Anda di halaman 1dari 3

KEGIATAN DEAR TIME

SMAK SANTO HENDRIKUS SURABAYA


JALAN ARIEF RAHMAN HAKIM 40-44, SURABAYA

Kelas : X, XI
Jam pembelajaran : 30 menit
Pertemuan : Keempat
Tema : Pengecatan Pesawat Kepresidenan

Pengecatan Pesawat Kepresidenan di Tengah Pandemi Covid-19 yang Tuai Polemik


Kompas.com - 04/08/2021, 14:26 WIB
Penulis Rakhmat Nur Hakim | Editor Rakhmat Nur Hakim JAKARTA, KOMPAS.com –
Pengecatan pesawat kepresidenan Indonesia-1 yakni armada Boeing Business Jet (BBJ) 2
di tengah pandemi Covid-19 menjadi sorotan berbagai pihak. Hal tersebut kali pertama
diketahui lewat cuitan mantan anggota Ombudsman Republik Indonesia yang juga pengamat
penerbangan, Alvin Lie, melalui akun Twitter-nya. Alvin menyebut biaya pengecatan pesawat
kepresidenan tersebut bisa mencapai Rp 1,4 miliar hingga Rp 2,1 miliar.
Alvin pun menyayangkan adanya perubahan warna pesawat kepresidenan di tengah
pandemi Covid-19. Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih mementingkan kebutuhan
penanganan pandemi daripada mengubah warna pesawat kepresidenan. "Saat negara sedang
hadapi pandemi dan krisis ekonomi, pemerintah seharusnya menunjukkan sense of crisis," kata
Alvin kepada Kompas.com, Selasa (3/8/2021).
"Hal-hal yang bukan kebutuhan mendesak perlu ditangguhkan. Anggaran difokuskan
pada penggulangan pandemi," ujar dia. Pengecatan pesawat tersebut juga ditanggapi Kepala
Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra. Ia mempertanyakan prioritas
pemerintah yang mengecat ulang pesawat kepresidenan Indonesia 1 atau pesawat BBJ 2 di
tengah pandemi Covid-19. "Apakah penting dan prioritas mengecat pesawat kepresidenan saat
ini? Apakah kalau tidak dicat saat ini, membahayakan nyawa presiden saat memakai? Anggaran
terbatas, tapi malah memilih mengecat pesawat presiden," kata Herzaky kepada wartawan,
Selasa (3/8/2021).
Herzaky mengatakan, pemerintah semestinya memfokuskan anggaran yang tidak
penting untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari Covid-19. Ia menyebut, anggaran miliaran
Rupiah untuk mengecat pesawat semestinya dapat digunakan untuk menambah stok oksigen,
vaksin gratis, maupun insentif bagi tenaga kesehatan. Herzaky berpendapat, alasan pemerintah
tetap melanjutkan pengecatan karena sudah dianggarkan sejak 2019 menunjukkan pemerintah
tidak memiliki prioritas dan peta jalan yang jelas dalam penanganan Covid-19.
"Dengan dalih sudah dianggarkan, lalu seakan-akan semua dibenarkan. Padahal,
pemerintah sudah punya power luar biasa dengan UU No.2 Tahun 2020 untuk realokasi
anggaran ke penanganan pandemi covid-19," kata Herzaky. Ia pun meminta agar pemerintah
memiliki sensitivitas dan empati terhadap masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya
akibat Covid-19. "Stop buat program yang tidak ada relevansinya dengan penanganan Covid-19,
apalagi sampai terkesan ada yang mencari untung di tengah pandemi," ujar dia.
Penjelasan Istana
Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono pun membenarkan adanya
pengecatan pesawat. Namun, hal itu sudah direncanakan sejak tahun 2019. "Benar, pesawat
kepresidenan Indonesia-1 atau pesawat BBJ 2 telah dilakukan pengecatan ulang," kata Heru
melalui keterangan tertulis, Selasa (3/8/2021). "Pengecatan pesawat BBJ 2 sudah direncanakan
sejak tahun 2019, terkait dengan perayaan HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia di
tahun 2020," tuturnya. Heru menjelaskan bahwa proses pengecatan merupakan pekerjaan
