Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL SKRIPSI

“HAKIKAT BELA ISLAM”

(Kajian Analisis Qs.Muhammad Ayat 7 Perspektif Syekh Abdul Qodir Al-Jailani


Dalam Tafsir Al-Jailani)

Diajukan Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Pengajuan Skripsi

Oleh :

Agung Ahmad Zaelani

NIM : 160.101.190

NIRM : 094.01.0003.16

FAKULTAS USHULUDDIN PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN


TAFSIR SEKOLAH TINGGI AJARAN ISLAM AL-MUHAJIRIN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia senantiasa diwanrnai dengan berbagai hal yang timbul dari
sikap, perkataan, dan gelora hati. Untuk menjalankan ketiganya, manusia tak perlu
berpikir dan merenung terlebih dahulu, semuanya terjadi secara spontan. Karena
sifatnya yang spontan timbul dari jati diri pribadi masing-masing, maka timbullah
nilai benar dan salah. Maka menyikapi fenomena tersebut hadirlah agama untuk
menuntun manusia agar senantiasa menapaki jalan aturan agama sebagai tata cara
hidup di dunia ini1, terutama agama Islam sebagai agama yang diridhai oleh Allah
yang maha berbeda dengan segala yang diciptakan ini. Salah satu ajaran Islam adalah
akhlak yang mulia agar manusia menjadi makhluk yang tinggi dan sempurna,
sehingga berbeda dari makhluk-makhluk yang lainnya2.
Di sisi lain, agama yang diistilahkan dengan religion pada mulanya lebih
berkonotasi sebagai kata kerja, yang menggambarkan keberagaman atau tatanan
kesalehan hidup yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan3. Agama merupakan dustur
(undang-undang) yang mengatur tentang cara bagaimana cara hidup manusia
sepanjang hidupnya (khusunya kaum Muslim dengan Islamnya) baik lahir maupun
batin . Agama pula yang mengikat kepercayaan dalam hati setiap manusia yang
berpegang teguh padanya.4 Namun, sekali lagi nahas sebagaimana menurut Harun
Nasution (1998:1-2) yang telah dikutip oleh A.A.Hakim dan Jaih mubarok 5 bahwa
peran agama dalam kehidupan yang beragam tersebut justru malah menciptakan
keberagaman yang bersifat legalistik-formalistik. Tuntunan agama “harus”
dituangkan dalam bentuk aneka ritual-formal, yang membangun asumsi
mementingkan “bentuk” daripada apa yang menjadi “isinya”. Agama yang
seharusnya menjadi kode etik dan kesalehan sosial telah dipaksakan ke arah yang

1
Ahmad Tafsir : Filsafat Umum (Bandung:PT Remaja Rosdakarya.2012) hal.8
2
Muhammad al-Ghazali : Khuluq al-Muslim (Surabaya:Bina Ilmu.tt) hal.9-10
3
Atang A. Hakim & Jaih Mubarok : Metodologi Studi Islam (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Offset.2004)
hal.3
4
Ahmad Tafsir:Filsafat Umum (Bandung:Remaja Rosda Karya,2012) hal.9
5
Atang A.Hakim & Jaih Mubarok:Metodologi Studi Islam (Bandung:PT.Remaja Rosda Karya,2004) hal.8
sangat sempit dan mencekik, melawan poros bahwa agama adalah sebagai kasih
sayang bagi seluruh alam.
Namun, meski demikian nyatalah sebagai kesimpulan bahwa memang agama itu
adalah nama lain dari kehidupan yang harus dijaga dan dibela nilai-nilainya.
Pembelaan terhadap nilai-nilai agama tentunya patut dilakukan oleh para
pemeluknya, terutama disini seorang muslim. Ini tersirat dari apa yang disabdakan
oleh Rasulullah bagaimana beliau mengaitkan pelaksanaan sholat dengan ajegnya
agama islam, sebagaimana sabda beliau :
“sholat adalah tiangnya agama, barangsiapa yang mendirikannya maka ia telah
mengokohkan agama (dalam dirinya), dan barangsiapa yang meninggalkan sholat
maka (sama saja) ia telah merobohkan agama (dalam dirinya)”.6
Bahkan dalam sabda lain beliau menyiratkan bagaimana ketika sholat sebagai
salah satu nilai agama Islam faidahnya sealur dengan adanya islam itu sendiri, seperti
diberi cahaya petunjuk dan keselamatan di hari kiamat (akhirat) 7. Memang kaitan
intisari dari nilai islam sholat ini dengan tujuan islam untuk menuntun manusia dari
kegelapan menuju terang benderang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an :

