Anda di halaman 1dari 11

Poblematika Bodang Kebahasaan

a. Problematika Bidang Fonologi


b. Problematika Bidang Morfologis
c. Problematika Bidang Sintaksis
Problematika dalam tataran sintaksis terdiri dari dua unsur sintaksis yaitu
bidang frasa dan kalimat. Klausa tidak dibahas secara tersendiri karena klausa
sangat memungkinkan menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final sehingga
kesalahan berbahasa dalam bidang klausa sudah melekat pada kesalahan bidang
kalimat. Hal ini sejalan dengan konsep yang ditawarkan Setyawati (2013).
Kesalahan berbahasa ragam tulisan yang menyangkut frasa meliputi: (a) pengaruh
bahasa daerah, (b) penggunaan preposisi yang tidak tepat, (c) susunan kata atau pola
kalimat yang tidak tepat, dan (d) penggunaan unsur yang berlebihan (Akmaluddin,
2014: 89).
Adapun kesalahan dalam bidang sintaksis yang penulis temukan dalam
kehidupan sehari-hari tampak pada gambar berikut.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa pada gambar di atas


terdapat kesalahan berbahasa ragam tulisan dalam hal penggunaan bentuk di.
Kesalahan berbahasa ini termasuk dalam tataran sintaksis karena penulisan preposisi
yang tidak tepat yaitu penulisan bentuk di dengan kata yang mengikutinya. Secara
kaidah tata tulisan jika preposisi di melekat pada kata tempat maka penulisannya
harus dipisah dengan kata yang dilekatinya.
Sementara itu, pada gambar di atas dapat kesalahan lain yang termasuk dalam
tataran sintaksis yang terdapat pada gambar di atas adalah tidak adanya fungsi
subjek dan predikat dalam kalimat yang tertulis pada papan informasi di atas.
Sejalan dengan teori bahwa kalimat yang efektif itu seharusnya paling sedikit terdiri
atas subjek dan predikat kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan
jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas kalimat tersebut
adalah kalimat yang rancu. Untuk memunculkan fungsi subjek dan
Selain berkaitan dengan ketidaklengkapan unsur kalimat, kesalahan dalam
tataran sintaksis lainnya berkaitan dengan susunan kata yang tidak tepat. Gambar di
bawah ini menunjukkan adanya kesalahan berbahasa ragam tulisan dalam tataran
sintaksis karena ketidaktepatan susunan kata sebagai komposisi kalimat yang dibuat.

Gambar di atas menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam pembentukan


nama lembaga usaha. Pembentukan nama usaha tersebut masih terpengaruh dengan struktur
bahasa asing khususnya bahasa Inggris sedangkan kosakata yang digunakan adalah kosakata
bahasa Indonesia. Hal ini memunculkan sikap tidak konsisten dalam berbahasa selain adanya
pemaksaan struktur bahasa asing yang diterapkan dalam ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini
tentunya menimbulkan kesalahan dalam berbahasa Indonesia khususnya ragam bahasa
tulisan.
Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, susunan yang seharusnya digunakan adalah
MEBEL ZAKIA. Dalam kasus ini, tentu masih banyak dijumpai kesalahan serupa
sebagaimana yang dicontohkan Setyawati (2010:71) misalnya: (a) ini hari kita akan
menyaksikan berbagai atraksi, (b) Seminar itu akan diselenggarakan di Anjani Kembar
Hotel. Dengan demikian, perbaikan kalimat-kalimat tersebut dapat dilakukan dengan
mengubah susunan kata pada kalimat tersebut sehingga menjadi (a.1) hari ini kita akan
menyaksikan berbagai atraksi, (b) Seminar itu akan diselenggarakan di Hotel Anjani
Kembar.
d. Problematika Bidang Semantis
e. Problematika Bidang Wacana
1. Pengertian Wacana
Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi
linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Disamping
itu, Hawthorn (1992) juga mengemukakan pengertian wacana merupakan komunikasi
kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan
pendengar, sebagai sebuah aktivitas prsonal di mana bentuknya ditentukan oleh
tujuan sosialnya. Sedangkan Edmondson (1981:4) mengemukakan bahwa wacana
adalah suatu peristiwa berstruktur yang dimanifestasikan dalam prilaku linguistik
(yang lainnya), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik
terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang padu uniter.
Menurut Alwi dkk (2003:419) wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan
membentuk satu kesatuan.
Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa;
dngan kata lain, unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa,
seperti pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Secara singkat: apa yang disebut
teks bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran atau utterance (Strubbs, 1983:10).
Wacana menurut krida laksana dalam Kamus Linguistik Edisi Ketiga
(1993:231) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf,
kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Demikian, telah diuraikan pengertian wacana yang diambil dari
pendapat ahli dan berbagai sumber. Dari pendapat-pendapat itu dapat kita simpulkan
bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan terbesar/tertinggi di atas kalimat
atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan, yang mempunyai
awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan dan tertulis.

