Anda di halaman 1dari 1

Pembahasan

Penelitian berhasil membuktikan bahwa pengidap HIV di kota Bandung dari


keseluruhan sampel yang di uji dalam penelitian di dapatkan 36% mengalami koinfeksi
Hepatitis B ditandai dengan adanya gen sHBsAg yang berhasil diamplifikasi dengan metode
nested PCR. Namun hasil penelitian berbeda dengan hasil yang dipublikasikan oleh dinas
Kesehatan jawa barat (2016), namun tidak tercatat adanya kasus HBV di kota Bandung. Hal
ini terjadi karena perbedaan metode untuk mendeteksi Koinfeksi. pada umumnya Dinas
Kesehatan melakukan Surveilance wawancara dan kuesioner pada responden sehingga data
yang didapat tidak terlalu akurat karena tidak melakukan pemeriksaan laboratorium. Kegiatan
surveillance yang dilakukan pun hanya dengan rapid test seperti imunokromatografi dan data
angka kejadian penyakit di rumah sakit dengan metode rapid test yang sama atau ELISA
setempat untuk mendapatkan data.

imunokromatografi dan ELISA merupakan metode yang banyak menunjukkan hasil


negatif palsu pada pemeriksaan Hepatitis B, khususnya pada pengidap HIV, hal ini terjadi
karena HBV dalam tubuh pengidap HIV sering kali mengalami mutasi genetic sehingga
Protein HBsAg tidak dikenali antibody pendeteksi yang digunakan dalam imunokromatografi
atau ELISA.

Kasus koinfeksi HIV—HBV di kota bandung dipengaruhi oleh usia dan Pendidikan,
didapatkan penderita koinfeksi lebih banyak pada usia 29-38 tahun. Hal ini dipengaruhi juga
dengan gaya hidup dan kebebasan dan juga didukung oleh kemampuan finansial agar dapat
memenuhi factor tersebut. Selain itu tingkat pengetahuan tentang HIV dan HBV termasuk
factor resiko yang ada dalam penelitian ini. Setelah ditelaah lebih lanjut masih terdapat factor
resiko lainya, antara lain : orientasi seksual, aktivitas seksual yang tidak aman, penggunaan
narkoba jarum suntik, jarum suntik yang tidak steril seperti pembuatan tato dan tindik, dan
yang terakhir yang terbukti mempengaruhi kasus koinfeksi HIV-HBV di kota bandung adalah
Riwayat vaksinasi.

Anda mungkin juga menyukai