َّ ‫صلَ ٰو ۖةَ ِإ َّن ٱل‬


‫صلَ ٰوةَ تَ ۡنهَ ٰى َع ِن ۡٱلفَ ۡح َشٓا ِء‬ َّ ‫ب َوَأقِ ِم ٱل‬ ِ َ‫ك ِم َن ۡٱل ِك ٰت‬ َ ‫وح َي ِإلَ ۡي‬ِ ‫ۡٱت ُل َمٓا ُأ‬
٤٥ ‫ُون‬ َ ‫صنَع‬ ۡ َ‫َو ۡٱل ُمن َك ۗ ِر َولَ ِذ ۡك ُر ٱهَّلل ِ َأ ۡكبَ ۗ ُر َوٱهَّلل ُ يَ ۡعلَ ُم َما ت‬
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan
Sebagai imam (pemimpin) sekalian amal sholat, sesuatu yang difardukan setelah
perintah ikhlash dalam beribadah kepada Allah, sholat memiliki keagungan tersendiri
yang sangat mempengaruhi keagungan Islam8.
Selain daripada ibadah sholat, setiap nilai-nilai dalam agama Islam merupakan
jantung Islam itu sendiri. Katakana saja rukun lainnya yang meliputi syahadat, zakat,
puasa, dan pergi beribadah haji ke tanah suci makkah al-mukarromah 9. Tak kalah
pula, bentuk amalan ibadah yang sifatnya sunnah seperti membaca basmallah setiap
6
As’ad Humam & team tadarus AMM Yogyakarta : Seratus Hadits (Yogyakarta:AMM.1995) hal.11
7
Abu Bakr al-Baihaqi : Syu’b al-Iman (Mumbay:Maktabah al-Rasyd.2003) juz 4 hal.312
8
Muhammad bin Nashr bin al-Hajjaj al-Maruziy : Ta’dzim Qadr al-Sholat (Madinah:Maktabah al-Dar.1406
H) juz 1 hal.86
9
Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi : Lubab al-Hadits (Semarang:Toha Putra.tt) hal.24-25
kali melakukan hal yang melakukan aktifitas baik yang begitu kaya akan
keutamaan10, shodaqoh yang memberikan kebaikan bagi siapa saja yang
melaksanakannya baik semasa di dunia berupa keberkahan dan dihindarkan dari
segala kerusakan (bencana) secara tunai atau sebagai tabungan yang akan tertuai di
akhirat11, tidak terlewatkan apa saja kegiatan sehari dan semalam yang telah
dicontohkan Rasulullah meski terlihat sepele seperti cara makan, minum, ke kamar
mandi, mau tidur, berjalan sendiri di waktu malam, pergi ke mesjid, dan masih
banyak lagi12 ikut menghiasi dan mencerminkan ruh agama Islam di tengah-tengah
masyarakat dunia yang begitu beragam akan keyakinannya masing-masing.
Bicara tentang nilai-nilai Islam yang bersifat jasmani (al-A’mal al-Dzohiriyyah)
diatas, tentunya selalu mendampinginya apa yang disebut dengan dimensi
kerohanian (al-A’mal al-Bathiniyyah). Amalan tersebut keseluruhannya dimotori
oleh ruang hati setiap orang, seperti makrifatullah “mengenal Allah” yang menjadi
dasar agama (asas al-din)13 yang diperkenalkan oleh seorang sufi bernama Dzunnun
al-Mishriy dengan teori ma’rifatullahnya (gnostism theory)14. Selain itu adapula
istilah al-taqorrub (mendekatkan diri kepada Allah), al-mukasyafah (tersingkapnya
hijab antara hati dengan Allah yang maha membulak balikan hati muqollib al-qulub),
ikhlash, ridho, sabar, jiwa pejuang (al-jahd), jiwa tidak hedonism (al-Zuhd) adalah
diantara sekian banyak nilai ibadah yang bersifat batin dan personalistik yang
kaitannya dengan agama Islam itu sendiri sangat erat. Demi mencapai amalan batin
ini munculah istilah tarekat sebagai jalan menuju muara ilahi15.
Korelasi antara amal dzahir dan batin di atas adalah pondasi berdirinya syiar Islam
yang dengan adanya syi’ar tersebut Islam masih ada dan dikenal sampai saat ini dan
penghujung hari nanti. Jikalau tak ada seorang muslim pun yang mengamalkannya
sudah dapat dipastikan syiar Islam akan melempem bahkan padam sama sekali yang
berujung pada hilangnya nilai-nilai Islam di muka bumi ini sebagaimana yang akan
10
Abd al-Majid Ali al-‘Adawiy : al-Tuhfah al-Mardhiyyah fi al-Akhbar al-Qudsiyyah wa al-Ahadits al-
Nabawiyyah wa al-‘Aqoid al-Nabawiyyah (Surabaya:Al-Haromain.tt) hal 4-7
11
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi : Tanqih al-Qoul al-Hatsits (Semarang:Thoha Putra.tt)
hal. 28-29
12
Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i : “amal al-yaum wa al-lail (Beirut:Muassasah al-Risalah.1406 H)
13
Muchtar Adam : Ma’rifatullah (Bandung:Makrifat.tt) hal. 3-4
14
Said Aqil Siradj : Ma’rifatullah “pandangan agama-agama, tradisi, dan filsafat” (Jakarta:ElSAS.2003) hal
6-11
15
Mustafa Zahri : Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya:Bina Ilmu.2007)hal.42
terjadi kelak menjelang hari ditiupnya sangkakala oleh israfil, dimana saat itu islam
hanya namanya saja (karena nilai fundamentalsinya hilang), al-Qur’an, masjid hanya
nama saja16.
Namun sungguh disayangkan, masih banyak diantaranya kaum muslim yang
masih tak sadar bahwa nilai Islam yang seperti amal ibadah yang telah disebutkan
adalah Islam itu sendiri. Tak jarang hal yang kecil yang bersifat mendasar mereka
lupakan untuk melakukan hal-hal yang besar dari agama Islam ini. Religionitas
sebagai acuan sikap keislamannya yang berisi maksud-maksud Islam (al-maqosid al-
syar’iyyah) di satu kesempatan hampir ditinggalkan bahkan dilupakan hanya untuk
membela religion yang “hanya” jadi cangkangnya. Semuanya serasa sudah benar
adanya dan bukanlah sebuah penyakit mematikan yang telah menghalangi Islam
untuk mengenyam kejayaan seperti yang pernah dirasakan dulu.
Sudah seharusnya kesadaran akan pepatah bahwa “tak akan ada yang besar jika
taka da yang kecil” tak dinapikan karena itu merupakan ketentuan yang menjadi
konsensus global, hukum alam, dan sunnatullah.
sekali lagi, bahwasanya agama (khsusunya yang dimaksud disini adalah Islam)
dan Negara (Indonesia) harus dibela. Karena apa yang ada di dalam keduanya saling
berhubungan. Apalagi nilai Islam yang sebenarnya telah masuk di setiap lini sosiality
bangsa ini. Bahkan hal ini yang perlu diaplikasikan agar tidak terjebak di dalam
“kesesatan (false) dalam beragama dan kebodohan dalam memahami maksudnya”.17
Ketetapan dari konteks persepsi di atas telah dirumuskan jauh-jauh hari oleh sang
hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali al-Thusiy, dimana
beliau berkata :
َ َ‫هُ ف‬Aَ‫س ل‬
‫اِئ ٌع‬A‫ض‬ ْ ‫ا اَل َأ‬AA‫س َو َم‬
َ ‫ ا ِر‬A‫ا اَل َح‬AA‫ د ُْو ٌم َو َم‬A‫هُ فَ َم ْه‬Aَ‫ َل ل‬A‫ص‬ َ ‫س ْل‬
ٌ ‫ ا ِر‬A‫طانُ َح‬ ْ ‫َوا ْل ِم ْل ُك َوال ِّديْنُ ت َْوَأ َما ِن فَال ِّديْنُ َأ‬
ُّ ‫ص ٌل َوال‬
“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan
negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa
penjaganya akan hilang”.18

