Anda di halaman 1dari 7

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Pelabelan Kotak Obat


Media tempat pemasangan identitas pasien di Unit Rawat Inap C sebagian
besar (89,66%) sudah terpasang disetiap kotak obat saat dilakukan pengkajian pada
tanggal 8-13 Februari 2017, hanya 3 (10,34%) kotak obat yang belum terpasang media
tempat pemasangan identitas pasien. Selain media tempat pemasangan label kotak
obat yang berisi identitas pasien, juga terdapat keterangan seperti obat injeksi, obat
oral, spuit, dan nomor kamar pasien, namun 3 identitas pasien menurut pasien safety
belum tercantum yaitu; nama pasien, tanggal lahir, dan nomer rekam medis. Kegiatan
penerapan pemberian label pada kotak obat yang dilakukan tanggal 8 Maret 2017 ini
dilaksanakan untuk memenuhi standar pasien safety. Kegiatan awal yang dilakukan
yaitu melengkapi media tempat pemasangan label kotak obat yang berisi identitas
pasien pada 3 kotak obat yang belum terpasang kemudian mahasiswa menempel
etiket sebagai identitas pasien pada 29 media pemasangan label pada kotak obat.
Setelah dilakukan pemasangan label identitas pasien yaitu etiket pada kotak obat,
kegiatan pemasangan etiket identitas pasien kembali disosialisasikan pada setiap
operan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kontinuitas pemasangan label
identitas pasien pada kotak obat sesuai pasien safety.
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan. Berdasarkan
patient safety penggunaan obat merupakan salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan dalam melakukan tindakan keperawatan yang aman bagi pasien.
Penggunaan obat ini akan lebih efektif jika ditunjang oleh media penyimpanan obat,
dimana tempat penyimpanan obat ini dapat mempermudah perawat dalam
menemukan obat pasien dan lebih efektif dalam mengaplikasikan dari patient safety
indikator obat yaitu 6 benar obat. Dimana kotak penyimpanan obat ini dapat membantu
perawat dalam 6 benar obat yaitu benar obat dan benar pasien (DepKes RI, 2017).
Dari beberapa proses yang telah dilakukan dari mulai pengkajian hingga
evaluasi didapatkan bahwa terjadi penurunan sebanyak 19.6% pada label kotak obat
yang terpasangdan peningkatan sebanyak 10.6% pada label kotak yang tidak
terpasang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketidakpatuhan perawat terhadap
penerapan prosedur pemberian label kotak obat yang telah dilaksanakan selama 3 hari
baik pada pasien lama maupun pasien baru. Berdasarkan wawancara yang dilakukan,
beberapa perawat mengatakan lupa untuk mengganti etiket pasien lama dengan
pasien baru dikarenakan pekerjaan yang cukup banyak untuk dikerjakan dan media
penempelan atau pemasangan label yang terbuat dari kertas membuat perawat ragu
untuk melepas etiket identitas yang lama dan mengganti dengan yang baru karena
media penempelan etiket karena khawatir robek, selain itu kertas media penempelan
etiket memiliki identitas nomor bed pasien yang membuat tidak bisa digunakan untuk
pasien lain. Hal tersebut menunjukkan kurangnya kesadaran perawat akan pentingnya
identitas pasien pada kotak obat dan kurangnya media yang memadai untuk
pemasangan label identitas pasien pada kotak obat. Tindakan supervisi, penyediaan
media penempelan label kotak obat perlu dilakukan untuk menjaga kontinuitas
pemasangan label identitas pasien pada kotak obat.

