Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang
hidup, dapat berlangsung di mana saja, kapan saja dan tidak dalam batas usia
tertentu. Pendidikan sebagai pengalaman belajar tidak hanya terjadi dalam
lingkungan sekolah. Pendidikan mempunyai bentuk, suasana dan pola yang
beraneka ragam, bisa terjadi dengan sendirinya, kehadirannya tidak disengaja,
bahkan bisa terjadi secara misterius sampai pada bentuk-bentuk yang direkayasa
secara terprogram. Bisa berupa pengalaman belajar individual, kelompok maupun
massal (Siswanto, 2010).
Pendidikan secara formal dilakukan melalui lembaga pendidikan atau
sekolah. Pendidikan ini tidak berlangsung seumur hidup tetapi dalam waktu yang
terbatas, di tempat tertentu, dengan program tertentu dan terstruktur. Pendidikan
formal diciptakan untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu yang harus mengacu
pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan memiliki tujuan untuk
penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap tertentu yang sesuai tujuan
pendidikan, jenis dan peranan profesi dan sosial tertentu demi pelaksanaan tugas-
tugas profesional dan hidup dalam masyarakat (Siswanto, 2010). Menurut
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,
pendidikan adalah usaha dasar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yaitu jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah seperti SD, MI, SMP,
dan MTS atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu pendidikan menengah
yaitu lanjutan pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan menengah kejurusan
commit
seperti SMA, MA, SMK, dan MAK to user
atau bentuk lain yang sederajat.
5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id
2. Pola asuh
Pola asuh orang tua adalah segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi
antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam
keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak
(Mariani dan Andriani, 2005). Menurut Tarmuji (2004) pola asuh adalah bentuk-
bentuk yang diterapkan dalam rangka merawat, memelihara, membimbing,
melatih dan memberikan pengaruh kepada anak.
Pola asuh merupakan suatu kecenderungan cara-cara yang dipilih dan
dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Pola asuh orang tua merupakan
pola interaksi antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan kebutuhan
commit
fisik (seperti makan, minum, dan to user
lain-lain) dan kebutuhan (seperti rasa aman,
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id
kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Taganing, 2008).
Tipe pola asuh antar keluarga dapat saling berbeda karena dapat dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan dan kehidupan sosial serta budaya orang tua.
Secara umum, tipe pola asuh pada orang tua terdiri dari dua perilaku, yaitu
perilaku direktif dan perilaku supportif. Pada perilaku direktif, orang tua
menggunakan komunikasi satu arah untuk memberitahukan peran anak dan apa
saja yang seharusnya anak lakukan. Sedangkan pada perilaku supportif, orang tua
menggunakan komunikasi dua arah dimana orang tua mendengarkan anak,
memberi teguran positif kepada anak, serta membantu mengarahkan perilaku anak
(Indra, 2014).
Ada beberapa gaya atau cara orang tua dalam mendidik anak-anaknya,
meliputi tingkat kontrol orang tua terhadap anak, kejelasan komunikasi orang tua
dan anak serta tuntutan orang tua kepada anak untuk menjadi matang. Cara
mendidik anak tersebut yaitu: pertama, pola asuh otoriter, dimana lebih
menekankan kepada pengawasan dan kontrol dari orang tua terhadap anak untuk
mendapatkan kepatuhan anak. Sifat pola asuh ini cenderung kaku, tegas, dan
mengekang anak dalam melakukan segala tindakan. Kedua, pola asuh demokratis,
yang mampu menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua
maupun anak, sehingga anak dapat bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan. Ketiga, pola asuh permisif, atau disebut juga dengan pola asuh
pemanja, dimana pegawasan yang diberikan sangat longgar, orang tua
memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan tindakan tanpa pengawasan
yang cukup. Keempat, univolved parenting (pola asuh penelantar), orang tua
memberikan waktu, biaya, dan kasih sayang yang sangat sedikit kepada anak
karena orang tua lebih sering melakukan kepentingan pribadi mereka sendiri
(Baumrind, 1983 dikutip Wuryani, 2006).
Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda-beda dan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang termasuk
faktor internal, misalnya latar belakang keluarga orang tua, usia orang tua, jenis
kelamin orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang tua, karakter anak
commit
dan konsep peranan orang tua dalam to user Sedangkan yang termasuk faktor
keluarga.