16
Utsman bin Hasan al-Syakir al-Khoubawiy : al-Durroh al-Nashihin (Semarang:Thoha Putra.tt) hal. 149
17
A. Mukafi Niam,Mozaik Pemikiran Islam Nusantara (Jakarta:Numedia Digital Indonesia,tt) hal. 2
18
http://www.muslimoderat.net/2017/08/imam-ghazali-negara-dan-agama-adalah-saudara-
kembar.html#ixzz6ChMYWv17 Diakses 1-2-2020 pukul 17.50 WIB
Maka dari itu, keduanya merupakan dua sisi yang saling berhubungan dan patut
dibela dan diperjuangkan.
Mengenai “bela Islam” sendiri di tengah kebhinekaan bangsa dan Negara ini,
telah menjadi keharusan bagi setiap orang yang disebut “muslim”. Keharusan ini
meski tanpa ada intruksi sekalipun dari nash (al-Qur’an dan Sunnah) akan tetap
bergemuruh karena ia adalah panggilan jiwa yang beriman. Di luar sana pun detik ini,
banyak diantaranya jiwa-jiwa yang sedang memenuhi panggilan jiwanya untuk
meninggikan kalimat Allah (li I’lai kalimat Allah). Namun, atmosfernya mungkin
sedikit berbeda ketika di negri Khatulistiwa ini. Selain daripada menggencarkan
segala cara untuk menjaga kemuliaan Islam dituntut pula agar senantiasa menjaga dan
menghargai kebhinekaan. Jangan sampai yang maksudnya mempertahankan ajaran-
ajaran keislaman justru malah menanam pemandangan jelek (bad image) dalam
pandangan masyarakat berkebhinekaan. Yang sudah barang tentu bukanlah hal yang
diinginkan. Kemudian jangan sampai dengan kebhinekaan ini yang dipastikan pula
berbeda pandangan dan cara kaum muslim dalam rangka membela nilai keislaman
menjadi ajang saling berseteru, falsifikasi terhadap pandangan muslim lain, bahkan
merasa paling “membela Islam” hingga muncul prejudice (anggapan) siapapun
selainnya tak melakukan pembelaan atas Islam sejauh yang ia lakukan. Oleh karena
itu, penting memahami bagaimana cara, upaya, beserta prinsip membela Islam di
tengah-tengah kebhinekaan bangsa dan Negara Indonesia.
Adapun term yang diambil adalah “bela Islam” secara tekstual tak ditemukan
dalam lafadz nash. Secara lughowiy dalam nash hanya disebutkan kalimat yang
banyak bermakna tekstual “menolong Allah, membela Allah” yang secara akidah
sudah dianggap pemahaman yang berbahaya karena ditakutkan muncul faham bahwa
Allah perlu dibela. Mengingat setiap yang dibela berarti lemah, butuh bantuan, perlu
syarik (teman), dll yang kesemuanya adalah sifat makhluk yang sudah jelas
berkontradiksi dengan sifat Allah yaitu mukholafah li al-hawadits.19 Sekaligus telah
menebar virus tekstualisme atas ayat di tengah-tengah masyarakat ‘awam. Maka
dipilihlah term dalam judul skripsi ini “bela Islam” sebagai otomatisasi penafsiran