6.2 Kegiatan Operan


Kegiatan timbang terima pasien (operan) telah dilaksanakan secara optimal
pada tanggal 20 Februari-8 Maret 2017 dengan melibatkan kepala unit, ketua tim,
perawat pelaksana dan juga mahasiswa praktik. Kegiatan roleplay yang dilakukan
mahasiswa praktik dalam rentang waktu tersebut tidak sepenuhnya diambil alih oleh
mahasiswa, akan tetapi berjalan dibawah pengawasan perawat ruangan dan
didapatkan 100% kegiatan operan sudah dilakukan sesuai prosedur. Waktu rata-rata
yang didapatkan untuk melakukan kegiatan operan adalah 30 menit-1 jam. Dari hasil
pengkajian pada tanggal 8-11 Februari 2017, kegiatan operan yang sudah dilakukan
sesuai prosedur rata-rata sebanyak 80%. Instrumen yang digunakan sebagai lembar
observasi yaitu SPO operan yang telah dimiliki RS Wava Husada yang meliputi fase
persiapan dan pelaksanaan. Sedangkan pada saat evaluasi pada tanggal 9-11 Maret
2017, sebanyak 85% kegiatan operan yang dilakukan oleh perawat ruangan sesuai
prosedur. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan penerapan prosedur operan yang
sesuai SPO.
Timbang terima pasien (operan) merupakan teknik atau cara untuk
menyampaikan dan menerima sesuatu (laporan) yang berkaitan dengan keadaan
pasien. Timbang terima pasien harus dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan
secara singkat, jelas, dan lengkap tentang tindakan mandiri perawat, tindakan
kolaboratif yang sudah dilakukan/belum, dan perkembangan pasien saat itu. Informasi
yang disampaikan harus akurat sehingga kesinambungan asuhan keperawatan dapat
berjalan dengan sempurna. Selain itu profesionalisme dalam pelayanan keperawatan
dapat dicapai dengan komunikasi yang efektif antarperawat, salah satunya dapat
diwujudkan pada saat pergantian shift/operan (Nursalam, 2011)
Dari beberapa proses yang telah dilakukan dimulai dari pengkajian hingga
evaluasi didapatkan adanya peningkatan sebesar 5% terkait kesesuaian kegiatan
operan sesuai SPO yang ada. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan operan diantaranya Informasi yang disampaikan harus akurat,
singkat, sistematis, dan menggambarkan kondisi pasien saat ini serta menjaga
kerahasiaan pasien. Hal ini dapat diptimalkan dengan mengaplikasikan sistem
komunikasi SBAR. Selain itu validasi kepada pasien dengan melakukan operan
keliling di bed pasien juga penting untuk untuk mengetahui kondisi dan keluhan pasien
sehingga dapat mengikuti perkembangan pasien.

6.3 Pre dan Post Conference


Pre conference merupakan komunikasi ketua tim dan perawat pelaksana
setelah selesai operan atau timbang terima untuk membahas rencana kegiatan pada
dinas/shift tersebut. Selama kegiatan pre conference dilakukan pembahasan terkait
rencana atau program tiap perawat (rencana harian) dan tambahan rencana dari
kepala tim serta penegasan kembali kegiatan. Selian itu, dalam kegaita pre conference
juga dibahas hal-hal penting yang akan dilakukan selama dinas/shift (Nursalam, 2006).
Post conference merupakan komunikasi ketua tim dan perawat pelaksana
tentang hasil kegiatan sepanjang dinas/shift yang dilakukan sebelum operan atau
timbang terima kepada dinas/shift berikutnya. Selama kegaitan post conference
dilakukan pembahsan tentang hasil asuhan keperawatan tiap perawat, program yang
sudah dan belum dilakukan serta hal penting untuk operan (tindak lanjut). Seperti
halnya pre conference, kegaitan post conference dipimpin juga dipimpin oleh ketua tim
(Nursalam, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Unit Rawat Inap C Rumah Sakit
Wava Husada, didapatkan kegiatan pre dan post conference memang tidak dilakukan
karena materi yang sudah disampaikan sudah mencakup pada kegiatan operan.
Sedangkan berdasarkan hasil observasi pada tanggal 8-11 Februari 2017 didapatkan
kegiatan pre dan post conference sudah dilakukan secara tertulis dan tidak secara
lisan dibuktikan dengan pengisian buku rencana tindakan, tetapi didapatkan belum
optimal. Salah satunya dikarenakan ruang rawat inap C belum memiliki SPO pre dan
post conference dan karena kesibukan dan mobilitas perawat yang tinggi. Selain itu,
berdasarakan hasil wawancara dengan Kepala Unit Rawat Inap C dan
KomiteKeperawatan Rumah Sakit Wava Husada masih belum adanya SPO yang
mengatur prosedur pre dan post conference. Oleh karena itu, solusi dari masalah ini
adalah pengusulan SPO pre dan post conference.
Pada pelaksanaan pengusulan SPO pre dan post conference dimulai dengan
pencarian sumber-sumber sebagai acuan pembuatan SPO pre dan post conference,
pembuatan proposal dan meminta persetujuan usulan rancangan SPO pre dan post
conference serta bekerjasama dengan komite keperawatan dan kepala unit dalam
penyusunan SPO pre dan post conference. Selama proses pelaksanaan ini terdapat
ketidak sesuaian antara rencana pelaksanaan kegiatan dan pelaksaannya. Hal ini
diakarenakan keterlambatan pelaksanaan karena penyusunan proposal terhambat
karena kegiatan pencarian sumber-sumber SPO pre dan post conference serta
penyesuaian pengguanaan bahasa agar aplikatif untuk digunakan di Rumah Sakit
Wava Husada.
Pada saat bekerjasama dengan komite keperawatan dan kepala unit dalam
penyusunan SPO pre dan post conference, didapatkan hasil SPO pre dan post
conference disetujui dan didukung oleh komite keperawatan dan kepala unit. Selain itu,
SPO pre dan post conference yang dibuat tidak bisa dilaksanakan di unit-unit Rumah
Sakit Wava Husada. Hali ini karena pengajuan SPO harus melewati beberapa tahapan
untuk disahkan dan dalam hali ini yang menjadi keterbatasan kami sebagai
mahasiswa. Pelaksanaan Pre dan Post Confernce yang sesuai denga teori tidak
optimal karena kebutuhan perawat dan mobilitas perawat yang tinggi sehinnga
memiliki keterbatasan waktu untuk melakukannya dan pelaksanaan pre dan post
conference seringnya dilakukan secara tidak langsung atau dilakuka secara tersirat
pada saat melakukan asuhan keperawatan

