LP Sle
LP Sle
Oleh:
Shynta Eka Wahyuningtyas, S.Kep
NIM 192311101068
Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal yang disusun
oleh:
Hari :
Tanggal :
Jember, Desember 2019
…………………………………. ……………………….
NIP. ……………….. NIP. …………………………
Mengetahui,
Kepala Ruang 25 IRNA 1
………………………
……………………………
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Pengertian
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem
di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE
dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ
(Muthusamy, 2017).
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang
ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti
sel, dan menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis pada organ
(Fatmawati,2018).
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang
menyebabkan produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal
tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk melindungi tubuh
dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE,
antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda
asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi
pada respon imun penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010
dalam Fatmawati,2018).
3. Epidemiologi
Penyakit SLE masih tergolong penyakit yang awam di Indonesia. Akan
tetapi tidak berarti bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit ini.
Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari semakin banyak diteliti. Prevalensi
berkisar antara 20–150 kasus per 100.000 penduduk, dengan prevalensi yang
tertinggi terdapat di negara Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang Afrika,
Hispanik, atau Asia keturunan cenderung memiliki angka prevalensi yang
tinggi dibandingkan dengan kelompok ras atau etnis lainnya. Tingkat
kelangsungan hidup selama 10 tahun pada Odapus (Orang dengan Lupus)
berkisar pada 70% (Tsokos, 2011). Di Indonesia, data jumlah Odapus belum
diketahui secara pasti. Survey yang dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk.
menunjukkan jumlah Odapus adalah sebesar 0,5% dari total populasi
penduduk yang ada di Malang (Kemenkes RI, 2017).
4. Etiologi
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen, pengaruh hormonal,
dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan
terjadinya respon imun yang abnormal (Muthusamy,2017).
a. Faktor genetic
SLE merupakan penyakit multigen. Interaksi antara kerentanan gen,
pengaruh hormonal,dan factor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas
limfosit T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak
efektif.
b. Faktor lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan
faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi
epitope antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel
kulit yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai
faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti
prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan lupus
eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE.
Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat
menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
c. Pengaruh hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada
wanita usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan
risiko yang sedikit lebih tinggi pada wanita pasca menopause yang
menggunakan suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri
dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita
penderita SLE yang penyakitnya stabil.
5. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang
menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian
ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang
cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit
karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai
dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul
ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di
tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan
ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak
merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan
sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai
penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak
penyakit (Muthusamy,2017).
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria yang di bawah ini (Wahyuni, 2017), yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik mielitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah Leukopeni, Anemia, Trombositopenia
b. Imunologi ANA (Antibodi anti nuclear), Antibodi DNA untai
ganda (ds DNA) meningkat, Kadar komplemen c3 dan c4 menurun,
Tes CRP (C-reative protein positif)
c. Fungsi ginjal Kreatin serum meningkat, Penurunan GFR, Protein
uri (>0,5 gr per 24 jam), ditemukan sel darah merah dan atau sedimen
granular
d. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulan lupus
e. Serologi VDRL (sifilis)
f. Tes vital lupus
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SLE menurut Muthusamy (2017) yaitu :
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Banyak pasien dengan
gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti
inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi
kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang
dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan system imunitas. Pasien
dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian
melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam
menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya
bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini,
latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari
persendian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan antara lain:
a. Antiinflamasi non-steroid untuk nyeri sendi
b. Antimalaria untuk lupus diskoid
c. Kortikosteroid Demam, dermatitis, efusi pleura.
d. Obat imunosupresan Nefritis difus, anemia hemolitik akut,
e. Antihipertensi mengatasi hipertensi pada lupus
f. Diet Cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam
g. Aktivitas Bisa berolahraga
h. Kalsium dan infeksi
Clinical Pathway
gangguan imunoregulasi
penyakit SLE
protein
Ruam kupu-kupu, atritis hb ↓ efusi pleura urin
SLE membrane, kerusakan
alopesia, urtikaria suplai
sintesa zat-
dan vaskulitis ↓ protein O2 ↓
pembengka O2 dan zat tubuh
ketidakefektif
nutrien ↓ tubuh
kan an pola nafas
kerusakan nekrosis
integritas nutrisi
kulit Aktivitas ATP ↓ kurang
Retensi Urin
menurun dari Resiko
kebutuha penuruna
keletihan n n perfusi
Hambatan jaringan
mobilitas otak
fisik
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan
dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal
seperti melemahnya otot-otot pernafasan.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada
pengkajian klien biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan
proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala
neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan
otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimitas atas, batang tubuh, dan
otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis
yang lengkap. Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien adalah
gagal nafas. Melemahnya otot pernafasan membuat klien dengan
gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi
pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi.