19
Abu Hanifah,al-Fiqh al-Akbar (Arabia:Maktabah al-Furqon,tt) hal.27 al-Maktabah al-Syamilah
terhadap term nash yang bermakna konteks bela Islam dan menyajikan penjelasan
yang benar tapi simplistik bagi umat.20
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah panjang lebar dan mengkrucut dalam latar belakang
dengan diakhiri identifikasi terhadap masalah agar pembahasan sampai pada
ketuntasan21 yang disinyalir (estimasi) muncul berkenaan dengan topik yang
hendak dibahas pada karya tulis ilmiah skripsi ini, dan telah ditimbang dan
disesuaikan dengan kemampuan yang ada, maka dirumuskanlah masalahnya yaitu
:
 Bagaimana prinsip bela Islam di tengah-tengah kehidupan bangsa
Indonesia yang berkebhinekaan
C. Tujuan
Meninjau rumusan masalah yang telah dispesifikasikan di atas, maka tujuan
penelitian ini mencoba untuk :
 Memahami tentang bagaimana meneguhkan prinsip bela Islam yang
berkesesuaian dengan kehidupan kebhinekaan di Indonesia

D. Manfaat Penelitian
Mengingat setiap tujuan penyusunan karya tulis ilmiah buah dari hasil penelitian
dengan segala ketentuan dan tuntutannya adalah kemanfaatan yang mampu
mejawab apa yang menjadi topik permasalahan, kemudian dibakar dengan
semangat mengamalkan sabda Rasulullah “sebaik-baiknya manusia adalah orang
yang paling bermanfaat bagi yang lainnya”, maka manfaat karya tulis ilmiah ini
adalah sebagai berikut;
1. Bagi diri sendiri
Sadar bahwa apapun harus dimulai dari diri sendiri, ditambah dimulai dari
sekarang meski dari hal yang terkecil 22, diharapkan diri ini lebih bersikap
bijak dan arif terhadap urgensi kehidupan baik dalam keagamaan atau dalam

