Anda di halaman 1dari 25

MASYARAKAT MADANI DAN

PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Drs. Sulaiman Gosalam, M. Si.

Nama anggota :
Raden Bagus Bimo Oktavianto (R011211029)
Sakinah Rasyadah (R011211117)
Iin Febrianti (R011211109)
Putri Alfi Ayu (R011211137)
Yuyu Astianti (R011211079)
Syahvira Nur Ramadhan (R011211053)

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASSANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan
rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang
telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna
dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Penyusun sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi


tugas pendidikan agama dengan judul masyarakat madani dan peradapan agama islam.
Di samping itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Akhir kata, penyusun memahami
jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami
butuhkan guna memperbaiki karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.

Makassar, 20 Agustus 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab
dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Masyarakat madani
sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai teori kuno. Ia
merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang
dan waktu. Masyarakat madani merupakan konstruksi bahasa yang “Islami” yang
mengacu pada kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan
dengan makna al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian
al-madinah yang artinya kota. Dengan demikian, maka terjemahan masyarakat madani
mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini agama merupakan
sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Berbicara mengenai masyarakat madani di zaman modern seperti saat ini adalah
merupakan satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi untuk segera direalisasikan.
Situasi semacam ini disebabkan oleh masyarakat modern yang beraneka ragam yang
sarat akan kepentingan pribadi maupun golongan. Oleh karena itu, menurut Thohir
Luth, masyarakat madani merupakan solusi damai dalam perbedaan. Dengan kata lain
tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi, dan pluralisme
merupakan kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban. Dengan penghargaan,
kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada
tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.
Untuk mewujudkan sistem sosial masyarakat madani tentu harus diawali
dengan membangun kualitas individu khususnya dan masyarakat pada umumnya. Salah
satu upayanya adalah dengan melalui pendidikan. Pendidikan menjadi mutlak
diperlukan dalam rangka untuk menganalisa dan membentuk manusia sebagai individu
maupun sebagai masyarakat. Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling
banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan suatu masyarakat.
Sebagaimana apa yang pernah dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwasannya
perubahan sosial hanya memungkinkan terjadi manakala telah didahului oleh
perubahan pola pikir masyarakat. Pendidikan merupakan model rekayasa sosial yang
paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat masa depan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana kehidupan masyarakat madani di zaman Nabi Muhammad SAW.?
2. Bagaimana sistem kebudayaan yang islami itu?
3. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk membumikan Islam di Indonesia?
4. Bagaimana Islam Nusantara dalam pandangan Islam?

C. Tujuan
Sesuai dengan perumusan dan pembatasan masalah yang dikemukakan, maka
tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1. Dapat mengetahui kehidupan masyarakat madani di zaman Nabi Muhammad
SAW.
2. Dapat mengetahui sistem kebudayaan islam itu seperti apa.
3. Mengetahui upaya yang dapat kita lakukan untuk membumikan Islam di
Indonesia.
4. Mengetahui pandangan Islam terhadap Islam Nusantara.
BAB 2
PEMBAHASAN

Kehidupan masyarakat Madani di zaman Nabi


Muhammad Saw.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah
masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan agar ummatnya leluasa
menjalankan syari'at agama di bawah suatu perlindungan hukum Nabi Muhammad Saw. beserta
para pengikutnya kemudian hijrah dari Makah ke Yatsrib. Tujuan hijrah tersebut adalah sebagai sebuah
reneksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita
membentuk yang madaniyyah (beradab). Pasca hijrah, Rasulullah mempelajari karakteristik dan
struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural. Beliau kemudian melakukan beberapa
perubahan sosial. SaIah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan
mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis
seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk
Yahudi dan Nasrani terkandung dalam piagam madinah. Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1
Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur
hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah dalam beberapa pasalnya sudah jelas mengatur
hubugan tersebut. Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara)
kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh
diasingkan dari pergaulan umum. Pasal 24: “Warga negara (dari golongan ) Yahudi memikul bersama-
sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan. Pasal 25 : (1) Kaum Yahudi dari suku
Banu 'Anf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas
memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini
berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan din" mereka sendiri. (4) Kecuali
kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan
keluarganya. Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi
sosiokultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan
tema yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak di sini akan dikemukakan
beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji
fenomena masyarakat madani ini, yaitu :
1. Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang
dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini
timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-
hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang
hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada
dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2. Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari
negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik. Gerakan warga
negara yang mampu mengendalikan din" dan independen yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada
akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-
kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat
yang secara relatif otonom dan" negara yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi
dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna
menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan- kepentingan mereka menurut
prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.

Unta yang dinaiki Nabi SAW berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin Amr.
Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun masjid. Ketika membangun masjid
tersebut, Rasulullah turut bekerja dengan kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Setelah
pembangunan masjid dan tempat tinggal Rasulullah usai, kini tantangan dakwah menghadang di depan.

Di sinilah fase baru dalam hidup Rasulullah dimulai, suatu fase politik yang telah diperlihatkan olehnya
dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu,
lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum.

Rasulullah kemudian mempersaudarakan kaum Muslimin. Beliau sendiri bersaudara dengan Ali bin
Abi Thalib. Hamzah, pamannya, bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakar bersaudara
dengan Kharijah bin Zaid. Umar bin Al-Khathab bersaudara dengan Itban bin Malik Al-Khazraji.
Demikian pula setiap orang dari kalangan Muhajirin yang kini sudah banyak jumlahnya di Yatsrib,
dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar. Dengan persaudaraan demikian, kekuatan
kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.

Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu, Rasulullah merasa lebih
tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus
menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh.
Rasulullah kemudian membuat perjanjian tertulis antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-
orang Yahudi. Perjanjian ini—disebut Piagam Madinah—berisi pengakuan atas agama mereka dan
harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik.

Inilah dokumen politik yang telah diletakkan Muhammad SAW yang menetapkan adanya kebebasan
beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang
melakukan kejahatan. Ia telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia
masa itu. Dunia yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan
kehancuran semata.

Dalam penandatanganan dokumen ini, orang-orang Yahudi Bani Quraizah, Bani Nadzir dan Bani
Qainuqa' tidak ikut serta. Namun tidak kemudian, mereka pun mengadakan perjanjian yang dengan
Nabi. Demikianlah, seluruh kota Yatsrib dan sekitarnya benar-benar jadi terhormat bagi seluruh
penduduk. Mereka berkewajiban mempertahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang
dari luar. Mereka harus bekerja sama untuk menghormati segala hak dan kebebasan yang telah disetujui
bersama dalam dokumen ini.