2. Permasalahan dan Solusi dalam Wacana


1. Kesalahan dalam Kohesi
1.1. Kesalahan Penggunaan Pengacuan
a. Karena mengantuk, Anggoro terjatuh ke sungai. Ayahnya mencoba menolong
mereka.
b. Rombongan darmawisata itu mula-mula mendatangi Pulau Madura. Setelah
itu mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali.
Contoh wacana (a) di atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan
pengacuan yang tepat dalam wacana (a) bukan mereka tetapi dia. Sedangakan
wacana (b) sudah tepat karena kata mereka mengacu pada rombongan
darmawisata.
1.2. Kesalahan Penggunaan Penyulihan
c. Rio dan rian merupakan adalah peljar di SMA NUSAKAMBANGAN. Setelah
lulus SMA rio ingin bekerja di Hongkong. Rian juga seperti itu. Ternyata
keinginan mereka itu berdada.
Penggunaan kata-kata penyulihan dalam wacana ini kurang tepat. Sharusnya
pnyulihan yang tepat untuk wacana trsebut adalah sama. Karena mereka
memiliki keinginan yang sama untuk kerja di Hongkong.
1.3. Tidak ada pelesapan
d. Sudah seminggu ini Rohmah sering ke rumahku. Rohmah kadang-kadang
mengantar jajana dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang
denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan menggiring
perbincangan kami ke arah sana.
Kata Rohmah dalam wacan di atas penggunaanya kurang efektif. Maka
sebaiknya kata Rohmah dilesapkan saja. Sehingga wacana di atas menjadi:
e. Sudah seminggu ini Rohmah sering kerumah. Kadang-kadang mengantarkan
jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku
tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan ke
arah sana.
1.4. Kesalahan penggunaan konjungsi
f. Pamanku memang berifat sosial untuk pemurah. Beliau rela menyumbang
paling sedikit satu juta rupiah untuk pembangunan rumah ibadah.
Dalam wacana di atas bila kita cermati, akan kita temukan kesalahan dalam
penggunaan konjungsi. Tepatnya pada kalimat Pamanku mmeang berifat
sosial untuk pemurah. Seharusnya menggunakan konjungsi dan.

2. Kesalahan dalam Koherensi


g. Aku diam. Diam seribu bahasa. Bahasa indonesia merupakan bahasa kedua
bagi sebagian besar pnduduk di Indonesia. Indonesia diproklamasikan oleh
Sokarno-Hatta. Soekarno-Hatta banyai dipakai sebagai nama jalan. Jalan
pelan-pelan banyak anak kecil.
Kekoherensian tidak kita temukan dalam kedua wacana tersbut. Dalam kedua
wacana tersebut sring menggunakan pengulangan, tetapi pengulangan tersebut
tidak mendukung sebuah gagasan.
Contoh sebuah wacana yang koherens adalah berikut:
h. Banyak pahlawan bangsa dimakamkan di pmakaman itu. Mereka gugur dalam
pertempuran mlawan penjajah. Sungguh besar jasa para pahlawan itu untuk
negeri ini.