Keluhan kelemahan ekstrimitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah
kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang memungkinkan terjadinya
gangguan sistem saraf otonom pada klien yang dapat mengakibatkan
disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan
dalam tanda-tanda vital.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkunkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahakah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis
antibiotik dan reaksinya (untuk menilai retensi pemakaian antibiotik)
dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
4. Riwayat psikososial
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya. Kaji
apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu seperti ketakutan akan
kecacatan, cemas, ketidakmampuanuntuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
c. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
Pengkajian Fisik (B1-B6)
Pada klien biasanya didapatkan suhu tubuh 38-39 C. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung.
Peningkatan frekuensi nafas berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernafasan serta
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernafasan. Tekanan darah didapatkan
ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B1 Breathing
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan
karena infeksi saluran pernafasan dan yang paling sering ditemukan pada
klien adalah penurunan frekuensi pernafasan karena melemahnya fungsi otot-
otot pernafasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sindrom
Guillain-Barre berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
B2 Blood
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien menunjukkan
bradikardia akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan
ortostatik hipotensi atan tekanan darah meningkat (hipertensi transien) akibat
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B3 Brain
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
1. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien biasanya kesadaran klien komposmentis. Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran makan penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk memonitoring pemberian asuhan.
2. Pengkajian Fungsi Serebral.
Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekpresi wajah, dan aktifitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
3. Pengkajian Saraf Kranial.
Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf cranial I-XII.
Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre tidak ada
kelainan dan fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralisis okular.
Saraf V. pada klien Sindrom Guillain Barre didapatkan paralisis
wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik,
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4. Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, control
keseimbangan dan koordinasi pada tahap lanjut mengalami perubahan.
Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
5. Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex propunda, pengetukan pada
tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons
normal. Gerakan involunter : tidak ditemukan adanya tremor, kejang,
tic dan distonia.
6. Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas,
batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
B4 Bladder
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 Bowel
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan kelemahan otototot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
B6 Bone
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebih banyak dibantu oleh orang lain.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan melemahnya otot-otot
pernapasan.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
c. Kerusakan Integritas kulit b.d lesi pada kulit
d. Hambatan mobilisasi fisik b.d defometas skeletal
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
f. Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
g. Resiko infeksi b.d pertahan tubuh primer
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas (3140)
nafas selama 3x24 jam, pola nafas pasien 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
Status pernafasan : Ventilasi (0403) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
1. Frekuensi nafas normal (16-20 4. Auskultasi suara nafas
x/menit) Monitor Pernafasan (3350)
2. Irama pernafasan reguler 5. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
3. Tidak menggunakan otot bantu kesulitan bernafas
pernafasan 6. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
4. Tidak terdapat suara nafas tambahan penggunaan otot bantu nafas
7. Monitor suara nafas
8. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, kusmaul)
9. Monitor saturasi oksigen
2. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nutrisi (1100)
kurang dari kebutuhan selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
tubuh adekuat dengan kriteria hasil: 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Status nutrisi: asupan nutrisi (1009) mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
1. Asupan makanan secara oral yang menyengat)
meningkat (porsi makan habis) 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
2. Asupan cairan secara oral meningkat favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
3. Nafsu makan meningkat kesehatan pasien)
4. Ekspresi wajah tidak meringis 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
4 Hambatan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Lingkungan (6480)
selama 3x24 jam, aktivitas pasien 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
bertambah dengan kriteria hasil: 2. Singkirkan bahaya lingkungan
Istirahat (0003) 3. Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi
1. Jumlah istirahat cukup 4. Dampingi pasien
2. Pola istirahat cukup 5. Sediakan linen dan pakaian dalam kondisi baik
3. Kualitas istirahat cukup 6. Batasi pengunjung
4. Beristirahat secara fisik cukup 7. Izinkan kelurga untuk tinggal dengan pasien
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J. M., & Wagner, C.M. 2013.