Rasulullah sudah merasa cukup lega dengan hasil demikian ini. Kaum Muslimin pun merasa tenteram
menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Mereka tidak
lagi khawatir dengan adanya gangguan atau fitnah. Ketika itulah Rasulullah menyempurnakan
pernikahannya dengan Aisyah binti Abu Bakar.

Dalam suasana yang sudah mulai tenteram, dan kaum Muslimin dapat menjalankan perintah-perintah
agama, kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yatsrib inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya. Ia pun kemudian disebut dengan Madinah, atau kota sang Nabi.

Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di Madinah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang dapat
melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itu
pun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan akan mendapat balasan
sepuluh kali lipat."

Dan dalam khutbahnya yang kedua beliau berpesan, "Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah dan
janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Benar-benar takutlah kamu kepada-Nya. Hendaklah
kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan... Hendaklah kamu sekalian saling cinta-
mencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri."

Bukan hanya kata-katanya saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu,
melainkan juga perbuatan serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam
bentuknya yang benar-benar sempurna. Beliau adalah utusan Allah, namun beliau tidak mau
menampakkan sebagai penguasa atau raja. Kepada sahabat-sahabatnya, Nabi SAW kerap berpesan,
"Jangan memujaku seperti orang-orang Nasrani memuja anak Maryam. Aku adalah hamba Allah. Sebut
saja hamba Allah dan Rasul-Nya!"

Rasulullah adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali dalam kehidupan ini, suatu kekuatan yang
membuatnya sudah tak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu
sebabnya sampai ada orang yang mengatakan, dalam memberi, Muhammad sudah tidak takut
kekurangan. Beliau sangat keras dalam menahan diri terhadap hidup yang serba materi. Begitu jauhnya
menahan diri sehingga lapak tempat dia tidurnya hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat.
Makannya tak pernah kenyang. Beliau pernah makan roti dari tepung sya'ir dua hari berturut-turut.
Sebagian besar makannya adalah bubur. Pada hari-hari lain, beliau makan kurma. Bukan sekali saja ia
harus menahan lapar. Perutnya kerap diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga
pencernaannya itu.

Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Sungguhpun begitu,
dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara
ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Allah SWT berfirman: "Makanlah dari makanan yang baik
yang sudah Kami berikan kepadamu." (QS Al-Baqarah: 57).

"Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan
kau lupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah
telah berbuat baik kepadamu." (QS Al-Qashash: 77).

Dan dalam hadits beliau bersabda, "Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-
lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok."
Rasulullah SAW ingin memberikan teladan yang tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam
menghadapi hidup, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat
diperbudak oleh kekayaan, harta-benda, maupun kekuasaan selain Allah.

Sistem Kebudayaan Yang Islami

A. DEFINISI KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata yakni budi dan daya.
Budi bermakna akal, pikiran, pendapat dan perasaan, sedangkan daya berarti usaha dan upaya manusia
yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (sidi
Gazalba, 1998 : 35). Oleh karena itu kalau kita bicara budaya berarti kita membicarakan kehidupan
manusia dengan segala aktivitasnya.
Menurut edward B. Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyaraakat.Pengertian kebudayaan yang dinyatakan oleh edward
B. Tylor tersebut mencakup beberapa faktor di antaranya:

1. Kebudayaan adalah suatu kesatuan dan satu gambaran.

2. Kebudayaan meliputi satu ikatan hasil karya yang bersifat psikis sehingga tidak dapat dilihat secara
nyata, namun lebih merupakan ekspresi secara emosional maupun mental.

3. Kebudayaan terdiri dari hal-hal yang sifatnya material, kesenian atau perilaku, dan moral dalam
keluarga.

4. Kebudayaan merupakan penekanan pada perbuatan manusia yang mengarah kepada keteraturan dan
kesinambungan tertentu yang berwujud adat, kepandaian hal yang biasa terjadi sehngga bukan
suatu hal yang berdiri sendiri-sendiri. menurut Koentjoroningrat (1986; 80-90) yang ditulis oleh
Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” membagi kebudayaan menurut bentuk dan
isinya ada tiga macam :

3. Sistem Kebudayaan (Cultural system ), suatu kebudayaan yang berwujud gagasan, pikiran, konsep,
nilai nilai budaya, norma norma, pandangan yang bentuknya abstrak 


4. Sistem Sosial (Social System), berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara serta ritus
ritus yang wujudnya lebih konkrit dan dapat diamati.

5. Benda benda budaya (Material Culture), sebagai kebudayaan pisik atau kebudayaan material. Benda
budaya merupakan tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan. Kebudayaan Islam
merupakan suatu

Sistem yang memiliki sifat-sifat ideal, sempurna, praktis, aktual, diakui keberadaanya dan
senantiasa diekspresikan. Al quran memandang kebudayaan sebagai suatu proses dan meletakkan
kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan sebuah totalitas kegiatan
manusia yang mencakup akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam sebuah perbuatan. Oleh karena itu
dapat dipahami kebudayaan merupakan hasil akal budi, karya cipta dan rasa manusia sehingga tidak
mungkin terlepas dengan nilai nilai kemanusiaan yang bersifat universal walaupun sangat mungkin
terlepas dari nilai nilai ketuhanan. Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta, rasa dan karsa
manusia yang berlandaskan pada nilai nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk
berkiprah dan berkembang.

B. PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM

Seperti sudah kita lihat, keluhuran hidup Muhammad adalah hidup manusia yang sudah begitu
tinggi sejauh yang pernah dicapai oleh umat manusia. Hidup yang penuh dengan teladan yang luhur
dan indah bagi setiap insan yang sudah mendapat bimbingan hati nurani, yang hendak berusaha
mencapai kodrat manusia yang lebih sempurna dengan jalan iman dan perbuatan yang baik. Dimana
pulakah ada suatu keagungan dan keluhuran dalam hidup seperti yang terdapat dalam diri Muhammad
ini, yang dalam hidup sebelum kerasulannya sudah menjadi suri teladan pula sebagai lambang
kejujuran, lambang harga diri dan tempat kepercayaan orang. Demikian juga sesudah masa
kerasulannya, hidupnya penuh pengorbanan, untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk itu pula Allah
telah mengutusnya. Suatu pengorbanan yang sudah berkali-kali menghadapkan nyawanya kepada maut.
Tetapi, bujukan masyarakatnya sendiri pun – yang dalam gengsi dan keturunan ia sederajat dengan
mereka – yang baik dengan harta, kedudukan atau dengan godaan-godaan lain -mereka tidak dapat
merintanginya.
Kehidupan insani yang begitu luhur dan cemerlang itu belum ada dalam kehidupan
manusia lain yang pernah mencapainya, keluhuran yang sudah meliputi segala segi kehidupan. Apalagi
yang kita lihat suatu kehidupan manusia yang sudah bersatu dengan kehidupan alam semesta sejak
dunia ini berkembang sampai akhir zaman, berhubungan dengan Pencipta alam dengan segala karunia
dan pengampunanNya. Kalau tidak karena adanya kesungguhan dan kejujuran Muhammad
menyampaikan risalah Tuhan, niscaya kehidupan yang kita lihat ini lambat laun akan menghilangkan
apa yang telah diajarkannya itu.
Tetapi, seribu tigaratus limapuluh tahun ini sudah lampau, namun
amanat Tuhan yang disampaikan Muhammad, masih tetap menjadi saksi kebenaran dan bimbingan
hidup. Untuk itu cukup satu saja kiranya kita kemukakan sebagai contoh, yaitu apa yang diwahyukan
Allah kepada Muhammad, bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Empat belas abad sudah
lalu, tiada seorang juga sementara itu yang mendakwakan diri bahwa dia seorang nabi atau rasul Tuhan
lalu orang mempercayainya. Sementara dalam abad-abad itu memang sudah lahir tokoh-tokoh di dunia
yang sudah mencapai kebesaran begitu tinggi dalam pelbagai bidang kehidupan, namun anugerah
sebagai kenabian dan kerasulan tidak sampai kepada mereka. Sebelum Muhammad memang sudah ada
para nabi dan rasul yang datang silih berganti. Mereka semua sudah memberi peringatan kepada
masyarakatnya masing-masing bahwa mereka itu sesat, dan diajaknya mereka kepada agama yang
benar. Namun tiada seorang diantara mereka itu yang menyebutkan, bahwa dia diutus kepada seluruh
umat manusia, atau bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Sebaliknya Muhammad, ia
mengatakan itu, dan sejarah pun sepanjang abad membenarkan kata-katanya. Dan itu bukan suatu cerita
yang dibuat-buat, tetapi memang hendak memperkuat apa yang sudah ada, serta menjelaskan
sesuatunya, sebagai petunjuk dan rahmat bagi mereka yang beriman.
“Tuhan tidak akan memaksa
seseorang di luar kesanggupannya. Segala usaha baik yang dikerjakannya adalah untuk dirinya, dan
yang sebaliknya pun untuk dirinya pula. ‘Ya Allah, jangan kami dianggap bersalah, bila kami lupa atau
keliru. Ya Allah, janganlah Kaupikulkan kepada kami beban seperti yang pernah Kaupikulkan kepada
mereka yang sebelum kami. Ya Allah, jangan hendaknya Kaupikulkan kepada kami beban yang kiranya
takkan sanggup kami pikul. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkau
jugalah Pelindung kami terhadap mereka yang tiada beriman itu.” (Qur’an, 2: 286)


C. KONSEP KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya yang
berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).
Dari
pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan merupakan
gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil
budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau individu. Tinggi-
rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang
dimiliki sebagao hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan orientasi
dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas
ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri.
Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu
kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam ,
memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan
masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau esensial.
Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam perwujudannya tergantung pada
pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh
aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin
juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain,
diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah
dan tauhid, berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh
semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan
Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang
bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul
sebagai implementasi Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama
Islam, sumber norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan
Islam dapat dipilah menjadi tiga unsure prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya
orang Islam; kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam; dan merupakan pencerminan dari
ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk
kaum Mslimin tidak bias dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya,
meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak
mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan bahwa
sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya berasal dari
rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu
kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik atau
ekonomi Islam.

Upaya membumikan Islam di Indonesia


A. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak Keberagamaan

Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda – tanda ( ayat) yang nirbahasa, juga
bermanifestasi dalalam bentuk tanda- tanda (ayat ) yang difirmankan. Untuk memudahkan pemahaman,
kita bedakan antara istilah wahyu ( dengan “w” kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar). Wahyu dengan
w kecil menyaran pada tanda- tanda intruksi arahan, nasihat, pelajaran, dan ketuhan Tuhan yang
nirbahasa, dan mewujud dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika social budaya yang terjadi
di dalamnya.

Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan
ketentuan Tuhan yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh
orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini sebenarya berbeda,
namun sementara ini dianggap sama). Tanda-tanda Tuhan di alam semesta ini ada yang dipahami secara
sama, pada sembarang waktu dan tempat. Sebalikny , tanda- tanda Tuhan ada pula yang dibaca dan
dipahami secara berbeda karena perbedaan kadar kemampuan jiwa , rasa, dan fisik. Menurut Sahrur
dalam AI-Quran wa al-Kitab". tanda tanda Tuhan yang di angkap secara universal itulah yang di sebuit
dengan ayat-ayat muhkamat. Adapun tanda tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan ayat ayat mutasyabihat.Ayat-ayat yang
terdapat di alam semesta dengan berbagai dinamika di dalamnya dibaca dan dimaknai secara
komprehensif oleh beberapa orang pilihan yang disebut dengan nabi rasul. Para nabi dan rasul
merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai bakat kecerdasan paripurna sehingga
dapat men-“download” ayat-ayat Tuhan yang di-upload di alam ini dan mem-breackdown-nya menjadi
sebuah pelajaran, nasihat, ketentuan, instruksi, dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa. Ketika
masih dalam bentuknya yang asli berupa alam yang terbentang, wahyu belum diidentifikasi sebagai
shuhuf al-Ula (kitab Ibrahim), Taurat (kitab Musa), Zabur (kitab Dawud), Injil (kitab lsa), atau Al-
Quran(Nabi Muhammad SAW). Wahyu dengan w kecil sebagai ayat yang terbentang baru diidentifikasi
sebagai sebutan manakala telah diperspesi oleh para nabi dan rasul Ketika ia dipersepsi oleh nabi
berkebangsaan Yahudi, maka munculah Taurat yang berbahasa lbrani. Ketika ia dipersepsi oleh nabi
yang berkebangsaan Arab maka munculah Al-Quran yang berbahasa Arab.Wahyu (dengan W besar)
difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan yang tidak dilemukan jawabannya dalam tanda-
tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan
memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh rnakna dari setiap fenomena yang
dialarrunya.

Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk memperpendek proses pembacaan terhadap alam
(wahyu yang terbentang). Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami aJam
dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan waktv yang lama
untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses yang panjang dan berliku tersebut dapat
disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban
final kehidupan.

Agaknya faktor sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh masing-masing nabi membuat
Wahyu pun terfirman dengan teknik dan content yang berbeda Wahyu Allah yang terbentang dalam
alam geografis dan sosial budaya Arab, akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan
dalam tradisi intelektual Arab. otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan
kultur Arab pada masa wahyu difirmankaff Artinya, ke-Araban Al- Quran misalnya, sangat dipengaruhi
oleh kultur Arab Nabi Muhammad. Al-Quran menjadi sebuah bacaan berbahasa Arab dan menyapa
umat manusia dengan log'ka bangsa Arab abad ke-7 karena ia diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang berkebangsaan Arab.

Wahyu Allah (dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan historis. Sebagai tanda-tanda Tuhan
yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi zaman dan melintasi ruang. Namun ketika wahyu tersebut
di-downtoad menjadi wahyu terfirman, maka ia berubah menjadi wahyu yang historis (menyejarah).
Hal itu dikarenakan substansinya yang universal. kini harus diwadahi dalam lokahtas ekspres, Begitu
wahyu Allah (dengan w kecil) berubah menjadi wahyu terfirman selanjulnya disebut Firman saja). maka
ia terikat dalam ruang ekspresi yang dibatasi oleh letak geografis dan ruang waktu.. lni merupakan
babak awal terjadinya perbedaan corak pemahaman agama.

Dalam nalar Islam, wahyu yang terbentang diakses dan di- downIoad oleh Nabi Muhammad dengan
bakat intelektual yang luar biasa dan karunia Allah melalui Malaikat Jibril. Wahyu terfirman itu lalu
disebut Al-Quran. Apabila mengacu pada pemikiran yang dikemukakan Sahrur, tanda-tanda Allah
di alam terbentang disebut dengan Al-Quran al-"Aztnm sedangkan tanda-tanda yang terclapat dalam
wahyu terfirman disebut dengan Al-Quran al-Karim. Selanjutnya dalam pembahasan di buku ini, ada
baiknya kita tetap mengunakan istilah wahyu terbentang (At-Quran al-Azhim) dan wahyu terfirman
(AI- Quran al-Karim).

Wahyu terfirman rnerupakan bentuk relasi antara nalar manusia, wahyu terbentang, dan karunia
rahrnat Tuhan. Melalui rahm.at- Nya, Allah memberikan karunia kepada alam semesta untuk
menampung dan merepresentasikan tanda-tanda-Nya. Di sisi lain, melalui rahmat-Nya pula manusia
diberi kemampuan nalar untuk berpikir, memahami, dan menghayati tanda-tanda alam sebagai tanda-
tanda-Nya. .Al-Quran al-Karim merupakan salah satu bentuk relasi antara nalar Arab abad ketujuh,
wahyu terbentang( Al-Quran al- Azhim), dan karunia rahmat Allah tersebut.

Mulanya, Al-Quran sebagai wahyu terFirman disampaikan secara lisan, sesuai dengan tuntutan
konteks situasional waktu diturunkan. Ada tiga situasi yang mendorong terjadinya peristiwa
pewahyuan secara lisan, yaitu: adanya pertanyaan tentang sebuah masalah, problematika sosial-budaya
yang harus dicarikan solusinya, dan misi kenabian untuk merombak budaya suatu umat.

Al-Quran sebagai wacana lisan sangat kental diwamai oleh konteks sosial-budaya dan situasi peristiwa
komunikasi kehka ia difirmankan melalui lisan Nabi Muhammad. Implikasinya, sebagai wacana lisan,
Al-Quran sering kali menggunakan ragam ungkapan dan ekspresi kebahasaan yang mengedepankan
keterbukaan dan pemaknaan yang dinamis, selama ia tidak menyimpang dari konteks komunikasi
tersebut. Pemaknaan tersebut munculdalam bentuk respon langsung berupa sikap yang dilakukan
audiens kala itu. Fokus pada respon rnerupakan salah satu ciri komunikasi lisan, ketika terjadi tindak
saling merespon antara komunikator (dalam hal ini nabi) dan komunikan (audiens Al-Quran).

Keterbukaan dalam pembacaan Al-Quran diartikan sebagai pemaknaan AI-Quran yang hidup,
progresif, mengalir sesuai dengan konteks situasional bangsa Arab kala itu. Audiens Al-Quran kala itu
masih dapat melihat secara langsung waktu, tempat, dan alasan sebuah ayat turun sehingga mereka
langsung mengambil sikap berdasarkan pemahaman mereka yang komprehensif tentang peristiwa
pewahyuan tersetut. Sahabat tidak mengalami kesulitan untuk memahami, menghayaLa, dan
mengamalkan wacana Al-Quran karena mereka paham bermr tentang situasi komunikasi ketika Al-
Quran difirmankan. nabi pun tidak menuntut sahabat terlalu jauh untuk

menyikapi Al-Quran sebagai teori-teori filosofis dengan menjejalkan argumen-argumen teoretis. Bagi
nabi ketika itu, Al-Quran adalah pedoman gerak dan bersikap sehingga begrtu mendengar wacana lisan
Al-Quran umat manusia dapat langsung memfungsionalisasikan Al-Quran dalam realita kehidupan
mereka. Implikasinya, nabi banyak menoleransi pelbagai model pembacaan Al-Quran asalkan masih
sejalan dengan tujuan agama yaitu untuk menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada
Tuhan.

Problematika lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al- Quran menjadi mushaf adalah hal yang
disebut dengan pemihakan ayat. Artinya perbedaan corak pemaharnan dan orientasi keberagamaan
umat menjadi bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang ditemukan dalam
ayat-ayat tertentu, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk menyikapi ayat-ayat lainnya yang
memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan Qadariyah dan Jabariyah, misalnya, merupakan contoh
yang pas untuk menggambarkan adanya pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada ayat-ayat tertentu.
Dalam tradisi muktazilah, bahkan dikatakan apabila ditemukan ayat-ayat yang tidak sejalan dengan
ayat-ayat utama yang rnereka pdikan rujukan, maka dilakukan mekanisme pemalingan makna yang
disebut dengan takwil.