20
Agus Mustofa,Membela Allah (Surbaya:PADMA Press,tt) hal. 244
21
Tim seksi bahasa Indonesia dalam Burhanuddin, Pedoman Karya Tulis Ilmiah dan Ketentuaqn Umum
Penyusunan Skripsi (Purwakarta:Taqoddum Press,2013) hal. 12
22
Istilah yang masyhur dengan singkatan “3M” KH. Abdullah Gymnastiar atau Aa Gim
kenegaraan dalam satu ikatan kebangsaan. Dengan begitu, setiap melakukan,
berfikir, menyimpulkan segala sesuatu ditimbang dan diambil benang
merahnya terutama dalam sikap bela terhadap Islam dalam eksistensinya
dalam kehidupan keluarga Indonesia yang bhineka tunggal ika.
2. Bagi ormas-ormas Islam di Indonesia
Sebagai sunnatullah dan sunnaturrasul yang akan tetap eksis sampai di
penghujung hari, bahwa perbedaan tak dapat dipungkiri dan secara hakikat
semua orang menerimanya dengan penuh keinsafan. Hanya saja tak jarang
mereka ditutupi oleh keinginan pribadi atau egosentrisme terhadap
kelompoknya. Diharapkan semuanya bahwa sejak meyakini dua kalimat
syahadat, semuanya adalah saudara yang satu sama lain saling
mengokohkan.23 Apalagi term persaudaraan ini telah disebut oleh Allah 24
dengan kata “ikhwah” yang berarti “saudara senasab 25. Lebih lanjut makna
ikhwah berimplikasi terhadap persaudaraan yang lebih dari pada persahabatan
atau perkawanan biasa.26 Oleh karenanya, semoga penelitian ini
membangunkan kesadaran agar bersama membela Islam tanpa melempar
dugaan buruk (su’ al-dzan) terhadap ormas lainnya hanya karena pembelaan
salah satu ormas berbeda dengan apa yang dilakukan ormas lainnya. Dan
menumbuhkan ingat bahwa tujuannya sama, tuhan sama, nabi sama, kitab
suci sama, syahadat sama, menuju akhirat yang sama, berjuang bersama.
Dengan arti bela Islam adalah dari kita sebagai muslim, untuk kita, dan oleh
kita, sebagaimana kebhinekaan di negri tercinta ini “berbeda tapi tetapi satu”
E. Tinjauan Pustaka
Tafsir al-Jailaniy27 karya sulthon al-auliya wa qudwah al-ashfiya syekh muhyi ad-
din Abdul Qodir Al-Jailani menafsirkan QS.Muhammad ayat 7, dengan coraknya
sebagai salah satu tafsir sufi (tafsir al-shufiyyah) dan bersifat tashawwuf ‘amali28,