Nursing Intervention Classification (NIC). Indonesia: Elsevier.
Fatmawati,Atikah. 2018. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus
Erythematosus: Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume
21 No 1. hal 43-50. pISSN 1410-4490. eISSN 2354-9203. DOI:
10.7454/jki.v21i1.542
Heater, Herdman. 2014. Nursing Diagnoses 2015-17;definition and Clasification
(Nanda International). Philladelphia: Wiley Blackwell
Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Jakarta: Pusdatin–Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. ISSN: 24427659.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Indonesia: Elsevier.
Muthusamy,V. 2017. Systemic Lupu Serythematous (SLE). Responsi Kasus.
Universitas : Udayana
KLASIFIKASI PENYAKIT SLE
Secara umum SLE dan kelainan terkait Lupus (lupus- related
disorder) dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk yaitu:
Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan
kerusakan pada beberapa organ tubuh. LES dapat menyerang satu atau
lebih sistem organ. Pada sebagian orang hanya kulit dan sendinya saja
yang terkena, akan tetapi pada sebagian pasien, lupus lainnya menyerang
organ vital seperti jantung, paru-paru, ginjal, susunan saraf pusat atau
perifer. Umumnya tidak ditemukan adanya dua orang pasien lupus terkena
sistemik lupus dengan gejala yang persis sama.
Lupus Kutaneus
Dapat dikenali dari ruam yang muncul di kulit dengan berbagai
tampilan klinis. Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji
biopsi dari ruam dengan gambaran khas berupa infiltrate sel inflamasi
pada batas dermoepidermal.
Lupus Imbas Obat
Lupus imbas obat (Drug-induced lupus) adalah suatu subset lupus
yang didefinisikan sebagai suatu sindroma mirip lupus yang timbul setelah
paparan obat dan menghilang setelah obat dihentikan. Pada lupus jenis ini
baru muncul setelah pasien lupus menggunakan jenis obat tertentu dalam
jangka waktu tertentu (lebih dari 1 bulan). Ada lebih dari 80 jenis obat
yang dapat menyebabkan Lupus imbas obat. Salah satu contoh obat yang
paling dikenal menimbulkan Lupus imbas obat adalah akibat penggunaan
obat-obatan hydralazine (untuk mengobati darah tinggi) dan procainamide
(untuk mengobati aritmia). Akan tetapi tidak semua penderita yang
menggunakan obat-obatan ini akan berkembang menjadi Lupus imbas
obat, hanya sekitar 4% orang-orang yang menggunakan obat-obatan
tersebut yang akan berkembang menjadi Lupus imbas obat dan gejala akan
mereda apabila obat-obatan tersebut dihentikan. Gejala dari Lupus imbas
obat dapat serupa dengan sistemik lupus namun memiliki profil
autoantibody tersendiri dan gejala umumnya akan membaik setelah obat
dihentikan.
Sindroma Overlap, undifferentiated connective tissue disease (UCTD),
dan mixed connective tissue disease (MCTD)
Pada sebagian pasien LES ternyata ditemukan juga menifestasi
klinis lain yang memenuhi kriteria diagnostik penyakit autoimun lain
seperti arthritis rheumatoid, scleroderma, atau myositis. Ada pula pasien
LES yang juga memiliki gejala penyakit autoimun lain namun belum
lengkap untuk didiagnosis penyakit autoimun tertentu. Kelompok pasien
tersebut dapat dikelompokkan menjadi sindroma overlap (overlap
syndrome), undifferentiated connective tissue disease (UCTD) dan mixed
connective tissue disease (MCTD).
LEMBAR PENGESAHAN
Hari :
Tanggal :
Jember, Desember 2019
…………………………………. ……………………….
NIP. ……………….. NIP. …………………………
Mengetahui,
Kepala Ruang 25 IRNA 1
………………………
……………………………
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Program Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal yang disusun
oleh:
Hari :
Tanggal :
Jember, Desember 2019
…………………………………. ……………………….
NIP. ……………….. NIP. …………………………
Mengetahui,
Kepala Ruang 25 IRNA 1
………………………
……………………………