Sejak dulu para ulama merasa perlu untuk melakukan kerja rekonstruksi peristiwa pewahyuan agar
dapat mencapai pemahaman Al-Quran yang tepat dan sesuai dengan dinamika zaman. Maka rnuncullah
beraneka ragam, corak, dan model penafsiran sebagai upaya untuk menyingkap kandungan makna Al-
Quran agar ia dapat difungsionaliasikan dalam kehidupan.

Berbagai model pembacaan Al-Quran dilakukan dengan mengacu pada tiga aspek utama, yaitu: teks
AI-Quran sebagai sebuah

(a) kesatuan tema.

(b) konteks historis yaitu konteks situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan, peristiwa
penafsiran masa nabi, dan masa-masa generasi sebelumnya sebagai sumber inspirasi penafsiran,
dan

(c) konteks pembacaan. yaitu situasi kondisi pada saat Al-Quran dibaca dan ditafsirkan kembali oleh
seorang penafsir dengan mengacu pada berbagai pendekatan dan problematika kehidupan kontemporer.

Melalui model pembacaan seperti itu maka dimungkinkan terjadinya proses pengayaan tafsir, sesuai
dengan latar geografis, sosial-budaya, dan spirit zaman saat Al-Quran ditafsirkan. Dengan kata lain:
perbedaan latar belakang keilmuan penafsir akan memperWaruhi oorak pemahaman terhadap Al-
Quran, begitu pula perbedaan latar sosial-budaya dan geografi penafsir akan berbeda hasil tafsirnya.
Seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang rasional akan cenderung memperlakukan AI-Quran
sebagai kajian filsafat, sebaliknya, seorang yang terbiasa bergelut dengan kajian- kayan Eeologis akan
memposisikan AhQuran sebagai teks dokrin dan dogma. Seseorang yang besar dalam kuitur budaya
Arab tentunya akan memiliki pemahaman berbeda dengan orang lain yang besar dalam kultur budaya
Asia atau Eropa. Pembaca AI.Quran abad ketujuh tentunya juga akan memiliki pemahaman yang
berbeda dengan pembaca Al-Quran abad kedua puluh satu. Ini semua menunjukkan bahwa Al-Quran
dapat menjadi amber inspirasi bagi semua orang sepanjang masa dan di seluruh dunia. Iniiah yang
disinyalir oleh Ali bin . Abi Thalib dengan pernyataanrya yang terkenal -AI-Quran baina daffatai
almushaf la yanthiq wa innama yatakallamu bihi ar-rijal (AI-Q uran yang terdapat dalam mushaf ddak
berbicara, yang membuatnya berbicara adalah para pembacanya).

B.Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan

Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur social masyarakat yaitu
agam dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersabut memiliki peranan penting dalam
membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai 'jati diri" orang
Indonesia. Karakter tersebut mewamai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara
politik. ekonomi maupun sosial budaya.

Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sabagai suatu dogma yang
kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan
komunitas untuk dyadikan sebagai standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan
budaya itulah maka sering kali nilai- niiai agama dipertentangkan dengan ndai-nilai budaya lokal
yang sebenamya telah rnempengaruhi perilaku sosial seseorang.

Waktu masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat
bahwa sejak sebelum hijrah telah ada orarng Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad ke-
13 munculah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, yang selanjutnya mengalam perkembangan
pesat pada abad ke-15. Pada abad ke17/ ke-l8 bahkan mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera telah
memeluk Islam.

Mulanya Islam masuk ke Indonesia mlalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu belakangan
masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut, di samping saudagar-saudagar Islam dari Cina.
Islam disebarkan dengan cara-cara damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya
lokal yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya
lokal non-lslam (Arab) bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik keagamaan umat Islam
Indonesia. Hal itu mengingat Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam sufistik yang memang
memiliki karakteristik terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.

Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai penyebab munculnya karakter
Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo
sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia dianggap belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan
Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis lersebut, di antaranya paham sinkretisme
yang tampak masih dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang mendukung
metode dakwah Wali Songo di atas. praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut
bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif
mistisisme Islam.

Sejalan dengan itu, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya kita mampu memosisikan diri terkait
dengan hubungan agama dan budaya lokal? Handaknya kita memosisikan keduanya secara
proporsional, jangan sampai kita hanya mengakui nilai-nilai agama sebagai satu-satunya konsep yang
mengarahkan perilaku tanpa peduli pada nilai-nilai budaya lingkungan sekitar. Sebaliknya, jangan pula
kita hanya berpakem pada budaya dan tradisi tanpa pertimbangan- pertimbangan yang bersumber dari
agama. Tanyakan pada teman Anda pandangan mereka tentang proporsionalitas hubungan antara agama
dan budaya lokal di atas
Adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam secara
metodologis harus diakui eksistensinya. Dalarn kaidah ushol fiqh kita tamukan misalnya kaidah, al-
addah muhkamah adat itu bisa dijadikan hukum). atau kaidah "al- addah syari'atun muhkamah' (adat
adalah syariat yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini memberikan justifikasi yuridis bahwa
kebiasaan suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk
bwsikap. Hanya saja tidak semua adat tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur
budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
akan diganti atau disesuaikan dengan semangat tauhid.

Rasul telah mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran lslam dan tradisi bangsa Arab pada
abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dikkukan beliau untuk menyikapi tradisi yang telah berkembang
kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan tradisi yang dianggap baik: seperti tradisi musyawarah,
kumpul-kumpul pada hari Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi yang secara
substansi sudah baik, teLapi dalam beberapa aspek implemantasinya bertentangan dengan semangat
tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan poligami. Ketiga menolak tradisi yang dianggap
melanggengkan nilai, moralitas, dan karakter jahiliah, dan menggantikannya dengan tradisi baru yang
mengembarkan dan memperkuat nilai, moralitas, dan karakter islami, seperti tradisi berjudi, berhala.
minum-minurnan keras, dan kawin korntrak.

Berbicara tentang karakteristik muslim Indonesia, artinya berbicara tentang relasi antara budaya
Indonesia dan ajaran Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa antara agama dan kebudayaan tidak bisa
dipisahkan karena agama tidak akan memanifestasi tanpa media budaya, dan budaya tidak akan
bemlnilai luhur tanpa agama. Semula lslam memanikstasi dalam budaya Arab, lalu seiring dengan
penyebaran Islam, ia pun termanifestasi dalam budaya-budaya lainnya.

Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan Indonesia dengan dunia Islam
lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang berhaji ke Mekah meningkat, jumlah sarjana
Indonesia yang pergi ke Timur Tengah untuk belajar agama juga meningkal secara signifikan. Pada
periode itu berkembang pemikiran revivalisme Islam dengan semangat mengembalikan kemurnian
Islam untuk mengembalikan kejayaan umat Islam. Beberapa pelajar Islam Indonesia yang belajar di
Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini lalu membuat serangan kuat terhadap pemikran
keagamaan di Indonesia. Model keberagamaan Islam Indonesia yarig "sinkretis" mendapat kecaman
pedas dari kelompok ini. Menurut mereka, praktik keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam
kehilangan identitas keislaman yang murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan
paganisme atau animisme-dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan menolak setiap
bentuk persinggungan ajaran Islam dengan unsur unsur budaya yang tidak berasal dari lslam itu sendiri.
.

Mereka juga menolak adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik, bahkan pengaruh budaya
lokal yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua ekspresi keberagamaan yang merupakan
perpaduan antara Islam dan budaya-budaya lain dianggap sudah tidak mumi dan berbau bidah bahkan
berbau syirik. Namun, ironisnya kelompok ini terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap
bahwa budaya Islam adalah budaya Arab.

Revivalisme dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme.
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut
merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini mengingkari unsur lokalitas yang turut
membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa
sehingga cenderung intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada titik krttis
bisa melahirkan teronsme.

Dengan demikian, ditengah adanya dua corak utarna keberagamaan umat Islam Indonesia,.yaitu
sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat akomodatif terhadap
perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sejalan
dengan rasionalitas dan norma-norma Islam sendiri. Sebaliknya. klompok kedua lebih rasional dalam
menyikapi tradisi kagamaan, namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang
dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.

C. MenggaIi Sumber Historis, Sosiofogis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Isfam

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Islam dapat diaksentuasikan dengan pelbagai cara sesuai
dengan konteksnya. Aksentuasi fslam yang beragam tersebut dimungkinkan terjadi. SaIah satu
penyebabnya karena adanya akulturasi Islam dengan budaya Iokal. Akulturasi Islam dengan budaya
Iokal tertantu menunjukkan adanya upaya pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam menyaran pada
transformasi nitai-nilai Isfam universai daIam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu tertentu.
Melalui pribumisasL Islam diharapkan dapat hadir dafam dinamika kehidupan kekinmn danmenjawab
berbagai problematika sosial-budaya yang berkembang dalam sebuah ruang, waktu, dan geografis
tertentu. .

1. Menggali Sumber Historis

Istilah pnbumisassfam diperkenalkam oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alematif
dalam upaya pencagahan praktik radikasme agama. Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis islam
Nusantara yang menempatkan lslam secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau boleh
disadari meskipun sedikit teidlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai cara pandang futuristik Gus
Dur perihal Islam Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme _ dan terorisme.
Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nasantara. .

Pribumisasi lsiam menampik bahwa prakik keisarnan "tidak selaIu identik" dengan pengalaman Arab
(Arabisme). Ia adaptif dengan Iokalitas. Pribumisasi merupakar semangat lanutan dari perjuangan
kakek Gus Dur, KH Hasym Asy'ari. Kelahiran-Nahdhatul Ulama (NU) merupakan kristalisasi sernangat
pribumisasi islam dilndonesia. Organisasi ini berdiri untuk membela praktik-praktik, keberagamaan
kaum lstam tradisionalis dari kritikan dan serangan agresif paham puritanisme yang dipengaruhi
gerakan Wahabi di Saudi Arabia-.-NU dengan pendekatan sufistiknya mau menerima dan
mengakomodasi praktik keberagamaamnya. Berbeda dengan organisasi Muhammadyah dengan
teologi Salafinya justru menganggap praktik keeragamaan yang memadukan Islam dengan budaya
lokal adalah praktik TBC (takhayul, bidah, dan churafat/ khurafat)

Apabila kita tengok sejarah perkembangan Islam di Indonesia. dakwah yang dilakukan oleh para
dai yang membawa Islam ke indonesia selalu mempertimbangkan kearifan Iokal (local wisdom) yang
menjadi realitas kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Keberagaman suku, budaya, dan adat-
istiadat mendorong keanekaragaman ekspresi kaislaman di Indonesia.

Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang sengaja melakukan
inkulturisasi Islam. Para ,wali mempergunakan instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk
memasukkan pesan-pesan Islam_ Misalnya, tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, pada
masa dahulu di masyarakat Jawa dilaksanakan jika anggota keluarga meninggal dunia. Oleh para wali,
momen dan forum kumpul-kumpul tersebut dibiarkan, tetapi dimodifikasi dengan membaca Yasin,
Tahlil Tasbih, Tahmid, dan Selawat, dengan diselingi pesan-pesan keagamaan. Pagelaran wayang, yang
merupakan media hiburan dan edukasi masyarakat Hindu-Jawa, dimodifikasi sedemikian rupa.

Pengajaran Islam seperti. ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu mereduksi
(menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental perang. Islam mengedepankan
kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin dan tetap menghidupkan ekspresi lokalitas.
Pribumisasi Islam di antaranya mengambil bentuk seni vokal (tembang) yang dipergunakan untuk
menyampaian pesarn pesan moral Islam. Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenos yang
mengembangkan spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah kearifan
lokal itu ditafsirkan membentuk variarsi keberagamaan yang dapat dimaknai ke dalam bebagai

2. Menggali Sumber Sosiologis

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Feynomena ini
tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Mereka berasal dari Arab, Persia, India, bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tadak saja
untuk memperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah
mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah.

Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang
masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu
atau Buddha. Namun demekian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan isiam tidak disertai
dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal setidaknya
disebabkan oleh dua faktor; yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri.

3. Menggali Sumber Teolgis dan Filosofis

Secara filosofis, pribumisasi islam didasari oleh paradigma sufistik tentang subtansi
keberagamaan. Dalam paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris (aspek
dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar)_ Dalam tataran esoteris, semua agama adalah sama karena ia
berasal dari Tuhan Yang tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di
alam ini pada hakikatnya berasal dari Wujud Yang satu (Tuhan Yang Maha Esa). Alam ciptaan dengan
pluraritas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah keberaran - universal yang berasal dari
Sang. Penncipta:

Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, tapi
pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal.
Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam ranah reaktas ciptaan (makhluk) maka tauhid berarti pengakuan
akan pluralitas atas senlai Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan seain Dia adaiah plural.
AI-Quran juga mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakterstik makhluk
ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkar pluraktas dalam ciptaan untuk mendorong ketidakharmonisan
dan perang. Pliralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk. Karnana sifat telativitanya tersebut,
makhluk Allah tidak mungkin menyamai kemutlakan Sang Pencipta.