6.4 Penerapan 5 Momen Cuci Tangan


Pada saat pengkajian (16-18 Februari 2017) didapatkan data bahwa 2 momen
sebelum cuci tangan tidak dilaksanakan dengan baik. Momen cuci tangan sebelum
kontak dengan pasien pada tanggal 16 Februari didapatkan data 25% (2 perawat),
tanggal 17 Februari didapatkan data 37% (3 perawat) dan tanggal 18 Februari
didapatkan data 12% (1 perawat), sedangkan momen cuci tangan sebelum tindakan
aseptik yaitu pada tanggal 16 Februari sebesar 50% (4 perawat) dan tanggal 17-18
sebesar 25% (2 perawat). Momen cuci tangan setelah kontak dengan cairan tubuh
pasien dan setelah kontak dengan lingkungan pasien pada tanggal 16-18 Februari
didapatkan data sebesar 100% (8 perawat) dan momen cuci tangan setelah kontak
dengan pasien pada tanggal 16 dan 18 didapatkan data 100% (8 perawat), sedangkan
tanggal 17 didapatkan data 87% (7 perawat).
Pada saat evaluasi didapatkan data bahwa kepatuhan mencuci tangan pada 5
momen dengan perincian momen satu 57%, momen dua 14,3%, momen tiga 75%,
momen empat 84%, dan momen lima 76%, sehingga momen yang paling banyak
terjadi, yakni pada momen setelah kontak dengan pasien dengan tingkat kepatuhan
sebesar 84%, sedangkan momen yang paling sedikit terjadi pada momen sebelum
tindakan aseptik dengan tingkat kepatuhan 14,30%.
Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum kontak.
Indikasi "sebelum" momen ditujukan untuk mencegah risiko penularan mikroba untuk
pasien. Tiga lainya terjadi setelah kontak, hal ini ditujukan untuk mencegah risiko
transmisi mikroba ke petugas kesehatan perawatan dan lingkungan pasien. Padahal,
cuci tangan merupakan cara yang efektif untuk mencegah penyebaran penyakit
dikarenakan tangan yang sering terpajan oleh mikroorganisme “germs” seperti
bakteri dan virus, sehingga dengan cuci tangan dapat menghilangkan bakteri atau
virus yang ada ditangan (CCOHS, 2014).
Data tersebut terdapat perbedaan hasil pengkajian dan evaluasi karena terkait
instrumen yang digunakan pengkajian dan evaluasi berbeda. Pada pengkajian
menggunakan sistem jumlah tindakan per-perawat selama 1 kali shift, sedangkan pada
saat evalausi kami disarankan untuk menggunakan tingkat kepatuhan cuci tangan
perawat serta kesempatan cuci tangan dalam waktu 15 menit. Jumlah perawat dalam
pengkajian dan evaluasipun berbeda. Hal ini dikarenakan jadwal shift perawat untuk
keesokan harinya sama saat dilakukan pengkajian maupun evaluasi. Selain itu
perawat yang mendapatkan shift malam kami tidak dapat mengobservasi. Untuk
validitas data dikatakan tidak valid akibat perbedaan instrumen yang digunakan,
namun hasil akhir kesimpulan yang diperoleh sama yaitu 2 momen sebelum cuci
tangan yang jarang dilakukan.
Untuk memaksimalkan tingkat kepatuhan 5 momen cuci tangan di Unit Rawat
Inap C Rumah Sakit Wava Husada, maka dari itu perlu ada tindak lanjut berupa
sosialisasi cuci tangan secara berkelanjutan agar terbentuk budaya cuci tangan 6
langkah 5 momendan supervisi cuci tangan secara berkala.

