity (jujur kepada pasien dan keluarga)
f. Fidelity (selalu menepati janji kepada pasien dan keluarga)
g. Confidentiality (mampu menjaga rahasia pasien)
2. Daftar Masalah
Menurut Direja, (2011) adapun daftar masalah keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Perilaku Kekerasan
b. Halusinasi Pendengaran
c. Isolasi Sosial
d. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah.
3. Pohon Masalah
Pohon masalah perilaku kekerasan (Yosep, 2011):
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
(Effect)
Perilaku Kekerasan
(Core Problem)
6. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien
saat ini (Damaiyanti, 2012).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini
dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain
teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal
seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan
tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit
(Yusuf, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada
perubahan perilaku Klien setelah diberikan tindakan keperawatan.
Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung
yang penting. Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A: analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan
apakah masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masihada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
DAFTAR PUSTAKA
Anna Budi Keliat, SKp. (1998). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik
Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Direja. A. H. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Purba, dkk. (2018). Asuhan Keperawatan pada klien dengan masalah psikososial
dan gangguan jiwa. Medan : USU Press.
Fitria, Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika
Keliat Budi Ana. 2011. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono.Y. (2011).Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba.
Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika
Yosep, I., 2011, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama.
Yosep, H. I., dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental
Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Tristiana, D. (2015). Kesehatan Jiwa : Pendekatan Holistik
dalam Asuhan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Mitra Wacana Media.
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR DAN ASKEP RESIKO BUNUH DIRI
Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang
yang ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa
ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau
mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika
tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan
yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada
waktunya.
2. Rentang respon
Rentang sehat sakit dapat dipakai untuk mengambarkan respon
adaptif sampai maladaptive pada bunuh diri. Rentang respon peningkatan
diri ( self enchancemen) merupakan rentang respon paling adaptif,
sedangkan bunuh diri (suicide) sebagai respon yang maladaptive. Dalam
kehidupan, individu selalu menghadapi masalah atau stressor. Respon
individu terhadap stressor tergantung pada kemampuan pemecahan
masalah yang dimiliki dan tingkat stress yang dialaminya. Individu yang
sehat senantiasa berespon secara adaptif dan jika gagal dia berespon
secara maladaptif dengan menggunakan koping bunuh diri.
3. Faktor penyebab
Menurut Damaiyanti (2012)
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa.
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko
untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan
efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan
besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan
depresi
3) Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadiankejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis,
perpisahan dan bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial
sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapiutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab maslah, respon
seorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh
diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam
otak seperti serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan
zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak
Electro Encephalo Graph (EEG)
b. Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktur lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui medaia mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang
ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku
bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor sosial
maupun budaya. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih
mampu menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri.
d. Mekanisme koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif.
4. Proses terjadinya
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005), faktor predisposisi bunuh diri
antaralain :
1) Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri, mempunyai hubungan dengan penyakit
jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya
dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
5) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan
prilaku destrukif diri.
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1) Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan
hubunganinterpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti.
2) Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3) Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukumanpada diri sendiri.
4) Cara untuk mengakhiri keputusan.
5. Mekanisme koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
destruktif- diri tak langsung adalah :
a. Denial, mekanisme koping yang paling menonjol
b. Rasionalisme
c. Intelektualisasi
d. Regresi
Mekanisme pertahanan diri tidak seharusnya ditantang tanpa
memberikan cara koping alternatif. Mekanisme pertahanan ini mungkin
berada diantara individu dan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
menunjukkan mendesaknya kegagalan mekanisme koping. Ancaman
bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif.
6. Penatalaksanaan
Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan) digambarkan
melalui hubungan interpersonal dalam kelompok. Pada model ini juga
menggambarkan sebab akibat tingkah laku anggota, merupakan akibat
dari tingkah laku anggota yang lain. Terapist bekerja dengan individu dan
kelompok, anggota belajar dari interaksi antar anggota dan terapist.
Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan dapat dikoreksi dan
dipelajari.
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau
dikamar pertolongan darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka- luka atau keadaan
keracunan, kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu
tindakan medis. Penentuan pearawatan tidak tergantung pada faktor
sosial teapi berhubungan erat dengan kriteria yang mencerminkan
besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau terluka
sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak hanya
berhubungan dengan beratnya gangguan badaniah dengan gangguan
psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani juga
gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan terapi
elektro- konvulusi, obat – obat terutama anti depresan dan psikoterapi.
3. Pohon Masalah
Pohon masalah Resiko Bunuh Diri (Fitria, 2009):
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
(Effect)
6. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien
saat ini (Damaiyanti, 2012).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini
dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain
teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal
seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan
tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit
(Yusuf, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada
perubahan perilaku Klien setelah diberikan tindakan keperawatan.
Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung
yang penting. Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A: analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan
apakah masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masihada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
DAFTAR
PUSTAKA
2. Rentang respon
3. Faktor penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan
diri adalah sebagai berikut : Kelelahan fisik dan Penurunan kesadaran.
Menurut DepKes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor prediposisi
1) Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
2) Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa
dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
4. Proses terjadinya
Menurut DepKes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor prediposisi
1) Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
2) Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa
dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan
diri.
4) Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan di bagi menjadi 2
yaitu:
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan
belajar dan mencapai tujuan.Kategori ini adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri (Damaiyanti,
2012)
Format/data fokus pengkajian pada klien dengan defisit perawatan
diri (Keliat dan Akemat,2009).
a. Status
mental
Penampilan
( ) Tidak rapi
( ) Penggunaan pakaian tidak sesuai
( ) Cara berpakaian tidak seperti biasannya
b. Kebutuhan sehari-hari
1) Kebersihan diri
( ) Bantuan minimal ( ) Bantuan total
2) Makan
( ) Bantuan minimal ( ) Bantuan total
3) BAB/BAK
( ) Bantuan minimal ( ) Bantuan total
4) Berpakain/ Berhias
( ) Bantuan minimal ( ) Bantuan total
6. Penatalaksanaan
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
1) Bina hubungan saling percaya
2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
1) Bantu klien merawat diri
2) Ajarkan keterampilan secara bertahap
3) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
1) Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan
perawatan diri
2) Dekatkan peralatan agar mudah dijangkau oleh klien
3) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman.
6. Implementasi Keperawatan
Menurut Depkes, 2000 Implementasi adalah tindakan keperawatan yang
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Sebelum
melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah di rencanakan perawat
perlu memvalidasi rencana tindakan keperawatan yang masih di
butuhkan dan sesuai dengankondisi klien saat ini.
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dapat
dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A: analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan
apakah masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masihada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
DAFTAR PUSTAKA
Herman, Ade. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Direja surya.. Kalist, Budi
Anna Dan Akemat. 2009. Model Praktek Keperawatan Professional Jiwa,
Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta
: EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis Psikiatri.
Edisi 7. Jakarta : EGC.
Dermawan. (2013). Keperawatan Jiwa Konsep Dan kerangka Kerja Asuhan keperawatan
jiiwa . Yogyakarta: gosyen Publisinng.
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia.
Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktik.
Jakarta : Salemba Medika
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawata
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR DAN ASKEP HARGA DIRI RENDAH
2. Rentang respon
a. Respon adaptif
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses
dan dapat diterima.
2) Konsep diri positif merupakan bagaimana seorang memandang
apa yang ada pada dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya,
harga dirinya, penamipilan peran serta identitas dirinya secara
positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan
menjadi individu yang sukses.
b. Respon maladaptif
1) Harga diri rendah merupakan peran negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak
berguna, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Adapun
perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu
mengkritik diri sendiri dan/atau orang lain, penurunan
produktifitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain,
gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, keluhan
fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta menarik diri dari
realitas.