D.Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam

Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai komponen
untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif bagi
pembumian lslam yang penuh rahmat. Namun, upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh
adanya potensi-potensi konfllk yang sangat banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dan
sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan
modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama. :-

Sering kali ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi sebuah
pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pa Tuhan yang Mahaluhur dan
Mahamulia diseret oleh subjektvitas manusia untuk membenarkan sikap sektarian tersebut. Teks suci
agama pun tidak luput dari tangan- tangan nakal manusia. Teks sengaja dipahami secara lepas dari
konteks kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain
yang berbeda pemahamannya.

Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama
perlu kembali dirujuk untuk ditransformasikan nilai-nilai Iuhurya sehingga dapat memunculkan
sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sektarian, stereotip
radikal, dan spirit saling mengafirkan antara sesama umat seagama, atau antara umat yang berbeda
agama Apaba kita kernbali melihat contoh rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa
potensi-potensi konflik akan tapat dieliminasi dengan mengedepankan persamaan dalam keragaman.
Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan tetapi dalam
menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut.

Sebaliknya, justru kita harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi, bisa
saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus mengedapankan kesadaran bahwa ada
satu persamaan yang mengikat kita semua, yaitu kesadaran bahwa kita adalah bangsa Indonesia

Islam Nusantara dalam Perspektif Islam


Ada beberapa definisi tentang Islam Nusantara yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam, antara
lain: “Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika
antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat.” (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67).
Pemaknaan senada, “Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam
teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air” (Bizawie dalam Sahal & Aziz,
2015: 239). Definisi pertama ini menunjukkan bahwa secara substantif, Islam Nusantara merupakan
paham Islam dan implementasinya yang berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat sintesis
antara wahyu dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local wisdom).

Sedangkan definisi kedua merupakan Islam yang berkarakter Indonesia, tetapi juga sebagai hasil

dari sintesis antara nilai-nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal. Hanya saja, wilayah
geraknya dibatasi pada wilayah Indonesia, sehingga lebih sempit daripada wilayah gerak dalam
pengertian yang pertama yang menyebut bumi Nusantara. Sayangnya, dalam sumber-sumber tersebut
bumi Nusantara tidak dijelaskan wilayah jangkauannya. Selanjutnya, terdapat pemaknaan Islam
Nusantara yang ditekankan sebagai metodologi dakwah yang berbeda dengan pemaknaan yang pertama
maupun kedua.

“Islam Nusantara adalah metodologi dakwah untuk memahamkan dan universalitas (syumuliyah)
ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah waljama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami
proses persentuhan dengan tradisi baik (‘urf shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau
merupakan tradisi tidak baik (‘urf fasid) namun sedang dan/atau telah mengalami proses dakwah
amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah”
(Anam, t.t: 22).

Definisi tersebut, dari segi skala berlakunya memiliki kesamaan seperti definisi kedua. Namun, definisi
ini mengandung penekanan, di samping pada metodologi dakwah, juga pada universalitas ajaran Islam,
prinsip-prinsip ahlussunnah waljama’ah, dan proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi
untuk mensterilkan metodologi dakwah itu dari tradisi-tradisi lokal yang menyesatkan. Alur berpikir
yang tercermin dalam definisi ketiga itu juga kurang jelas, untuk tidak dikatakan kacau, sehingga tidak
mudah dipahami kecuali dilakukan telaah secara cermat dan teliti, karena alur berpikirnya yang
berkelok-kelok.

Berdasarkan pertimbangan definisi-definisi tersebut, dapat ditegaskan bahwa Islam Nusantara yang
dimaksudkan di sini adalah merupakan model pemikiran, pemahaman, dan pengamalan ajaran-ajaran
Islam yang dikemas melalui budaya maupun tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara.
Dengan fungsi untuk membuka jalan awal bagi pemahaman seseorang dalam menggali dan mengkaji
pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang mencerminkan dan dipengaruhi oleh
kawasan ini.

Sosialisasi identitas Islam Nusantara ternyata mendapat respons yang beragam di kalangan umat Islam
terutama para pemikirnya. Terjadi kontroversi pandangan dan penilaian di kalangan mereka hingga
terbelah menjadi beberapa kelompok, setidaknya ada empat kelompok. Ada sikap pro dan kontra
terhadap Islam Nusantara di kalangan mereka; ada yang berjuang keras dan berargumentasi dengan
mendayagunakan penalarannya agar Islam Nusantara bisa diterima baik di kalangan umat Islam
maupun non Islam, sebaliknya ada yang menghadang perjuangan itu dan berusaha mematahkan
argumentasinya; ada yang memiliki harapan besar dengan kehadiran Islam Nusantara itu, namun ada
yang justru menaruh berbagai kecurigaan sebagai rekayasa yang canggih dari Barat; ada yang kurang
menyetujui Islam Nusantara itu tetapi mereka diam, tidak melakukan serangan-serangan yang berusaha
mematahkan argumentasi kelompok yang menyetujui Islam Nusantara; dan ada juga yang menyetujui
penggunaan istilah Islam Nusantara tersebut, namun bersikap diam dan pasif sehingga tidak berusaha
mempromosikannya.