23
HR.Muslim bahwa Rasulullah telah bersabda “seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya adalah
bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagiannya kepada bagian yang lainnya” dalam
As’ad Humam,Seratus Hadts Tarjamah Lafdziyyah (Yogyakarta:Tim Tadarrus AMM,tt) no.49 hal. 25
24
QS.al-Hujurot ayat 10
25
Abu Hayyan al-Andalusi,al-Bahr al-Muhith (Beirut:Dar Al-Fikr,tt) juz 9 hal. 516
26
Abun Bunyamin,Tafsir al-Ma’arif (Purwakarta:Taqoddum Press,2017) hal. 10
27
Yang dijadikan data primer (primary source) dalam penelitian atas skripsi ini
28
Muhammad Husain al-Dzahabiy,al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo:Dar al-Hadits,2012) juz 2 hal.297
menginterpretasikan term nashr Allah “menolong Allah” yang berkonteks
“membela Islam” lebih menekankan kepada perihal bagaimana prinsip bela Islam
itu tertanam dan subur dalam diri pribadi mukmin secara individual. Sehingga
apapun yang ia perjuangkan atas nama Islam hanya tertuju pada lillahi ta’ala.
Tafsir takwilat ahl as-sunnah wa al-jama’ah karya al-maturidiy sebagai doktrin
pengikut dan pengamal ajaran Rasulullah dan para sahabat mencoba menengahi
pemahaman tentang kaifiyyat pembelaan atas Islam agar jelas pokok yang harus
dipegang dan menepis negative thinking yang bersinggungan antar umat Islam
Membela Allah karya Agus Mustofa merupakan salah satu dialog ilmiah seri ke
25 tentang tasawwuf modern. Di dalam salah satu sub babnya ia merekontruksi
pemahaman “bela Allah” yang sebenarnya dengan didasari penafsiran yang
ditinjau dengan dasar dan maksud syari’ah (asas ad-din wa maqasiduhu).
Tuhan Tidak Perlu Dibela karya KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berisi sub
bab yang menyentil siapa saja yang mengaku bela Allah dan bela Islam dengan
cara menyakiti Allah dan menjual Islam itu sendiri. Bahkan lebih kepada aktifitas
penyesatan dan pengkerdilan terhadap pemahaman umat akan kebesaran Islam
dan Allah sebagai dzat yang meridhoinya.
Islam dan Kemodernan Politik Berbasis Pemuda karya Fauzan,MA memaparkan
bagaimana sikap sebagai warga Negara yang memiliki kesadaran berbangsa dan
bernegara yang dibangun oleh sejarah, Islam, HAM, realitas sosial, dalam
memahami kebhinekaan.
Mumtaz (jurnal studi al-Qur’an dan keislaman) yang disusun oleh PTIQ Jakarta
berisi jurnal yang berjudul “kebhinekaan dalam status sosial” oleh A. Husnul
Hakim IMZI mempertegas bahwa kebhinekaan adalah hal penting yang harus ada
dalam sitem tatanan sosial termasuk sosial agamis.
F. Metode Penelitian
Dalam proposal yang dimuat adalah term “meode” bukan “metodologi” karena
hanya menjelaskan cara secara step by step yang akan ditempuh dalam aktifitas
penelitian, bukan tentang ilmu metode itu sendiri.29

29
Nasruddin Baidan & Erwati Aziz,Metode Khusus Penelitian Tafsir (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2016) hal.
102
Metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode kualitatif (al-bahts al-
ta’wiliyyah) yang berupaya menginterpretasikan materi sesuai judul skripsi ini
yang telah dikumpulkan melalui pembacaan, pencarian, yang selanjutnya
difahami melalui data berupa buku, jurnal, artikel, website, dll (library source)
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Tuntutan dasar karya tulis ilmiah ditinjau mendasar dari pemilihan kosa kata yang
tepat, akurat, dan proporsional. Apalagi ada pribahasa Arab “‫”خير الكالم ما قل و دل‬
(bahasa yang baik itu sedikit, tapi cukup dimengerti”.30 Maka berikut ini
sistematika secara gamblang dari penelitian skripsi ini yang terdiri dari lima bab.
Bab I Pendahuluan
Langkah awal ini menjadi motor bagi bab selanjutnya (big picture) yang
berisikan paparan mengenai latar belakang, identifikasi/rumusan/sekaligus
pembatasan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka


Pada bab ini tersaji landasan teori yang dipakai penulis untuk dijadikan
pisau analisis terhadap masalah yang dikaji dengan penelaahan yang
mendalam. Selain itu, pendapat-pendapat sebagai data sekunder
disandingkan dengan data primer untuk selanjutnya diambil garis
tengahnya sehingga datasemakin kuat dan berkesimpulan di bab terakhir
nanti. Kemudian dalam bab ini pula akan dijelaskan terminologi dan
konsep yang menjadi modal & gambaran kerangka berfikir.
Bab III Setting Penelitian
Memaparkan biografi mufassir yang karyanya dijadikan data primer yaitu
quth al-rabbaniy dan ghouts al-shomadaniy syekh Abd Al-Qodir Al-
Jailaniy, berikut corak dan metode yang beliau pakai dalam menafsirkan

30
Nasruddin Baidan & Erwati Aziz;loc.cit. hal.122
al-Qur’an. Kajian tersebut nantinya menjadi aspek kausalitas tersendiri
mengapa sang mufassir menafsirkan ayat demikian.
Bab IV Pembahasan
Menyajikan hasil dari apa yang telah disusun secara sistematis dan
metodis terhadap judul bela Islam dalam kehidupan kebhinekaan menurut
perspektif syekh Abd Al-Qodir Al-Jailani RA dalam tafsir belaiu.
Bab V Penutup
Bab ini merupakan akhir dan penutup yang berisikan simpulan dan saran

Anda mungkin juga menyukai