2) Keracunan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasi berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun
perilaku
yang berhubungan dengan keracunan identitas yaitu tidak ada kode moral,
sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif,
perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat ansietas
yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadap orang lain.
3) Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realisitis
dimana klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam
atau luar dirinya. Individu mengalami kesulitan untuk
membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya
sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
3. Faktor penyebab
Berbagai faktor penunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya
harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi
pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja
keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak
diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan atau
pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya (Yosep, 2009).
Menurut Stuart (2006), faktor-faktor yang mengkibatkan harga diri
rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai
berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang
tua, harapan orangtua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan kepada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe
peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran
budaya. Dimasyarakat umumnya peran seseorang,
disesuaikan dengan
jenis kelaminnya. Misalnya seorang wanita dianggap kurang mampu,
kurang mandiri, kurang objektif dan rasional sedangkan pria dianggap
kurang sensitif, kurang hangat, kurang ekspresif dibanding wanita. Sesuai
dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak sesuai
lazimnya maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan sosial.
Misal: seorang istri yang berperan sebagai kepala rumah tangga atau
seorang suami yang mengerjakan pekerjaan rumah, akan menimbulkan
masalah. Konflik peran dan peran tidak sesuai muncul dari faktor biologis
dan harapan masyarakat terhadap wanita atau pria. Peran yang berlebihan
muncul pada wanita yang mempunyai sejumlah peran.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakpercayaan orangtua, tekanan dari kelompok sebaya, dan
perubahan struktur sosial. Orang tua yang selalu curiga pada
anak akan menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri,
ragu dalam mengambil keputusan dan dihantui rasa bersalah
ketika akan melakukan sesuatu. Kontrol orang tua yang berat
pada anak remaja akan menimbulkan perasaan benci pada
orang tua. Teman sebaya merupakan faktor lain yang
berpengaruh pada identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan,
dan diakui oleh kelompoknya.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga diri
rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan
penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas yang
menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini
dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara situasional karena
trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan, diperkosa atau dipenjara, termasuk dirawat dirumah
sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena
penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak
nyaman. Harga diri rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum
sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
meningkat saat dirawat.
4. Proses terjadinya
Harga diri seseorang didapatkan dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi ketika perlakuan orang lain
mengancam dirinya. Tingkat harga diri seseorang berada dalam tingkat
tinggi sampai rendah. Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi maka
dapat beradaptasi dengan lingkungan secara efektif, sedangkan jika
seseorang memiliki harga diri yang rendah maka lingkungan yang dilihat
akan terasa mengancam bagi dirinya.
Penyebab harga diri rendah juga dapat terjadi pada masa kecil
sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat
individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak
diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering
gagal disekolah, pekerjaan atau pergaulan.
Seseorang yang berada pada situasi stressor berusaha
menyelesaikannya tapi tidak tuntas serta ditambah pikiran tidak mampu
atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran itu bisa disebut dengan
kondisi harga diri rendah situasional, jika pada situasi tersebut
lingkungan tidak mendukung positif dan justru menyalahkan secara terus
menerus maka akan mengakibatkan harga diri rendah kronis.
5. Mekanisme koping
Seseorang dengan harga diri rendah memiliki mekanisme koping jangka
pendek dan jangka panjang. Jika mekanisme koping jangka pendek tidak
memberikan hasil yang telah diharapkan individu, maka individu dapat
mengembangkan mekanis koping jangka panjang (Direja, 2011).
Mekanisme tersebut mencakup sebagai berikut :
1) Jangka Pendek
1) Aktivitas yang dilakukan untuk pelarian sementara yaitu :
pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton tv secara terus
menerus.
2) Aktivitas yang memberikan penggantian identitas bersifat
sementara, misalnya ikut kelompok sosial, agama, dan politik).
3) Aktivitas yang memberikan dukungan bersifat sementara
misalnya perlombaan.
2) Jangka Panjang
1) Penutupan identitas : terlalu terburu-buru mengadopsi
identitas yang disukai dari orang-orang yang berarti tanpa
memperhatikan keinginan atau potensi diri sendiri.