6.5 Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


Pada saat pengkajian (8-11 Februari 2017) didapatkan hasil bahwa
pemberian pendidikan kesehatan pemakaian masker hanya dijelaskan pada saat
orientasi pasien baru dan tidak ada tindak lanjut seperti mengingatkan kembali kepada
pasien dan keluarga yang sudah berada di ruang isolasi. Sehingga saat dilakukan
pengkajian di dapatkan data 100% klien, keluarga dan pengunjung tidak memakai
masker. Di ruang isolasi tidak terdapat poster penggunaan masker untuk mencegah
penularan penyakit tuberkuosis.
Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik
menular maupun tidak menular. Seluruh petugas kesehatan yang bekerja dirumah
sakit dan pasien maupun keluarga pasien seharusnya mengetahui pentingnya
pencegahan infeksi silang (nosokomial) seperti penyakit tuberkulosis. Infeksi sebagian
besar dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia yaitu dengan penggunaan
masker (Tietjen, 2009).
Pada saat implementasi/role play (28 Februari 2017) dilakukan pendidikan
kesehatan dengan menggunakan poster dan leaflet dengan metode ceramah, diskusi
dan tanya jawab. Kemudian setiap harinya mengingatkan kembali untuk memakai
masker setiap ke ruang isolasi.
Hasil evaluasi selama 2 hari (6-8 Maret 2017) menunjukkan bahwa perawat
pada dasarnya mampu memberikan pendidikan kesehatan kepada setiap pasien dan
keluarga saat orientasi pasien masuk. Tetapi untuk pengunjung tidak diberikan
pendidikan kesehatan, pemberian edukasi dengan media poster dan leaflet mampu
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien, keluarga dan penunjung sehingga
diharapkan semua akan terlibat dalam penekanan infeksi penyakit tuberkulosis. Hal
tersebut terlihat dari hasil pre test dan post test untuk menilai tingkat pengetahuan
yang diberikan kepada klien, keluarga dan pengunjung. Terlihat peningkatan
pengetahuan pada kelien, keluarga dan pengunjung yang diberikan materi pendidikan
kesehatan dengan bantuan media poster dan leaflet. Salah satu hambatan yang
muncul dalam pemberian poster dan leaflet adalah keluarga pasien yang buta huruf
dan tidak bisa membaca, jadi diperlukan penjelasan khusus dari perawat mengenai
pencegahan penyakit tuberkulosis dengan masker.
Kemudian setelah di lakukan evaluasi selama 2 hari (6-8 maret 2017)
didapatkan 50% klien, 100% keluarga dan 50% pengunjung telah memakai masker di
ruang isolasi Unit Rawat Inap C. Faktor kesadaran merupakan faktor pendukung untuk
memakai masker pada klien, keluarga dan pengunjung yang dapat meningkatkan
perilaku hidup sehat. Sehingga dengan ini dapat menekan kejadian penularan penyakit
menular.

Anda mungkin juga menyukai