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
eksternal, misalnya tradisi yang berlaku dalam lingkungan sosial, ekonomi dan
semua hal yang berasal dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi orang
tua dalam menerapkan pola asuhnya (Aisyah, 2010). Faktor-faktor tersebut
dijabarkan ke dalam beberapa poin yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan dan
pengetahuan, sosial ekonomi, kondisi psikologis dan pengasuh pendamping.
Pertama, usia orang tua yang merupakan indikator kedewasaan seseorang.
Semakin bertambah usia semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki mengenai perilaku yang sesuai untuk mendidik anak. Anak-anak dengan
orang tua usia muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena
dalam diri orang tua usia muda cenderung memiliki sifat toleransi yang tinggi dan
memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda juga dapat mempengaruhi sumber daya
yang tersedia untuk anak (Wallman, 2012).
Kedua, jenis kelamin/ perbedaan gender diantara orang tua akan ikut
berpengaruh dalam cara mereka mengasuh anak, hal ini mungkin disebabkan
karena realisasi perbedaan dalam bagaimana mereka berpikir dan berperilaku.
Diantara ayah dan ibu, keduanya memiliki keinginan untuk melakukan apa yang
menurut mereka benar untuk memaksimalkan potensi anak-anak mereka.
Misalnya seorang ibu ingin putrinya menjadi lebih tegas dan mahir dalam
bersosialisasi dan seorang ayah ingin anaknya menjadi lebih fleksibel, tumbuh
dengan tegas dan berkepribadian kuat (Pruett dan Pruett, 2009).
Ketiga, pendidikan dan pengetahuan akan memberikan dampak bagi pola
pikir dan pandangan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang memiliki
tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi akan memperhatikan dan merawat
anak sesuai dengan usia perkembangannya dan akan menunjukkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan membuat anak memiliki pandangan
positif terhdap orang lain dan masyarakat. Orang tua yang memiliki pengetahuan
yang lebih tinggi terhadap perkembangan anak, mereka menunjukkan tingkat
keterampilan pengasuhan yang lebih tinggi, anak-anak mereka memiliki
kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan sedikit masalah perilaku (Sanders dan
Morawska, 2008).
Keempat, masyarakat atau rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang
cukup baik akan memilih pola commit to user
asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
Untuk anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, watak yang terbentuk akan lebih
keras karena faktor-faktor lain dalam lingkungan sosial anak dan orang tua
memiliki dampak pada perkembangan anak (Bornstein dan Bornstein, 2007).
Kelima, kondisi psikologis orang tua juga mempengaruhi cara orang tua
dalam mengasuh anak, orang tua yang rentan terhadap emosi negatif, baik itu
depresi, lekas marah, cenderung berperilaku kurang peka dan lebih keras dari
orang tua lainnya. Karakteristik kepribadian orang tua juga berperan dalam
mempengaruhi emosi yang mereka alami, kognitif dan atribusi yang berdampak
pada perkembangan kepribadian anak (Belsky, 2008).
Keenam, orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah, seringkali
mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek, tante atau keluarga dekat lain.
Bila tidak ada keluarga tersebut maka biasanya anak dipercayakan pada pembantu
(babysitter). Dalam tipe keluarga seperti ini, anak memperoleh jenis pengasuhan
yang kompleks sehingga pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal
dari pola asuh orang tua (Liegm dkk, 2007).
Ada beberapa syarat agar pola asuh menjadi lebih efektif, antara lain: a) Pola
asuh harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak,
Pola asuh batita berbeda dengan pola asuh anak usia sekolah. Kemampuan
berfikir batita masih sederhana, jadi pola asuh harus disertai komunikasi tidak
bertele – tele dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. b) Sesuai kebutuhan dan
kemampuan anak, karena setiap anak memiliki minat dan bakat berbeda. Jika
orang tua memiliki gambaran potensi anak, maka perlu diarahkan dan difasilitasi.
c) Selain pemenuhan kebutuhan fisik, orang tua pun harus memenuhi kebutuhan
psikis anak. Sentuhan-sentuhan fisik seperti merangkul, mencium pipi, mendekap
dengan penuh kasih sayang, akan membuat anak bahagia sehingga dapat membuat
pribadinya berkembang dengan matang. Kebanyakan anak yang tumbuh menjadi
pribadi yang dewasa dan matang, karena sewaktu kecil ia mendapatkan kasih
sayang dan cinta yang utuh dari orang tuanya. d) Ayah dan ibu sebaiknya juga
menerapkan pola asuh yang sama, mereka sebaiknya “berkompromi” dalam
menetapkan nilai – nilai yang boleh dan tidak boleh. Jangan sampai orang tua
saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak bingung. e) Penerapan pola
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
asuh juga membutuhkan sikap – sikap yang positif dari orang tua sehingga bisa
menjadi contoh atau panutan bagi anaknya. Menanamkan nilai – nilai kebaikan
dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami. Diharapkan kelak anak bisa
menjadi manusia yang memiliki aturan dan norma yang baik dan berbakti.