3. Tidak ada keutuhan, ketrpautan maupun kesinambungan bahasa


i. “kekerapan pemakain sebuah kata hampir tidak dapat diramalkan karena hal
itu amat bergantung pada perkembangan kebutuhan dan cita rasa masyarakat
pemakainya. Bisa jadi sebuah kata yang dulu amat kerap digunakan, kini
hampir tak terdengar lagi dan pada masa yang akan datang mungkin kata itu
akan hilang dari pemakaian”.
j. “perubahan orientasi dari budaya lisan ke budaya tulis hampir tidak
terelakan lagi pada masa sekarang ini. Bahasa indonesia haruslah tidak boleh
kehilangan identitasnya sebagai bahasa bangsa. Orientasi itu dapat
menimbulkan kontak dalam bahasa tulis”.
Dari kedua wacana di atas, contoh wacana (i) merupakan sbuah wacana yang
utuh karena subjek hal itu pada klausa anak kalimat pertama telah
menghubungkan klausa itu dengan klausa pertama. Karena hal itu mengacu
pada kekerapan pemakaian kata yang trdapat pada klausa pertama. Kalimat
kedua menjelaskan informasi pada kalimat pertama.
Contoh (j) bukan sebuah wacana karena kalmat-kalimat di dalamnya tidak
menunjukkan adanya keterpautan bahasa ataupun kesinambungan informasi.
Stiap kalimat pembntukannya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan
semantis di antara proposisi yang terdapat pada kalimat lainnya.

f. Problematika Bidang Pragmatis


Kesalahan berbahasa pada tataran pragmatis yaitu adanya kendala tutur anak
tuna rungu terutama terjadi pada bentuk tutur. Ujaran mereka sering terdengar tidak
jelas. Hal ini terjadi karena mereka mengalami kesulitan menangkap bunyi bahasa,
mengucapkan bunyi bahasa, membedakan hal yang didengar, mengingat, memahami
konteks wacana. Implikasinya, mereka mengalami kesulitan mengucapkan kata atau
kalimat dengan artikulasi yang jelas. Suatu fenomena unik ditemukan bahwa semua
tuturan anak tuna rungu disampaikan dengan menggunakan strategi langsung. Guru
melakukan intervensi terhadap tindak tutur, fungsi tutur, dan strategi bertutur anak
tuna rungu dalam interaksi pembelajaran di kelas.
Dengan adanya hal ini, para guru SLB tuna rungu disarankan dapat menangani
siswa dalam hal kemampuan berbicara, menyimak pembicaraan, ekspresi menulis,
memahami bacaan, kelancaran membaca, berhitung, dan berpikir matematis
(memecahkan masalah). Selain itu, para guru tersebut disarankan dapat memberikan
treatmen dan terapi terhadap masalah kesalahan ejaan, kesalahan membedakan hal
yang didengar, kesulitan mengenal huruf, kesulitan menangkap dan mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa tertentu, kesalahan membilang dan mengenal kembali angka,
kesulitan mengingat, dan kesalahan ucapan unsur kata.

g. Problematika Bidang Sosiolinguistik


h. Problematika Bidang Psikolinguistik
H. PROBLEMATIKA BIDANG PSIKOLINGUISTIK
Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak berupa persepsi, pemproduksian bahasa, dan pemerolehan bahasa.
Problematika psikolinguistik meliputi faktor perkembangan bahasa anak dan faktor gangguan
kebahasaan.
1. Perkembangan Bahasa Anak yang Mempengaruhi Problematika Kebahasaan
Bidang Psikolinguistik.
a.  Tahap Pralinguistik Pertama
Tahap ini terjadi pada usia 0-8 bulan, bayi mulai menangis, tertawa menghasilkan
bunyi yang lain. Merupakan awal dari segala bunyi ujaran yang ditemui dalam segala bahasa
dunia.
Contoh problematika psikolinguistik: mengucap bunyi-bunyi yang tidak baku dan susah
dimengerti.
 Kata “ Neh” yang berarti haus atau ingin minum
 Kata “Eh” yang berarti lelah, ingin tidur
 Kata “Owh” yang berarti ingin sendawan.
Solusi : disesuaikan dengan persepsi atau tanggapan orang yang memaknai.
b.  Tahap Pralinguistik Kedua
Tahap ini terjadi pada bayi berusia 8-12 bulan. Pada tahap ini merupakan tahap si
bayi mulai berbicara omong kosong tanpa makna. Tidak menghasilkan kata yang dapat
dikenal, tapi mereka berbuat seolah-olah mengatur ucapan mereka sesuai pola suku kata.
Contoh problematikanya: berbicara omong kosong, tapi dapat dimengerti.
 “ mam” yang berarti makan
 “pis” yang berarti buang air kecil
 “ek” yang berarti buang air besar.
Solusi : membiasakan anak mengucap kata yang lebih bermakna.