satu paket dengan Heli Super Puma dan Pesawat BAe-RJ 85. Baca juga: Pengecatan Pesawat
Kepresidenan Tuai Polemik, Berapa Anggaran yang Dikeluarkan?
Namun, pada tahun 2019 pesawat BBJ 2 belum memasuki jadwal perawatan rutin,
sehingga dilakukan pengecatan Heli Super Puma dan pesawat RJ terlebih dahulu. "Sebagai
informasi, perawatan rutin memiliki interval waktu yang sudah ditetapkan dan harus dipatuhi,
sehingga jadwal perawatan ini harus dilaksanakan tepat waktu," terang Heru. Jadwal
perawatan rutin pesawat BBJ 2, kata Heru, jatuh pada tahun 2021. Ini merupakan perawatan
Check C sesuai rekomendasi pabrik. Oleh karenanya, tahun ini dilakukan perawatan sekaligus
pengecatan bernuansa merah putih sesuai dengan rencana sebelumnya. "Waktunya pun lebih
efisien, karena dilakukan bersamaan dengan proses perawatan," kata dia. Heru pun menepis
anggapan yang menyebutkan bahwa pengecatan ini merupakan bentuk foya-foya keuangan
negara. Sebab, pengecatan pesawat telah direncanakan sejak tahun 2019. Alokasi untuk
perawatan dan pengecatan pun sudah dialokasikan dalam APBN.
Sementara, sebagai upaya pendanaan penanganan Covid-19, Kementerian Sekretariat
Negara telah melalukan refocusing anggaran pada APBN 2020 dan APBN 2021, sesuai dengan
alokasi yang ditetapkan Menteri Keuangan. "Dapat pula kami tambahkan, bahwa proses
perawatan dan pengecatan dilakukan di dalam negeri, sehingga secara tidak langsung,
mendukung industri penerbangan dalam negeri, yang terdampak pandemi," kata Heru. Adapun
pengadaan pesawat tersebut dilakukan di era Presiden kelima RI Susilo Bambang Yudhoyono
pada 2014 menjelang berakhirnya pemerintahannya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketika
pertama kali digunakan, pesawat Kepresidenan 1 dicat berwarna biru muda pada punggung dan
berwarna putih pada bagian lambung pesawat. Selain itu, terdapat tulisan "Republik Indonesia"
dan logo Garuda terpasang di bagian depan pesawat. Pesawat kepresidenan tersebut dirancang
dengan kelengkapan 4 VVIP class meeting room, 2 VVIP class state room, 12 executive area, dan
44 staff area. Interior pesawat didesain agar dapat mengakomodasi hingga 67 orang
penumpang. Jumlah itu disebut cukup untuk sebuah rombongan presiden.
--------oo0oo--------
Tuliskanlah pendapatmu setuju atau tidak tentang pengecatan pesawat kepresidenan di
tengah pandemi Covid-19 minimal satu paragraf (terdapat 5 kalimat)!

Menurut saya sih tidak apa-apa saja karena memang sudah dijanjikan dari tahun 2019 dan
uang yang digunakan untuk pengecatan pesawat pun memakai APBN 2019 bukan APBN
akhir-akhir tahun ini seperti APBN 2020 dan APBN 2021. Karena APBN tersebut pasti dan
harus dipakai untuk kebutuhan penanganan Covid-19 ini seperti stok oksigen, vaksin gratis,
penanganan kesehatan, dan lain-lain. Memang meskipun saya akui negara ini kurang sigap
dalam menangani pandemi ini dan mungkin kurang bijaksana dalam mengatur APBN,
memang bisa seharusnya APBN 2019 ini digunakan untuk menangani pandemi ini tetapi
mungkin saja perjanjian pengecatan pesawat ini dijanjikan sebelum pandemi ini datang ke
Indonesia. Tetapi lagi menurut saya memang lebih baik APBN 2019 digunakan untuk
penangan pandemi ini mengingat banyak korban meninggal yang melukai banyak orang baik
fisik maupun mental nya, banyak sekali orang yang kesusahan mencari uang karena pandemi
ini, dan sebagainya.

Valentina Leonita Antonius/XI MIPA 3/21

Anda mungkin juga menyukai