f) Komunikasi yang efektif dengan cara meluangkan waktu untuk berbincang –
bincang dengan anak, menjadi pendengar yang baik dan tidak meremehkan
pendapat anak. Dalam setiap diskusi orang tua dapat memberikan saran atau
meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah dan dapat
mengembangkan potensi yang maksimal. g) Menerapan disiplin dimulai dari hal –
hal yang kecil dan sederhana, misalnya menyikat gigi. Anak perlu diajarkan
membuat jadwal harian sehingga bisa teratur dan efektif mengelola kegiatannya.
Namun penerapan disiplin harus fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
anak. h) Orang tua juga bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya menyikat
gigi setiap habis makan dan sebelum tidur. Anak akan belajar untuk konsisten
terhadap sesuatu. Setiap aturan mesti disertai penjelasan yang bisa dipahami anak,
mengapa hal itu harus dilakukan. Orang tua juga sebaiknya konsisten, dengan
memberi contoh yang baik sehingga anak akan meniru perbuatannya (Shanti,
2007).
3. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya (Soekanto, 2003 dikutip Mubarak dkk, 2007).
Pengetahuan merupakan hasil mengingat kembali kejadian yang pernah dialami
baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan
kontak atau pengamatan terhadap objek tertentu (Mubarak dkk, 2007). Pendapat
lain mengatakan bahwa pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau
hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007).
Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu: kepercayaan, pengetahuan,
pengalaman indriawi, akal pikiran dan intuisi (Suparlan, 2008).
Sumber pertama, kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama, adalah
berupa nilai-nilai warisan nenek commit
moyang.toSumber
user ini biasanya berbentuk norma-
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id
Sumber kelima, intuisi yang merupakan sumber gerak hati yang paling
dalam. Jadi, sangat bersifat spiritual, melampaui ambang batas ketinggian akal
pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi
merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tanpa melalui
sentuhan indera maupun akal pikiran. Ketika seseorang memutuskan untuk
berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa alasan yang jelas, maka ia berada di
dalam pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini
kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman indriawi
maupun akal pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara
personal (Suparlan, 2008)
Ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu:
Pertama, pendidikan atau bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain
terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya
makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang
tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Kedua,
lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ketiga, dengan
bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan
psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori
perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama
dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada
aspek psikologis dan mental, taraf berfikir seseorang semakin matang dan
dewasa. Keempat, minat yang merupakan kecenderungan atau keinginan yang
tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan
menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam. Kelima, pengalaman atau kejadian yang pernah dialami seseorang
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang
kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman
terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul
kesan yang membekas dalam commit
emosi tosehingga
user menimbulkan sikap positif.
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id
mengandung fluor. Fluor adalah salah satu zat yang dapat menambah kekuatan
pada gigi (Pratiwi, 2009).
Waktu menyikat gigi minimal 2 kali sehari yaitu setelah makan pagi dan
sebelum tidur. Idealnya makan pagi dilakukan sebelum melakukan aktivitas dan
dilanjutkan dengan menyikat gigi, sehingga kondisi mulut tetap bersih sampai
makan siang, dan menyikat gigi sebelum tidur karena pada waktu tidur air
ludah berkurang sehingga asam yang dihasilkan oleh plak akan menjadi lebih
pekat dan kemampuannya untuk merusak gigi akan menjadi lebih besar. Oleh
karena itu, untuk mengurangi kepekatan dari asam maka plak harus dihilangkan
(Rahmadhan, 2010)
b. Mengatur pola makan
Makanan yang tidak dianjurkan adalah makanan dari jenis tepung-
tepungan seperti roti, ubi, jagung karena makanan tersebut digolongkan dalam
zat tepung atau zat gula/glukosa.Makanan jenis ini bila terselip atau menempel
di permukaan gigi oleh kuman di dalam mulut akan diubah menjadi asam.