c.    Tahap Holofrasik (tahap linguistik pertama)


Tahap ini bayi berusia 12-15 bulan. Anak mulai mengucapkan kata-kata satu kata
yang diucapkan berarti dipandang sebagai satu kalimat penuh. Sudah bisa dimaknai
bahasanya tetapi maknanya multitafsir.
Contoh problematikanya: kata yang diucapkan multitafsir.
 Anak mengucap kata “mobil” dapat diartikan multitafsir yang berarti “saya mau
mobil-mobilan”, “saya mau ikut naik mobil”, “saya mau minta diambilkan mobil
mainan”.
 Anak mengucap kata “kursi” dapat dimultitafsirkan yang berarti “saya ingin duduk di
kursi”, “saya ingin dibelikan kursi”, atau hanya sekedar menunjuk kursi.
Solusi: disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam memaknai.
d.   Tahap ucapan dua kata
Pada tahap ini anak berusia 15-18 bulan. Pada tahap ini anak mulai memiliki banyak
kemungkinan untuk menyatakan kemauannya. Mulai mengucap dua kata yang bisa dimaknai
multitafsir.
Contoh problematikanya: frasa yang diucapkan multitafsir.
 Anak mengucap frasa “sandal mama” bisa dimaknai ingin meminjam sandalnya
mama atau saya minta dibelikan sandal oleh mama.
 Anak mengucap frasa “men enak”, artinya “permen enak” dimaknai sedang makan
permen yang enak atau ingin dibelikan permen.
Solusi : tergantung konteks, situasi dan kondisi.
e.    Tahap pengembangan tata bahasa
Pada tahap ini anak berusia 19-24 bulan. Anak mulai mengucap kata jamak secara utuh.
Ucapan-ucapan yang dihasilkan semakin kompleks.
Contoh problematikanya:
 Problem : “ma, peyut adek atit” (masih menggunakan kata baku)
Solusi : “ma perut adek sakit”
 Problem : “ma, pengen aci goyeng”
Solusi : “ma ingin nasi goreng”
 Problem : “emutnya nakal”
Solusi : “semutnya nakal”
f.     Tahap tata bahasa menjelang dewasa
Anak berusia 2-5 tahun. Pada tahap ini anak semakin mampu mengembangkan
strukur tata bahasa yang lebih kompleks, mampu melibatkan kalimat-kalimat yang sederhana
dengan konjungsi.
Contoh dalam problematikanya:
 Problem : “adek nggak mau sekolah karena capek”
Solusi : “adek tidak ingin sekolah karena lelah”
 Problem : “adek cuka mimik cucu soalnya enyak”
Solusi : “adek minum susu karena enak”
g.    Tahap kompetensi lengkap
Pada tahap ini anak berusia > 5 tahun. Sudah mulai bersekolah. Pembendaharaan
kata terus meningkat, gaya bahasa mengalami perubahan, dan semakin lancar serta fasih
dalam berkomunikasi.
Contoh problematikanya:
 Problem: “mah adek beliin pencil, donk. Boleh ya? Sekalian uang sangunya
ditambahin, ya mah. Pokoknya adek beliin pencil balu, buku balu, tas balu”
Solusi : “mah adek belikan pencil. Boleh ya? Lalu uang sakunya ditambah ya
mah. Pokoknya adek minta dibelikan pensil, buku, dan tas baru”