Islam senantiasa satu kapan pun dan dimanapun. Islam tidak akan mengalami perubahan meskipun
menghadapi masa modern sekalipun, dan Islam juga tidak akan mengalami perubahan ketika agama
yang dibawa Nabi Muhammad ini disebarluaskan dan dikembangkan di luar Makkah, termasuk
misalnya ketika disebarkan dan dikembangkan di Indonesia. Ada pandangan seolah-olah Islam
Indonesia itu berbeda dengan Islam kawasan lain. Islam adalah Islam dimana saja berada. Jadi, sifat
Islam itu mutlak, kekal, dan abadi. Kemungkinan berbeda hanya pada tataran pelaksanaannya. Ketiga
sifat Islam itulah yang mengawal kesatuan identitas Islam sehingga Islam berada dimanapun dan
kapanpun tetap sebagai Islam seperti Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks Islam Nusantara ini, akulturasi yang paling dominan terjadi antara Islam dengan budaya
(tradisi) Jawa, sebab keduanya sama-sama kuat. Kebudayaan dan tradisi Jawa di masa silam, sejak
berdiri dan kejayaan kerajaan Demak, Pajang hingga Mataram tetap mempertahankan tradisi Hindu-
Budha dan Animisme-Dinamisme sebagai produk budaya pra Hindu-Budha . Tradisi ini diperkaya dan
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Istana kerajaan Pajang dan Mataram bernuansa Islam, tetapi adat
istiadat masih dipertahankan. Gambaran Islam lokal ini terjadi pada masa lampau, dan realitasnya masih
terpateri secara jelas hingga sekarang ini. Banyak sekali budaya, tradisi, dan adat istiadat lokal yang
diwarnai Islam terus berkembang, dan sebaliknya juga banyak pemahaman serta pengamalan ajaran
Islam yang dipengaruhi oleh budaya dan tradisi lokal yang telah berkembang dan mengakar di
masyarakat. Adanya perjumpaan Islam dengan tradisi lokal itulah yang menjadi penyebab utama proses
saling menyesuaikan. Kehadiran Islam secara damai mempengaruhi akulturasi budaya antara budaya
lokal dengan Islam.

Keunikan lainnya bagi Islam Nusantara, ditinjau dari perspektif agama, Indonesia adalah bangsa
Muslim paling besar di dunia, namun secara religio-politik dan ideologis, Indonesia bukanlah negara
Islam.Kenyataan ini dipandang sebagai kejanggalan dan kelemahan umat Islam Indonesia menurut alur
berpikir orang-orang Arab atau Timur Tengah. Sedangkan bagi pemikir-pemikir Islam Indonesia, itu
justru sebagai kearifan mereka dalam menyiasati perpolitikan Indonesia. Islam Nusantara juga
nampaknya tidak begitu terpengaruh dengan unsur arabisasi. Begitu akrabnya Islam dengan budaya
(tradisi) lokal, Islam Nusantara tidak terlalu tertarik melakukan arabisasi. Misalnya dalam
menggunakan pakaian shalat, mereka lebih suka memakai sarung dan songkok daripada jubah dan
surban. Oleh karena itu, Islam Nusantara ini merupakan cara melaksanakan Islam melalui pendekatan
kultural, sehingga merawat dan mengembangkan budaya (tradisi) lokal yang sesuai dengan ajaran
Islam, dan berusaha mewarnai budaya (tradisi) lokal itu dengan nilai-nilai Islam manakala budaya
(tradisi) tersebut masih belum senafas dengan Islam.

Pemikiran, pemahaman dan pengamalan Islam di Indonesia ini menunjukkan kesejukan dan kedamaian,
setidaknya bisa dilihat dari ekpresi kalangan mayoritas Muslim di negeri ini sebagai mainstream bagi
umat Islam. Kesejukan dan kedamaian ini telah berlangsung berabad-abad yang lampau hingga
sekarang ini, dan tidak tertarik untuk mengikuti fenomena-fenomena tindakan radikal yang berasal dari
Timur Tengah yang meresahkan dunia. Mayoritas Muslim di negeri Jamrud Kathulistiwa ini justru
berupaya menangkal tindakan-tindakan radikal tersebut dengan berbagai upaya, media dan saluran yang
signifikan dan fungsional menyadarkan para pengikutnya.

Di samping itu, umat Islam Indonesia memiliki modal tambahan karena telah memiliki pengalaman
berdemokrasi. Indonesia telah berhasil menerapkan demokrasi jauh mendahului negara-negara Muslim
lainnya, baik dari segi waktu maupun kualitas. Model pemikiran, pemahaman dan pengamalan Islam
yang mampu menunjukkan kedamaian itu sekarang telah membuahkan hasil yang patut dibanggakan.
Dalam pandangan dunia luar, Islam Indonesia menunjukkan wajah yang menarik dan karakter yang
memikat sebagai rahmatan li al-‘alamin, jauh dari radikalisme dan ekstremitas yang melanda dunia
dewasa ini.
Islam Indonesia ini patut dipromosikan ke manca negara, karena umat Islam memiliki keistimewaan-
keistimewaan tertentu. Berikut keistimewaan umat Islam Indonesia:

1. Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.

2. Jumlah umat Islam Indonesia masih lebih besar daripada jumlah gabungan umat Islam di
Negara-negara Arab.

3. Indonesia memiliki wilayah terluas jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk


mayoritas Islam lainnya.

4. Geografis Indonesia berada pada posisi persimpangan transportasi.

5. Wilayah Indonesia terdiri atas ribuan pulau dan lautnya lebih luas daripada daratannya yang
memiliki kecenderungan terbuka.

6. Indonesia bebas dari konflik regional Timur Tengah.

7. Madzhab yang berkembang di Indonesia sangat homogen.

8. Indonesia sebagai negara Islam pertama yang melakukan pemilihan presiden secara langsung.

9. Kehadiran Departemen Agama yang mengurus dan melayani kepentingan umat beragama di
Indonesia.

10. Keberadaan Pancasila sebagai falsafah bangsa terbukti sangat “sakti” mempersatukan bangsa
Indonesia yang sangat majemuk dari berbagai segi.

11. Kesetaraan gender di Indonesia lebih maju daripada negara-negara Islam lainnya.

12. Memiliki aneka ragam budaya yang menjadi warna-warna lokal ajaran Islam di Indonesia.

13. Adanya sistem pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang
memberi pengaruh penting di dalam masyarakat.

14. Kehadiran perguruan tinggi Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN, dan PTAIS yang terhampar
hampir di setiap provinsi bahkan kabupaten, memegang peranan penting dalam memberikan
pencerahan terhadap umat.

15. Kehadiran ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya
ikut serta menciptakan kondisi yang baik bagi kelahiran suatu umat yang menjunjung tinggi pluralitas
di dalam masyarakat.

16. Kehadiran Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga menjadi faktor penting dalam memelihara
kerukunan umat, baik kerukunan internal umat Islam, kerukunan antarumat beragama, maupun
kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah.
Daftar Pustaka

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/lll072

http://blog.ub.ac.id/arifhidayat/makalah-sistem-kebudayaan-islam/

Qomar. M . 2015. ‘Islam Nusantara: “Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman,


dan Pengamalan Islam”. Jurnal Budaya Islam. Vol. 17. No. 2. hh. 198-213.

Anda mungkin juga menyukai