Asam yang sudah terbentuk ini adalah bahan yang yang tajam dan mampu
membuat email gigi menjadi lunak. Di atas permukaan email yang lunak
tersebut bakteri akan merusak email sehingga mengakibatkan gigi berlubang
(Machfoedz, 2008)
British Dental Association menganjurkan agar masyarakat
mengkonsumsi beragam makanan, terutama buah-buahan dan sayur-sayuran,
susu yang kaya kalsium, jus tanpa pemanis. Beberapa hal yang penting adalah
memilih makanan yang tidak manis dan melekat, menghindari makanan manis
diantara waktu makan utama, mengkonsumsi makanan rendah lemak dan
segera meyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung flour setelah makan
atau mengkudap (Mangoenprasodjo, 2004).
c. Pemeriksaan berkala
Tindakan memelihara kesehatan gigi dan mulut dengan memeriksakan
gigi ke dokter gigi/ Puskesmas secara teratur 4-6 bulan sekali, untuk
mengetahui kelainan pada gigi secara dini (Sriyono, 2007)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Oral Higiene Index
commit to user
Simplified (OHI-S) Greene dan Vermilion yang dicatat pada format
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id
pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut. Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S)
terdiri atas dua komponen yaitu skor debris dan skor kalkulus dengan skala
masing-masing komponen 0-3. Enam permukaan gigi yang diperiksa untuk
rahang atas yaitu: Gigi geraham pertama kanan atas permukaan yang diperiksa
sebelah bukal/bagian yang menghadap pipi, gigi seri pertama kanan atas
permukaan yang diperiksa sebelah labial/bagian yang menghadap bibir, gigi
geraham pertama kiri atas permukaan yang diperiksa sebelah bukal/bagian
yang menghadap pipi. Sedang untuk rahang bawah, gigi geraham pertama kiri
bawah permukaan yang diperiksa sebelah lingual/bagian dalam, gigi seri
pertama kiri bawah permukaan yang diperiksa sebelah labial/bagian yang
menhadap bibir, gigi geraham pertama kanan bawah permukaan yang diperiksa
sebelah lingual/bagian dalam. Cara pengukuran debris adalah masing-masing
permukaan gigi yang diperiksa dibagi tiga bagian secara horizontal yaitu bagian
gingival/gusi, bagian tengah (midline) dan bagian incisal/oclusal/pengunyahan
(Putri dkk, 2011).
Penilaian skor debris :
Komponen OHI-S (Greene dan Vermillion, 1964 dikutip Putri dkk, 2011)
Skor penilaian debris:
Nilai 0 : tidak ada debris
Nilai 1 : debris lunak atau terdapat ekstrinsik stain menutupi tidak lebih dari
1/3 permukaan gigi
Nilai 2 : debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak lebih
dari 2/3 permukaan gigi
Nilai 3 : debris lunak menutupicommit to user
lebih dari 2/3 permukaan gigi
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id
Cara penilaian untuk kalkulus sama dengan debris, untuk skor penilaian
kalkulus :
Komponen OHI-S (Greene dan Vermillion, 1964 dikutip Putri dkk, 2011)
Skor penilaian kalkulus:
Nilai 0 : tidak ada kalkulus
Nilai 1 : kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi
Nilai 2 : kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi
tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi atau adanya bercak kalkulus
subgingiva sekeliling bagian servikal gigi
Nilai 3 : kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan yang
diperiksa atau adanya pita tebal yang tidak terputus dari kalkulus
subgingiva sekeliling servikal gigi
Rumus Perhitungan (OHI-S) Oral Hygiene Index Simplifield (Greene dan
Vermillion, 1964 dikutip Putri dkk, 2011):
Atau
OHI-S = DI + CI
6. Anak Sekolah
Anak usia sekolah 6-12 tahun merupakan masa belajar di dalam dan di luar
sekolah, dimana anak harus menjalani tugas-tugas perkembangan yakni : belajar
ketrampilan fisik, sikap sehat, bergaul dengan teman sebaya, membentuk
ketrampilan dasar, membentuk konsep-konsep untuk hidup sehari-hari,
memperoleh kebebasan pribadi dan membentuk hati nurani, nilai moral dan nilai
sosial (Gunarsa, 2004). Anak usia 6-12 tahun belajar untuk menjalankan
kehidupan sehari-harinya secara mandiri. Jika orang tua dapat membimbing anak
dengan baik, maka anak akan belajar lebih rajin dan bersemangat melakukan
kegiatan-kegiatan yang produktif bagi kemajuan dirinya sendiri (Lie dan Prasasti,
2004).
Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa
keserasian bersekolah. Pada usia 6 atau 7 tahun biasanya anak telah matang untuk
memasuki sekolah dasar. Pada masa ini secara relative anak-anak lebih mudah
dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini ada dua fase yaitu masa
kelas rendah antara usia 6 atau 7 tahun sampai usia 9 atau 10 tahun dan masa
kelas tinggi antara usia 9 atau 10 tahun sampai usia 12 atau 13 tahun (Yusuf,
2012). Kozier dkk (2010), berpendapat bahwa usia anak sekolah adalah periode
sekolah dimana saat anak berusia lebih kurang 6 tahun, yakni ketika gigi susu
tanggal dan diganti dengan gigi permanen, periode praremaja (prapubertas) dan
berakhir periode ini saat anak berusia lebih 12 tahun. Menurut WHO, anak
sekolah dasar atau anak usia sekolah pada umumnya berusia antara 6-12 tahun.
Anak usia sekolah bertugas untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan
sosial, yang berimplikasi pada membangun rasa percaya diri, dan mengakui
pencapaian yang diperolehnya atau anak berkembang tidak realistis pada
pengharapan atau berlebihan terhadap kritik kasar sebagai petunjuk perhatian
yang tidak adekuat (Hitchcock dkk, 1999 dikutip Herlina, 2013). Pada usia 6
tahun pertumbuhan anak mulai melambat, pada anak laki-laki dan anak
perempuan berbeda. Setelah usia 9 tahun anak akan lebih terlihat cepat
pertumbuhannya (Kozier dkk, 2010). Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak
sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas yang
menuntut kemampuan intelektual commit to user kognitifnya (Yusuf, 2012).
atau kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id
dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut anak dapat mempengaruhi status
kesehatan gigi dan mulut anak. Perbedaan dengan yang peneliti lakukan adalah
variabel, tempat, waktu, subyek penelitian dan analisis data.
3. Apriastuti (2009), judul: “Analisis tingkat pendidikan dan pola asuh urang tua
dengan perkembangan anak usia 48-60 bulan de desa Mudal Boyolali”. Pada
penelitian ini disimpulkan bahwa: 1) Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
ibu dengan perkembangan anak usia 48 – 60 bulan dengan demikian semakin
tinggi tingkat pendidikan orang tua maka perkembangan anak akan semakin baik.
2) Terdapat perbedaan perkembangan anak usia 48 – 60 bulan antara kelompok
yang diasuh dengan pola anak otoriter, demokrasi, dan liberal dan pola asuh yang
baik adalah pola asuh demokrasi. 3) Terdapat perbedaan perkembangan anak usia
48 – 60 bulan yang disebabkan oleh perbedaan pola asuh ibu otoriter, demokrasi,
dan liberal jika dikontrol oleh tingkat pendidikan ibu. Perbedaan dengan yang
peneliti lakukan adalah variabel, tempat, waktu, subyek penelitian dan analisis
data.
4. Hidayati (2004), judul: ”Tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap
prestasi belajar siswa”. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa: 1) Terdapat
korelasi positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua
secara bersama (ganda) dengan prestasi belajar siswa, 2) Semakin tinggi tingkat
pendidikan orang tua maka semakin tinggi prestasi belajar siswa, 3) Tingkat
pendidikan formal yang diraih oleh orang tua dan pola asuh yang dilaksanakan
oleh orang tua masing-masing mempunyai kontribusi yang sangat berarti terhadap
pencapaian prestasi belajar siswa, 4) Tingkat pendidikan orang tua mempunyai
kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh orang tua dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa. Perbedaan dengan yang peneliti lakukan
adalah variabel, tempat, waktu, dan subyek penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir
Tingkat Kebersihan
Gigi dan Mulut Anak
Meningkat
D. Hipotesis
Ada pengaruh tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua serta tingkat pengetahuan
anak terhadap tingkat kebersihan gigi dan mulut anak sekolah dasar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id
E. Alur Penelitian
IBU ANAK
Kuesioner
Pemeriksaan
Kuesioner Gigi
Tingkat Tingkat
Pola Asuh OHI-S
Pendidikan Pengetahuan
Analisis
Regresi Linier
Berganda
commit to user