2.   Faktor Gangguan Kebahasaan yang Mempengaruhi Bidang Psikolinguistik


a.  Latah
Latah terjadi karena terkejut, berkata mengulang. Gangguan kebahasaan dalam
perkataan dan perbuatan.
Misalnya: prikitiuw, e copot , capek deh.
b. Kilir Lidah
Kilir lidah adalah terlalu terburu- buru mengucapkan kata sehingga kesalahan
ketidaksengajaan.
Misalnya : mengucap kata “kelapa” keliru “kepala”
mengucap kata “antisipasi” menjadi “antisisapi”
mengucap kata “kerupuk” menjadi “kupruk”
c. Kesenyapan
Kesenyapan adalah kesulitan mengucap kata- kata/pembicaraan terhenti, kata – kata
yang ingin diucapkan hilang.
Misalnya: waktu diskusi kadang susah untuk mengucapkan kata- kata/ kata – kata yang ingin
diucapkan hilang.
Ada dua macam kesenyapan
 Kensenyapan kosong yaitu tidak terisi apapun, bingung mau mengucap apa. Misal
problematikanya: tidak berucap apapun, diam.
 Kesenyapan isi yaitu mengucap tapi berisi
misal problematikanya: anu, itu, ehm, apa yaa.
d. Afasia
Afasia adalah tidak bisa bicara karena ada gangguan pada otak.
Misal problematikanya: stroke
Macam-macam afasia:
1)  Afasia Broca
Kerusakan atau lesion terjadi pada daerah broca/motor area (daerah yang memerintahkan
untuk berbicara). Maka ujarannya terganggu (mulut mencong).
Gangguan: kalimatnya patah-patah, lafalnya tidak jelas, kalimatnya banyak yang tidak
berafiks.
Misalnya: ada kalimat “Anak saya ke rumah sakit” maka ucapannya “Saya anak rumah
sakit”
2)   Afasia Wernicke
Terjadi pada wernicke (bagian belakang lobe temporal)
Gangguan: bahasanya lancar tapi susah dimengerti karena susah membedakan kata,
susah memahami ujaran orang lain.
Misal: “malam” menjadi “alam, lama”
“bapak” menjadi “batak”
3)   Afasia anomik
Terjadi pada perbatasan antara lobe pariental dengan lobe temporal.
Gangguan: susah menghubungkan konsep/ benda dengan entitas/ kata/ namanya
(menghubungkan nama dengan namanya karena tidak bisa menghubungkan tanda antara
buku dengan bedanya buku)
Misalnya: disuruh mengambil buku, maka ia bisa mengambilkan buku itu tapi ketika
ditanya/ disuruhmenunjukkan buku ia tidak bisa mengucapkannya.
4)   Afasia global (kompleks)
Terjadi pada beberapa daerah global.
Gangguan fisik : lumpuh (kanan), mulut mencong, lidah kaku.
Gangguan wicara: sukar memahami ujaran orang lain, ujarannya susah dipahami,
pelafalan tidak jelas.
5)   Afasia konduksi
Terjadi pada fiber- fiber penghubung lobe frontal dan lobe temporal.
Gangguan: tidak dapat mengulang ujaran orang lain.
Misal: ambil buku itu di atas meja, lalu kita tanya dimana meja itu. Lalu penderita itu
tidak mampu mengucapkan buku di atas meja tapi mampu menunjukkan bahwa buku di
atas meja.
e. Disatria
Disatria adalah gangguan yang berupa pelafalan yang tidak jelas tetapi ejaannya utuh.
Misalnya: gagap (sementara) bukan dari otak, cedal.
f. Agnosia/ demensia
Agnosia/demensia adalah kesusahan membuat ide, penderita tidak dapat
memformulasikan idenya dengan baik.
Misalnya: bahasanya tidak teratur, susah dimengerti orang lain.
g. Disleksia
Disleksia adalah gangguan tidak bisa menulis dan membaca. Disleksia dibagi menjadi
2:
1) Aleksia adalah hilangnya kemampuan untuk membaca bukan berarti tidak bisa membaca.
Misal : anak sudah kelas 6 SD masih kesulitan membaca.
2) Agrfia adalah hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf- huruf yang normal.
Misalnya: anak SD menulis huruf A terbalik.

Daftar Pustaka
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung : PT Refika
Aditama.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
DAFTAR PUSTAKA
Akmaluddin. 2016. Problematika Bahasa Indonesia Kekinian: Sebuah Analisis Kesalahan
Berbahasa Indonesia Ragam Tulisan (Nowadays Problems Of Bahasa Indonesia:
An Analysis Of Mistakes In Written Forms) Mabasan, Vol. 10, No. 2 63—84.

Ibrahim Abdul Syukur, dan Suko Winarsih. 2012. Disorder Pragmatik Anak Tuna Rungu
dalam Interaksi Pembelajaran di Kelas. Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang,
Litera, Volume 11, Nomor 2.

Setyawati, Nanik. 2012. Analisis ksalahan berbahasa indonesia teori dan praktik. Surakarta:
Yuma pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.
Aprilisnsyah, Beni. http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2010/10/pengertian-wacana-
dan-macam-macamnya.html. (diakses pada 10 Juni 2013 pukul 20:43).

Anda mungkin juga menyukai