2) Identitas Negatif : asumsi identitas yang bertentangan dengan
nilai-nilai dan harapan masyarakat.
6. Penatalaksanaan
Menurut NANDA 2015 terapi yang dapat diberikan pada penderita Harga
Diri Rendah yaitu :
1) Psikoterapi
Terapi ini digunakan untuk mendorong klien bersosialisasi lagi
dengan orang lain. Tujuannya agar klien tidak menyendiri lagi
karena jika klien menarik diri, klien dapat membentuk kebiasaan
yang buruk lagi.
2) Therapy aktivitas kelompok
Terapi aktivitas kelompok sangat relevan untuk dilakukan pada klien
harga diri rendah. Terapi aktivitas kelompok ini dilakukan dengan
menggunakan stimulasi atau diskusi untuk mengetahui pengalaman
atau perasaan yang dirasakan saat ini dan untuk membentuk
kesepakatan persepsi atau penyelesaian masalah.
2. Daftar Masalah
Yosep (2014) menjelaskan terdapat beberapa daftar masalah keperawatan
pada pasien dengan harga diri rendah diantaranya adalah:
a. Harga diri rendah kronik
b. Koping Individu tidak efektif
c. Isolasi sosial
d. Defisit Perawatan Diri
3. Pohon Masalah
Pohon masalah Harga Diri Rendah (Fitria, 2009)) :
6. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan di tujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam,
2008 : 127). Pada masalah keperawatan harga diri rendah maka
dilakukan tindakan keperawatan menurut kartika sari (2015) dengan cara
menggunakan percakapan strategi pelaksanaan. 1 pasien harga diri
rendah. Setelah dirasa strategi pelaksanaan 1 pada pasien harga diri
rendah berhasil maka boleh dilanjutkan kestrategi pelaksanaan 2 pada
pasien harga diri rendah.
7. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan yaitu kegiatan aktif dari proses keperawatan,
dimana perawat dapat menilai hasil yang diharapkan terhadap masalah
dan menilai sejauh mana masalah dapat di atasi. Meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada proses akhir proses keperawatan tetapi tahap ini
merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.
Pengumpulan data perlu dikoreksi untuk menentukan kecukupan data
yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang telah diobservasi.
Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan
kelengkapannya. Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk
menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat di capai secara
efektif (Nursalam, 2008:135).
Menurut Direja (2011), evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP diantaranya sebagai berikut :
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan menanyakan : “Bagaimana perasaan
Bapak setelah latihan nafas dalam?”
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat di ukur dengan mengobservasi perilaku klien pada
saat tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah
diajarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan
hasil dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon
klien yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.
DAFTAR
PUSTAKA
2. Rentang respon
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-
norma sosial yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat
memecahkan masalah tersebut, respon adaptif:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman ahli
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih
dalam batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
b. Respon psikososial
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang
melebihi batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain.
c. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial
budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau
persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang
timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.
3. Faktor penyebab
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan
terhadap stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferse (DMP). Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak.
Misalnya tejadi ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang
pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan.
5) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah
dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien
sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan memburuk.
4. Proses terjadinya
Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis,
fisiologis, dan lain-lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi
keamanan di otak normal dibombardir oleh aliran stimulus yang
berasal dari tubuh dan dari luar tubuh. Jika masukan terganggu atau
tidak ada sama sekali saat bertemu dalam keadaan normal atau
patologis, materi berada dalam prasadar dapat unconscious atau
dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa
halusinasi dimulai dengan keinginan yang direpresi ke unconscious
dan kemudian kepribadian rusak dan kerusakan pada realitas tingkat
kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk
stimulus eksternal.
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut Yosep
(2016), diantaranya:
a. Regresi
Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan menampilkan
perilaku kembali pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan identitas).
c. Menarik diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar
sumber stressor, sedangkan reaksi psikologis yaitu menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa
takut dan bermusuhan.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia
biasanya diatasi dengan menggunakan obat- obatan anti psikotik antara
lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada
kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5
mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3x24 jam.
Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg
atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/
Promactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut
biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi sudah
stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari
saja (Yosep, 2011).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik
dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena
bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan
bersama (Maramis, 2005).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan
Halusinasi yaitu ( Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus
yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan
ditingkatkan pada tiap sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon
klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adatif.
Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan : baca
artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan stimulus
yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang
menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif,
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative
pada orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap
stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian
diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan,
berupa ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan
tubuh). Biasanya klien yang tidak mau mengungkapkan komunikasi
verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya, serta menampilkan
respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah : musik, seni
menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui sebelumnya, dapat
dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat
digunakan sebagai stimulus.
7. Prinsip tindakan keperawatan
a. Otonomi (menghormati hak pasien)
b. Non malficience (tidak merugikan pasien)
c. Beneficience (melakukan yang terbaik bagi pasien)
d. Justice (bersikap adil kepada semua pasien)
e. Veracity (jujur kepada pasien dan keluarga)
f. Fidelity (selalu menepati janji kepada pasien dan keluarga)
g. Confidentiality (mampu menjaga rahasia pasien)
b. Daftar Masalah
Daftar masalah keperawatan halusinasi pendengaran menurut (Yosep,
2016) meliputi sebagai berikut :
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
c. Gangguan komunikasi verbal
d. Gangguan proses pikir
e. Isolasi sosial
f. Harga diri rendah
c. Pohon Masalah
Pohon masalah Halusinasi (Dermawan dan Rusdi, 2013) :
Risiko perilaku kekerasan (diri
sendiri, orang lain, lingkungan,
dan verbal)
(Effect)
Isolasi sosial
(Cause)
f. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang disesuaikan
dengan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan prioritas yang telah dibuat dimana tindakan yang diberikan
mencakup tindakan mandiri maupun kolaboratif (Damaiyanti, 2014).
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan perawat perlu menvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat
ini (here and now) dan sebelumnya harus dilakukan kontrak dengan
klien.
g. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima atau terakhir dalam proses
keperawatan. Penilaian terakhir pada proses keperawatan yang
ditetapkan, penetapan keberhasilan asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang sudah ditetapkan, yaitu terjadi
adaptasi pada individu (Nursalam, 2016).
Evaluasi respon umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir
tindakan penelitian. Pada pasien halusinasi yang membahayakan diri,
orang lain dan lingkungan evaluasi meliputi respon perilaku dan emosi
lebih terkendali yang pasien sudah tidak mengamuk lagi, bicara dan
tertawa sendiri, sikap curiga, perasaan cemas berat, serta pasien
mempercayai perawatnya, pasien dapat mengontrol halusinasi. Sehingga,
presepsi pasien membaik, pasien dapat membedakan hal yang nyata dan
tidak nyata (Yusuf, 2015).
Menurut Keliat (2014), evaluasi terhadap masalah keperawatan
halusinasi meliputi kemampuan pasien dan keluarganya serta
kemampuan keluarga dalam merawat pasien halusinasi. Beberapa hal
yang harus dievaluasi adalah sebagai berikut (Trimelia, 2011):
a. Apakah klien dapat mengenal halusinasinya, yaitu isi halusinasi,
situasi, waktu dan frekuensi munculnya halusinasi.
b. Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi
muncul.
c. Apakah klien dapat mengontrol halusinasi dengan menggunakan
empat cara baru, yaitu menghardik, menemui orang lain dan
bercakap-cakap, melaksanakan aktivitas terjadwal dan patuh
minum obat.
d. Apakah keluarga dapat mengetahui pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, dan
cara- cara merawat pasien halusinasi.
e. Apakah keluarga dapat merawat pasien langsung dihadapan pasien.
f. Apakah keluarga dapat membuat perencanaan follow up dan
rujukan pasien
DAFTAR PUSTAKA